Pukul tujuh pagi, David terbangun karena suara tetangga kost menghidupkan motor tepat di depan pintu kamarnya. Suara melengking knalpot racing dan aroma emisi gas buang memaksanya bangkit dan membuka pintu kamar. Ia tampak melongok sebentar ke kamar sebelah, lalu ia matikan kontak motor tetangga dan menutup pintunya kembali. Pemilik motor biasanya akan menyadari kekeliruannya, menuntun motornya sampai depan lalu menghidupkan di sana.
David meraih gelas di atas galon air mineral, menekan tuas dispenser dan meneguk segelas air. Gawainya yang sejak semalam diisi ulang baterainya tampak menampilkan beberapa notifikasi. Biasanya hanya pesan grup yang kadang sengaja tak pernah ia buka atau bahkan dibisukan. Grup sekolah satu-satunya yang tidak ia bisukan karena urusan pekerjaan. Tapi hari ini David tidak ada jam mengajar. Ia abaikan gawainya, lalu masuk ke kamar mandi.
Air mengalir deras dari keran plastik yang dibuka maksimal ke dalam ember. David mengguyur kepalanya dengan air dalam gayung. Busa sampo mengalir ke bawah dan bercampur dengan busa sabun mandi. Sayup-sayup ia mendengar gawainya berdering. Ia hapal benar nada deringnya. Ia ambil handuk dan dibalutkannya pada tubuh bagian bawah.
Anjani? Ada apa? Pagi-pagi begini, David mencoba mengingat apa ia punya janji dengan mantan pacar tiga menitnya itu. Ia tak ingat apa pun, bahkan setelah peristiwa itu mereka tak pernah berkomunikasi lagi.
“Halo?” sapa David agak ragu.
“Halo, Kak. Ganggu nggak? Ada jam kah hari ini?” tanya Anjani dari seberang.
“Nggak ada. Kenapa, Jani?” David menyeka wajahnya yang memang belum terbasuh sempurna.
“Bisa ketemu? Ada yang mau aku omongin,” pinta Anjani, nada suaranya tampak menyembunyikan sesuatu.
“Bilang saja sekarang, apa memang harus ketemu?” Diam-diam David berusaha meninggikan harga dirinya.
“Kakak marah ya sama aku?”
“Ah, nggak kok. Kakak cuma lagi malas keluar aja,” timpal David mencari alasan.
“Atau aku aja yang ke kost Kakak?”
“Eh, jangan, Jani. Kita ketemu aja di luar. Jam berapa?” David mendadak panik dengan tekad gadis itu.
“Jam 9 di Prime Coffee bisa?” Anjani menyebutkan sebuah warung kopi yang terletak tak jauh dari sekolah, kira-kira 500 meter.
“Oke, sampai ketemu jam 9.” David menutup teleponnya, sayup ia masih mendengar suara Anjani mengucapkan terima kasih. David memang mencintai Anjani, tapi tidak menyangka gadis cantik itu akan memaksanya bertemu. Lagi pula apa sebenarnya yang ingin dibicarakan? Bukankah tempo hari sikapnya begitu tegas? David kembali lagi ke kamar mandi melanjutkan basuhannya yang tertunda.
Pukul delapan lewat dua puluh menit, David mengunci pintu kamar kostnya. Sejenak ia bercermin pada kaca jendela memastikan tampilannya tidak ada yang aneh. Keluar mengenakan kaus dan celana jeans membuatnya agak tak nyaman karena terbiasa berpakaian formal. Ia merasa seperti orang yang berbeda hari ini. Tidak berada di sekolah, berdandan kasual dan akan berkunjung ke kedai kopi kekinian. Hal yang sangat jarang ia lakukan.
David masuk ke dalam mobil LCGC yang ia beli bekas pakai setahun lalu, itu pun dengan mengangsur. Ia pikir tak mengapa, agar hasil kerja kerasnya selama ini berwujud nyata. David menyalakan mesin mobilnya, menghidupkan AC dan menyalakan musik. Ia biarkan sejenak, sekedar menghangatkan mesin mobil sambil memeriksa gawainya. Memastikan tidak ada pekerjaan mendadak dari atasan.
