Pukul sembilan lima puluh lima menit, David melajukan mobilnya menuju Prime Coffee. Baru saja ia antarkan Anjani kembali ke sekolah. Mahasiswi cantik itu masih tampak dari kaca spion mobilnya, masih menatap kepergian David. Senyum manis mengembang di wajahnya. Ia lalu memasuki gerbang sekolah setelah mobil David mendahului mobil di depannya.
Beberapa notifikasi pesan muncul di gawai David. Ia melirik, dari Anjani, Adelia, grup sekolah dan bebarapa yang tak dapat tampil di layar gawai. David tersenyum, ia masih begitu penasaran dengan apa yang akan Adelia bicarakan dengannya. Selain tentu ada senggurat rindu yang diam-diam ia simpan untuk mantan dambaan hatinya itu. Mereka tidak pernah bertemu sejak Adelia mengakhiri hubungan hampir tiga bulan lalu.
David keluar dari mobilnya, di area parkir Prime Coffee tempat yang sama satu jam lalu. Tidak banyak kendaraan parkir di sana. Jam sibuk kedai kopi ini memang belum sampai, ini masih terlalu pagi. David membuka pesan dari Adelia, dia di lantai dua. Tempat yang cocok untuk menyendiri dan menunggu seseorang.
Seorang pekerja menyambut ramah David seketika memasuki pintu kaca ganda Prime Coffee dan menawarkan bantuan. Perempuan muda seusia Anjani, ia begitu ramah menjelaskan beberapa menu andalan. David memesan Long Macchiato dan meminta untuk diantarkan ke lantai dua. Ia lalu bergegas berjalan menuju tangga sementara perempuan itu sempat memperhatikan David sebelum memberikan pesanan kepada Barista.
David muncul di lantai dua, ia menyapu seluruh sudut ruang dengan matanya. Tak banyak pengunjung, hanya tiga orang laki-laki yang tengah menikmati kopi dan beberapa makanan ringan sambil menghisap vape, dua orang perempuan di sudut balkon. Seorang berhijab dan seorang lagi tampak sedang dalam panggilan telepon. Perempuan berhijab itu menatap David, ia melambaikan tangannya.
“Vid!”
Ia setengah berteriak. Senyumnya mengembang, ia tampak begitu cantik dan anggun. David terdiam, ia lalu memaksimalkan akomodasi matanya. Dalam jarak sekitar sepuluh meter ini, ia belum dapat memastikan apakah itu Adelia.
“Adel?” David seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia segera menghampiri perempuan itu.
“Apa kabar, Vid?” Adelia berdiri dan mengulurkan tangan begitu David sampai di hadapannya.
“Kamu Adelia?” tanya David memperhatikan lekat-lekat wajah Adelia yang memerah. Adelia tersipu, jantungnya berdegup kencang seolah bertemu kekasih yang lama tak bersua saat David menyambut uluran tangannya.
“Kenapa? Aku aneh ya?” Adelia tampak memeriksa dan membenahi jilbab dan pakaiannya.
“Masya Allah, sejak kapan? Aku ikut senang, Del,” ujar David gamang, ia tak menemukan kata-kata yang dirasa cocok untuk mewakilkan rasa kagumnya.
“Tapi aku cantik kan, Vid?”
“Hah? Ya … cantik dong,” jawab David ragu, ia merasa sedang bertemu dengan Adelia yang berbeda. Sepanjang ia mengenal dan dekat dengannya, Adelia tidak pernah sekali pun bertanya apakah ia cantik bahkan kepada kekasihnya sendiri.
“Alhamdulillah, pantesan kamu nggak mau lepasin tanganku, gitu amat ngeliatinnya, Vid.”
“Eh, sorry….”
David spontan melepaskan tangan Adelia. Wajahnya memerah, ia membuang pandangannya segera. Ia malu, canggung dan salah tingkah. Baru ia ingat bahwa perempuan di hadapannya adalah calon istri orang.
“Duduk, Vid. Sudah pesan?”
“Oh sudah, mungkin sebentar lagi di antar. Sorry ya nunggu lama, tadi aku antar berkas dulu,” ujar David masih canggung, ia masih belum dapat menetralkan perasaannya.
“Nggak apa, Vid. lagian aku juga dadakan. Kamu pake baju begini emang nggak ngajar?” tanya Adelia setelah menyesap sedikit Cappuchinonya.
