“Halo, Pa. Cepat pulang, Mama jatuh di kamar mandi.” Suara Adelia terdengar begitu panik.
“Hah? Iya, Nak. Papa pulang, kondisi Mama gimana ini?” jawab Pak Ruslan, ia masih disibukkan dengan banyak pesanan furniture.
“Masih nggak sadar, Pa.”
“Sementara hubungi dokter Zul tetangga kita. Dia mau kok datang ke rumah, darurat ini. Papa segera pulang, Nak,” tutup Pak Ruslan.
Pak Ruslan meneguk kopi terakhirnya. Ia segera meraih kunci mobil yang tergantung di dinding ruang kerja. Beberapa konsumen yang sudah buat janji untuk datang, ia batalkan via pesan singkat. Ia mempercayakan semua pekerjaan pada seorang pekerja senior kepercayaannya. Kini yang ada di benaknya hanyalah Ratri Kecil, panggilan sayangnya untuk sang istri.
Istrinya dulu adalah teman sepermainan di kampung. Teman saling ejek dan teman mengaji di surau. Ratri sangat mirip dengan ibunya. Itulah asal panggilan Ratri Kecil. Sedang ibunya
David dan keluarganya sudah memasuki batas kota. Tidak ada rombongan besar, hanya ada keluarga inti ditambah Andra. Agar orang tuanya nyaman karena juga membawa bingkisan dan buah tangan, David memutuskan untuk menyewa mobil tiga baris. Andra menawarkan diri untuk mengemudi dari pada duduk di baris ketiga bersama barang bawaan. Sepanjang perjalanan ia sengaja banyak berkelakar, terutama dengan Bapak untuk menghilangkan ketegangan dan mencairkan suasana. Lima menit lagi mereka akan tiba di rumah Pak Ruslan. Perasaan David jadi semakin tak menentu. Dia antusias, tapi juga sekaligus cemas. Ia khawatir Pak Ruslan akan tak terkendali. Wajar saja yang ia tahu anak gadisnya telah dinodai. Jika memang akhirnya ia mengatakan perihal kehamilan Adelia, David hanya bisa pasrah. Kemarahan orang tuanya sudah pasti akan meledak. “Vid, santai aja lah ... tegang amat kaya mau disunat,” ledek Andra. “Hush! Andra, kamu jangan ngeledek terus, kamu ini belum merasakan lho!” ujar
“Maaf, Vid....”“Apa ini termasuk rencanamu dan Mama?” bisik David.“Nggak, Vid. Ini murni rencana Papa,” jawab Adelia.“Del, sini....” Bu Maryam melambai pada Adelia memintanya mendekat.Sesungguhnya Adelia merasa tak nyaman dengan permintaan Papanya. Apalagi tempo hari atas nama Papanya juga ia meminta untuk langsung melakukan lamaran alih-alih temu keluarga. Tapi untuk berargumen di depan orang tua David tentulah tak mungkin. Berisiko untuk menimbulkan pertanyaan lanjutan.“Kamu mau mas kawin apa, Nak?” tanya Pak Ahmad.Adelia terhenyak, ia bahkan belum membicarakan hal ini dengan David. Ia tentu ingin mas kawin yang spesial. Yang kekinian semisal uang berjumlah tanggal pernikahan atau tanggal ulang tahun. Sepertinya keinginan itu harus disimpan dalam-dalam. Dengan keputusan Papanya yang mendadak ini, hal yang paling mungkin adalah meminta mas kawin yang mudah dan bisa disanggupi
“Hai, Daud Vikri Darussalam bin Ahmad Darussalam.” “Ya, saya!” “Saya nikahkan putriku, Adelia Putri binti Ruslan Zain kepadamu, dengan mas kawin cincin emas seberat 5 gram dibayar tunai!” Pak Ruslan menghentakkan tangannya ke bawah. “Saya terima nikahnya, Adelia Putri binti Ruslan Zain dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” jawab David lantang. “Bagaimana saksi? Sah?” tanya Pak Zakaria. “Sah!” jawab Andra dan Pak Syahrul, paman Adelia kompak. “Alhamdulillah....” Pak Zakaria kemudian memimpin doa, melafalkan syukur dan pujian bagi Allah atas terlaksananya akad nikah David dan Adelia. David mengadahkan tangannya mengamini doa Pak Zakaria yang entah sudah berapa ayat. Tak ada kata yang tepat untuk mendeskripsikan perasaannya kini. Gadis cantik di sebelahnya kini sudah sah menjadi istrinya. Ia mengadahkan tangan dan mengamini doa yang sama. Sudah banyak hal yang mereka lewati penuh debar tak beraturan. Dan kini mereka akan memul