Pesan masuk dari Anjani. Swafoto di Prime Coffee menandakan ia sudah di sana menunggu David di sudut ruangan. David meletakkan gawainya, tak membalas pesan tadi. Ia bergegas menjalankan mobilnya. Baru saja keluar dari pagar, gawainya berdering. Adelia?
“Halo?”
“Assalamualaikum, David, apa kabar?” Suara Adelia tampak begitu gembira.
“Wa’alaikumussalam, Alhamdulillah baik, Del, ada apa ya?” jawab David ragu, ia menepikan mobilnya.
“Eum, kamu sibuk nggak? Ada waktu? Aku ingin bicara,” jawab Adelia mantap, amat berbeda dengan nada bicara Adelia dulu. Selalu berhati-hati sehingga tampak tidak tegas.
“Bicara? Adakah yang perlu kita bicarakan lagi, Del? Aku kira persoalannya sudah selesai,” pungkas David tegas.
“Masih sama, kamu masih David yang selalu sibuk.”
David terpaku, memorinya mundur beberapa bulan ke belakang. Saat dimana ia mengacuhkan orang sepenting gadis di seberang saluran teleponnya ini.
“Masih nggak ada waktu buatku, Vid? Nggak lama kok, paling lima belas menit,” lanjut Adelia.
“Memangnya kamu sekarang dimana? Ini jam kerja loh,” tanya David sekaligus sinyal untuk Adelia bahwa David mulai melunak.
“Aku ada urusan kerja di luar, tapi orang yang mau aku temui tiba-tiba batalin janji. Aku terlanjur minta jemput driver jam 10. Jadi aku tunggu aja di Prime Coffee, nggak jauh kok dari sekolahmu. Bisa kan ke sini sekitar jam 10?” ujar Adelia panjang, David tertegun. Prime Coffee? Mengapa bisa kebetulan sekali?
“Prime Coffee? Nggak bisa di tempat lain?”
“Ayolah, Vid, sekitar sini belum ada tempat lain yang enak buat ngobrol. Atau apa aku ke sekolahmu aja? Biar aku naik ojol, bisa kok aku pura-pura jadi wali murid.” Suara Adelia nampak memaksa namun setengahnya manja. David merasa seolah ia masih kekasihnya.
“Eh, jangan! Ya sudah jam 10 ya,” ujar David mengalah.
“Oke, sampai ketemu jam 10, Vid. Assalamualaikum.” Adelia menutup teleponnya, suaranya tampak gembira. David meletakkan gawainya di slot kosong depan tuas perseneling. Ia meneruskan lagi perjalanannya menuju Prime Coffee, sambil berpikir apa yang harus dilakukannya agar dua orang gadis dapat ditemuinya. Karena tak mungkin mengumpulkan mereka di satu meja meskipun David tak tahu apa yang akan mereka berdua bicarakan. Paling tidak Anjani masih membicarakan soal hati.
Apa jangan-jangan mereka di sana memang berada dalam satu meja? Bukankah mereka bertetangga? Anjani memang tahu Adelia, tapi Adelia belum tentu. Banyak pertanyaan dan spekulasi tiba-tiba muncul di kepala David. Namun yang paling tak bisa ditakar adalah apa sebenarnya yang ingin mereka berdua bicarakan.
David membelokkan laju kendaraannya memasuki area parkir Prime Coffee. Seorang pria mengenakan rompi orange tampak mengarahkan ke sebelah mana ia harus memarkirkan mobilnya. David tak langsung keluar, ia masih memikirkan cara terbaik untuk menemui Anjani tanpa Adelia tahu.
“Halo, Jani, Kakak sudah sampe di Prime, tapi mendadak Kepala Sekolah suruh Kakak antar surat ke Dinas Pendidikan, gimana?” tanya David bersandiwara dari seberang telepon.
