Mobil terus melaju, menjauh dari rumah Zhafran. Tidak lama kemudian, mobil dilajukan dengan kencang. Membuat mataku membulat merasakan mobilnya melesat dengan kencang. Namun, aku tetap membekap mulut seraya menutup mata di balik kursi kemudi. 'Saya memang pengen sekali jalan-jalan keluar untuk melihat kota, tapi bukan bersama pria berandalan ini!' keluhku dalam hati. Aku sangat takut, jangan sampai ketahuan oleh Zhafran. Tidak ingin dikatakain lancang lancang lagi. Yah, walaupun memang benar. Tidak seharusnya aku naik ke mobil orang tanpa izin. Perlahan, aku membuka kelopak mata. Melihat keluar jendela. Mataku takjub melihat pemandangan kota. Gedung-gedung besar yang menjulang tinggi sering kali berlarian di kaca mobil. Terkadang mobil Zhafran melewati monumen patung yang terkenal. Ingin rasanya aku bangkit dan melihat lebih. "Ok, sebentar lagi gue bakal sampai."Suara Zhafran mengembalikan keteganganku. Aku kembali membekap
Aku mendengar suara Zhafran memerintah. Lantas, dua orang pria datang mendekat. Mencekal kedua lengan ini, menarikku untuk bangun. "Lepas!" Aku memberontak hendak menarik tangan dari mereka. Namun, kedua pria itu mencekalnya kuat. Pandanganku masih saja memburam akibat efek tendangan di wajah yang sangat keras tadi. Kurasakan juga mulutku mengeluarkan darah yang begitu banyak. Aku mengerjapkan mata dengan keras, lalu menggeleng kuat. Berharap bisa mengembalikan kejernihan pandangan. "Lepas! Lepaskan saya!" Aku masih terus memberontak pada kedua pria itu. Perlahan-lahan pandanganku mulai jernih. Aku melihat Zhafran berjalan mendekat ke diri ini dengan raut dinginnya. Mata elang itu, seolah-olah tombak yang ia hujamkan kepadaku. Sekarang, jarak kami hanya sekitar satu langkah saja. Aku menatap Zhafran dengan intens disertai dada yang naik turun dengan cepat. Lantas, aku menundukkan pandangan. Tidak ingin lagi menatap mata taj
Tubuhku yang diempaskan ke ranjang dengan kasar, membuatnya sedikit mengambul beberapa kali diakibatkan ranjang yang begitu empuk. Aku memandang Zhafran takut yang berdiri marah di hadapanku. Dalam sekejap, pria itu sudah menahan tubuhku dalam kungkungannya. Dia menahan kedua tanganku, menekannya pada ranjang. Tatapan tajam, ia lemparkan kepadaku. Ibarat mata tombak runcing dan berkilap yang ia hujamkan ke diri ini. Jarak kami sekarang hanya sekitar setengah jengkal saja. Membuat jantungku berdebar tidak karuan, melihat raut wajah Zhafran yang mengerikan seperti monster. "Kenapa lo suka banget nyari masalah, Nilfan? Hmm ...." Zhafran bertanya seraya berbisik mengerikan di samping telingaku. Membuat diri ini benar-benar risi dengan jarak yang seintim ini. "Me-menjauh dariku." Lirih, aku berucap. Degup jantung tidak bisa kukendalikan. Telapak tangan dan kakiku benar-benar sangat dingin. Takut jangan sampai Zhafran berbuat hal