“Vid, gue ke kostan Lu aja ya?”“Lho, nggak di kostan Lu sendiri?” jawab David sekenanya.“Ada kerjaan gue, kostan Lu kan free WIFI.” Andra menyeringai di balik kemudi. “Pak, Bu, saya ijin nggak nganter sampe rumah ya?”“Iya, Ndra. Nggak apa, Ibu makasih lho udah dibantuin. Udah jadi saksi nikah segala. Maaf ngerepotin, ini harusnya si David ngasih apa gitu ke kamu, Ndra,” ujar Bu Maryam ramah.“Tuh, dengerin tuh, Vid. Ngasih apa kek? Mobil kek, atau rumah?” kelakar Andra.“Yee ... gue aja belum punya rumah. Itu kan udah gue kasih nginep di kostan gue plus fasilitasnya,” protes David.“Nanti aku kenalin sama temenku yang jomblo deh, Ndra. Mau nggak?” celetuk Adelia.Setelah peristiwa penting penuh debaran dan air mata, akhirnya Adelia bisa tenang. Duduk di mobil baris kedua diapit kedua mertua sungguh hal yang romantis, sedikit kik
“Ibu Bapak nggak masalah kan makan rendang?” “Nggak, emang kenapa, Del?” tanya David. “Ya nggak apa, berarti Bapak Ibu sehat, nggak ada darah tinggi gitu. Jadi nggak ada pantangan makan kan?” lanjut Adelia. “Insya Allah Bapak Ibu sehat, Del. Memang Papa Mama ada pantangan?” tanya Bu Maryam. “Kalo Papa nggak bisa makan yang kolesterol tinggi, Bu. Papa punya darah tinggi. Kalo Ibu nggak boleh banyak makan manis.” “Ooo ... nggak bisa makan enak dong?” tanya David. “Iya, makanya waktu kamu makan di rumah itu banyak lalapan dan ikan kan?” terang Adelia. David masih ingat bagaimana marahnya Pak Ruslan malam itu. Tamparan kerasnya dan matanya yang memerah amat cocok dengan riwayat darah tingginya. Namun pantangan Bu Ratri yang tak boleh banyak makan manis David masih meragukan. Ia setengah yakin bahwa ini alibi untuk mendukung pura-pura sakitnya Bu Ratri. Nanti akan ia tanyakan pada istrinya apa yang sebenarnya terjadi sampai mereka d
Pukul empat empat belas pagi, David membuka mata. Rasanya ia masih begitu mengantuk. Namun ia mendengar ada aktivitas di dapur. Itu pasti Ibu, selelah apa pun Ibu pasti terbangun sebelum subuh. Hal ini sudah ia lakukan berpuluh-puluh tahun. Mungkin selama ia sudah mengenal sholat subuh. Sedang Bapak biasanya sudah bangun sebelum Ibu. Bapak adalah seorang suami yang selalu tidur setelah dan bangun sebelum istrinya.David merasakan lengan kirinya kesemutan. Perempuan cantik itu masih terlelap berbantal lengan dan berguling tubuh suaminya. Hembusan napas Adelia yang teratur terasa hangat di dada David. David tersenyum, ia merasa beruntung sekali menjadi suami istrinya. Bahkan dalam kondisi tak sadar istrinya tetap mempesona. David gerakkan lengan kirinya perlahan, ia hendak bangun. Tapi pelukan istrinya tak mengijinkannya.“Sayang ... udah pagi, aku mau bangun dulu,” bisik David di telinga istrinya.Adelia menggeliat, ia hanya menggeram dan mengusap tel