“Ya sudah aku tunggu di sini aja nggak apa, Kak,” jawab Anjani pasrah.
“Eh, jangan! nanti kelamaan, kamu ikut aja ke Dinas gimana? Kan bisa di mobil tuh apa yang mau diomongin, ya?” bujuk David.
“Boleh, Kak. Oke aku bayar dulu ya.” David segera menutup teleponnya. Untung saja tas berisi berkas-berkas tak pernah ia turunkan dari mobil. Bisa dijadikan properti surat ke Dinas Pendidikan.
Seorang gadis cantik keluar dari pintu kaca Prime Coffee. Ia nampak mencari di mobil mana David berada. Gadis itu nampak berbeda tanpa mengenakan jas almamater, outfit wajib mahasiswa magang. Rambut lurus sebahunya tampak beterbangan disapu angin, ia segera merapikannya. Entah mengapa David merasa ia tampak lebih cantik dari biasanya.
David menghampiri Anjani yang masih berdiri tak jauh dari pintu utama Prime Coffee. Anjani tampak menyipitkan mata di balik lensa kacamata minusnya, ia sedikit menunduk memastikan bahwa orang di balik kemudi adalah David. Ia segera tersenyum setelah mengkonfrmasinya. David menunrunkan kaca jendela mobilnya.
“Ayok naik,” ajak David sambil tersenyum. Anjani membalas senyumnya, manis sekali. Ia membuka pintu lalu duduk di sisi David.
“Safety Beltnya dipake, lama ya nunggunya?” David memulai percakapan. Perlahan mobil keluar dari area parkir. Pria berompi orange tadi memandu David keluar dengan aman. Ia mengucapkan terima kasih setelah menerima selembar dua ribuan.
“Ah nggak, Kak. Aku gabut aja di sekolah. Ini nggak apa nih aku ikut Kakak ke Dinas?” tanya Anjani setelah selesai memakai sabuk pengaman.
“Nggak apa, nanti kamu tunggu di mobil aja. Lagian Pak Kepsek tiba-tiba aja ngasih tugas. Nggak ada persiapan ni ke Dinas, untung ada jaket di belakang.” David memulai kebohongannya yang kedua pada Anjani. Gadis itu manggut-manggut, suasana tiba-tiba hening. Hanya ada suara lagu Jangan Rubah Takdirku-nya Andmesh mengalun di head unit. Anjani tersenyum, ia diam-diam memperhatikan David.
“Kenapa senyum-senyum?” Anjani memalingkan wajahnya, ia menunduk. Wajah gadis itu tampak merah padam. “Kamu kenapa, Jani?” lanjut David.
“Eum … nggak apa, Kak.”
“Ya sudah, apa tadi yang mau diomongin? Kakak siap dengerin nih.” pinta David sambil terus berkonsentrasi pada kemudinya.
“Eum, Kakak jangan marah tapi ya?” pinta Anjani malu-malu.
“Tentang apa dulu nih, kok syaratnya nggak boleh marah segala?”
“Eum … soal yang tempo hari, Kak. Boleh nggak aku tarik kata-kataku?” Anjani masih tertunduk, kali ini ia sama sekali tak berani melihat ke arah David.
“Kata-kata yang mana?”
“Eum … gimana ya … Kakak boleh kok jadi pacar aku lagi?” Anjani melirik ke arah David, ia seolah takut melihat reaksi David.
“Loh, kamu kan yang mutusin, Kakak nggak minta balikan kok,” protes David, ia meyadari kemana arah pembicaraan ini.
“Eh … maksudnya, aku boleh kan jadi pacar Kakak lagi? Maaf udah mutusin Kakak padahal baru jadian.…”
“Iya, baru tiga menit malah,” David sewot.
“Maaf Kak.”
David tak menjawab, ia memutar balik laju mobilnya. Ada rencana lain di kepalanya.
“Loh, kok putar balik, Kak? Nggak jadi ke Dinas?”
