Share

Sandiwara

Author: A.R. Ubaidillah
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Mobil yang membawa David berhenti di sebuah rumah besar berpagar putih. Sudah ada sebuah mobil yang lebih dulu parkir di halamannya. David kenal betul dengan rumah ini. Pria yang tadi memukul perutnya ia kenal sebagai Kak Bagas, kakak Adelia. Pria itu kini merangkul David dan menggiringnya untuk segera masuk ke dalam rumah. Dua pria lain duduk di teras rumah, mulai membakar rokoknya.

Bagas langsung membawa David ke ruang tengah. Sudah ada Pak Ruslan, Papa Adelia yang tampak sudah tak sabar menunggu mereka tiba. Bu Ratri, mama Adelia duduk di sofa sambil memeluk seorang perempuan memakai mukena, David tebak itu Adelia. Di tengah kebingungan, Bagas mendorong tubuh David hingga ia dengan cepat tiba di hadapan Pak Ruslan.

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri David. Pak Ruslan menggeram melepaskan amarahnya. David terhuyung ke kanan, jika tak ada dinding ia pasti sudah roboh ke lantai. Telinganya berdenging, tulang pipinya terasa begitu sakit. Mungkin terhantam oleh cincin batu akik Pak Ruslan. Di sudut bibirnya mengalir cairan merah berbau anyir. Adelia berteriak, ia hendak menghampiri, namun mamanya menahannya.

“Apa yang kamu lakukan? Kamu apakan anakku? Hah!”

Pak Ruslan mencengkeram leher David. Tubuh David terbentur dinding. Aroma mulut Pak Ruslan begitu lekat tercium, ia membentak tepat di wajah David. Matanya memerah, gigi-giginya saling beradu. Perlahan David mengangkat wajahnya, ditatapnya mata penuh emosi milik Pak Ruslan. Napasnya tersengal karena cekikan pria bertubuh gempal itu.

“Apa maksud Bapak? Saya nggak ngerti,” ujar David lirih. Mata Pak Ruslan membesar mendengar kata-kata David.

“Jangan, Pa!”

Adelia menghambur dan segera menahan tangan kiri papanya yang hendak melayangkan tamparan kedua. Ia menangis memohon agar papanya menahan diri dan berbicara dengan kepala dingin. David memandang adegan itu dengan tatapan penuh kebingungan, tak ada satu pun petunjuk sebenarnya apa yang tengah terjadi. Perlahan cengkeraman tangan kanan Pak Ruslan di lehernya mengendur. David mampu mengatur napasnya, area wajah kirinya terasa amat sakit.

Pak Ruslan perlahan duduk di sudut sofa. Adelia duduk di lantai, di sisi papanya. Bagas mendorong David hingga duduk di lantai, berseberangan dengan Adelia.

“Kak Bagas, nggak usah kasar ke David bisa kan? Dia calon suamiku!” bentak Adelia di tengah isak tangisnya.

“Hah? Calon suami? Bahkan tadi dia sudah asyik berduaan dengan pacar barunya, apa yang kamu harap dari dia? Tanggung jawab? Cih!” jawab Bagas tak kalah membentak.

Calon suami? Bertanggung jawab? Apa yang sebenarnya terjadi? David memandang raut wajah masing-masing keluarga ini. Tak mungkin ini cuma prank untuk mengerjainya, tak ada motif untuk itu. David menunduk, perasaannya kacau. Ia lalu melihat ke arah jemari Adelia yang sedari tadi bergerak berulang. Telapak tangannya naik turun mengisyaratkan untuk menurunkan emosi, lalu memperlihatkan ibu jari. David terjemahkan sebagai isyarat untuknya agar tetap tenang dan semua akan baik-baik saja. Terkonfirmasi saat mereka berdua bertemu pandang dan Adelia tersenyum singkat.

“David, tolong jawab saya. Apa kamu tahu Adelia tengah hamil?”

David terkejut, ia diam beberapa saat. Dialihkan matanya pada Adelia. Perempuan bermukena itu tertunduk, namun ia menunjukkan ibu jarinya pada David.

“Ha … Hamil?”