Sudah dua hari Anjani tak menghubungi David. Tak ada notifikasi apa pun yang berasal dari pembimbing magangnya itu di gawainya. Anjani sengaja, ia ingin menjadikan hari ini spesial. Mungkin saja ini hari terakhirnya bertemu dengan David mengenakan jas almamater dan melihat lelaki itu mengajar di sekolah. Tiga bulan berlalu, cukup banyak hal terjadi di setengah waktu siangnya di sekolah. Apalagi di hati, banyak kejadian yang merobohkan kembali tatanan hatinya.Pukul tujuh kurang lima belas menit, Anjani tiba di sekolah. Rekan-rekan sesama mahasiswa magang hampir semuanya sudah hadir. Mereka sudah menyiapkan cinderamata untuk sekolah dan untuk pembimbing masing-masing. Sudah tak ada lagi kegiatan mengajar, mereka hanya berbincang ringan dengan guru-guru dan beberapa murid. Umumnya ke murid, karena kesan terdalam ada pada mereka.Tapi tidak untuk Anjani. Ia masih menanti kehadiran David yang tak berkabar dengannya sejak dua hari lalu. Bingkisan untuknya sudah ia siapkan d
“Apa? Kakak udah nikah? Sama Kak Adelia? Kapan?”Kedua mata Anjani berbinar-binar. Ia tersenyum dan begitu antusias. David mulanya meragu, tapi tak ada alasan lain selain mengatakan yang sebenarnya terjadi pada Anjani. Lagi pula ia hanya sebentar, Adelia menunggunya di mobil. Lelaki itu terlihat tak percaya dengan apa yang ia lihat. Anjani tidak hancur. Bahkan kelakarnya untuk menjadi istri David setelah lulus kuliah tadi seolah tak ada artinya.“Iya, kami sekarang suami istri, Jani.”Kedua insan itu saling terpaku. David sudah menyiapkan banyak iba untuk Anjani, ia juga sudah merelakan bila gadis itu nantinya tak akan lagi ada di hidupnya. Kini prioritasnya hanya Adelia, perempuan yang dua hari lalu ia nikahi. Sungguh berat menerima kenyataan ini.Anjani memandang kosong tatap lelaki di hadapannya. Kening lelaki itu mengernyit hingga ada lekukan di antara kedua alis matanya. Kenyataan pahit ini memang tak bisa ia hindari. Harapan
Pukul delapan belas empat belas menit David tiba di rumah. Mobilnya ia parkirkan di luar pagar tanaman, ketika ia pergi tadi halaman rumah berantakan dan ramai orang-orang yang membantu menyiapkan acara besok. Namun dari dalam mobilnya ia tak melihat aktivitas apa pun di halaman rumahnya. Tak ada juga nyala lampu besar yang sudah diinstalasi sejak tadi siang. Perlahan David keluar dari mobilnya. Langkah kakinya terhenti sejenak di halaman rumah. Hatinya penuh dengan tanya menyaksikan tak ada perubahan berarti dengan dekorasi pelaminan dan seluruh area resepsi. Tak juga terdengar suara aktivitas terutama ibu-ibu yang biasanya riuh bergurau di tengah-tengah pekerjaannya. Pintu rumahnya juga tertutup rapat. Sesuatu yang hampir tak pernah terjadi pada rumah Saiful Hajat. Suara anak kunci diputar dua kali, handel pintu di tekan dan muncul Bu Maryam. Wanita itu berjalan cepat ke arah David dengan wajah panik. Sampai di depan putranya, Bu Maryam tak juga mengucapkan sepatah kata pun. “Ada
“Apa aku bisa, Vid? Aku sempat putus asa, nggak ada yang mau ngerti aku. Papa selalu keras kepala dengan pemikirannya. Mama hanya menutup mata, dia nggak ingetin aku kalau aku salah,” ratap Adelia. Air bening mengalir di pipinya. Orang yang ia harapkan dan rindukan itu kini ada di sampingnya.“Kamu pasti bisa, Del. Aku dukung kamu. Sekarang bukan cuma kamu sendiri yang kamu pikirin. Ada nyawa di dalam rahimmu. Tolong tetap kuat untuk anak kita,” David mengusap air mata di pipi Adelia. “Kamu mau janji buatku?”“Aku janji, Vid,” angguk Adelia sambil tersenyum. Senyum pertamanya sejak mereka memutuskan untuk berpisah. Kehadiran lelaki ini sungguh mampu merubah pemikirannya. Semangatnya kembali tumbuh setelah tandas tak bersisa kemarin.“Alhamdulillah,” sahut David senang. Kedua mata insan yang pernah saling mencinta itu bertemu. Ada banyak energi yang David salurkan pada mantan istrinya. Sedang Adelia kemb