Pukul sembilan lima puluh lima menit, David melajukan mobilnya menuju Prime Coffee. Baru saja ia antarkan Anjani kembali ke sekolah. Mahasiswi cantik itu masih tampak dari kaca spion mobilnya, masih menatap kepergian David. Senyum manis mengembang di wajahnya. Ia lalu memasuki gerbang sekolah setelah mobil David mendahului mobil di depannya. Beberapa notifikasi pesan muncul di gawai David. Ia melirik, dari Anjani, Adelia, grup sekolah dan bebarapa yang tak dapat tampil di layar gawai. David tersenyum, ia masih begitu penasaran dengan apa yang akan Adelia bicarakan dengannya. Selain tentu ada senggurat rindu yang diam-diam ia simpan untuk mantan dambaan hatinya itu. Mereka tidak pernah bertemu sejak Adelia mengakhiri hubungan hampir tiga bulan lalu. David keluar dari mobilnya, di area parkir Prime Coffee tempat yang sama satu jam lalu. Tidak banyak kendaraan parkir di sana. Jam sibuk kedai kopi ini memang belum sampai, ini masih terlalu pagi. David membuka pesan dari
Adelia membuka kaca jendela penumpang mobil MPV tiga baris milik perusahaan. Ia melambai pada pujaan hati yang berdiri di balkon lantai dua Prime Coffee. Wajahnya nampak berseri-seri, senyumnya merekah membuatnya tampak semakin mempesona. David membalas lambaian tangannya. Perempuan cantik itu lalu hilang oleh mobil yang sudah melaju, namun aroma parfumnya masih tertinggal. David menghela napasnya, ia tersenyum sendiri. Ada banyak emosi yang bercampur di hatinya. Ia duduk kembali di tempat Adelia tadi mendekap lengannya. Di hadapannya masih ada separuh cup Moccachino milik Adelia dengan bekas lipstik di tepinya. Ia sudah sering menemui hal ini dulu, tapi entah mengapa kali ini bekas lipstik itu terasa spesial. David meraih gawainya, mengabadikan dengan kamera. “Halo, ya, Del. Ada apa?” tanya David. Tiba-tiba gawainya berdering ketika ia keluar dari aplikasi kamera. “Vid, masih di Prime Coffee?” tanya Adelia dari seberang. “Masih, tapi sebenta
Mobil yang membawa David berhenti di sebuah rumah besar berpagar putih. Sudah ada sebuah mobil yang lebih dulu parkir di halamannya. David kenal betul dengan rumah ini. Pria yang tadi memukul perutnya ia kenal sebagai Kak Bagas, kakak Adelia. Pria itu kini merangkul David dan menggiringnya untuk segera masuk ke dalam rumah. Dua pria lain duduk di teras rumah, mulai membakar rokoknya. Bagas langsung membawa David ke ruang tengah. Sudah ada Pak Ruslan, Papa Adelia yang tampak sudah tak sabar menunggu mereka tiba. Bu Ratri, mama Adelia duduk di sofa sambil memeluk seorang perempuan memakai mukena, David tebak itu Adelia. Di tengah kebingungan, Bagas mendorong tubuh David hingga ia dengan cepat tiba di hadapan Pak Ruslan. Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri David. Pak Ruslan menggeram melepaskan amarahnya. David terhuyung ke kanan, jika tak ada dinding ia pasti sudah roboh ke lantai. Telinganya berdenging, tulang pipinya terasa begitu sakit. Mungkin terhantam ole
