Bab 32: Dianiaya di Penjara
Semua mata melirik tajam ke arah diri ini, sedangkan aku mundur perlahan seraya mengusap kepala dan kedua pipi. Rasanya begitu perih akibat cengkeraman kuat dari wanita yang sedang terkulai lemas di lantai keramik tersebut.Mendengar keributan yang terjadi di ruang keluarga, membuat Bi Inah ikutan datang kemari. Dia tergopoh dengan wajah panik.Saat melihat salah satu teman arisan Nyonya Arelia terkulai di lantai dengan bersimbah darah, sontak membuat wajah Bi Inah tegang. Dia melirik takut ke arahku, seolah-olah ingin menanyakan bukan aku yang melakukannya."Kalau sampai Jeng Diana kenapa-napa, awas aja kamu!" Seorang wanita bertubuh agak tambun berdiri sembari mengacungkan telunjuknya."Jeng Arelia, kok, cari ART yang tidak sopan begini, sih? Liat, Jeng Diana yang jadi korbannya!"Wanita lainnya ikut memanasi keadaan. Mereka semua menatap nyalang ke arahku, sedangkan Nyonya Arelia terdiam di temBab 33: Ditolong oleh BryanSuara lembut seseorang menyapa indra pendengaran, membuat alisku yang menempel pada lutut mengernyit. Dalam hati aku bertanya-tanya, siapa orang tersebut. Siapa yang datang mengunjungikku?"Nilfan ...." Lagi, suara lembut itu memanggil namaku. Tangannya yang diletakkan di pundakku, sedikit diguncangnya. Aku masih sama, menenggelamkan wajah di antara kedua lutut. Belum ingin mendongak melihat siapa si pemilik suara. Pikiranku masih mencari-cari, siapa orang yang datang tersebut. Terdengar seperti familier. "Nilfan, kau mendengarku?" Dia kembali bersuara. Tangannya kembali mengguncang pundakku. Perlahan, aku mendongak. Menatap pria yang sedang berlutut di hadapanku itu dengan tajam dan mata basah. Sang pria yang yang mengenakan pakaian dinas dan dibalut dengan jaket kulit itu langsung tercengang melihat wajahku. Mata cokelatnya itu membulat sempurna kala melihat kondisi wajahku yang pastinya babak be
Air bercampur darah sontak menyembur dari mulutku. Membasahi dashboard mobil Bryan. Aku terbatuk kala minum terlalu cepat. Rasanya kerongkonganku begitu kering pasca penganiayaan tadi. "Hati-hati, Nilfan!" Bryan menyapu-nyapu punggungku. "Ahhk!" ringisku. "Maaf, maaf ...." Bryan menarik tangannya menjauh. "Mereka memukul punggungmu juga?" tanyanya dengan raut kasihan. Aku benar-benar muak melihat wajah teduh yang penuh dengan kemunafikan itu. Memilih hanya untuk mengangguk pelan merespons pertanyaannya. Bryan merogoh saku jaketnya, mengeluarkan sebuah sapu tangan berwarna oranye. Lantas, dia membuka dashboard. Mengeluarkan sebuah botol berisi cairan. Terlihat seperti botol infus, tetapi lebih kecil daripada yang ada di rumah sakit. Bryan menuangkan air dalam botol tersebut ke sapu tangan, lalu dia mendekat pada diri ini. Aku menatapnya waspada yang sedang datang mendekat. "Aku bantu bersihin lukamu, yah?" ucapnya
Mata menyipit kala mendapat sorotan menyilaukan dari lampu LED mobil di depan mobil Bryan. Suara klakson-nya pun belum di hentikan. Justru malah bertambah nyaring, menekan-nekannya beberapa kali, lalu menekannya lama. 'Beep, beep, beep, beeeeppp!'Suara klakson mobilnya begitu memekakkan telinga. Membuatku meringis dengan suara tersebut. Bryan ikutan membunyikan klakson mobilnya seraya menatap tajam di depan sana. Membuat mereka seolah-olah sedang bertarung menggunakan suara klakson. "Berisiiiiik!" Aku meringis panjang seraya menutup kuping. Bryan melirikku yang sedang meringis seraya menutup kuping. Dia menghentikan klakson pada mobilnya. "Kurang ajar! Anak itu suka sekali mengajakku bertarung tanpa lihat kondisi terlebih dahulu!" Bryan berucap kesal, lalu keluar dari mobil. Aku mengangkat telapak tangan, menghalangi silau lampu mobil yang begitu sangat terang tersebut. Lantas, mengintip sedikit. Melihat siapa si