“Ya, kamu nggak tahu?” tanya Pak Ruslan lagi, kali ini ia sudah lebih tenang. David menggeleng, ia memandang seluruh mata orang di ruang ini, begitu menghakimi. “Adel, bilang sama Papa, siapa bapaknya?” Pak Ruslan membentak putri bungsunya itu. Tangis Adelia meledak, ia terisak beberapa saat.

“David, Pa….” Jawab Adelia pelan, ia tak berani menatap wajah David.

“Del, apa yang kamu lakukan?” protes David, ia masih tak mengerti dengan jalan yang Adelia tempuh.

“Ini anakmu, David. Aku hanya melakukannya denganmu.” ujar Adelia meyakinkan sambil menunjuk perutnya.

David menggelengkan kepalanya, ia tak percaya Adelia menggunakan cara seperti ini demi lepas dari tunangannya dan kembali padanya. Memang benar ia menyerahkan sepenuhnya hal itu pada adelia. Mengakhiri pertunangannya, tapi cara ini sungguh sangat memalukan.

“Woi, Lu nggak mau ngaku? Hah?” Bagas tiba-tiba berteriak dan menendang tubuh David. Adelia berteriak, ia menjadikan dirinya tameng untuk David.

“Kak Bagas, udah aku bilang jangan kasar sama David! Kenapa sih nggak bisa tahan emosi? David baru tahu aku hamil sekarang, wajar dong dia kaget.” bela Adelia, air matanya mengalir deras.

“Kamu ini, Dek, mikirnya gimana sih, kenapa kamu terima lamaran Rangga? Bikin malu keluarga!” umpat Bagas, ia lalu berlalu dari ruang tengah menuju ke belakang.

“Sini, Nak,” Bu Ratri membimbing putrinya untuk bangkit dan duduk bersama dengannya dan suaminya. “Bangun David, duduk di atas!” Ia menunjuk sofa di sebelah mereka bertiga. David bangkit dan menuruti Bu Ratri.

“Papa udah nggak tahu lagi mau ngomong apa, takut main tangan lagi. Gimana juga yang di perut Adelia ini cucu Papa, Papa nggak mau dia kenapa-kenapa.” Pak Ruslan tampak sudah mampu meredam emosinya. Ia merangkul Adelia yang masih tertunduk melipat-lipat ujung mukenanya.

“Jadi Mama minta kamu bertanggung jawab dengan menikahi Adelia. Bisa saja dia tidak mengakui kehamilannya, ia teruskan pertunangannya. Tapi anak Mama ini memilih mengaku, tanda ia begitu mencintaimu, David.” Bu Ratri membuka perbincangan yang lebih kondusif.

“Maaf, saya nggak ngerti. Lalu bagaimana dengan pertunangannya, Ma?” Bisa saja David membela diri dan mengatakan bahwa ini hanyalah sandiwara Adelia. Tapi entah mengapa ia justru  mengikuti skenario. Ia merasa ingin menebus kesalahannya karena mengacuhkan Adelia dulu. Ia hanya mengikuti perasaannya.

“Pertunangannya sudah dibatalkan, rupanya Adelia mengaku ke Rangga soal kehamilannya. Sebelum kamu dibawa Bagas ke sini, Rangga datang dan membatalkan lamarannya.” terang Bu Ratri.

Untuk seorang ibu yang anaknya dinodai ia nampak begitu tenang. Bahkan Rangga adalah anak temannya, David mencium gelagat yang tak biasa. Ia mencoba menangkap raut wajah Adelia, tapi perempuan itu masih menunduk bersembunyi di balik mukena dan dekapan ayahnya.

“Baik, saya akan bertanggung jawab. Tapi beri saya waktu untuk membicarakan ini pada orang tua dan keluarga. Bagaimanapun pernikahan melibatkan dua keluarga besar,” jawab David diplomatis.

“Oh, kalau soal itu tak usah khawatir. Mama dan Adelia sudah membicarakan hal ini dengan orang tuamu via telepon. Mungkin sebentar lagi mereka menghubungimu.”