“Hari ini aku free, udah sebulan ini juga aku nggak megang tugas apa-apa dari sekolah selain ngajar. Pengen santai dulu, nikmatin hidup.” David tak tahu harus berbuat apa. Andai Long Macchiatonya sudah datang, tentu ia bisa berpura-pura sibuk dengannya. Atau ada yang ia nikmati selain visual mempesona di hadapannya.
“Waktu sama aku dulu apa hidupmu nggak nikmat, Vid?” tanya Adelia.
“Eum, maksudku dulu aku pikir terlalu banyak kegiatan. Jadi sekarang aku bisa lebih santai. Oh iya, apa sih yang mau kamu omongin?” tanya David tak mau hanya dirinya yang tersudut.
David melipat kedua lengannya di depan dada, tubuhnya bersandar di kursi kayu. Ia mencoba untuk lebih tenang. Adelia tampak terpaku, ia menyesap lagi Cappuchinonya yang tinggal separuh. Matanya memandang jauh ke arah jalanan. Dari sisi ini David dapat dengan jelas menikmati relief mempesona wajah Adelia.
Seorang waitress datang menghampiri mereka, meminta ijin untuk menaruh Long Macchiatto David di atas meja. David mempersilahkannya dan mengucapkan terima kasih. Kedatangan waitress ini sedikit memberi napas David untuk sedikit teralih dari Adelia. Sedang untuk Adelia sedikit memberi waktu baginya untuk melepaskan diri dari tekanan David.
“Aku dengar kamu sudah bertunangan, Del,” tanya David sudah jauh lebih santai sambil meraih Long Macchiatonya. Adelia menunduk, ia menghela napasnya dalam-dalam.
“Itu salah satu yang mau aku omongin,” jawab Adelia datar. Ia mengangkat wajahnya, menatap laki-laki di hadapannya yang tampak sudah banyak berbeda.
“Maksudnya? Apa hubungannya pertunanganmu dengan aku? Kita sudah nggak punya hubungan waktu kamu.…”
“Kamu masih mencintaiku, Vid?” potong Adelia singkat. David tertegun, ia menatap kosong mata penuh harap perempuan cantik di hadapannya. Adelia mencondongkan tubuhnya ke arah David. Bibirnya bergetar, ada berton-ton kata dan emosi yang ingin ia sampaikan.
“Aa … apa maksudnya ini, Del?”
“Kamu bisa jawab?” Mata Adelia mulai berkaca-kaca.
“Aku kira nggak ada gunanya bisa atau tidak aku jawab. Del, kamu sudah menerima lamaran seseorang, nggak pantas kamu tanya begitu ke laki-laki lain. Seolah kamu menyesal menerima lamarannya. Ini bukan main-main, Del!” terang David mencoba diplomatis.
“Kamu pikir aku bisa dengan mudah menerima orang yang baru aku kenal? Kamu nggak lupa kan dulu berapa lama akhirnya aku bisa terima kamu? Aku nggak mungkin mengabdikan diriku pada orang asing, Vid. Menjadi istrinya.…”
“Aku paham, Del. Tapi, kok bisa kamu terima lamarannya?” potong David, sekaligus ia ingin tahu motif Adelia sebenarnya.
“Aku akui aku emosi, Vid. Setelah kita putus, aku down. Aku banyak ngurung diri di kamar, sering bolos kerja. Mama nggak tega liat aku begitu. Terus ia coba jodohin aku sama anak temannya. Maafin aku, Vid. Aku kira dia bisa bantu aku lupain kamu.” Adelia terus terang, entah energi macam apa yang membuatnya berani mengakui hal sebesar ini.
“Terus apa rencanamu? Kamu tahu kan ini nggak mudah?” David mencoba memahami kondisi Adelia. Ia mencoba untuk berada di sampingnya.
“Aku mau kembali, Vid. Sama kamu lagi,” jawab Adelia mantap.
Ia meraih jemari David yang menggenggam tangkai gelas kopi. David tertegun, entah apa ia tega mengatakan bahwa ia baru saja memacari Anjani. Jauh dalam hati, tentu masih ada cinta untuk Adelia. Tapi bagaimana dengan Anjani?
