''Pastikan semuanya rapi.'' Tuan Akamatsu berucap pelan sembari mengelus jenggot panjangnya yang sebagian telah memutih.
Tiga orang pemuda dengan katana di pinggang mereka membungkuk memberi hormat, lalu berlalu dari hadapan pria paruh baya itu. Seorang pria seumurannya yang sejak tadi berdiri di belakangnya, kini berdiri di samping Tuan Akamatsu sembari melipat kedua lengan di depan dada. Ia adalah Tuan Akihiro, pewaris tahta klan Akihiro yang mempunyai posisi sama pentingnya dengan klan Akamatsu dalam keshogunan Tokugawa. Keduanya adalah dua klan besar di Edo yang secara tersembunyi, menentang kebijakan Tokugawa Layesu menerima bangsa bar-bar barat di tanah Jepang.
''Malam ini, giliran kita menyambut kedatangan bangsa bar-bar itu,'' kata Tuan Akihiro dengan seringai di bibirnya.
Tuan Akamatsu tersenyum sinis. Tatapan matanya tajam bagai mata elang yang sedang mengintai mangsanya. Ia tidak sabar menunggu hasil kerja tiga samurai suruhannya yang ia perintahkan untuk memberi sedikit sambutan pada orang-orang armada kapal hitam yang saat ini mendiami daerah pelabuhan Edo.
''Ada kabar dari Klan Takahashi di provinsi Satsuma kalau beberapa kapal hitam telah mendarat di pelabuhan mereka,'' ucap Tuan Akamatsu geram.
''Leyasu benar-benar sudah keterlaluan. Kita harus mengumpulkan semua klan dari semua provinsi yang masih setia dengan Kaisar Komei. Ini harus dilakukan secepatnya. Selama ini gerakan kita tidak terkoordinasi dengan baik. Harus ada satu otak yang mengatur strategi untuk keseluruhan.'' Tuan Akihiro menimpali.
Tuan Akamatsu mengangguk setuju. Namun, sejurus kemudian ia menghela napas berat dan menatap ke depan dengan wajah sedikit tegang. ''Kesehatan Kaisar Komei sedang sangat buruk. Sementara Putera Mahkota masih berumur satu tahun. Kita harus berdiskusi dengan pejabat-pejabat kaisar, seandainya gerakan kita membuahkan hasil, siapa yang akan mengatur pemerintahan nantinya. Kita harus memikirkannya dari sekarang, Tuan Akihiro.''
''Aku dengar keshogunan berkonsultasi dengan istana kekaisaran di Kyoto mengenai kedatangan kapal-kapal hitam,'' kata Tuan Akihiro.
Tuan Akamatsu mendecih. ''Itu hanya formalitas saja. Kenyataannya, mereka tidak menanggapi apa pun pendapat istana kekaisaran.'' Pria paruh baya itu meludah dengan jijik.
Tuan Akihiro mengangkat jari telunjuknya tiba-tiba, pertanda ia mengingat sesuatu yang harus ia sampaikan pada Tuan Akamatsu. ''Bagaimana dengan guru-guru asing yang ditempatkan di seluruh sekolah yang ada di Edo?'' tanyanya.
''Mengenai hal itu ....'' Tuan Akamatsu mengelus jenggotnya. ''Untuk sementara kita biarkan saja dulu. Aku punya rencana bagus yang bisa sangat menguntungkan.''
''Puterimu belajar di Koei, Tuan Akamatsu. Kau harus mengawasinya. Jangan sampai dia dicuci otak oleh orang-orang bar-bar itu.'' Tuan Akihiro memperingatkan.
Pria berjenggot panjang itu tersenyum miring. ''Biar saja puteriku dan murid-murid di seluruh Edo menimba ilmu dari orang-orang bar-bar itu. Suatu saat ilmu yang mereka ajarkan akan berbalik menghancurkan diri mereka sendiri,'' kekehnya penuh percaya diri.
''Apa rencanamu?'' tanya Tuan Akihiro.
''Sonno joi (dukung kaisar, usir orang bar-bar),'' ucap Tuan Akamatsu. ''Sebarkan slogan itu ke seluruh penduduk Edo dan provinsi-provinsi lain. Ke seluruh orang tua yang anak-anak mereka belajar di sekolah-sekolah. Sebagian besar dari mereka adalah pendukung kaisar.''
Tuan Akihiro memicingkan matanya. Seringai di bibirnya kembali terbit. Ia lalu mengangguk-angguk setuju.
''Sonno joi (dukung kaisar, usir orang bar-bar)!''