David tertegun, ia meraih gawai di saku celananya. Gawainya mati, tadi baru sempat dicharge sebentar sebelum pergi bersama Anjani. Astaga, Anjani? Apa yang harus dikatakannya pada Anjani? Bagaimana keadaanya sekarang setelah ia diculik tadi? David menjadi tak tenang, namun tentu tak bisa segera meninggalkan tempat ini.

“Lalu apa yang dikatakan orang tua saya, Ma?”

“Beliau berdua tak keberatan, justru minta secepatnya. Maaf kalau Papa dan Bagas kasar ke kamu tadi. Begitulah kalau laki-laki sudah emosi. Terima kasih sudah tak meladeni emosi mereka.” Sekali lagi David merasa kata-kata Bu Ratri sangat kontradiktif dengan kondisi yang diskenario-kan ini.

“Ini salah kami sebagai orang tua, Vid. Kami lalai menjaga anak kami. Papa tak bermaksud menyakitimu, itu luapan emosi, sebenarnya juga bentuk penyesalan Papa,” ujar Pak Ruslan sambil menahan tangisnya. Adelia lalu menenangkan Papanya, ia memeluk dan menghapus titik air mata yang mulai menetes di pipi Pak Ruslan.

Selanjutnya tak banyak yang dibicarakan orang tua Adelia. Hanya nasihat-nasihat khas orang tua yang diberikan kepada anaknya yang akan menikah. Mereka berdua bahkan mempersilahkan David dan Adelia untuk tinggal di rumah ini setelah menikah. Sementara David masih terus menyimpan banyak pertanyaan di kepalanya.

Pukul sepuluh lewat dua puluh malam, David berpamitan. Ia menyalami Pak Ruslan, mencium tangan yang tadi menamparnya dengan keras. Bahkan telinganya masih sedikit berdenging, luka di bibirnya masih terasa perih. Pak Ruslan lalu memeluknya, membisikkan banyak nasihat di telinganya. Begitu pula Bu Ratri, memeluk dan membelai rambutnya seperti anak sendiri. Ia tampak tak kuasa menahan haru, ada sesuatu di matanya yang ia sembunyikan.

David meminta Adelia memesankan ojek online. Mereka duduk berdua di teras rumah. Dua pria yang tadi membantu Bagas menculiknya sudah tidak ada lagi. Bagas pun sudah mengunci dirinya di dalam kamar.

“Maaf sampai harus seperti ini, Vid.” Adelia membelai wajah David, ia membersihkan sedikit noda darah di sudut bibir David.

“Kamu sudah gila, Del.” ujar David singkat. Ia menekan tulang pipinya yang membiru.

“Maaf, aku kira ini satu-satunya cara biar aku kembali sama kamu. Kamu nggak keberatan kan, Vid, jadi suamiku?”

“Itu memang tujuanku memacarimu dulu, tapi apa prosesnya harus banget kaya gini? Orang tuaku gimana? Ngomong apa kamu sama Ibu?” protes David.

“Tenang aja, Vid. Ibumu nggak tahu kok soal kehamilanku,” ujar Adelia menenangkan.

“Kok bisa? Jadi ibu tahunya apa?” tanya David penasaran.

“Dah ah, nanti kita lanjutin aja via chat, itu ojolnya udah dateng.” Adelia menunjuk pada seorang ojek online yang sudah menunggu di luar pagar dan mengklakson dua kali.

"Eh, kamu nggak hamil beneran kan, Del?"

"Ya enggak lah, Vid." Adelia membelalakkan matanya.

"Dari ekspresi buruk pun ia masih begitu cantik," batin David.

“Oke lah, aku pamit dulu. Salam buat Kak Bagas, bilangin kalo sekali lagi dia mukul aku pasti aku balas,” seloroh David. Adelia tertawa, bahkan ia tak tahu David nyaris pingsan dihantam kakaknya itu di bagian perut. “Oh iya, besok pagi aku jemput. Ikut aku pulang menemui orang tuaku ya?” Adelia mengangguk.

“Hati-hati ya, Sayang.”

“Hah? Apa? Sayang? Sudah boleh lagi ya panggil Sayang?” Adelia tersenyum manis, ia melambaikan tangan pada calon suaminya itu. Sebuah proses besar telah ia lalui, ia merasa apapun bisa ia lakukan agar terus dapat bersama David. Bahkan mengorbankan harga diri di hadapan keluarganya sendiri dan keluarga Rangga.