“Terima kasih sudah menginginkanku lagi. Aku sama sekali nggak nyangka, aku pikir aku sudah hancur waktu kamu putusin. Jujur masih ada cinta buatmu, aku masih sayang. Tapi aku nggak mau terlibat dengan pertunanganmu itu.”
David menggenggam jemari Adelia. Tangan kanannya ragu menyeka air mata Adelia yang mengaliri pipi. Adelia terpejam, seakan menikmati perhatian dari David dengan membiarkan air matanya kembali mengalir.
“Maafin aku, Vid. Setelah putus aku baru sadar kalau aku butuh kamu,” David tersenyum, dibelainya sisi kiri wajah Adelia.
“Sudah, nggak perlu nangis. Selesaikan urusanmu dengan calon suamimu itu. Barulah berpikir untuk memperbaiki hubungan kita. Aku merasa berdosa memacari tunangan orang.” Adelia mengangguk, ia tersenyum. Manis sekali, bagi David inilah senyum termanis Adelia.
Adelia bangkit dan duduk di samping David. Perasaan haru dan bahagianya sudah tak dapat dibendung lagi. Ia meraih lengan kiri David dan mendekapnya. Kepalanya bersandar pada pundak David yang sedikit rikuh dengan perlakuannya itu. Ia tak peduli, ia yakin David masih mencintainya. Dalam hati laki-laki ini masih ada satu tempat untuknya.
Aroma parfum Adelia tercium jelas, lengan kiri David entah mengapa tak bisa ia gerakkan. Sama seperti dulu saat pertama kali Adelia bergelayut manja di lengannya. Ya Tuhan, rasa cinta David pada Adelia seolah terus bertambah seiring helaan napas mereka berdua yang seirama. Hampir sama levelnya seperti sebelum mereka berpisah. David ingat pada Anjani, mahasiswi cantik yang lebih dulu memintanya untuk kembali. Ada apa sebenarnya hari ini? Sangat aneh, tapi menyenangkan. David tersenyum, digenggamnya jemari Adelia yang masih bersandar pada pundaknya.
Adelia membuka kaca jendela penumpang mobil MPV tiga baris milik perusahaan. Ia melambai pada pujaan hati yang berdiri di balkon lantai dua Prime Coffee. Wajahnya nampak berseri-seri, senyumnya merekah membuatnya tampak semakin mempesona. David membalas lambaian tangannya. Perempuan cantik itu lalu hilang oleh mobil yang sudah melaju, namun aroma parfumnya masih tertinggal. David menghela napasnya, ia tersenyum sendiri. Ada banyak emosi yang bercampur di hatinya. Ia duduk kembali di tempat Adelia tadi mendekap lengannya. Di hadapannya masih ada separuh cup Moccachino milik Adelia dengan bekas lipstik di tepinya. Ia sudah sering menemui hal ini dulu, tapi entah mengapa kali ini bekas lipstik itu terasa spesial. David meraih gawainya, mengabadikan dengan kamera. “Halo, ya, Del. Ada apa?” tanya David. Tiba-tiba gawainya berdering ketika ia keluar dari aplikasi kamera. “Vid, masih di Prime Coffee?” tanya Adelia dari seberang. “Masih, tapi sebenta
Mobil yang membawa David berhenti di sebuah rumah besar berpagar putih. Sudah ada sebuah mobil yang lebih dulu parkir di halamannya. David kenal betul dengan rumah ini. Pria yang tadi memukul perutnya ia kenal sebagai Kak Bagas, kakak Adelia. Pria itu kini merangkul David dan menggiringnya untuk segera masuk ke dalam rumah. Dua pria lain duduk di teras rumah, mulai membakar rokoknya. Bagas langsung membawa David ke ruang tengah. Sudah ada Pak Ruslan, Papa Adelia yang tampak sudah tak sabar menunggu mereka tiba. Bu Ratri, mama Adelia duduk di sofa sambil memeluk seorang perempuan memakai mukena, David tebak itu Adelia. Di tengah kebingungan, Bagas mendorong tubuh David hingga ia dengan cepat tiba di hadapan Pak Ruslan. Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri David. Pak Ruslan menggeram melepaskan amarahnya. David terhuyung ke kanan, jika tak ada dinding ia pasti sudah roboh ke lantai. Telinganya berdenging, tulang pipinya terasa begitu sakit. Mungkin terhantam ole