***
Andrew terhenyak dari tidurnya ketika mendengar suara teriakan kepanikan dan kesakitan dari arah luar tendanya. Ia segera melompat dari atas ranjang, menyambar mantel yang tergantung di gantungan baju dan memakainya, kemudian meraih senjata musket yang menyerupai pistol dengan moncong panjang serta pegangan mirip handle pintu, lalu menyelipkan benda itu di balik mantelnya. Ia kemudian berlari menghambur ke luar tendanya, dan menyaksikan beberapa orang yang sedang dipapah dengan tubuh berlumuran darah menuju tenda pengobatan.
''They killed him! They killed him! Oh, God (mereka membunuhnya! mereka membunuhnya! Ya, Tuhan)!''
Andrew menoleh ke belakang dan melihat Thomas yang sedang berteriak-teriak dengan paniknya. Tubuhnya juga berlumuran darah. Beberapa orang memapahnya menuju tenda pengobatan.
Dengan dada berdegup kencang ia berlari menyusul Thomas masuk ke dalam tenda. Di sana, teriakan dan rintihan kesakitan dari beberapa orang yang terbaring dengan luka sabetan pedang di tubuh mereka, terdengar begitu memilukan. Andrew menghampiri Thomas yang sedang ditangani oleh dua orang petugas medis. Lidahnya yang kelu berusaha meloloskan suara menanyakan apa yang telah terjadi.
''Mereka membunuh Philip,'' isak Thomas seraya menatap Andrew dengan berurai air mata. ''Aaaargh!'' teriaknya kemudian ketika petugas medis membersihkan lukanya dengan alkohol.
''A-pa?'' tanya Andrew terbata.
''Philip mati,'' rintih Thomas. Tangisnya pecah. Kemudian berganti dengan teriakan kesakitan ketika petugas medis menjahit lukanya.
Andrew terkejut bukan main mendengar berita itu. Philip Morgan, teman mereka, mati. Perlu waktu beberapa saat lamanya untuknya mencerna apa yang didengarnya dari mulut Thomas.
''Apa yang terjadi?'' tanya Andrew setengah berteriak.
''Kerusuhan ... terjadi di bar,'' jawab Thomas seraya menelan ludahnya dengan susah payah. ''Aku tidak tahu apa yang terjadi. Mungkin ada adu argumen di antara sesama pengunjung bar. Suasana menjadi ricuh, aku tidak bisa melihat siapa melawan siapa. Aku hanya bisa melihat pedang menyabet ke sana kemari. Mengenai kami berlima dan beberapa orang penduduk lokal.'' Ia menghentikan perkataannya sejenak untuk meminum segelas air putih yang disodorkan oleh petugas medis. Kemudian Thomas menarik napasnya dalam-dalam. ''Lalu ... aku melihat Philip ambruk ke lantai.'' Bibir Thomas bergetar. ''Seseorang telah menusuk dadanya.''
Andrew terperangah. Ia berdiri mematung dengan perasaan tidak menentu yang berkecamuk di dalam dadanya. Philip adalah sahabatnya dan Thomas. Mereka bertiga memutuskan untuk ikut armada Mr. Perry demi melihat dunia baru dan juga pengalaman baru. Namun kini, seolah ia tidak percaya kalau Philip sudah mati.
***
Andrew berdiri mematung di samping Thomas yang duduk di atas kursi sembari memgangi luka di dadanya yang sudah terbalut kain untuk menutupi jahitan lukanya. Siang itu, keduanya menghadiri pemakaman sahabat mereka, Philip, dengan hati yang hancur.
''Receive the Lord's blessing. The Lord bless you and watch over you. The Lord make his face shine upon you, and be gracious to you. The Lord look kindly on you and give you peace; In the name of Father, and of the Son, adn of the Holy Spirit. Amen.''
''Amen,'' ucap Andrew dan Thomas bersamaan setelah seorang Pastur selesai membacakan doa, seiring peti yang berisi jazad Philip diturunkan ke dalam liang lahat.
Andrew menepuk-nepuk pelan bahu Thomas, berusaha memberi kekuatan padanya yang tampak sangat terpukul. Ia pun juga merasa sangat terpukul. Perasaannya begitu kacau. Sedih, marah dan hampa bercampur menjadi satu, bergulat dalam dadanya.
Edo dan pesonanya seakan pudar dalam benaknya. Ini adalah sambutan yang sebenarnya. Edo menyambut mereka dengan teror yang mungkin akan terus berkelanjutan.