Bab 36: Berebut Ingin MembantuZhafran berseru mendengar perkataan Bryan, sedangkan aku mengangkat kepala. Melirik ke arah Bryan yang sedang menatapku lembut. "Kenapa lo mau bawa dia ke apartemen lo? Mau lo apain dia?" Zhafran bertanya dengan nada sinis. Aku masih menatap Bryan dengan alis mengernyit. Bertanya-tanya di dalam hati, kenapa petugas kepolisian itu mau membawaku ke apartemennya? Bryan terlihat mengembuskan napas kasar. "Untuk sementara, biar Nilfan tinggal dulu di apartemenku. Mamah lagi kesal dan nggak mau nerima dia gara-gara kejadian hari ini. Setelah amarah Mamah membaik, baru aku akan bawa lagi Nilfan ke rumah," jelas Bryan sembari menatapku lembut. Aku mengangguk tipis mendengar penjelasan Bryan. Justru hal itu bagus bagiku. Jika aku tinggal di apartemen Bryan, maka sedikit demi sedikit aku akan mengenal sifat, sikap, kebiasaan, dan mungkin juga rahasia miliknya. Aku akan tahu perangai asli petugas kepolisi
Untuk sesaat, aku tertegun mendengar kode sandi apartemen ini menggunakan angka kelahiran Kak Naila. Namun, aku gegas menetralkan perasaan. Jemariku langsung menekan tombol, 990909--angka kelahiran Kak Naila. Benar saja, apartemennya bisa dibuka menggunakan angka kelahiran Kak Naila. Aku langsung mendorong pintu bercat putih itu, memberikan jalan untuk Bryan masuk. Menampilkan ruangan yang bernuansa abu-abu dengan beberapa interior aksesoris kepolisian yang dipajang di dinding. Terlihat sederhana dan maskulin. "Tunggu sebentar, yah." Bryan mendudukkanku di sofa berwarna krem. Lantas, membuka jaket kulit hitamnya. Melemparkan pakaian itu ke sofa di hadapanku. Setelah itu, Bryan menuju ke ruangan arah jam tiga. "Sakit sekali ...." Aku meggerakan tubuh, terasa seluruh tubuh memerih. Terlebih lagi di wajah yang sakitnya terasa berat. Bryan kembali dengan membawa sesuatu. "Aku kompres pakai es dulu, yah, leba
Alisku mengernyit menatap wanita dengan mini dress biru muda membalut tubuh rampingnya. Dress-nya begitu pendek, hingga memamerkan paha putih mulusnya. "Hello ... gue bilang, lo itu siapa?" Wanita itu bertanya lagi. "Sa-saya, saya Nilfan," jawabku sedikit gelagapan. Pasalnya, aku bingung dengan kehadirannya yang tiba-tiba di sini, sedangkan apartemen ini dikunci dan dipakaikan kode sandi. Siapa wanita itu, sampai dia tahu kode sandi apartemen Bryan? "Maksud gue, lo siapanya Bryan? Kok, bisa ada di apartemen Bryan?" Wanita itu memutar bola mata malas. Dia mendekat. "Muka lo kenapa?" tanyanya lagi seraya menyentuh tulang pipiku yang memar, "lo kriminal, yah?" Matanya menyorotiku tajam. Aku benci dengan kehadiran wanita yang diperkirakan umurnya sekitar 25 tahun itu. Dia membuatku jengkel dengan semua pertanyaannya. Aku memilih mundur beberapa langkah, menarik kepalaku. Menjauhi tangan lentik wanita itu yang masih me