Related chapters

  • Bulu Perindu   Janggal

    “Jani….” “Kak David? Kakak baik-baik aja?” Suara Anjani terdengar parau, ia belum lama bangun. Setelah kejadian semalam ia terus berusaha menghubungi David tapi tak berhasil. Sampai pagi ini pun tak ada pesannya yang dibalas David. “Iya, Kakak sehat. Bisa keluar sebentar? Kakak di depan pagar rumahmu. Ada hal penting yang mau Kakak omongin,” “Oh, oke Kak, tunggu sebentar.” “Oke.” Sambungan telepon itu terputus. Anjani buru-buru mengenakan pakaian yang layak untuk dikenakan di depan kekasihnya. Ia mencuci muka dan merapikan rambutnya sebentar. Ini pasti penting, masih pukul enam pagi dan David sudah berada di depan pagar rumahnya. Anjani meraih kunci gembok pagar dan keluar melalui pintu samping. “Masuk dulu, Kak.” Anjani menggeser pagar rumahnya sedikit, sekedar cukup untuk dilewati seseorang. Sekilas ia perhatikan wajah David, datar-datar saja. Ada banyak kegelisahan terlihat jelas di sorot matanya. Ada juga sedikit le

  • Bulu Perindu   Syarat Dari Ibu

    “Pipimu masih sakit, Vid?” Adelia membuka pembicaraan setelah mobil yang mereka kendarai melaju beberapa meter dari rumahnya. “Lebam sih, sakit kalo kepegang aja,” jawab David singkat, matanya fokus ke depan. “Maaf ya, aku sudah terlanjur kasih tahu Rangga, aku nggak nyangka kalo dia dan keluarganya langsung dateng buat batalin pertunangan.” “Iya, jadi aku yang nanggung kebohonganmu kan?” ujar David kesal. “Sayang, aku minta maaf. Aku nggak tahu harus pakai cara apa,” Adelia menatap wajah David yang mengemudi di sebelahnya. Jemarinya menggapai pipi kiri David yang jelas sekali lebam. Pria itu masih fokus pada kemudi mobilnya. “Kamu berubah, Del. Kamu di luar ekspektasiku. Kebohonganmu ini benar-benar nggak kuduga,” tutur David datar. Emosinya terasa amat berbeda saat semalam pamit pulang dan saat datang menjemput beberapa menit lalu. “Apa lagi yang aku belum tahu, Del?” David meilirik sekilas kekasihnya yang amat diliputi rasa bersalah.

  • Bulu Perindu   Story David

    Anjani bangkit, bantalnya basah oleh air mata. Kedua matanya masih terus mengalirkan cairan bening yang teriring dengan isak tertahan. Ia duduk bersila di atas tempat tidur dengan sprei merah muda favoritnya. Rambut yang belum lama tadi ia rapikan, sudah tidak beraturan lagi. Sebagian yang menjuntai ke wajah juga basah. Ia tampak begitu berantakan. Gadis itu tak kunjung memahami mengapa hatinya begitu hancur. Padahal tak banyak yang pantas ia tangisi dari dua hari bersama David. Menurutnya tak ada hal istimewa selain momentum di atas motor semalam. Tapi setiap kali ia berpikir untuk tak peduli, air matanya justru semakin deras. Isaknya semakin menderu, seperti ada energi yang terus memaksanya untuk meratapi David. Sama seperti kemarin sampai akhirnya ia paksakan untuk mendatangi David di kostnya. “Jani, kamu nggak kuliah? Udah bangun kan?” seru Ibu setelah mengetuk pintu kamar beberapa kali. Anjani menarik napas panjang. Berusaha menetralkan suasana hatinya y