“Terima kasih sudah mau datang, Vid,” ucap Bu Ratri saat menyambut uluran tangan David.Wajah wanita itu berseri memandang wajah David yang lebih tinggi darinya. Jika saja lelaki di hadapannya masih suami Adelia, mungkin ia sudah memeluknya sejak melihatnya tadi. Bu Ratri sekuat hati menahan haru meski tak dapat ia sembunyikan dari air mukanya. Kedua netranya mengembun. Ditambah wajah cemas David yang berusaha segera melihat kondisi putrinya.“Gimana kondisi Adelia, Ma?” tanya David.“Sebelumnya maafkan kami, Vid, sudah mengganggu persiapan pernikahanmu,” ujar Bu Ratri sendu. Jauh di dalam hati tentu ia masih menginginkan David untuk kembali menjadi keluarganya. Meski sekarang sudah mustahil.“Mama nggak perlu pikirkan itu, aku nggak bisa lama di sini. Itu pun karena ada calon anakku di perut Adelia. Dan menurut Mama kehadiranku bisa memperbaiki kondisi Adelia,” ucap David lugas. Bagaimana pun pikirannya jug
“Apa?”Jemari David bergetar. Gawainya terlepas dan meluncur jatuh ke lantai pondok sebelum jatuh ke rumput. Kedua netra David mengembun, bibirnya ingin segera berkata-kata namun ada sesuatu yang mengganjal di dada. Bu Maryam mengernyitkan kening. Jantungnya berdegup kencang, sama seperti milik David.“Ada apa, Vid?” tanya Bu Maryam setelah mengambil gawai David dan meletakkan di lantai pondok. Panggilan dari Bu Ratri masih tersambung, namun ia biarkan saja. Ia tak sudi untuk berbincang dengan keluarga itu. Perlahan David menoleh ke arah ibunya. Air matanya sudah menggantung di pelupuk mata.“Adelia, Bu,” ucap David dengan suara bergetar.“Kenapa dengan anak itu?” Bu Maryam mulai mencemaskan kondisi yang terjadi pada putranya.“Adelia hamil, Bu, anakku....”Bu Maryam terperangah. Mulutnya terbuka, ia tutup separuh dengan jemarinya. Ia pikirkan cucunya di masa depan. Belum juga lahir
Halaman rumah Pak Ahmad sudah berdiri tiga plong tenda dengan hiasan kain berwarna marun dan emas. Beberapa ratus kursi plastik menumpuk di sudut teras. Pekerja dekorasi sibuk mondar-mandir menurunkan alat-alat yang akan digunakan untuk memperindah tempat resepsi pernikahan, utamanya pelaminan. Para wanita sudah sibuk mempersiapkan makanan untuk pengajian nanti malam dan akad nikah esok pagi.Meski berencana menggelar acara dengan sederhana, demi rasa tak enak yang tinggi kepada tetangga satu desa, akhirnya persiapan acara besok lebih dari batas sederhana versi David dan keluarganya. Beberapa penyedia perlengkapan acara seperti dekorasi pelaminan dan musik justru diberikan oleh tetangga tanpa memasang tarif.David baru saja selesai memberikan pagar sederhana pada kebunnya. Sekedar pembatas agar orang-orang tak bisa sesuka hati masuk ke dalam sumber mata pencahariannya itu. Saiful, Indra, Zul dan Shinta sudah ia minta untuk libur selama tiga hari. Namun mereka
Perempuan cantik dengan senyum penuh bahagia tercetak dan terpajang rapi dalam pigura di atas nakas. Tempat tidur empuk itu tak juga membuat nyaman penghuninya. Terbaring di atasnya seorang perempuan yang tampak kurus, sesekali bibir pucatnya melenguh mengindikasikan ada sakit yang ia rasa namun tak mampu ia utarakan. Kadang dari kelopak matanya yang cekung mengalir air mata yang jika dibiarkan akan masuk ke dalam lubang telinga.Ruang perawatan VVIP di sebuah rumah sakit ternama ini sudah Adelia tinggali lebih dari seminggu. Bu Ratri sengaja membawa foto dan beberapa barang kesayangan putrinya agar Adelia merasa seperti di kamar sendiri. Tidak ada kemajuan berarti selama Adelia di rawat. Selang infus yang tertancap di lengan kirinya itu lah yang sedikit mampu membuatnya terlihat lebih baik dari seharusnya.Tak ada keinginan dari Adelia untuk mencoba menyelamatkan hidupnya. Dulu ia berbohong kepada orang tua David tentang kondisi mamanya yang mengkhawatirkan. Kini hal