“Jani….” “Kak David? Kakak baik-baik aja?” Suara Anjani terdengar parau, ia belum lama bangun. Setelah kejadian semalam ia terus berusaha menghubungi David tapi tak berhasil. Sampai pagi ini pun tak ada pesannya yang dibalas David. “Iya, Kakak sehat. Bisa keluar sebentar? Kakak di depan pagar rumahmu. Ada hal penting yang mau Kakak omongin,” “Oh, oke Kak, tunggu sebentar.” “Oke.” Sambungan telepon itu terputus. Anjani buru-buru mengenakan pakaian yang layak untuk dikenakan di depan kekasihnya. Ia mencuci muka dan merapikan rambutnya sebentar. Ini pasti penting, masih pukul enam pagi dan David sudah berada di depan pagar rumahnya. Anjani meraih kunci gembok pagar dan keluar melalui pintu samping. “Masuk dulu, Kak.” Anjani menggeser pagar rumahnya sedikit, sekedar cukup untuk dilewati seseorang. Sekilas ia perhatikan wajah David, datar-datar saja. Ada banyak kegelisahan terlihat jelas di sorot matanya. Ada juga sedikit le
“Pipimu masih sakit, Vid?” Adelia membuka pembicaraan setelah mobil yang mereka kendarai melaju beberapa meter dari rumahnya. “Lebam sih, sakit kalo kepegang aja,” jawab David singkat, matanya fokus ke depan. “Maaf ya, aku sudah terlanjur kasih tahu Rangga, aku nggak nyangka kalo dia dan keluarganya langsung dateng buat batalin pertunangan.” “Iya, jadi aku yang nanggung kebohonganmu kan?” ujar David kesal. “Sayang, aku minta maaf. Aku nggak tahu harus pakai cara apa,” Adelia menatap wajah David yang mengemudi di sebelahnya. Jemarinya menggapai pipi kiri David yang jelas sekali lebam. Pria itu masih fokus pada kemudi mobilnya. “Kamu berubah, Del. Kamu di luar ekspektasiku. Kebohonganmu ini benar-benar nggak kuduga,” tutur David datar. Emosinya terasa amat berbeda saat semalam pamit pulang dan saat datang menjemput beberapa menit lalu. “Apa lagi yang aku belum tahu, Del?” David meilirik sekilas kekasihnya yang amat diliputi rasa bersalah.
Anjani bangkit, bantalnya basah oleh air mata. Kedua matanya masih terus mengalirkan cairan bening yang teriring dengan isak tertahan. Ia duduk bersila di atas tempat tidur dengan sprei merah muda favoritnya. Rambut yang belum lama tadi ia rapikan, sudah tidak beraturan lagi. Sebagian yang menjuntai ke wajah juga basah. Ia tampak begitu berantakan. Gadis itu tak kunjung memahami mengapa hatinya begitu hancur. Padahal tak banyak yang pantas ia tangisi dari dua hari bersama David. Menurutnya tak ada hal istimewa selain momentum di atas motor semalam. Tapi setiap kali ia berpikir untuk tak peduli, air matanya justru semakin deras. Isaknya semakin menderu, seperti ada energi yang terus memaksanya untuk meratapi David. Sama seperti kemarin sampai akhirnya ia paksakan untuk mendatangi David di kostnya. “Jani, kamu nggak kuliah? Udah bangun kan?” seru Ibu setelah mengetuk pintu kamar beberapa kali. Anjani menarik napas panjang. Berusaha menetralkan suasana hatinya y
“Pak, Bu, aku pamit ya. Terima kasih sudah menyambutku, terutama untuk restunya,” pamit Adelia pada Bu Maryam dan Pak Ahmad. Kedua orang tua David itu tampak menyunggingkan senyum. “Bilang ke orang tuamu, Insya Allah hari minggu kami ke rumah untuk silaturahmi dan membicarakan rencana pernikahan kalian,” ujar Pak Ahmad saat Adelia menyalami dan mencium tangannya. Ia lalu mengusap lembut kepala Adelia. “Jaga Mamamu ya, Nak. Jangan biarkan dia mikir yang enggak-enggak. Penyakit itu banyak yang datang dari pikiran.” Bu Maryam memeluk perempuan cantik berhijab di hadapannya erat sekali. Seolah menandakan bahwa ia mulai diterima menjadi bagian dari keluarga ini. “Baik, Bu,” jawab Adelia singkat. Sebuah kecupan mendarat di keningnya. Adelia tersenyum lebar menatap wajah teduh Bu Maryam. Perempuan tua ini jauh lebih hangat dan bersahaja dari mamanya sendiri. Bersama suaminya mereka berdua punya tatapan dan senyum yang meneduhkan. David berdiri di depan pintu