  • Bulu Perindu   Mata Pisau

    “Pak, Bu, aku pamit ya. Terima kasih sudah menyambutku, terutama untuk restunya,” pamit Adelia pada Bu Maryam dan Pak Ahmad. Kedua orang tua David itu tampak menyunggingkan senyum. “Bilang ke orang tuamu, Insya Allah hari minggu kami ke rumah untuk silaturahmi dan membicarakan rencana pernikahan kalian,” ujar Pak Ahmad saat Adelia menyalami dan mencium tangannya. Ia lalu mengusap lembut kepala Adelia. “Jaga Mamamu ya, Nak. Jangan biarkan dia mikir yang enggak-enggak. Penyakit itu banyak yang datang dari pikiran.” Bu Maryam memeluk perempuan cantik berhijab di hadapannya erat sekali. Seolah menandakan bahwa ia mulai diterima menjadi bagian dari keluarga ini. “Baik, Bu,” jawab Adelia singkat. Sebuah kecupan mendarat di keningnya. Adelia tersenyum lebar menatap wajah teduh Bu Maryam. Perempuan tua ini jauh lebih hangat dan bersahaja dari mamanya sendiri. Bersama suaminya mereka berdua punya tatapan dan senyum yang meneduhkan. David berdiri di depan pintu

  • Bulu Perindu   Mencari Senyum

    Pukul sembilan belas tiga puluh David meninggalkan rumah Adelia. Ia hanya mampir sebentar untuk sholat magrib dan berbincang beberapa hal hasil pertemuan dengan orang tuanya kepada orang tua Adelia. Lalu menolak dengan halus ajakan untuk makan malam bersama, dengan alasan ada pekerjaan yang harus diselesaikan malam ini juga. Berjarak kurang lebih seratus meter, ia melewati rumah Anjani. Rumah yang tiga belas jam lalu ia singgahi, hanya sebentar namun menghasilkan air mata. Seseorang tengah duduk di kursi teras rumah Anjani. Tertunduk memeluk lutut dengan rambut panjang yang menutupi seluruh wajahnya. David memperhatikan sekilas, ia mengangkat kaki dari pedal gas mobilnya. "Siapa dia? Apa mungkin Anjani?" batin David. Ia lalu menghentikan mobilnya di depan rumah tetangga sebelah Anjani. 'Kamu di teras rumah, Jani?' pesan terkirim. Sesekali David menoleh ke belakang memperhatikan perempuan tadi. Tidak ada pergerakan. Pesannya tadi pun belum dibaca. Ah,

  • Bulu Perindu   Tanpa Status

    Satu jam baru saja terlewati. Sejak Anjani keluar dari mobil David dan berusaha melawan hawa dingin di parkiran hotel atas bukit. Tak banyak kata terucap dari kedua mulut insan yang saling mencinta tapi tak bisa bersatu ini. Menikmati junk food dan memanjakan mata dengan pendar lampu-lampu kota sudah cukup membuat hati anjani jauh lebih baik. sejenak ia lupakan dua pertanyaan yang mengganggu pikirannya. David tak ada maksud apa pun selain memperbaiki suasana hati Anjani. Ia merasa bertanggung jawab atas yang terjadi pada gadis itu meski berisiko memberikan harapan semu. David berencana perlahan-lahan melepaskan diri dari Anjani sembari mempersiapkan pernikahannya dengan Adelia. Sungguh sebuah kenyataan yang berbanding terbalik dengan kondisinya beberapa hari lalu. Kini dua ada dua gadis yang menyerahkan hatinya untuk David. “Pulang yuk? Udah jam sembilan,” ajak David. Anjani menatap lekat-lekat lelaki di sampingnya. Lelaki itu bangkit dan merapikan s

  • Bulu Perindu   "Jadikan Aku Muridmu, Suhu!"

    “Lu kemana aja, Bro?”“Lah, ada Lu, Bro? Sejak kapan? Kok gue nggak liat Lu masuk?” David bangkit dari bean bag-nya.“Eee ... anak Pak Ahmad ngelawak. Lu yang dari tadi cengar-cengir depan hape. Sampe nggak nyadar gue masuk. Udah pipis segala gue di kamar mandi Lu. Kemana aja sih? Gue tiga kali kemari nggak ada orang melulu,” protes Andra.“Dih, hari gini ada teknologi namanya hape. Telpon lah! Kalo nggak ada pulsa bisa WA. Nggak ada kuota? Mampir aja bentar di warkop nebeng WIFI, susah amat idup Lu!” balas David.“Lah jomblo kaya Lu biasanya kalo nggak di kost-an ya di kerjaan kan?” seru Andra. Ia lalu mencari stop kontak tanpa penghuni untuk mengisi ulang baterai gawainya. David tak mempedulikan sahabatnya itu. Andra memang sudah biasa menganggap kostnya ini seperti kamar sendiri. Bahkan dulu saat belum dapat kost, ia tinggal bersama David selama beberapa minggu.

