Aku menatap lekat Bryan, lalu beralih memandang sapu tangan maroon saling bergantian.
'Apa Bryan yang mendorongku semalam?' batinku bertanya-tanya.Aku mundur beberapa langkah, memandang kedua saudara itu saling bergantian dengan mata berembun. Tiba-tiba kepalaku kembali memberat dan pusing. Lantas, kegelapan datang menelanku.****Perlahan kubuka kelopak mata, mengedarkan pandangan. Sebuah ruangan asing yang bernuansa putih. Aku mengerjap berkali-kali, merasakan kelopak mata begitu panas. Tubuhku begitu lemas, perut juga terasa perih, belum terisi makanan."Lo udah sadar?"Terdengar suara Zhafran bertanya. Dia baru saja datang sambil membawa kantung kresek putih.Zhafran duduk di samping ranjangku seraya meletakkan kantung. Dia mengeluarkan beberapa buah dari dalam kantung."Lo sukanya buah apa?" Zhafran memperlihatkan buah apel dan jeruk di kedua tangannya.Aku hanya diam, memandangnya lemTo-tol ... looong!"Mata pisau itu sudah berada tepat di depan mataku. Jantung berdegup kencang, napasku tercekat. Aku sangat ketakutan. 'Tolong Nilfan, Ya Allah!' pekikku dalam hati. Mata pisau itu terus maju. Tenagaku begitu lemah, tidak mampu lagi untuk menahannya lebih lama. Tiba-tiba saja, sosok ber-hoodie hitam itu terempas ke kiri. Zhafran datang, dia langsung menendangnya. Aku bernapas lega seraya bangun dari ranjang. Syukurlah. "Siapa lo?!"Sosok ber-hoodie tidak menjawab, dia malah mengacungkan senjata tajam. Aku memperhatikan sosok ber-hoodie yang memakai masker hitam itu. Dia menatap Zhafran waspada seraya mengambil ancang-ancang menyerang. 'Siapa orang itu? Kenapa dia ingin membunuhku?'Sosok ber-hoodie maju, melayangkan pisaunya ke leher Zhafran. Gegas Zhafran menarik kepalanya ke belakang. Sosok ber-hoodie susul melayangkan pisau ke perut Zhafran. Untung saja Zhafran sigap menarik p
"Pokoknya, Papah ingin kamu hukum seberat-beratnya Bima ini, Bry!" Mata Tuan Besar memerah, menatap nyalang ke sosok ber-hoodie semalam. 'Jadi, nama dia Bima. Apa sapu tangan itu miliknya? Apa dia yang sudah mendorongku ke kolam? Kenapa dia mau membunuh saya?' batinku bertanya-tanya seraya menatap tajam pria yang bernama Bima itu.Melihat kami yang barusan datang, membuat ketiga pria beda usia itu serempak mengalihkan pandangan. Bryan memindai diriku dari ujung kaki sampai kepala. Aku perhatikan, tatapan Bryan begitu intens. Tidak lama kemudian, dia membuang pandangan. "Lo? Masih ada muka lo kemari!"Zhafran yang melihat Bima langsung menyerangnya. Melayangkan pukuluan beruntun ke wajah Bima. "Kenapa lo pengen bunuh Nilfan? Siapa yang udah nyuruh lo?" Zhafran terus memukul Bima, sedangkan Bima hanya pasrah tanpa perlawanan. Bima terjatuh, Zhafran lanjut menendang-nendang perutnya. Membuat Bima mengerang keras seraya
"Apa yang pengen lo tau? Hmm ...." Zhafran kembali berujar dengan berat. Dia menangkup sebelah pipiku. Aku mulai merasa tidak nyaman dengan tingkah Zhafran. Apalagi berada di dalam sebuah kamar dan sedekat ini. Aku membuka mata, menatap wajah Zhafran yang hidungnya sedikit lagi akan menempel dengan hidungku. Aku menarik kepala ke belakang. Namun, Zhafran menahan tengkukku. Membuat kening kami kembali menempel. Aku makin gelisah dibuatnya. Takut Zhafran bertindak kurang ajar. "Lo mau tau apa tentang Naila? Gue mau ngasi lo info, asal ada bayarannya ...." Zhafran tersenyum smirk dengan tatapan nanar seraya mendekatkan bibirnya. Aku berusaha melepaskan cekalannya seraya menarik kepalaku menjauh, tetapi Zhafran terus menahan tengkukku. Aku kalap, benar-benar emosi dengan perlakuan Zhafran. Sebelum dia melakukan hal yang tidak diingankan, gegas aku mengangkat kaki, mendengkul bagian tengahnya. "Ouhh!" Zhafran melenguh keras samb