“Jani….” “Kak David? Kakak baik-baik aja?” Suara Anjani terdengar parau, ia belum lama bangun. Setelah kejadian semalam ia terus berusaha menghubungi David tapi tak berhasil. Sampai pagi ini pun tak ada pesannya yang dibalas David. “Iya, Kakak sehat. Bisa keluar sebentar? Kakak di depan pagar rumahmu. Ada hal penting yang mau Kakak omongin,” “Oh, oke Kak, tunggu sebentar.” “Oke.” Sambungan telepon itu terputus. Anjani buru-buru mengenakan pakaian yang layak untuk dikenakan di depan kekasihnya. Ia mencuci muka dan merapikan rambutnya sebentar. Ini pasti penting, masih pukul enam pagi dan David sudah berada di depan pagar rumahnya. Anjani meraih kunci gembok pagar dan keluar melalui pintu samping. “Masuk dulu, Kak.” Anjani menggeser pagar rumahnya sedikit, sekedar cukup untuk dilewati seseorang. Sekilas ia perhatikan wajah David, datar-datar saja. Ada banyak kegelisahan terlihat jelas di sorot matanya. Ada juga sedikit le
“Pipimu masih sakit, Vid?” Adelia membuka pembicaraan setelah mobil yang mereka kendarai melaju beberapa meter dari rumahnya. “Lebam sih, sakit kalo kepegang aja,” jawab David singkat, matanya fokus ke depan. “Maaf ya, aku sudah terlanjur kasih tahu Rangga, aku nggak nyangka kalo dia dan keluarganya langsung dateng buat batalin pertunangan.” “Iya, jadi aku yang nanggung kebohonganmu kan?” ujar David kesal. “Sayang, aku minta maaf. Aku nggak tahu harus pakai cara apa,” Adelia menatap wajah David yang mengemudi di sebelahnya. Jemarinya menggapai pipi kiri David yang jelas sekali lebam. Pria itu masih fokus pada kemudi mobilnya. “Kamu berubah, Del. Kamu di luar ekspektasiku. Kebohonganmu ini benar-benar nggak kuduga,” tutur David datar. Emosinya terasa amat berbeda saat semalam pamit pulang dan saat datang menjemput beberapa menit lalu. “Apa lagi yang aku belum tahu, Del?” David meilirik sekilas kekasihnya yang amat diliputi rasa bersalah.
Anjani bangkit, bantalnya basah oleh air mata. Kedua matanya masih terus mengalirkan cairan bening yang teriring dengan isak tertahan. Ia duduk bersila di atas tempat tidur dengan sprei merah muda favoritnya. Rambut yang belum lama tadi ia rapikan, sudah tidak beraturan lagi. Sebagian yang menjuntai ke wajah juga basah. Ia tampak begitu berantakan. Gadis itu tak kunjung memahami mengapa hatinya begitu hancur. Padahal tak banyak yang pantas ia tangisi dari dua hari bersama David. Menurutnya tak ada hal istimewa selain momentum di atas motor semalam. Tapi setiap kali ia berpikir untuk tak peduli, air matanya justru semakin deras. Isaknya semakin menderu, seperti ada energi yang terus memaksanya untuk meratapi David. Sama seperti kemarin sampai akhirnya ia paksakan untuk mendatangi David di kostnya. “Jani, kamu nggak kuliah? Udah bangun kan?” seru Ibu setelah mengetuk pintu kamar beberapa kali. Anjani menarik napas panjang. Berusaha menetralkan suasana hatinya y
“Pak, Bu, aku pamit ya. Terima kasih sudah menyambutku, terutama untuk restunya,” pamit Adelia pada Bu Maryam dan Pak Ahmad. Kedua orang tua David itu tampak menyunggingkan senyum. “Bilang ke orang tuamu, Insya Allah hari minggu kami ke rumah untuk silaturahmi dan membicarakan rencana pernikahan kalian,” ujar Pak Ahmad saat Adelia menyalami dan mencium tangannya. Ia lalu mengusap lembut kepala Adelia. “Jaga Mamamu ya, Nak. Jangan biarkan dia mikir yang enggak-enggak. Penyakit itu banyak yang datang dari pikiran.” Bu Maryam memeluk perempuan cantik berhijab di hadapannya erat sekali. Seolah menandakan bahwa ia mulai diterima menjadi bagian dari keluarga ini. “Baik, Bu,” jawab Adelia singkat. Sebuah kecupan mendarat di keningnya. Adelia tersenyum lebar menatap wajah teduh Bu Maryam. Perempuan tua ini jauh lebih hangat dan bersahaja dari mamanya sendiri. Bersama suaminya mereka berdua punya tatapan dan senyum yang meneduhkan. David berdiri di depan pintu