***
Satu minggu setelah kematian Philip Morgan, Andrew dan para guru lain baru dijadwalkan untuk mengajar di sekolah-sekolah yang tersebar di Edo. Dan hari ini, hari pertama Andrew mengajar di Koei. Sekolah elite yang hanya dihuni anak-anak orang kaya dari klan-klan berkedudukan tinggi di Edo, pejabat-pejabat keshogunan, dan juga tuan-tuan tanah.Andrew diantar oleh seorang penerjemah istana, Tuan Haruto, pria tua yang bisa berbahasa inggris dengan lancar, karena dulu pernah belajar dan menjadi penerjemah keshogunan dengan pedagang-pedagang dari Inggris, pada masa awal Tokukawa Layesu diangkat menjadi Shogun pertama. Tuan Haruto juga yang beberapa hari ini mulai mengajarnya bahasa Jepang.Tepat seperti dugaannya, kelas sastra ini dihuni oleh murid-murid yang semuanya adalah perempuan. Lima belas gadis muda yang manis dan elegan. Dari penampilan mereka saja sudah bisa ditebak kalau mereka bukanlah anak-anak orang sembarangan. Kulit mereka halus dibalut dengan kimono m
Andrew menarik sudut bibirnya memandangi gadis-gadis cantik yang membungkuk padanya satu persatu keluar dari ruang kelas. Perhatiannya kembali tertuju pada Kiyoko yang menempati antrian terakhir. Gadis itu hanya menatap sekilas padanya kemudian membungkuk. Andrew pun menyambutnya dengan satu anggukan dan juga satu senyuman manis. Ia memandangi punggung Kiyoko yang menghilang di balik shoji.Tuan Haruto yang berdiri di samping Andrew berdehem sekali mencoba menyadarkan pemuda itu dari lamunannya. Andrew terkesiap dan menggaruk rambut pirangnya yang panjang. "Kiyoko Akamat-su," ucapnya sambil meringis. Tuan Haruto mempersilahkan Andrew untuk keluar terlebih dahulu dari ruang kelas yang telah kosong."Dia puteri dari Kenji Akamatsu dari klan Akamatsu, salah satu klan penting di Edo. Gosipnya, mereka salah satu klan yang menentang kebijakan-kebijakan Tokugawa." Tuan Haruto menerangkan siapa Kiyoko tanpa diminta oleh Andrew. Sepertinya lelaki tua itu bisa menebak apa yang d
Di bawah pohon mapple berdaun rindang, Andrew menghisap cerutu sambil membuka buku Shakespearenya. Sesekali pandangannya ia lempar ke hamparan laut di depan sana. Udara musim panas cukup sejuk dengan rintik-rintik gerimis yang membasahi tanah pelabuhan Edo sore itu. Tapi, berlindung di bawah pohon maple yang rimbun, membuat gerimis tidak bisa menerobos membasahi Andrew dan bukunya."Di sini kau rupanya." Suara Thomas membuat Andrew buru-buru menutup bukunya. "Si guru sastra yang rajin berlajar," goda si rambut cokelat itu sembari mengambil tempat duduk di samping Andrew."Yeah. Hanya menjalankan tugasku." Andrew kembali menghisap cerutunya. "Hei, Thomas ... ada kabar tentang siapa yang menusuk Phillip?"Thomas menggeleng. "Dugaan sementara ini ulah kelompok-kelompok yang menentang kebijakan Tokugawa. Tapi, ini perlu penyelidikan yang mendalam. Dan kita tidak bisa ikut campur karena itu masalah intern politik mereka.""Tapi, yang dibunuh salah satu dari or
Andrew menghirup aroma daging bakar bercampur bumbu yang asing di hidungnya, namun membuat perutnya meronta untuk segera diisi. Kedai makanan berjejer di samping kanan dan kirinya, mengepulkan asap berbau sedap menandakan semua makanan yang sedang dijajakan telah siap untuk memanjakan perut pengunjung pasar."What's this?" Andrew bertanya pada Tuan Haruto yang menemaninya dan Thomas berjalan-jalan sore itu di pasar yang terletak di pusat kota Edo."Yakitori, Mr. Baker." Tuan Haruto berbicara dengan seorang pedangang yang sedang membakar beberapa tusuk daging yang dipotong kecil-kecil. Lelaki tua itu mengambil dua tusuk daging yang sudah matang dan memberikannya masing-masing pada Andrew dan Thomas."Mmm ... tasty like Edo's meat (lezat seperti daging Edo)," kekeh Thomas disambut dengan cengiran Andrew.Tuan Haruto mengajak kedua pemuda itu masuk ke dalam kedai. Ia mengatakan, yakitori enak sekali jika dimakan sebagai cemilan untuk menemani minum sake. Dan
Sekolah Keio, Edo.Andrew mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan kelas. Lima belas gadis muda sedang mengerjakan soal yang ia buat. Tuan Haruto berdiri tidak jauh darinya, menyembunyikan kedua tangan di belakang badannya. Ia pun ikut mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Lalu menoleh pada Andrew yang sedang memperhatikan Kiyoko di barisan berlakang.Tuan Haruto berdehem sekali dengan keras mencoba menyadarkan Andrew yang sepertinya terlena memandangi kecantikan Kiyoko yang bagai dewi itu. Andrew seketika terkesiap dan memijit tengkuknya membuang rasa jengah karena tertangkap basah oleh Tuan Haruto sedang memperhatikan gadis cantik itu.Mulai hari ini, Andrew menyelipkan pelajaran bahasa Inggris untuk murid-muridnya itu. Itu ide Andrew sendiri agar ia bisa berkomunikasi dengan lancar dengan mereka. Terutama dengan Kiyoko.Pelajaran dasar bahasa Inggris cukup mudah diterima oleh gadis-gadis itu. Andrew mengakui, mereka memang murid-murid yang cerdas.