"Siapa yang sudah menghamili Kak Naila, Bi?" Aku bertanya lagi. Tatapan tajam kulemparkan kepada Bi Inah yang mulai terlihat salah tingkah. Melirik kanan kiri dengan ekspresi khawatir juga takut. 'Kenapa reaksi Bi Inah seperti itu?' batinku mulai mencurigai tingkah Bi Inah yang terlihat aneh. "Bi?" panggilku yang langsung membuat pandanganya terhenti menatapku, "siapa, Bi?" lanjutku bertanya dengan penuh penekanan. "Bibi, 'kan, sudah bilang kalau kematian Naila itu karena kecelakaan. Dan soal Naila hamil? Kamu ngada-ngada saja, Nil! Naila sama sekali enggak hamil!"Bi Inah berucap setengah berteriak. Dia menepis tanganku, lelu mengayunkan kaki menjauh. Aku gegas mengejarnya, mencekal kembali tangan yang sedikit kurus itu. "Saat Nilfan memandikan jenazah Kak Naila, Nilfan lihat perut Kak Naila membuncit. Perkiraan hamilnya itu sudah memasuki bulan kelima atau enam. Para pelayat juga menyadari hal itu, membuat mereka
Aku menyusuri setiap sisi arae kolam yang luas itu. Namun, barang yang kucari sudah tidak ada di tempatnya. Tidak ada apa-apa, selain bangku panjang dan meja bundar di samping sana. "Ke mana sapu tangan itu?" gumamku mengedarkan pandangan ke seluruh area kolam."Siapa orang itu? Kenapa dia ingin membunuhku? Benarkah orang itu Bryan?" Aku mengingat-ingat seseorang yang mendorongku kemarin malam. Pandanganku terhenti di balik tanaman bunga bugenvil. Ada seorang pria tua bertumbuh tambun sedang menatapku dengan mata memerah di sana. Pak Aji. Dia memandangku penuh ketidaksukaan. Aku hanya memandangnya dalam diam, bingung harus apa. Pria tua itu pasti sekarang terpukul atas kejadian yang menimpa anaknya. "Permisi, Pak." Aku mengangguk sopan. Namun, dia tetap pandangan tajamnya. Pasti dia sangat marah denganku karena sudah menjadi penyebab putra satu-satunya mendekam di penjara. Aku melangkah menuju ke kamar. Namun, ketika ba
Ketika sedang berusaha meraih kotak karton itu, aku terlonjak kaget tiba-tiba mendengar suara seseorang dari belakang. Bersamaan dengan itu, kakiku tergelincir dari kursi belajar. "Kyaa ...."Aku terjatuh dari kursi. Tidak disangka, tubuhku akan ditangkap pemuda berandalan itu. Mata elangnya itu menatap dengan intens, sedangkan aku terpaku di pangkuannya dengan mata membulat sempurna. Takut karena sudah ketahuan memeriksa kamar Bryan dan malu karena jatuh di pangkuannya. Untuk beberapa saat, pandangan kami saling beradu. Aku seperti hanyut dalam netra cokelat Zhafran yang tajam. Sampai kejadian di kamarnya tadi pagi terlintas di kepala, di mana Zhafran berusaha kurang ajar terhadapku. "Turunkan saya!" seruku menggoyang-goyangkan kaki menendang ke depan. Zhafran seperti orang yang sedikit terkesiap. Dia membuang pandangan sekilas, lalu melepaskan gendongannya tiba-tiba. "Aooooww!" jeritku kesakitan kala bokong mendarat d