Pukul sembilan belas tiga puluh David meninggalkan rumah Adelia. Ia hanya mampir sebentar untuk sholat magrib dan berbincang beberapa hal hasil pertemuan dengan orang tuanya kepada orang tua Adelia. Lalu menolak dengan halus ajakan untuk makan malam bersama, dengan alasan ada pekerjaan yang harus diselesaikan malam ini juga. Berjarak kurang lebih seratus meter, ia melewati rumah Anjani. Rumah yang tiga belas jam lalu ia singgahi, hanya sebentar namun menghasilkan air mata. Seseorang tengah duduk di kursi teras rumah Anjani. Tertunduk memeluk lutut dengan rambut panjang yang menutupi seluruh wajahnya. David memperhatikan sekilas, ia mengangkat kaki dari pedal gas mobilnya. "Siapa dia? Apa mungkin Anjani?" batin David. Ia lalu menghentikan mobilnya di depan rumah tetangga sebelah Anjani. 'Kamu di teras rumah, Jani?' pesan terkirim. Sesekali David menoleh ke belakang memperhatikan perempuan tadi. Tidak ada pergerakan. Pesannya tadi pun belum dibaca. Ah,
Satu jam baru saja terlewati. Sejak Anjani keluar dari mobil David dan berusaha melawan hawa dingin di parkiran hotel atas bukit. Tak banyak kata terucap dari kedua mulut insan yang saling mencinta tapi tak bisa bersatu ini. Menikmati junk food dan memanjakan mata dengan pendar lampu-lampu kota sudah cukup membuat hati anjani jauh lebih baik. sejenak ia lupakan dua pertanyaan yang mengganggu pikirannya. David tak ada maksud apa pun selain memperbaiki suasana hati Anjani. Ia merasa bertanggung jawab atas yang terjadi pada gadis itu meski berisiko memberikan harapan semu. David berencana perlahan-lahan melepaskan diri dari Anjani sembari mempersiapkan pernikahannya dengan Adelia. Sungguh sebuah kenyataan yang berbanding terbalik dengan kondisinya beberapa hari lalu. Kini dua ada dua gadis yang menyerahkan hatinya untuk David. “Pulang yuk? Udah jam sembilan,” ajak David. Anjani menatap lekat-lekat lelaki di sampingnya. Lelaki itu bangkit dan merapikan s
Pukul delapan belas empat belas menit David tiba di rumah. Mobilnya ia parkirkan di luar pagar tanaman, ketika ia pergi tadi halaman rumah berantakan dan ramai orang-orang yang membantu menyiapkan acara besok. Namun dari dalam mobilnya ia tak melihat aktivitas apa pun di halaman rumahnya. Tak ada juga nyala lampu besar yang sudah diinstalasi sejak tadi siang. Perlahan David keluar dari mobilnya. Langkah kakinya terhenti sejenak di halaman rumah. Hatinya penuh dengan tanya menyaksikan tak ada perubahan berarti dengan dekorasi pelaminan dan seluruh area resepsi. Tak juga terdengar suara aktivitas terutama ibu-ibu yang biasanya riuh bergurau di tengah-tengah pekerjaannya. Pintu rumahnya juga tertutup rapat. Sesuatu yang hampir tak pernah terjadi pada rumah Saiful Hajat. Suara anak kunci diputar dua kali, handel pintu di tekan dan muncul Bu Maryam. Wanita itu berjalan cepat ke arah David dengan wajah panik. Sampai di depan putranya, Bu Maryam tak juga mengucapkan sepatah kata pun. “Ada