Mendengar pertanyaanku, raut Zhafran berubah. Sulit untuk aku artikan. Terlihat seperti ekspresi orang yang sedikit terkejut, kesal, juga bingung. Atau mungkin aku yang salah mengartikan ekspresi di wajahnya itu? Zhafran hanya menatapku dalam diam, tidak menjawab pertanyaan yang kuajukan. Tangannya masih aku genggam, tidak akan mengizinkan dia pergi sebelum menjawab pertanyaanku. "Saya hanya ingin tau tentang Kak Naila selama bekerja di rumah kalian." Aku berucap lirih, memelas menatap Zhafran. Berharap dia kasihan dan memberi informasi tentang Kak Naila. Namun, pria itu tetap bergeming. Bahkan sekarang, raut wajahnya kembali lagi dingin menatapku. Suasana menjadi sunyi. Sangat sunyi, tidak terdengar suara apa pun dari Zhafran, sekitar, ataupun dariku. Semua mendadak hening. 'Buurrr!'"Sial!" gumamku mengumpat seraya membuang muka kala mendengar perutku berbunyi keras. Lantas, aku menunduk dalam. Sedari tadi, aku menaha
Teriakanku menggema di dalam ruangan yang luasnya sekitar 8×10 ini, sedangkan sang pria di sampingku hanya melirik dengan raut datar seraya menutup kuping. Aku gegas bangun dari ranjang seraya menarik selimut menutupi tubuh sampai ke batas leher. Memandang Zhafran dengan mata mengembun.Terlihat, Zhafran hanya mengenakan celana jeans panjang yang robek-robek di bagian lutut itu, sedangkan bagian tubuh atasnya tampak polos. Memamerkan dada bidang serta perut kotak-kotaknya. Zhafran tidak menghiraukan diriku yang sedang menahan emosi. Dia malah sibuk menunduk, bermain game di ponselnya. "A-apa ... apa yang terjadi?" tanyaku tercekat. Mata mendelik ketakutan kala melihat dada Zhafran yang penuh dengan bekas tanda merah. Zhafran melirikku sekilas, lalu kembali membelai-belai layar ponselnya. "Ya, begitulah," sahutnya singkat terdengar menjijikan. Aku melirik kiri kanan dengan cepat, mencoba mengingat memori semalam. Setelah maka
Zhafran menarik diriku untuk berdiri. "Lepas!" Sontak aku menepis tangannya, mundur dengan tatapan waspada. Lagi-lagi Zhafran tersenyum smirk. "Abisnya, lo itu benaran polos apa cuman pura-pura polos, sih?" Hal begitu aja enggak tau!"Aku kembali memperhatikan seluruh pakaian. Lantas, menyelisik wajah beralis tebal itu, mencari-cari apakah ada raut kebohongan atau tidak. "Benaran enggak terjadi apa pun, 'kan, semalam?" tanyaku pelan. Zhafran mendengkus seraya membuang muka. "Hmm!" "Lagipula, gue nggak tertarik sama bodi mistar kayak lo." Zhafran memindai diriku dengan tampang remeh. Walaupun dia mengejek, tetapi aku mengembuskan napas lega. Syukurlah tidak terjadi apa-apa"Btw, yang tadi itu manis juga." Zhafran mengulum bibirnya seraya menatapku aneh. Sontak aku mengingat perlakuannya yang tanpa permisi menyambar bibirku tadi. Emosi kembali melandaku. "Dasar mesum!" geramku m
Zhafran ikut menatap ke arahku dengan tajam. Seolah-olah memberi kode agar jangan memberi tahu pria di hadapanku itu, 'kami habis dari mana.' "Dari ...." Aku bingung harus menjawab apa. Alis sambung menyambung yang dimiliki Bryan, berhasil membuatku salah tingkah kala alis tersebut dinaikkan sebelah. "Urusan lo apa?" sela Zhafran menatap malas ke kakaknya. "Ya, aku cuman pengen tau aja kalian habis dari mana? Cuman itu." Bryan tersenyum simpul. Pesonanya itu, selalu mampu membuat hati siapa saja menjadi adem melihatnya. Pagi ini, Bryan yang mengenakan kaus oblong berwarna cokelat dan celana joger loreng, begitu sangat tampan dengan rambut basah yang sesekali masih menetes. Sepertinya, dia terburu-buru hendak ke kantor. Sampai lupa mengeringkan rambutnya. "Jalan-jalan," jawab Zhafran. "Sepagi ini?" Alis tebal Bryan bertaut, membuatnya makin menyatu. "Kamu ngajak anak orang pagi-pagi begini ke mana?""Kenap
