“Bunda kenapa nangis?” Aleya berdiri di depan pintu melihat ke arahku dengan tatapan yang membingungkan.
“Sini Sayang, dekat Bunda.” Aku membentangkan kedua tanganku, berharap ia datang dan masuk dalam pelukanku.“Iya Bunda.” Gadis kecilku berlari dan berhamburan menyambut pelukanku.Isak tangisku semakin pecah, setelah adanya Aleya dalam pelukan. Terus kudekap dan peluk sambil mencium kepalanya yang dari tadi menempel di dadaku dalam diam.Entah berapa lama kami berpelukan, hingga mbok Sumi melihat keberadaan kami. Wanita paruh baya itu berdiri di depan pintu kamarku, dengan tatapan sendu.Ia sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, lama sebelum aku menikah dengan bang Rey, mbok Sumi sudah tinggal bersamaku, pengabdiannya untuk keluarga besar Sudarso Prasetio, papaku sendiri tidak di ragukan lagi.“Non, kenapa menangis?” Ia kelihatan sangat cemas dengan keadaanku sekarang.“Nggak apa-apa kok, Mbok.” Jawabku dengan suara serak.“Yang sabar ya, Non. Kasian neng Aliya, ia ikutan sedih lihat Non menangis.” Mbok Sumi kelihatan terhanyut dalam kesedihan yang kurasakan. Bulir putih di sudut mata wanita itu juga jatuh ke pipi, lalu dengan sigap ia menghapus dengan sapu tangan yang ada di genggamannya.“Ini terlalu sakit untukku, Mbok.”“Iya, Mbok tau, ini akan menyiksa Non.”“Maksud Mbok apa? Menyiksaku?” Aku langsung menatap bik Sumi dengan tatapan tajam yang membingungkan. Sepertinya ia mengetahui sesuatu tentang masalah yang sedang kuhadapi saat ini.“I-Iya, eh maksud Mbok pasti setiap tangisan akan membuat kita tersiksa, karena ada beban di balik itu.” Mbok Sumi langsung memalingkan wajahnya ke sembarang arah. Lalu wanita itu pergi dari hadapanku dengan buru-buru.Sepertinya ada sesuatu yang ia sembunyikan dariku, kalau tidak, nggak mungkin ia sampai gugup menjawab pertanyaan yang kulontarkan padanya.Setelah kutenangkan diri dan juga Aleya, sedikit aku termenung. Buku nikah yang masih dalam genggaman ini adalah bukti yang kuat untukku meminta cerai dari bang Rey. Namun sebelum itu terjadi aku harus menyelidiki terlebih dahulu siapa wanita yang telah menikah dengan suamiku. Aku tidak akan membiarkan ia semudah itu bebas dalam menjalani kehidupannya, sedangkan aku disini sedang menanggung luka.Aku terus mondar mandir di kamar mencari ide bagaimana supaya bisa bertemu dengan wanita jalang perebut suamiku. Aku akan membuat perhitungan dengannya dan mendengarkan alasannya kenapa harus menikah dengan laki-laki yang sudah mempunyai istri.Aku yakin pasti bang Rey sering pergi ke rumah istri simpanannya, dan jangan-jangan ia pergi ke luar kota cuma alasannya saja.Astagfirullah ini sungguh keterlaluan sekali, Bang! Batinku terus bicara.Sudah empat hari bang Rey pergi dari rumah, katanya untuk urusan perusahaan, memang akhir-akhir ini pekerjaan sangat banyak dan papa selalu mempercayai suamiku untuk mewakilinya jika ada pertemuan di luar kota dengan kliennya.Namun setelah mendapatkan buku nikah ini, kecurigaanku mulai memuncak, ia pasti tidak keluar kota tetapi menginap di rumah istrinya.Ya Allah kuatkan aku untuk menghadapi semua ini.Mbok Sumi, iya aku harus bertemu dengannya, dan mempertenyakan sesuatu yang ia rahasiakan dariku.Terdengar suara dentingan peralatan di dapur, pasti mbok Sumi lagi memasak. Aku pun menuju ke sana, rasanya tidak sabar untuk mendengar penjelasannya. Pasti ada sesuatu yang ia sembunyikan.“Mbok?” Aku memegang pundak wanita paruh baya itu.“I-iya, Non.” Mbok sumi tampak kaget melihat keberadaanku yang tiba-tiba muncul dan berdiri di belakangnya.“Lagi masak ya, Mbok?”“Iya, Non. Mbok lagi masak ikan nila gulai kuning nih, kan ini kesukaan den Rey. Nanti malam pasti ia makan dengan lahap.”Ia memang sayang pada suamiku, karena masa lalunya yang kehilangan anak laki-laki membuat mbok Sumi trauma, apalagi itu adalah anak satu-satunya. Namanya Tio, ia kecelakaan pulang sekolah dan setelah seminggu di rawat di rumah sakit, ia tidak bisa diselamatkan lagi dan Tio meninggal.Sekarang mbok Sumi hanya berdua dengan suaminya pak Ahmad yang juga tinggal di rumah ini dan menjadi supir pribadiku.