"Sama dengan ibuku? Maksud kamu apa, Bry?" Sambil mengusap-usap lututnya yang memerah, Diandra bertanya dengan alis mengernyit. Begitu pun juga denganku, mengernyit mendengar apa yang barusan Bryan lontarkan. Sama dengan ibu siapa maksudnya? "Kamu tau, apa penyebab gadis malang ini sampai mengalami babak belur separah itu?" Bryan menunjukku, tetapi masih tetap menatap serius ke Diandra yang terduduk di lantai. Diandra melirikku sekilas, lalu membuang muka. "Dia seperti itu gara-gara dilaporkan oleh teman-teman ibumu untuk memenjarakannya. Dan lebih parahnya lagi ialah, salah satu teman ibumu membayar beberapa polisi untuk meng-aniyaya dia di penjara!" terang Bryan dengan berat. Mendengar keterangan yang diucapkan oleh Bryan, Diandra tertegun menatapku. Sesaat kemudian, timbul seringai di bibirnya disertai tatapan tajam. "Owh, jadi yang udah nyelakain ibu gue itu, lo?" Matanya nyalang, dia bangkit berdiri dengan tangan yang terkepal erat. "Seperti hal yang kamu lakuin sama dia ta
Tubuhku ditarik paksa masuk ke lift. Aku memberontak dan hendak melayangkan bogem mentah ke hidung si penarik itu. Namun, kepalanku terhenti di udara saat mengetahui siapa si pelaku yang tanpa aba-aba menarik tanganku dengan kasar tersebut. Dia mendorong tubuhku ke pojok lift, sementara kakinya yang terbungkus oleh sepatu boots hitam diarahkannya ke tombol lift. Menekan tombol lift-nya asal agar pintunya tertutup. Mataku membulat mendapat serangan tiba-tiba dari Zhafran. Apa yang ada di pikiran pria berandalan itu sampai menarikku paksa masuk ke dalam lift. "Zhaf---""Shuuttt ...."Ucapanku terpotong kala Zhafran menempelkan telunjuknya di bibir mungilku. Tatapannya begitu intens menatap dalam mataku. Jarak kami saat ini begitu dekat, dengan wajah Zhafran yang berada sekitar satu jengkal dari wajahku. Aku menahan napas di tenggorokan, merasa tidak nyaman berada sedekat ini dengan Zhafran, apalagi dengan tatapan elangnya itu yang menghujam diri ini. Perlahan, Zhafran menurunkan tel
Aku menatap langit-langit kamar tanpa berkedip. Sekarang sudah dini hari, tetapi mataku takkunjung tertidur. Pikiranku terngiang-ngiang dengan perkataan yang terlontar beberapa jam yang lalu. “Saya maunya sama kamu, Zhafran. Nggak mau sama yang lain!”Ucapan itu spontan keluar, tidak lupa juga aku memeluk lengannya. Sontak saja hal itu mengundang tawa Bryan dan yang lainnya. Rasanya sangat memalukan saat Zhafran mengatakan aku ‘cewek agresif’. Setelah kejadian itu, aku kabur ke kamar. Namun, beberapa menit kemudian, kembali lagi ke ruang tamu untuk memberikan bantal juga selimut pada kedua saudara itu, tentunya tampa berani menatap wajah Zhafran. Angel dan Kesya kuajak tidur bersama di kamarku. Sementara Bryan dan Zhafran tidur di ruang tengah. Aku meminta mereka untuk menginap saja, sebab tidak ada penginapan di dekat kampungku ini. Dengkuran Kesya membuyarkan lamunanku. Aku memunggunginya, memilih memeluk Angel. Kuharap, m
Ibu berjalan pelan sambil memandang lekat kedua pemuda yang sebagai anggota kepolisian itu. Tangan Ibu perlahan terangkat ke udara, aku pikir Ibu akan menampar Bryan, tetapi ternyata dia mendaratkan telapak tangannya di bahu sang polisi itu.“Terima kasih, Nak. Kalian begitu baik.” Sebuah usapan kecil, Ibu berikan di pundak yang tegap itu. Aku mengembuskan napas lega. Sepertinya Ibu telah paham dengan semua yang terjadi. Beberapa hari yang lalu saat membantunya memasak di dapur, aku menceritakan garis besar selama kehidupanku di kota. Aku juga bercerita tentang Zhafran dan Bryan yang selalu membantuku dari masalah. Aku juga bercerita bahwa yang menghamili Kak Naila adalah Pak Burhan---ayah tiri kedua pemuda anggota polisi tersebut. Waktu aku bercerita hari itu, Ibu tidak merespon apa pun. Aku maklum, mungkin Ibu masih marah atau entahlah. Tapi malam ini, aku perhatikan kemarahan Ibu sudah sirna semua. Syukurlah. “Nilfan!”Aku tersentak