  • Bulu Perindu   Lab Kimia

    David menyisir rambutnya perlahan setelah mengaplikasikan gel rambut sebesar ibu jari. Sudah pukul enam empat puluh menit. Biasanya ia sudah dalam perjalanan menuju sekolah. Gara-gara Andra memaksa akhirnya hampir sepanjang malam David menceritakan dengan rinci mengapa ia bisa kembali pada Adelia dan segera akan menikah. Hal itu juga lah yang membuatnya sedikit terlambat bangun. Pemilik rambut ikal berkulit coklat itu masih terlelap karena baru tidur dini hari. Dia lulusan desain grafis yang memilih untuk menjadi pekerja lepas dari pada terikat seperti David. Di jaman serba digital ini kemampuannya banyak dibutuhkan. Ia terbiasa mengerjakan suatu projek sampai melupakan tidur namun ia akan tidur seharian bila projeknya telah selesai. Dari luar Andra tampak begitu tak teratur. Namun sesunguhnya ia adalah lelaki paling terjadwal yang dikenal David. “Bro ... bangun bentar!” David menyentuh ujung jari kaki Andra dengan kakinya yang sudah bersepatu. Andra menggeliat mereg

Latest chapter

  • Bulu Perindu   Batal (TAMAT)

    Pukul delapan belas empat belas menit David tiba di rumah. Mobilnya ia parkirkan di luar pagar tanaman, ketika ia pergi tadi halaman rumah berantakan dan ramai orang-orang yang membantu menyiapkan acara besok. Namun dari dalam mobilnya ia tak melihat aktivitas apa pun di halaman rumahnya. Tak ada juga nyala lampu besar yang sudah diinstalasi sejak tadi siang. Perlahan David keluar dari mobilnya. Langkah kakinya terhenti sejenak di halaman rumah. Hatinya penuh dengan tanya menyaksikan tak ada perubahan berarti dengan dekorasi pelaminan dan seluruh area resepsi. Tak juga terdengar suara aktivitas terutama ibu-ibu yang biasanya riuh bergurau di tengah-tengah pekerjaannya. Pintu rumahnya juga tertutup rapat. Sesuatu yang hampir tak pernah terjadi pada rumah Saiful Hajat. Suara anak kunci diputar dua kali, handel pintu di tekan dan muncul Bu Maryam. Wanita itu berjalan cepat ke arah David dengan wajah panik. Sampai di depan putranya, Bu Maryam tak juga mengucapkan sepatah kata pun. “Ada

  • Bulu Perindu   Dukungan

    “Apa aku bisa, Vid? Aku sempat putus asa, nggak ada yang mau ngerti aku. Papa selalu keras kepala dengan pemikirannya. Mama hanya menutup mata, dia nggak ingetin aku kalau aku salah,” ratap Adelia. Air bening mengalir di pipinya. Orang yang ia harapkan dan rindukan itu kini ada di sampingnya.“Kamu pasti bisa, Del. Aku dukung kamu. Sekarang bukan cuma kamu sendiri yang kamu pikirin. Ada nyawa di dalam rahimmu. Tolong tetap kuat untuk anak kita,” David mengusap air mata di pipi Adelia. “Kamu mau janji buatku?”“Aku janji, Vid,” angguk Adelia sambil tersenyum. Senyum pertamanya sejak mereka memutuskan untuk berpisah. Kehadiran lelaki ini sungguh mampu merubah pemikirannya. Semangatnya kembali tumbuh setelah tandas tak bersisa kemarin.“Alhamdulillah,” sahut David senang. Kedua mata insan yang pernah saling mencinta itu bertemu. Ada banyak energi yang David salurkan pada mantan istrinya. Sedang Adelia kemb