Pukul sembilan belas tiga puluh David meninggalkan rumah Adelia. Ia hanya mampir sebentar untuk sholat magrib dan berbincang beberapa hal hasil pertemuan dengan orang tuanya kepada orang tua Adelia. Lalu menolak dengan halus ajakan untuk makan malam bersama, dengan alasan ada pekerjaan yang harus diselesaikan malam ini juga. Berjarak kurang lebih seratus meter, ia melewati rumah Anjani. Rumah yang tiga belas jam lalu ia singgahi, hanya sebentar namun menghasilkan air mata. Seseorang tengah duduk di kursi teras rumah Anjani. Tertunduk memeluk lutut dengan rambut panjang yang menutupi seluruh wajahnya. David memperhatikan sekilas, ia mengangkat kaki dari pedal gas mobilnya. "Siapa dia? Apa mungkin Anjani?" batin David. Ia lalu menghentikan mobilnya di depan rumah tetangga sebelah Anjani. 'Kamu di teras rumah, Jani?' pesan terkirim. Sesekali David menoleh ke belakang memperhatikan perempuan tadi. Tidak ada pergerakan. Pesannya tadi pun belum dibaca. Ah,
Pukul delapan belas empat belas menit David tiba di rumah. Mobilnya ia parkirkan di luar pagar tanaman, ketika ia pergi tadi halaman rumah berantakan dan ramai orang-orang yang membantu menyiapkan acara besok. Namun dari dalam mobilnya ia tak melihat aktivitas apa pun di halaman rumahnya. Tak ada juga nyala lampu besar yang sudah diinstalasi sejak tadi siang. Perlahan David keluar dari mobilnya. Langkah kakinya terhenti sejenak di halaman rumah. Hatinya penuh dengan tanya menyaksikan tak ada perubahan berarti dengan dekorasi pelaminan dan seluruh area resepsi. Tak juga terdengar suara aktivitas terutama ibu-ibu yang biasanya riuh bergurau di tengah-tengah pekerjaannya. Pintu rumahnya juga tertutup rapat. Sesuatu yang hampir tak pernah terjadi pada rumah Saiful Hajat. Suara anak kunci diputar dua kali, handel pintu di tekan dan muncul Bu Maryam. Wanita itu berjalan cepat ke arah David dengan wajah panik. Sampai di depan putranya, Bu Maryam tak juga mengucapkan sepatah kata pun. “Ada
“Apa aku bisa, Vid? Aku sempat putus asa, nggak ada yang mau ngerti aku. Papa selalu keras kepala dengan pemikirannya. Mama hanya menutup mata, dia nggak ingetin aku kalau aku salah,” ratap Adelia. Air bening mengalir di pipinya. Orang yang ia harapkan dan rindukan itu kini ada di sampingnya.“Kamu pasti bisa, Del. Aku dukung kamu. Sekarang bukan cuma kamu sendiri yang kamu pikirin. Ada nyawa di dalam rahimmu. Tolong tetap kuat untuk anak kita,” David mengusap air mata di pipi Adelia. “Kamu mau janji buatku?”“Aku janji, Vid,” angguk Adelia sambil tersenyum. Senyum pertamanya sejak mereka memutuskan untuk berpisah. Kehadiran lelaki ini sungguh mampu merubah pemikirannya. Semangatnya kembali tumbuh setelah tandas tak bersisa kemarin.“Alhamdulillah,” sahut David senang. Kedua mata insan yang pernah saling mencinta itu bertemu. Ada banyak energi yang David salurkan pada mantan istrinya. Sedang Adelia kemb