Mendengar perkataan serta melihat raut wajah Zhafran yang horor, sontak membuatku menelan saliva dengan susah payah. Gegas aku menarik telapak tangan dari daun pintu dengan berat hati. Bukan tidak rela Zhafran menutup pintu kamarnya, tetapi aku sangat ingin sekali mendapatkan jawaban dari pertanyaanku. Setelah menarik tanganku, Zhafran menutup begitu saja pintu kamarnya dengan keras. Membuatku sedikit terlonjak kaget mendengar dentaman pintu kamarnya. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu meniup poni hingga tersibak. "Saya yakin, kamu tau sesuatu. Bagaimanapun caranya, saya akan buat kamu untuk memberiku informasi tentang Kak Naila. Bagaimanapun caranya!" tekadku yakin menatap tajam pintu kamar Zhafran yang tertutup. Terkadang, aku bingung dengan pria itu. Sifatnya sering berubah. Sebentar baik, sebentar lagi seperti monster. Atau mungkin aku yang terlalu cepat mengambil kesimpulan kalau dia seorang pria yang baik, tetapi ternyata mema
Mobil terus melaju, menjauh dari rumah Zhafran. Tidak lama kemudian, mobil dilajukan dengan kencang. Membuat mataku membulat merasakan mobilnya melesat dengan kencang. Namun, aku tetap membekap mulut seraya menutup mata di balik kursi kemudi. 'Saya memang pengen sekali jalan-jalan keluar untuk melihat kota, tapi bukan bersama pria berandalan ini!' keluhku dalam hati. Aku sangat takut, jangan sampai ketahuan oleh Zhafran. Tidak ingin dikatakain lancang lancang lagi. Yah, walaupun memang benar. Tidak seharusnya aku naik ke mobil orang tanpa izin. Perlahan, aku membuka kelopak mata. Melihat keluar jendela. Mataku takjub melihat pemandangan kota. Gedung-gedung besar yang menjulang tinggi sering kali berlarian di kaca mobil. Terkadang mobil Zhafran melewati monumen patung yang terkenal. Ingin rasanya aku bangkit dan melihat lebih. "Ok, sebentar lagi gue bakal sampai."Suara Zhafran mengembalikan keteganganku. Aku kembali membekap
Aku menatap langit-langit kamar tanpa berkedip. Sekarang sudah dini hari, tetapi mataku takkunjung tertidur. Pikiranku terngiang-ngiang dengan perkataan yang terlontar beberapa jam yang lalu. “Saya maunya sama kamu, Zhafran. Nggak mau sama yang lain!”Ucapan itu spontan keluar, tidak lupa juga aku memeluk lengannya. Sontak saja hal itu mengundang tawa Bryan dan yang lainnya. Rasanya sangat memalukan saat Zhafran mengatakan aku ‘cewek agresif’. Setelah kejadian itu, aku kabur ke kamar. Namun, beberapa menit kemudian, kembali lagi ke ruang tamu untuk memberikan bantal juga selimut pada kedua saudara itu, tentunya tampa berani menatap wajah Zhafran. Angel dan Kesya kuajak tidur bersama di kamarku. Sementara Bryan dan Zhafran tidur di ruang tengah. Aku meminta mereka untuk menginap saja, sebab tidak ada penginapan di dekat kampungku ini. Dengkuran Kesya membuyarkan lamunanku. Aku memunggunginya, memilih memeluk Angel. Kuharap, m
Ibu berjalan pelan sambil memandang lekat kedua pemuda yang sebagai anggota kepolisian itu. Tangan Ibu perlahan terangkat ke udara, aku pikir Ibu akan menampar Bryan, tetapi ternyata dia mendaratkan telapak tangannya di bahu sang polisi itu.“Terima kasih, Nak. Kalian begitu baik.” Sebuah usapan kecil, Ibu berikan di pundak yang tegap itu. Aku mengembuskan napas lega. Sepertinya Ibu telah paham dengan semua yang terjadi. Beberapa hari yang lalu saat membantunya memasak di dapur, aku menceritakan garis besar selama kehidupanku di kota. Aku juga bercerita tentang Zhafran dan Bryan yang selalu membantuku dari masalah. Aku juga bercerita bahwa yang menghamili Kak Naila adalah Pak Burhan---ayah tiri kedua pemuda anggota polisi tersebut. Waktu aku bercerita hari itu, Ibu tidak merespon apa pun. Aku maklum, mungkin Ibu masih marah atau entahlah. Tapi malam ini, aku perhatikan kemarahan Ibu sudah sirna semua. Syukurlah. “Nilfan!”Aku tersentak