Terpampang dalam lemari, di rak bagian tengah ada beberapa daster dengan warna dan motif yang berbeda tersusun rapi di sana. Kak Naila memang sangat suka memakai yang namanya daster. Berbagai ukuran dan jenis ia suka kenakan. Sangat bertolak belakang denganku yang sama sekali dan tidak pernah menyentuh jenis pakaian itu. Menurutku, akan sangat susah bergerak jika memakai daster. Aku tidak akan bisa menendang seseorang, jika ada yang kurang ajar. Aku memilah satu per satu pakaian milik Kak Naila, lalu mencoba mengendusnya. Bau tubuh Kak Naila masih menempel di pakaian tersebut. Seketika saja aku dilanda kerinduan akan sosoknya. Rindu dengan sikap lembutnya yang selalu sabar menghadapi tingkah jailku. "Nilfan kangen Kakak ...." Setetes bulir air mata jatuh begitu saja. Kedua sudut bibirku tertarik dengan paksa ke atas kala melihat sebuah sweater kuning dilipat rapi. Disimpan paling bawah di antara tumpukkan daster. Itu sweater yang kuberikan kep
Aku menatap langit-langit kamar tanpa berkedip. Sekarang sudah dini hari, tetapi mataku takkunjung tertidur. Pikiranku terngiang-ngiang dengan perkataan yang terlontar beberapa jam yang lalu. “Saya maunya sama kamu, Zhafran. Nggak mau sama yang lain!”Ucapan itu spontan keluar, tidak lupa juga aku memeluk lengannya. Sontak saja hal itu mengundang tawa Bryan dan yang lainnya. Rasanya sangat memalukan saat Zhafran mengatakan aku ‘cewek agresif’. Setelah kejadian itu, aku kabur ke kamar. Namun, beberapa menit kemudian, kembali lagi ke ruang tamu untuk memberikan bantal juga selimut pada kedua saudara itu, tentunya tampa berani menatap wajah Zhafran. Angel dan Kesya kuajak tidur bersama di kamarku. Sementara Bryan dan Zhafran tidur di ruang tengah. Aku meminta mereka untuk menginap saja, sebab tidak ada penginapan di dekat kampungku ini. Dengkuran Kesya membuyarkan lamunanku. Aku memunggunginya, memilih memeluk Angel. Kuharap, m
Ibu berjalan pelan sambil memandang lekat kedua pemuda yang sebagai anggota kepolisian itu. Tangan Ibu perlahan terangkat ke udara, aku pikir Ibu akan menampar Bryan, tetapi ternyata dia mendaratkan telapak tangannya di bahu sang polisi itu.“Terima kasih, Nak. Kalian begitu baik.” Sebuah usapan kecil, Ibu berikan di pundak yang tegap itu. Aku mengembuskan napas lega. Sepertinya Ibu telah paham dengan semua yang terjadi. Beberapa hari yang lalu saat membantunya memasak di dapur, aku menceritakan garis besar selama kehidupanku di kota. Aku juga bercerita tentang Zhafran dan Bryan yang selalu membantuku dari masalah. Aku juga bercerita bahwa yang menghamili Kak Naila adalah Pak Burhan---ayah tiri kedua pemuda anggota polisi tersebut. Waktu aku bercerita hari itu, Ibu tidak merespon apa pun. Aku maklum, mungkin Ibu masih marah atau entahlah. Tapi malam ini, aku perhatikan kemarahan Ibu sudah sirna semua. Syukurlah. “Nilfan!”Aku tersentak