“Terima kasih sudah mau datang, Vid,” ucap Bu Ratri saat menyambut uluran tangan David.Wajah wanita itu berseri memandang wajah David yang lebih tinggi darinya. Jika saja lelaki di hadapannya masih suami Adelia, mungkin ia sudah memeluknya sejak melihatnya tadi. Bu Ratri sekuat hati menahan haru meski tak dapat ia sembunyikan dari air mukanya. Kedua netranya mengembun. Ditambah wajah cemas David yang berusaha segera melihat kondisi putrinya.“Gimana kondisi Adelia, Ma?” tanya David.“Sebelumnya maafkan kami, Vid, sudah mengganggu persiapan pernikahanmu,” ujar Bu Ratri sendu. Jauh di dalam hati tentu ia masih menginginkan David untuk kembali menjadi keluarganya. Meski sekarang sudah mustahil.“Mama nggak perlu pikirkan itu, aku nggak bisa lama di sini. Itu pun karena ada calon anakku di perut Adelia. Dan menurut Mama kehadiranku bisa memperbaiki kondisi Adelia,” ucap David lugas. Bagaimana pun pikirannya jug
“Apa?”Jemari David bergetar. Gawainya terlepas dan meluncur jatuh ke lantai pondok sebelum jatuh ke rumput. Kedua netra David mengembun, bibirnya ingin segera berkata-kata namun ada sesuatu yang mengganjal di dada. Bu Maryam mengernyitkan kening. Jantungnya berdegup kencang, sama seperti milik David.“Ada apa, Vid?” tanya Bu Maryam setelah mengambil gawai David dan meletakkan di lantai pondok. Panggilan dari Bu Ratri masih tersambung, namun ia biarkan saja. Ia tak sudi untuk berbincang dengan keluarga itu. Perlahan David menoleh ke arah ibunya. Air matanya sudah menggantung di pelupuk mata.“Adelia, Bu,” ucap David dengan suara bergetar.“Kenapa dengan anak itu?” Bu Maryam mulai mencemaskan kondisi yang terjadi pada putranya.“Adelia hamil, Bu, anakku....”Bu Maryam terperangah. Mulutnya terbuka, ia tutup separuh dengan jemarinya. Ia pikirkan cucunya di masa depan. Belum juga lahir
Halaman rumah Pak Ahmad sudah berdiri tiga plong tenda dengan hiasan kain berwarna marun dan emas. Beberapa ratus kursi plastik menumpuk di sudut teras. Pekerja dekorasi sibuk mondar-mandir menurunkan alat-alat yang akan digunakan untuk memperindah tempat resepsi pernikahan, utamanya pelaminan. Para wanita sudah sibuk mempersiapkan makanan untuk pengajian nanti malam dan akad nikah esok pagi.Meski berencana menggelar acara dengan sederhana, demi rasa tak enak yang tinggi kepada tetangga satu desa, akhirnya persiapan acara besok lebih dari batas sederhana versi David dan keluarganya. Beberapa penyedia perlengkapan acara seperti dekorasi pelaminan dan musik justru diberikan oleh tetangga tanpa memasang tarif.David baru saja selesai memberikan pagar sederhana pada kebunnya. Sekedar pembatas agar orang-orang tak bisa sesuka hati masuk ke dalam sumber mata pencahariannya itu. Saiful, Indra, Zul dan Shinta sudah ia minta untuk libur selama tiga hari. Namun mereka
Perempuan cantik dengan senyum penuh bahagia tercetak dan terpajang rapi dalam pigura di atas nakas. Tempat tidur empuk itu tak juga membuat nyaman penghuninya. Terbaring di atasnya seorang perempuan yang tampak kurus, sesekali bibir pucatnya melenguh mengindikasikan ada sakit yang ia rasa namun tak mampu ia utarakan. Kadang dari kelopak matanya yang cekung mengalir air mata yang jika dibiarkan akan masuk ke dalam lubang telinga.Ruang perawatan VVIP di sebuah rumah sakit ternama ini sudah Adelia tinggali lebih dari seminggu. Bu Ratri sengaja membawa foto dan beberapa barang kesayangan putrinya agar Adelia merasa seperti di kamar sendiri. Tidak ada kemajuan berarti selama Adelia di rawat. Selang infus yang tertancap di lengan kirinya itu lah yang sedikit mampu membuatnya terlihat lebih baik dari seharusnya.Tak ada keinginan dari Adelia untuk mencoba menyelamatkan hidupnya. Dulu ia berbohong kepada orang tua David tentang kondisi mamanya yang mengkhawatirkan. Kini hal