Iblis itu, dia yang mengakibatkan tewas dan hancurnya hidup Kak Naila ada di sini. Dia muncul dari balik pintu dengan senyuman sinis yang menjijikkan. Bersama Jaki dan beberapa pria bertubuh tegap khas seorang bouncer. “Apa kabar, Nilfan?” Pak Burhan mendekat. Sementara anak buah Jaki menutup pintu. Aku menelan ludah susah payah, takut mereka sampai menyakiti Ibu. Pandangan ini menoleh ke Angel, hatiku terasa diremas mengetahui para iblis ini dia yang membawanya. Pantasan saja dia meminta alamat rumahku tempo hari. “Maafin gue, Nil. Ketika kami nyari pekerjaan di mall-mall, kami ditangkap sama anak buah Jaki. Mereka nyandra Kesya.” Lirihnya menatapku dengan mata basah. “Gue nggak ada pilihan lain buat nyelametin hidup Kesya.”Aku termenung mendengar penjelasannya. “Terus, sekarang gimana keadaan Kesya?” tanyaku turut prihatin. “Dia sekarang disekap di gudang klub.” Angel menatapku dengan mata basah. Terjawab sudah keanehan y
Pekikan Erlin yang sebab kupelintir tangannya, mengundang beberapa pasang mata untuk melihat. Teman-teman Erlin hanya meringis melihat ketua geng mereka memerah wajahnya menahan rasa sakit yang kuberikan.“Kalau kamu berani bicara sembarangan lagi soal ibuku, saya patahkan tangan kurusmu ini!” Aku menyentak tangan Erlin, membuat wanita itu terempas menubruk para teman-temannya.Seorang ibu-ibu datang mendekat dengan mata mendelik tajam, dia ibunya Erlin. “Heh, Nilfan! Kamu baru pulang kampung, udah bikin ulah aja. Apa itu yang kamu pelajari selama di kota?!” Ucapan ibu itu disahuti beberapa orang tua lainnya. “Iya.” Aku menyahut santai, lalu membuang pandangan. Tidak ada gunanya meladeni mereka semua. Keadaan ibu jauh lebih penting sekarang. **“Asalamualaikum.” Aku mengetuk pintu rumah. Lantas, menerobos masuk. Andy sudah mengirimkan pesan sebelumnya, bahwa rumah ibu tidak dikunci. Andy menungguku pulang d
Hari sudah menjelang malam, bunyi azan berkumandang merdu dari masjid sekitar. Aku memutuskan untuk menghadap sang Maha Pencipta terlebih dahulu, baru melanjutkan perjalanan ke apartemen Bryan. Setelah berpikir sejenak tadi, aku memutuskan untuk meminta perlindungan pada kepolisian saja, dan masih akan tetap berada di kota. Bekerja dan membayar utang-utangku. "Kalian nggak mau ikut sholat, Kes, El?" Aku menatap kedua sahabatku yang hanya berdiri jauh dari bangunan masjid. Sesekali Kesya menarik rok mininya agar menutupi paha putihnya. Dia terlihat risi datang ke tempat seperti ini dengan pakaian seksinya. "Nggak usah, lain kali aja kami, Nil." Angel menyahut, lalu menarik pergelangan tangan Kesya pergi duduk di warung bakso di seberang jalan.Aku mengembuskan napas panjang. Tidak apa, nanti aku akan usaha membujuk mereka untuk salat. Maklum, pasti mereka malu untuk menghadap Sang Maha Pencipta, seperti aku kemarin. Segera aku melaksan