“Apa aku bisa, Vid? Aku sempat putus asa, nggak ada yang mau ngerti aku. Papa selalu keras kepala dengan pemikirannya. Mama hanya menutup mata, dia nggak ingetin aku kalau aku salah,” ratap Adelia. Air bening mengalir di pipinya. Orang yang ia harapkan dan rindukan itu kini ada di sampingnya.“Kamu pasti bisa, Del. Aku dukung kamu. Sekarang bukan cuma kamu sendiri yang kamu pikirin. Ada nyawa di dalam rahimmu. Tolong tetap kuat untuk anak kita,” David mengusap air mata di pipi Adelia. “Kamu mau janji buatku?”“Aku janji, Vid,” angguk Adelia sambil tersenyum. Senyum pertamanya sejak mereka memutuskan untuk berpisah. Kehadiran lelaki ini sungguh mampu merubah pemikirannya. Semangatnya kembali tumbuh setelah tandas tak bersisa kemarin.“Alhamdulillah,” sahut David senang. Kedua mata insan yang pernah saling mencinta itu bertemu. Ada banyak energi yang David salurkan pada mantan istrinya. Sedang Adelia kemb
“Terima kasih sudah mau datang, Vid,” ucap Bu Ratri saat menyambut uluran tangan David.Wajah wanita itu berseri memandang wajah David yang lebih tinggi darinya. Jika saja lelaki di hadapannya masih suami Adelia, mungkin ia sudah memeluknya sejak melihatnya tadi. Bu Ratri sekuat hati menahan haru meski tak dapat ia sembunyikan dari air mukanya. Kedua netranya mengembun. Ditambah wajah cemas David yang berusaha segera melihat kondisi putrinya.“Gimana kondisi Adelia, Ma?” tanya David.“Sebelumnya maafkan kami, Vid, sudah mengganggu persiapan pernikahanmu,” ujar Bu Ratri sendu. Jauh di dalam hati tentu ia masih menginginkan David untuk kembali menjadi keluarganya. Meski sekarang sudah mustahil.“Mama nggak perlu pikirkan itu, aku nggak bisa lama di sini. Itu pun karena ada calon anakku di perut Adelia. Dan menurut Mama kehadiranku bisa memperbaiki kondisi Adelia,” ucap David lugas. Bagaimana pun pikirannya jug
“Apa?”Jemari David bergetar. Gawainya terlepas dan meluncur jatuh ke lantai pondok sebelum jatuh ke rumput. Kedua netra David mengembun, bibirnya ingin segera berkata-kata namun ada sesuatu yang mengganjal di dada. Bu Maryam mengernyitkan kening. Jantungnya berdegup kencang, sama seperti milik David.“Ada apa, Vid?” tanya Bu Maryam setelah mengambil gawai David dan meletakkan di lantai pondok. Panggilan dari Bu Ratri masih tersambung, namun ia biarkan saja. Ia tak sudi untuk berbincang dengan keluarga itu. Perlahan David menoleh ke arah ibunya. Air matanya sudah menggantung di pelupuk mata.“Adelia, Bu,” ucap David dengan suara bergetar.“Kenapa dengan anak itu?” Bu Maryam mulai mencemaskan kondisi yang terjadi pada putranya.“Adelia hamil, Bu, anakku....”Bu Maryam terperangah. Mulutnya terbuka, ia tutup separuh dengan jemarinya. Ia pikirkan cucunya di masa depan. Belum juga lahir
Halaman rumah Pak Ahmad sudah berdiri tiga plong tenda dengan hiasan kain berwarna marun dan emas. Beberapa ratus kursi plastik menumpuk di sudut teras. Pekerja dekorasi sibuk mondar-mandir menurunkan alat-alat yang akan digunakan untuk memperindah tempat resepsi pernikahan, utamanya pelaminan. Para wanita sudah sibuk mempersiapkan makanan untuk pengajian nanti malam dan akad nikah esok pagi.Meski berencana menggelar acara dengan sederhana, demi rasa tak enak yang tinggi kepada tetangga satu desa, akhirnya persiapan acara besok lebih dari batas sederhana versi David dan keluarganya. Beberapa penyedia perlengkapan acara seperti dekorasi pelaminan dan musik justru diberikan oleh tetangga tanpa memasang tarif.David baru saja selesai memberikan pagar sederhana pada kebunnya. Sekedar pembatas agar orang-orang tak bisa sesuka hati masuk ke dalam sumber mata pencahariannya itu. Saiful, Indra, Zul dan Shinta sudah ia minta untuk libur selama tiga hari. Namun mereka