Seperangkat alat sholat dan sejumlah uang kuno untuk mengenapi nominasi angka hari kelahiran Seruni sudah David dapatkan. Gadis manis dengan sepasang gingsul itu akhirnya menyebutkan mas kawin yang diminta. Meski sebenarnya ia sudah merasa cukup dengan cincin pemberian Bu Maryam yang historis itu. Jika bukan karena desakan David, mungkin Seruni memiliki mas kawin yang sama dengan Adelia.Lusa, pernikahan kedua David akan digelar. Meski tak mengadakan resepsi besar, tetangga di Desa Air Tenang sudah membicarakannya sejak mereka melangsungkan lamaran. Mayoritas dari mereka menyayangkan rencana acara yang hanya digelar sederhana. Tak banyak yang tahu David sudah pernah melangsungkan pernikahan sebelumnya.David melangkah ringan memasuki rumah dengan membawa barang-barang yang diminta Seruni. Satu jam lagi ia akan menjemput calon istrinya itu yang sejak pagi ia tinggalkan di salon bersama dengan Laras. Ia ingin Seruni terlihat spesial di hari pernikahannya. Lagi, gadis itu
Kini giliran David yang tak banyak bicara. Sepanjang jalan sampai kembali ke rumah yang hanya berjarak lima belas menit, kata yang keluar dari mulutnya bisa dihitung dengan jari. Ia malas setengah mati dengan perilaku Seruni yang terus menerus larut dalam masa lalu. Bahkan ketika David sudah berusaha keras untuk melupakan. Dan Seruni tahu itu. Namun masa lalu David seperti menjadi prioritasnya.Mobil yang David kendarai sudah berhenti di halaman rumah orang tuanya sekaligus Wisata Edukasi Hidroponik miliknya. Lelaki itu memutar kontak mobil ke kiri dan segera keluar dari mobil. Ia ingin segera merebahkan diri di kasur busa single yang kempis namun terasa nyaman. Ruang tengah itu kini sudah menjadi kamar pribadinya. Langkahnya gontai, cermin dari aktivitas padatnya hari ini.Seruni berdiri mematung di sisi kiri mobil bercat putih itu. Tatapannya berubah ke bawah setelah punggung calon suaminya menghilang di balik pintu. Merutuk pada diri sendiri sudah ia lakuka
Long Macchiato, dua kata itu begitu membekas di telinga Seruni. Kata yang diucapkan Anjani dengan penuh kegembiraan di sorot matanya. David amat menggemarinya, mengapa Seruni sampai sekarang tak tahu? Sudah sejak siang setelah rombongan SMP 19 Trimarga pulang, gadis itu segera meramban internet guna mencari arti kata Long Macchiato. Varian kopi double expresso dengan steamed milk. Dari balik tirai kamar David yang selalu ia tempati ini, Seruni bisa melihat calon suaminya tengah mengawasi dua orang pekerjanya yang tengah memuat beberapa kantung besar hasil panen sore ini. Biasanya David akan mengantarkannya sendiri ke rekannya di Kotamadya yang bersedia menampung untuk dijual ke swalayan. “Apakah saat mengantar sendiri seperti ini Daud bertemu Anjani? Menikmati Long Macchiato buatan gadis itu sambil berbincang akrab,” batin Seruni. Gadis berambut gelombang sebahu yang selalu ia tutupi dengan jilbab itu mengusap kasar wajahnya. Mengapa ia begi