"Sialan!" Pak Sopir yang memakai kemeja biru itu mengumpat. Dia kesusahan untuk mengendalikan laju mobilnya. Sementara kami bertiga yang duduk di kursi penumpang, saling pandang ketakutan. Menyadari mobil siapa yang menyerempet taksi ini. Mobil Jaki. "Jalan terus, Pak. Mereka itu para perampok!" Angel mendesak sambil menepuk cepat bahu Pak Sopir. Aku menoleh ke belakang, terlihat di kejauhan sana beberapa kendaraan bermotor juga datang mendekat. Astaga … seaksi inikah nasibku sekarang? Harus kabur seperti seorang buronan. "Stop! Woy, stop!" Kaca mobil dipukul-pukul oleh salah satu pengendara bermotor. "Mereka tau dari mana sih, kalau kita ada di mobil ini?" Kesya sangat panik. "Kemungkinan besar sedari kita ninggalin klub malam tadi, mereka semua udah ngikutin kita." Angel menjawab sambil mengeluarkan sesuatu dari tas tangannya. Sebuah botol parfum. Lantas, menurunkan kaca mobil dan menyemprotkannya ke pengendara
Kilau mentari perlahan-lahan datang menembus kaca bening di samping kamar ini. Aku memilih untuk mencuci muka yang kusut. Tidurku semalam sangatlah tidak nyenyak. Semalaman aku berpikir bagaimana caranya agar mengembalikan uang Nyonya Arelia. Ingin melaporkan Zhafran-lah yang menabrak Ibu dulu, tapi aku tidak punya kemampuan untuk hal itu. Entahlah, kasihan juga sedikit segan. Zhafran sudah sangat banyak menolongku dari penjahat. Mana mungkin aku akan melaporkan dia. Ketika keluar dari kamar mandi, aku sedikit tertegun ketika melihat wanita paruh baya berpakaian sederhana datang ke kamar rawatku. Bi Inah. Dia datang kemari sepagi ini. Apakah sang Nyonya Besar itu tidak melarang? "Nilfan, bagaimana keadaanmu?" Bi Inah langsung memegang lenganku, memapah diri ini seperti aku pincang saja. Padahal hanya keningku yang tercedera, dan sekarang sudah lumayan membaik. "Alhamdulillah, baik, Bi." Aku mengangguk, lalu duduk di ranjang rumah sakit.
Aroma antibiotik begitu menyengat menggelitik indra penciuman. Alisku mengernyit, ketika pandangan ini dipenuhi dengan ruangan bernuansa putih. Tangan meraba kening yang terasa memberat. Keningku dalam keadaan terbalut. Pandangan ini mengedar ke sekeliling. Ruangan ini seperti … rumah sakit. Perlahan aku bangkit dari ranjang yang begitu empuk. Untuk sesaat, kepalaku terasa berat. Namun, lambat laun, kepala ini terasa ringan. "Astaga, bajuku!" Aku menyilangkan tangan di dada. Bajuku yang basah kuyup akibat terjebur ke laut tadi, telah digantikan dengan baju rumah sakit. "Pasti para suster yang menggantinya," gumamku mencoba bepikir positif. Pasalnya, pikiranku kembali dikuasai oleh pria berandalan itu. Jangan sampai dia lagi yang mengganti bajuku. Aku menjatuhkan kaki ke lantai. Begitu dingin, terlebih aku yang tidak memakai alas apa pun. Ruangan ini begitu sepi. Tidak ada satu orang pun di sini. Sempat berharap tadi, Zhafran akan men
Terdengar sesuatu tercebur ke dalam air. Sambil menahan napas yang hampir habis, aku memaksa melihat hal tersebut. Seorang pria bermata elang segera berenang menghampiriku. Dia meraih tanganku yang yang hampir jatuh ke dasar laut. Meraih dan mendekapku. Lantas, mendekatkan bibirnya. Menyalurkan udara kepadaku. Mata ini sontak saja membulat mendapat serangan dadakan itu. Berpikir, Zhafran masih saja sempat-sempatnya modus dalam situasi seperti saat ini. Namun, sesaat setelahnya aku bersyukur dia ternyata datang menyelamatkanku. Dia kembali menjadi pahlawan untukku. Zhafran melepaskan bibir ini dan aku kembali berusaha menahan napas. Lantas, Zhafran segera menarik tubuhku naik ke atas. "Uhuk, uhuk, uhuk!" Aku terbatuk-batuk keras sambil memeluk erat leher Zhafran. Rasanya tenggorokan dan hidungku memerih. Belum juga rasa perih yang ada di keningku usai dihantam dinding kapal tadi. "Lo mau buat gue tiada apa?" dengkus Zhafran berusaha m