Seperangkat alat sholat dan sejumlah uang kuno untuk mengenapi nominasi angka hari kelahiran Seruni sudah David dapatkan. Gadis manis dengan sepasang gingsul itu akhirnya menyebutkan mas kawin yang diminta. Meski sebenarnya ia sudah merasa cukup dengan cincin pemberian Bu Maryam yang historis itu. Jika bukan karena desakan David, mungkin Seruni memiliki mas kawin yang sama dengan Adelia.Lusa, pernikahan kedua David akan digelar. Meski tak mengadakan resepsi besar, tetangga di Desa Air Tenang sudah membicarakannya sejak mereka melangsungkan lamaran. Mayoritas dari mereka menyayangkan rencana acara yang hanya digelar sederhana. Tak banyak yang tahu David sudah pernah melangsungkan pernikahan sebelumnya.David melangkah ringan memasuki rumah dengan membawa barang-barang yang diminta Seruni. Satu jam lagi ia akan menjemput calon istrinya itu yang sejak pagi ia tinggalkan di salon bersama dengan Laras. Ia ingin Seruni terlihat spesial di hari pernikahannya. Lagi, gadis itu
Kini giliran David yang tak banyak bicara. Sepanjang jalan sampai kembali ke rumah yang hanya berjarak lima belas menit, kata yang keluar dari mulutnya bisa dihitung dengan jari. Ia malas setengah mati dengan perilaku Seruni yang terus menerus larut dalam masa lalu. Bahkan ketika David sudah berusaha keras untuk melupakan. Dan Seruni tahu itu. Namun masa lalu David seperti menjadi prioritasnya.Mobil yang David kendarai sudah berhenti di halaman rumah orang tuanya sekaligus Wisata Edukasi Hidroponik miliknya. Lelaki itu memutar kontak mobil ke kiri dan segera keluar dari mobil. Ia ingin segera merebahkan diri di kasur busa single yang kempis namun terasa nyaman. Ruang tengah itu kini sudah menjadi kamar pribadinya. Langkahnya gontai, cermin dari aktivitas padatnya hari ini.Seruni berdiri mematung di sisi kiri mobil bercat putih itu. Tatapannya berubah ke bawah setelah punggung calon suaminya menghilang di balik pintu. Merutuk pada diri sendiri sudah ia lakuka
Long Macchiato, dua kata itu begitu membekas di telinga Seruni. Kata yang diucapkan Anjani dengan penuh kegembiraan di sorot matanya. David amat menggemarinya, mengapa Seruni sampai sekarang tak tahu? Sudah sejak siang setelah rombongan SMP 19 Trimarga pulang, gadis itu segera meramban internet guna mencari arti kata Long Macchiato. Varian kopi double expresso dengan steamed milk. Dari balik tirai kamar David yang selalu ia tempati ini, Seruni bisa melihat calon suaminya tengah mengawasi dua orang pekerjanya yang tengah memuat beberapa kantung besar hasil panen sore ini. Biasanya David akan mengantarkannya sendiri ke rekannya di Kotamadya yang bersedia menampung untuk dijual ke swalayan. “Apakah saat mengantar sendiri seperti ini Daud bertemu Anjani? Menikmati Long Macchiato buatan gadis itu sambil berbincang akrab,” batin Seruni. Gadis berambut gelombang sebahu yang selalu ia tutupi dengan jilbab itu mengusap kasar wajahnya. Mengapa ia begi