  • Bulu Perindu   Tetap Hidup

    “Terima kasih sudah mau datang, Vid,” ucap Bu Ratri saat menyambut uluran tangan David.Wajah wanita itu berseri memandang wajah David yang lebih tinggi darinya. Jika saja lelaki di hadapannya masih suami Adelia, mungkin ia sudah memeluknya sejak melihatnya tadi. Bu Ratri sekuat hati menahan haru meski tak dapat ia sembunyikan dari air mukanya. Kedua netranya mengembun. Ditambah wajah cemas David yang berusaha segera melihat kondisi putrinya.“Gimana kondisi Adelia, Ma?” tanya David.“Sebelumnya maafkan kami, Vid, sudah mengganggu persiapan pernikahanmu,” ujar Bu Ratri sendu. Jauh di dalam hati tentu ia masih menginginkan David untuk kembali menjadi keluarganya. Meski sekarang sudah mustahil.“Mama nggak perlu pikirkan itu, aku nggak bisa lama di sini. Itu pun karena ada calon anakku di perut Adelia. Dan menurut Mama kehadiranku bisa memperbaiki kondisi Adelia,” ucap David lugas. Bagaimana pun pikirannya jug

  • Bulu Perindu   Ijinkan Aku Pergi

    “Apa?”Jemari David bergetar. Gawainya terlepas dan meluncur jatuh ke lantai pondok sebelum jatuh ke rumput. Kedua netra David mengembun, bibirnya ingin segera berkata-kata namun ada sesuatu yang mengganjal di dada. Bu Maryam mengernyitkan kening. Jantungnya berdegup kencang, sama seperti milik David.“Ada apa, Vid?” tanya Bu Maryam setelah mengambil gawai David dan meletakkan di lantai pondok. Panggilan dari Bu Ratri masih tersambung, namun ia biarkan saja. Ia tak sudi untuk berbincang dengan keluarga itu. Perlahan David menoleh ke arah ibunya. Air matanya sudah menggantung di pelupuk mata.“Adelia, Bu,” ucap David dengan suara bergetar.“Kenapa dengan anak itu?” Bu Maryam mulai mencemaskan kondisi yang terjadi pada putranya.“Adelia hamil, Bu, anakku....”Bu Maryam terperangah. Mulutnya terbuka, ia tutup separuh dengan jemarinya. Ia pikirkan cucunya di masa depan. Belum juga lahir

  • Bulu Perindu   Permohonan

    Halaman rumah Pak Ahmad sudah berdiri tiga plong tenda dengan hiasan kain berwarna marun dan emas. Beberapa ratus kursi plastik menumpuk di sudut teras. Pekerja dekorasi sibuk mondar-mandir menurunkan alat-alat yang akan digunakan untuk memperindah tempat resepsi pernikahan, utamanya pelaminan. Para wanita sudah sibuk mempersiapkan makanan untuk pengajian nanti malam dan akad nikah esok pagi.Meski berencana menggelar acara dengan sederhana, demi rasa tak enak yang tinggi kepada tetangga satu desa, akhirnya persiapan acara besok lebih dari batas sederhana versi David dan keluarganya. Beberapa penyedia perlengkapan acara seperti dekorasi pelaminan dan musik justru diberikan oleh tetangga tanpa memasang tarif.David baru saja selesai memberikan pagar sederhana pada kebunnya. Sekedar pembatas agar orang-orang tak bisa sesuka hati masuk ke dalam sumber mata pencahariannya itu. Saiful, Indra, Zul dan Shinta sudah ia minta untuk libur selama tiga hari. Namun mereka

  • Bulu Perindu   Harapan Mantan Mertua

    Perempuan cantik dengan senyum penuh bahagia tercetak dan terpajang rapi dalam pigura di atas nakas. Tempat tidur empuk itu tak juga membuat nyaman penghuninya. Terbaring di atasnya seorang perempuan yang tampak kurus, sesekali bibir pucatnya melenguh mengindikasikan ada sakit yang ia rasa namun tak mampu ia utarakan. Kadang dari kelopak matanya yang cekung mengalir air mata yang jika dibiarkan akan masuk ke dalam lubang telinga.Ruang perawatan VVIP di sebuah rumah sakit ternama ini sudah Adelia tinggali lebih dari seminggu. Bu Ratri sengaja membawa foto dan beberapa barang kesayangan putrinya agar Adelia merasa seperti di kamar sendiri. Tidak ada kemajuan berarti selama Adelia di rawat. Selang infus yang tertancap di lengan kirinya itu lah yang sedikit mampu membuatnya terlihat lebih baik dari seharusnya.Tak ada keinginan dari Adelia untuk mencoba menyelamatkan hidupnya. Dulu ia berbohong kepada orang tua David tentang kondisi mamanya yang mengkhawatirkan. Kini hal