Edo, 1853. "Armada kapal hitam!" "Armada kapal hitam!" Seorang pemuda berteriak sambil berlarian masuk ke halaman rumah dengan menenteng pedangnya. Kinagashinya melambai tertiup angin. Ia menelusuri koridor rumah dan berpapasan dengan beberapa pelayan wanita yang menatapnya keheranan. Para pelayan tidak mengerti apa yang diteriakkan oleh pemuda itu. Ia lalu berhenti di depan sebuah ruangan yang tertutup rapat. Tangannya buru-buru menggeser shoji kemudian membungkuk hormat pada seorang pria paruh baya dengan jenggot panjangnya yang sedang duduk bersila di zabuton. "Tuan Akamatsu, armada kapal hitam telah merapat di pelabuhan," ucapnya terengah. Pria yang dipanggil dengan nama Tuan Akamatsu itu mengepalkan kedua tangannya. Wajahnya memerah menahan geram. "Ada berapa kapal yang merapat?" tany
Sekolah Swasta Keio, Edo.Bangunan berbentuk kuil Shinto yang berada di pinggir kota Edo itu ramai. Beberapa siswa saling bergerombol membicarakan sesuatu yang sedang viral saat itu. Yaitu, akan ada beberapa guru baru yang mengajar di sana. Bukan sembarang guru baru, melainkan guru berkulit pucat dengan hidung besar dan mata biru, yang berasal dari sebuah negara yang terdengar asing di telinga para siswa di Keio. Amerika Serikat.Mereka adalah para guru yang datang bersama armada kapal hitam yang saat ini menghuni pelabuhan Edo dan dilindungi oleh Shogun Tokugawa Leyasu. Semua siswa penasaran dengan penampilan fisik orang-orang berkulit pucat yang beberapa saat lagi akan tiba di Keio.Tiga orang murid wanita sedang berkumpul di bawah pohon Ginkgo dengan daun kuningnya yang berguguran menutupi tanah tempat mereka berpijak. Adalah Kiyoko Akamatsu, salah seorang dari empat murid wanita itu, dengan paras manis dan tubuh yang mungil.''Aku tidak ta
Andrew dan dua orang temannya mencoba berjalan-jalan di pusat keramaian yang ada di tengah Edo, bersama dengan satu orang pengawal istana untuk mendampingi mereka sekaligus sebagai penunjuk arah. Edo adalah sebuah kota dengan bangunan-bangunan kayu indah dan dominan warna cokelat tua. Lorong-lorongnya sempit namun bersih dan tertata rapi. Di samping kanan kirinya terdapat banyak toko, rumah makan, bahkan bar. Banyak penduduk yang menatap mereka dengan tatapan keheranan, penasaran, dan ada pula yang sinis. Kota ini memang sangat berbeda dengan kota asalnya, Philadelphia. Di sana, sudah banyak terdapat bangunan-bangunan beton yang tinggi. Jalan raya pun luas dan penduduk menggunakan kereta kuda sebagai alat transportasi. Untuk Andrew, ini dunia baru untuknya. Pertama kalinya melihat wajah orang Asia dan gaya hidup mereka yang masih tradisional. Dan wanita-wanita mudanya, tentu saja, hampir semua yang ia temui, berwajah manis dan juga ramah. Banyak yang penasara