Perempuan cantik dengan senyum penuh bahagia tercetak dan terpajang rapi dalam pigura di atas nakas. Tempat tidur empuk itu tak juga membuat nyaman penghuninya. Terbaring di atasnya seorang perempuan yang tampak kurus, sesekali bibir pucatnya melenguh mengindikasikan ada sakit yang ia rasa namun tak mampu ia utarakan. Kadang dari kelopak matanya yang cekung mengalir air mata yang jika dibiarkan akan masuk ke dalam lubang telinga.Ruang perawatan VVIP di sebuah rumah sakit ternama ini sudah Adelia tinggali lebih dari seminggu. Bu Ratri sengaja membawa foto dan beberapa barang kesayangan putrinya agar Adelia merasa seperti di kamar sendiri. Tidak ada kemajuan berarti selama Adelia di rawat. Selang infus yang tertancap di lengan kirinya itu lah yang sedikit mampu membuatnya terlihat lebih baik dari seharusnya.Tak ada keinginan dari Adelia untuk mencoba menyelamatkan hidupnya. Dulu ia berbohong kepada orang tua David tentang kondisi mamanya yang mengkhawatirkan. Kini hal
Seperangkat alat sholat dan sejumlah uang kuno untuk mengenapi nominasi angka hari kelahiran Seruni sudah David dapatkan. Gadis manis dengan sepasang gingsul itu akhirnya menyebutkan mas kawin yang diminta. Meski sebenarnya ia sudah merasa cukup dengan cincin pemberian Bu Maryam yang historis itu. Jika bukan karena desakan David, mungkin Seruni memiliki mas kawin yang sama dengan Adelia.Lusa, pernikahan kedua David akan digelar. Meski tak mengadakan resepsi besar, tetangga di Desa Air Tenang sudah membicarakannya sejak mereka melangsungkan lamaran. Mayoritas dari mereka menyayangkan rencana acara yang hanya digelar sederhana. Tak banyak yang tahu David sudah pernah melangsungkan pernikahan sebelumnya.David melangkah ringan memasuki rumah dengan membawa barang-barang yang diminta Seruni. Satu jam lagi ia akan menjemput calon istrinya itu yang sejak pagi ia tinggalkan di salon bersama dengan Laras. Ia ingin Seruni terlihat spesial di hari pernikahannya. Lagi, gadis itu
Kini giliran David yang tak banyak bicara. Sepanjang jalan sampai kembali ke rumah yang hanya berjarak lima belas menit, kata yang keluar dari mulutnya bisa dihitung dengan jari. Ia malas setengah mati dengan perilaku Seruni yang terus menerus larut dalam masa lalu. Bahkan ketika David sudah berusaha keras untuk melupakan. Dan Seruni tahu itu. Namun masa lalu David seperti menjadi prioritasnya.Mobil yang David kendarai sudah berhenti di halaman rumah orang tuanya sekaligus Wisata Edukasi Hidroponik miliknya. Lelaki itu memutar kontak mobil ke kiri dan segera keluar dari mobil. Ia ingin segera merebahkan diri di kasur busa single yang kempis namun terasa nyaman. Ruang tengah itu kini sudah menjadi kamar pribadinya. Langkahnya gontai, cermin dari aktivitas padatnya hari ini.Seruni berdiri mematung di sisi kiri mobil bercat putih itu. Tatapannya berubah ke bawah setelah punggung calon suaminya menghilang di balik pintu. Merutuk pada diri sendiri sudah ia lakuka
Long Macchiato, dua kata itu begitu membekas di telinga Seruni. Kata yang diucapkan Anjani dengan penuh kegembiraan di sorot matanya. David amat menggemarinya, mengapa Seruni sampai sekarang tak tahu? Sudah sejak siang setelah rombongan SMP 19 Trimarga pulang, gadis itu segera meramban internet guna mencari arti kata Long Macchiato. Varian kopi double expresso dengan steamed milk. Dari balik tirai kamar David yang selalu ia tempati ini, Seruni bisa melihat calon suaminya tengah mengawasi dua orang pekerjanya yang tengah memuat beberapa kantung besar hasil panen sore ini. Biasanya David akan mengantarkannya sendiri ke rekannya di Kotamadya yang bersedia menampung untuk dijual ke swalayan. “Apakah saat mengantar sendiri seperti ini Daud bertemu Anjani? Menikmati Long Macchiato buatan gadis itu sambil berbincang akrab,” batin Seruni. Gadis berambut gelombang sebahu yang selalu ia tutupi dengan jilbab itu mengusap kasar wajahnya. Mengapa ia begi