Iblis itu, dia yang mengakibatkan tewas dan hancurnya hidup Kak Naila ada di sini. Dia muncul dari balik pintu dengan senyuman sinis yang menjijikkan. Bersama Jaki dan beberapa pria bertubuh tegap khas seorang bouncer. “Apa kabar, Nilfan?” Pak Burhan mendekat. Sementara anak buah Jaki menutup pintu. Aku menelan ludah susah payah, takut mereka sampai menyakiti Ibu. Pandangan ini menoleh ke Angel, hatiku terasa diremas mengetahui para iblis ini dia yang membawanya. Pantasan saja dia meminta alamat rumahku tempo hari. “Maafin gue, Nil. Ketika kami nyari pekerjaan di mall-mall, kami ditangkap sama anak buah Jaki. Mereka nyandra Kesya.” Lirihnya menatapku dengan mata basah. “Gue nggak ada pilihan lain buat nyelametin hidup Kesya.”Aku termenung mendengar penjelasannya. “Terus, sekarang gimana keadaan Kesya?” tanyaku turut prihatin. “Dia sekarang disekap di gudang klub.” Angel menatapku dengan mata basah. Terjawab sudah keanehan y
Pekikan Erlin yang sebab kupelintir tangannya, mengundang beberapa pasang mata untuk melihat. Teman-teman Erlin hanya meringis melihat ketua geng mereka memerah wajahnya menahan rasa sakit yang kuberikan.“Kalau kamu berani bicara sembarangan lagi soal ibuku, saya patahkan tangan kurusmu ini!” Aku menyentak tangan Erlin, membuat wanita itu terempas menubruk para teman-temannya.Seorang ibu-ibu datang mendekat dengan mata mendelik tajam, dia ibunya Erlin. “Heh, Nilfan! Kamu baru pulang kampung, udah bikin ulah aja. Apa itu yang kamu pelajari selama di kota?!” Ucapan ibu itu disahuti beberapa orang tua lainnya. “Iya.” Aku menyahut santai, lalu membuang pandangan. Tidak ada gunanya meladeni mereka semua. Keadaan ibu jauh lebih penting sekarang. **“Asalamualaikum.” Aku mengetuk pintu rumah. Lantas, menerobos masuk. Andy sudah mengirimkan pesan sebelumnya, bahwa rumah ibu tidak dikunci. Andy menungguku pulang d
Hari sudah menjelang malam, bunyi azan berkumandang merdu dari masjid sekitar. Aku memutuskan untuk menghadap sang Maha Pencipta terlebih dahulu, baru melanjutkan perjalanan ke apartemen Bryan. Setelah berpikir sejenak tadi, aku memutuskan untuk meminta perlindungan pada kepolisian saja, dan masih akan tetap berada di kota. Bekerja dan membayar utang-utangku. "Kalian nggak mau ikut sholat, Kes, El?" Aku menatap kedua sahabatku yang hanya berdiri jauh dari bangunan masjid. Sesekali Kesya menarik rok mininya agar menutupi paha putihnya. Dia terlihat risi datang ke tempat seperti ini dengan pakaian seksinya. "Nggak usah, lain kali aja kami, Nil." Angel menyahut, lalu menarik pergelangan tangan Kesya pergi duduk di warung bakso di seberang jalan.Aku mengembuskan napas panjang. Tidak apa, nanti aku akan usaha membujuk mereka untuk salat. Maklum, pasti mereka malu untuk menghadap Sang Maha Pencipta, seperti aku kemarin. Segera aku melaksan