Iblis itu, dia yang mengakibatkan tewas dan hancurnya hidup Kak Naila ada di sini. Dia muncul dari balik pintu dengan senyuman sinis yang menjijikkan. Bersama Jaki dan beberapa pria bertubuh tegap khas seorang bouncer. “Apa kabar, Nilfan?” Pak Burhan mendekat. Sementara anak buah Jaki menutup pintu. Aku menelan ludah susah payah, takut mereka sampai menyakiti Ibu. Pandangan ini menoleh ke Angel, hatiku terasa diremas mengetahui para iblis ini dia yang membawanya. Pantasan saja dia meminta alamat rumahku tempo hari. “Maafin gue, Nil. Ketika kami nyari pekerjaan di mall-mall, kami ditangkap sama anak buah Jaki. Mereka nyandra Kesya.” Lirihnya menatapku dengan mata basah. “Gue nggak ada pilihan lain buat nyelametin hidup Kesya.”Aku termenung mendengar penjelasannya. “Terus, sekarang gimana keadaan Kesya?” tanyaku turut prihatin. “Dia sekarang disekap di gudang klub.” Angel menatapku dengan mata basah. Terjawab sudah keanehan y
Pekikan Erlin yang sebab kupelintir tangannya, mengundang beberapa pasang mata untuk melihat. Teman-teman Erlin hanya meringis melihat ketua geng mereka memerah wajahnya menahan rasa sakit yang kuberikan.“Kalau kamu berani bicara sembarangan lagi soal ibuku, saya patahkan tangan kurusmu ini!” Aku menyentak tangan Erlin, membuat wanita itu terempas menubruk para teman-temannya.Seorang ibu-ibu datang mendekat dengan mata mendelik tajam, dia ibunya Erlin. “Heh, Nilfan! Kamu baru pulang kampung, udah bikin ulah aja. Apa itu yang kamu pelajari selama di kota?!” Ucapan ibu itu disahuti beberapa orang tua lainnya. “Iya.” Aku menyahut santai, lalu membuang pandangan. Tidak ada gunanya meladeni mereka semua. Keadaan ibu jauh lebih penting sekarang. **“Asalamualaikum.” Aku mengetuk pintu rumah. Lantas, menerobos masuk. Andy sudah mengirimkan pesan sebelumnya, bahwa rumah ibu tidak dikunci. Andy menungguku pulang d
Hari sudah menjelang malam, bunyi azan berkumandang merdu dari masjid sekitar. Aku memutuskan untuk menghadap sang Maha Pencipta terlebih dahulu, baru melanjutkan perjalanan ke apartemen Bryan. Setelah berpikir sejenak tadi, aku memutuskan untuk meminta perlindungan pada kepolisian saja, dan masih akan tetap berada di kota. Bekerja dan membayar utang-utangku. "Kalian nggak mau ikut sholat, Kes, El?" Aku menatap kedua sahabatku yang hanya berdiri jauh dari bangunan masjid. Sesekali Kesya menarik rok mininya agar menutupi paha putihnya. Dia terlihat risi datang ke tempat seperti ini dengan pakaian seksinya. "Nggak usah, lain kali aja kami, Nil." Angel menyahut, lalu menarik pergelangan tangan Kesya pergi duduk di warung bakso di seberang jalan.Aku mengembuskan napas panjang. Tidak apa, nanti aku akan usaha membujuk mereka untuk salat. Maklum, pasti mereka malu untuk menghadap Sang Maha Pencipta, seperti aku kemarin. Segera aku melaksan
"Sialan!" Pak Sopir yang memakai kemeja biru itu mengumpat. Dia kesusahan untuk mengendalikan laju mobilnya. Sementara kami bertiga yang duduk di kursi penumpang, saling pandang ketakutan. Menyadari mobil siapa yang menyerempet taksi ini. Mobil Jaki. "Jalan terus, Pak. Mereka itu para perampok!" Angel mendesak sambil menepuk cepat bahu Pak Sopir. Aku menoleh ke belakang, terlihat di kejauhan sana beberapa kendaraan bermotor juga datang mendekat. Astaga … seaksi inikah nasibku sekarang? Harus kabur seperti seorang buronan. "Stop! Woy, stop!" Kaca mobil dipukul-pukul oleh salah satu pengendara bermotor. "Mereka tau dari mana sih, kalau kita ada di mobil ini?" Kesya sangat panik. "Kemungkinan besar sedari kita ninggalin klub malam tadi, mereka semua udah ngikutin kita." Angel menjawab sambil mengeluarkan sesuatu dari tas tangannya. Sebuah botol parfum. Lantas, menurunkan kaca mobil dan menyemprotkannya ke pengendara