  • Bulu Perindu   Sebuah Perpisahan

    Seperangkat alat sholat dan sejumlah uang kuno untuk mengenapi nominasi angka hari kelahiran Seruni sudah David dapatkan. Gadis manis dengan sepasang gingsul itu akhirnya menyebutkan mas kawin yang diminta. Meski sebenarnya ia sudah merasa cukup dengan cincin pemberian Bu Maryam yang historis itu. Jika bukan karena desakan David, mungkin Seruni memiliki mas kawin yang sama dengan Adelia.Lusa, pernikahan kedua David akan digelar. Meski tak mengadakan resepsi besar, tetangga di Desa Air Tenang sudah membicarakannya sejak mereka melangsungkan lamaran. Mayoritas dari mereka menyayangkan rencana acara yang hanya digelar sederhana. Tak banyak yang tahu David sudah pernah melangsungkan pernikahan sebelumnya.David melangkah ringan memasuki rumah dengan membawa barang-barang yang diminta Seruni. Satu jam lagi ia akan menjemput calon istrinya itu yang sejak pagi ia tinggalkan di salon bersama dengan Laras. Ia ingin Seruni terlihat spesial di hari pernikahannya. Lagi, gadis itu

  • Bulu Perindu   Seminggu Lagi

    Kini giliran David yang tak banyak bicara. Sepanjang jalan sampai kembali ke rumah yang hanya berjarak lima belas menit, kata yang keluar dari mulutnya bisa dihitung dengan jari. Ia malas setengah mati dengan perilaku Seruni yang terus menerus larut dalam masa lalu. Bahkan ketika David sudah berusaha keras untuk melupakan. Dan Seruni tahu itu. Namun masa lalu David seperti menjadi prioritasnya.Mobil yang David kendarai sudah berhenti di halaman rumah orang tuanya sekaligus Wisata Edukasi Hidroponik miliknya. Lelaki itu memutar kontak mobil ke kiri dan segera keluar dari mobil. Ia ingin segera merebahkan diri di kasur busa single yang kempis namun terasa nyaman. Ruang tengah itu kini sudah menjadi kamar pribadinya. Langkahnya gontai, cermin dari aktivitas padatnya hari ini.Seruni berdiri mematung di sisi kiri mobil bercat putih itu. Tatapannya berubah ke bawah setelah punggung calon suaminya menghilang di balik pintu. Merutuk pada diri sendiri sudah ia lakuka

  • Bulu Perindu   Long Macchiato

    Long Macchiato, dua kata itu begitu membekas di telinga Seruni. Kata yang diucapkan Anjani dengan penuh kegembiraan di sorot matanya. David amat menggemarinya, mengapa Seruni sampai sekarang tak tahu? Sudah sejak siang setelah rombongan SMP 19 Trimarga pulang, gadis itu segera meramban internet guna mencari arti kata Long Macchiato. Varian kopi double expresso dengan steamed milk. Dari balik tirai kamar David yang selalu ia tempati ini, Seruni bisa melihat calon suaminya tengah mengawasi dua orang pekerjanya yang tengah memuat beberapa kantung besar hasil panen sore ini. Biasanya David akan mengantarkannya sendiri ke rekannya di Kotamadya yang bersedia menampung untuk dijual ke swalayan. “Apakah saat mengantar sendiri seperti ini Daud bertemu Anjani? Menikmati Long Macchiato buatan gadis itu sambil berbincang akrab,” batin Seruni. Gadis berambut gelombang sebahu yang selalu ia tutupi dengan jilbab itu mengusap kasar wajahnya. Mengapa ia begi

DMCA.com Protection Status