"Sialan!" Pak Sopir yang memakai kemeja biru itu mengumpat. Dia kesusahan untuk mengendalikan laju mobilnya. Sementara kami bertiga yang duduk di kursi penumpang, saling pandang ketakutan. Menyadari mobil siapa yang menyerempet taksi ini. Mobil Jaki. "Jalan terus, Pak. Mereka itu para perampok!" Angel mendesak sambil menepuk cepat bahu Pak Sopir. Aku menoleh ke belakang, terlihat di kejauhan sana beberapa kendaraan bermotor juga datang mendekat. Astaga … seaksi inikah nasibku sekarang? Harus kabur seperti seorang buronan. "Stop! Woy, stop!" Kaca mobil dipukul-pukul oleh salah satu pengendara bermotor. "Mereka tau dari mana sih, kalau kita ada di mobil ini?" Kesya sangat panik. "Kemungkinan besar sedari kita ninggalin klub malam tadi, mereka semua udah ngikutin kita." Angel menjawab sambil mengeluarkan sesuatu dari tas tangannya. Sebuah botol parfum. Lantas, menurunkan kaca mobil dan menyemprotkannya ke pengendara
Kilau mentari perlahan-lahan datang menembus kaca bening di samping kamar ini. Aku memilih untuk mencuci muka yang kusut. Tidurku semalam sangatlah tidak nyenyak. Semalaman aku berpikir bagaimana caranya agar mengembalikan uang Nyonya Arelia. Ingin melaporkan Zhafran-lah yang menabrak Ibu dulu, tapi aku tidak punya kemampuan untuk hal itu. Entahlah, kasihan juga sedikit segan. Zhafran sudah sangat banyak menolongku dari penjahat. Mana mungkin aku akan melaporkan dia. Ketika keluar dari kamar mandi, aku sedikit tertegun ketika melihat wanita paruh baya berpakaian sederhana datang ke kamar rawatku. Bi Inah. Dia datang kemari sepagi ini. Apakah sang Nyonya Besar itu tidak melarang? "Nilfan, bagaimana keadaanmu?" Bi Inah langsung memegang lenganku, memapah diri ini seperti aku pincang saja. Padahal hanya keningku yang tercedera, dan sekarang sudah lumayan membaik. "Alhamdulillah, baik, Bi." Aku mengangguk, lalu duduk di ranjang rumah sakit.
Aroma antibiotik begitu menyengat menggelitik indra penciuman. Alisku mengernyit, ketika pandangan ini dipenuhi dengan ruangan bernuansa putih. Tangan meraba kening yang terasa memberat. Keningku dalam keadaan terbalut. Pandangan ini mengedar ke sekeliling. Ruangan ini seperti … rumah sakit. Perlahan aku bangkit dari ranjang yang begitu empuk. Untuk sesaat, kepalaku terasa berat. Namun, lambat laun, kepala ini terasa ringan. "Astaga, bajuku!" Aku menyilangkan tangan di dada. Bajuku yang basah kuyup akibat terjebur ke laut tadi, telah digantikan dengan baju rumah sakit. "Pasti para suster yang menggantinya," gumamku mencoba bepikir positif. Pasalnya, pikiranku kembali dikuasai oleh pria berandalan itu. Jangan sampai dia lagi yang mengganti bajuku. Aku menjatuhkan kaki ke lantai. Begitu dingin, terlebih aku yang tidak memakai alas apa pun. Ruangan ini begitu sepi. Tidak ada satu orang pun di sini. Sempat berharap tadi, Zhafran akan men
Terdengar sesuatu tercebur ke dalam air. Sambil menahan napas yang hampir habis, aku memaksa melihat hal tersebut. Seorang pria bermata elang segera berenang menghampiriku. Dia meraih tanganku yang yang hampir jatuh ke dasar laut. Meraih dan mendekapku. Lantas, mendekatkan bibirnya. Menyalurkan udara kepadaku. Mata ini sontak saja membulat mendapat serangan dadakan itu. Berpikir, Zhafran masih saja sempat-sempatnya modus dalam situasi seperti saat ini. Namun, sesaat setelahnya aku bersyukur dia ternyata datang menyelamatkanku. Dia kembali menjadi pahlawan untukku. Zhafran melepaskan bibir ini dan aku kembali berusaha menahan napas. Lantas, Zhafran segera menarik tubuhku naik ke atas. "Uhuk, uhuk, uhuk!" Aku terbatuk-batuk keras sambil memeluk erat leher Zhafran. Rasanya tenggorokan dan hidungku memerih. Belum juga rasa perih yang ada di keningku usai dihantam dinding kapal tadi. "Lo mau buat gue tiada apa?" dengkus Zhafran berusaha m