Kilau mentari perlahan-lahan datang menembus kaca bening di samping kamar ini. Aku memilih untuk mencuci muka yang kusut. Tidurku semalam sangatlah tidak nyenyak. Semalaman aku berpikir bagaimana caranya agar mengembalikan uang Nyonya Arelia. Ingin melaporkan Zhafran-lah yang menabrak Ibu dulu, tapi aku tidak punya kemampuan untuk hal itu. Entahlah, kasihan juga sedikit segan. Zhafran sudah sangat banyak menolongku dari penjahat. Mana mungkin aku akan melaporkan dia. Ketika keluar dari kamar mandi, aku sedikit tertegun ketika melihat wanita paruh baya berpakaian sederhana datang ke kamar rawatku. Bi Inah. Dia datang kemari sepagi ini. Apakah sang Nyonya Besar itu tidak melarang? "Nilfan, bagaimana keadaanmu?" Bi Inah langsung memegang lenganku, memapah diri ini seperti aku pincang saja. Padahal hanya keningku yang tercedera, dan sekarang sudah lumayan membaik. "Alhamdulillah, baik, Bi." Aku mengangguk, lalu duduk di ranjang rumah sakit.
Aroma antibiotik begitu menyengat menggelitik indra penciuman. Alisku mengernyit, ketika pandangan ini dipenuhi dengan ruangan bernuansa putih. Tangan meraba kening yang terasa memberat. Keningku dalam keadaan terbalut. Pandangan ini mengedar ke sekeliling. Ruangan ini seperti … rumah sakit. Perlahan aku bangkit dari ranjang yang begitu empuk. Untuk sesaat, kepalaku terasa berat. Namun, lambat laun, kepala ini terasa ringan. "Astaga, bajuku!" Aku menyilangkan tangan di dada. Bajuku yang basah kuyup akibat terjebur ke laut tadi, telah digantikan dengan baju rumah sakit. "Pasti para suster yang menggantinya," gumamku mencoba bepikir positif. Pasalnya, pikiranku kembali dikuasai oleh pria berandalan itu. Jangan sampai dia lagi yang mengganti bajuku. Aku menjatuhkan kaki ke lantai. Begitu dingin, terlebih aku yang tidak memakai alas apa pun. Ruangan ini begitu sepi. Tidak ada satu orang pun di sini. Sempat berharap tadi, Zhafran akan men
Terdengar sesuatu tercebur ke dalam air. Sambil menahan napas yang hampir habis, aku memaksa melihat hal tersebut. Seorang pria bermata elang segera berenang menghampiriku. Dia meraih tanganku yang yang hampir jatuh ke dasar laut. Meraih dan mendekapku. Lantas, mendekatkan bibirnya. Menyalurkan udara kepadaku. Mata ini sontak saja membulat mendapat serangan dadakan itu. Berpikir, Zhafran masih saja sempat-sempatnya modus dalam situasi seperti saat ini. Namun, sesaat setelahnya aku bersyukur dia ternyata datang menyelamatkanku. Dia kembali menjadi pahlawan untukku. Zhafran melepaskan bibir ini dan aku kembali berusaha menahan napas. Lantas, Zhafran segera menarik tubuhku naik ke atas. "Uhuk, uhuk, uhuk!" Aku terbatuk-batuk keras sambil memeluk erat leher Zhafran. Rasanya tenggorokan dan hidungku memerih. Belum juga rasa perih yang ada di keningku usai dihantam dinding kapal tadi. "Lo mau buat gue tiada apa?" dengkus Zhafran berusaha m