“Mbok, aku mau nanya sesuatu. Boleh nggak?” sambilku beralih memandangi wajahnya.“Silakan Non. Mau nanya apa?”“Mbok jawab dengan jujur, ya!”“Iya, mau nanya apa?” Mbok sumi sedikit kebingungan melihat tatapanku yang sedikit sendu.“Mbok tau sesuatu tentang apa yang terjadi dengan bang Rey?” Sambilku menarik kursi dan duduk, lalu menopang dagu dengan satu tangan di atas meja.“Yang mbok tau, mas Rey adalah suami yang menyayangi dan mencintai Non Hanum dengan tulus.” Ia melirik ke arahku dengan seulas senyum dari bibirnya.Seketika jawaban mbok Sumi seakan mencambukku dengan keras. Ia mengatakan sayang dan cinta yang tulus, setelah kecurangan yang ia lakukan padaku apakah pantas di sebut seperti itu?“Setelah apa yang diperbuat bang Rey padaku, masih kah bisa di sebut dengan sayang dan cinta yang tulus, Mbok?”“Ma-maksud Non Hanum apa?” Mbok Sumi menghentikan langkahnya untuk mengambil mangkok yang masih bertengger di atas rak, lalu ia hanya berdiri dengan sedikit menunduk tanpa menoleh ke arahku.“Aku pengen tau, semua yang Mbok ketahui tentang latar belakang bang Rey.” Sambilku berjalan menuju mbok Sumi dan menarik tangannya untuk duduk di sampingku.Seketika mbok Sumi hanya diam membisu di depanku, sepertinya ia mencoba untuk mempersiapkan jawaban terbaik untukku.“Hmm,Mbok nggak terlalu banyak tau hal tentang mas Rey. Non.” Ia mengumpal jari jemarinya untuk menutupi kegugupan, walaupun aku sudah membacanya sendiri.“Mbok sayang sama aku kan? Hanya Mbok yang bisa kutanyakan tentang permasalah ini, karena aku bisa membaca ada sesuatu yang sedang Mbok sembunyikan.” Aku menatap mata mbok Sumi dengan penuh harap dan menggenggam kedua tangannya.“Mbok sangat sayang sama Non, sudah Mbok anggap seperti anak sendiri.” Ia juga menatapku dengan sendu.“Kalau begitu, tolong jelaskan padaku siapa istri kedua bang Rey?” Ada bulir putih yang mulai mengembun di mataku.“Baik lah, tapi sebelum itu, Non harus janji nggak boleh sedih dan tertekan dengan semua keadaan ini, Mbok ingin Non tetap kuat dan menerimanya dengan ikhlas.” Ia mengusap pundakku dengan jarinya yang mulai mengeriput.“InsyaAllah, Mbok. Ceritkan siapa istri kedua bang Rey?” Jawabku dengan suara yang sedikit tertahan.“Bu-bukan istri kedua Non, tetapi istri pertama.” Air mata mbok Sumi jatuh ke tanganku yang berada di atas kedua pahanya.“Ma-maksud Mbok apa? Siapa sebenarnya istri pertama dan kedua? Jawab Mbok!” Jantungku berdebar, darah mengalir deras di seluruh urat nadi, air mata tumpah. Ini tidak mungkin, semua ini pasti bohong, aku nggak mungkin istri kedua!. Ya Allah…, apa yang telah terjadi?Hari semakin sore, aku tidak bisa lagi untuk menunggu terlalu lama. Bang Rey harus bisa menjelaskan semua permasalahan ini. Aku tidak akan percaya begitu saja semua yang sudah di jelaskan Mbok Sumi, iya semua itu pasti salah dengar, aku nggak mungkin istri kedua, jelas-jelas wanita penggoda itu yang istri kedua. Kuambil ponsel yang masih bertengger di atas nakas, lalu kucari nomor bang Rey, mencoba untuk menghubunginya. Satu, dua, hingga tiga kali mencoba kuhubungi akhirnya ia mengangkat teleponku.[“Assalammualaikum, Bun.”] Ia seperti bahagia dengan panggilanku. [“Wa’alaikumussalam, Yah.”] Jawabku dengan tetap tenang. Meskipun sebelah tangan menempel di dada. Debaran di dalam sana membuatku semakin tidak tenang, awalnya aku berdiri, tetapi kini akhirnya memilih duduk karena lutut kian bergetar. [“Ada apa Bunda nelpon?"]Seketika terdengar suara seorang perempuan di dekat bang Rey. Aku yakin perempuan itu pasti istrinya.[“Ayah ada di mana? kenapa jam segini belum sampai di rumah,
“Bang, kok buku nikahnya ditinggal di ruang kerja?” Tanyaku sambil mengambil pakaian kotor yang ada di dalam koper suamiku.“Bukannya Sayang yang menyimpan dalam lemari?”Sayang? Ia masih memanggilku dengan sebutan itu. Terdengar sangan menjijikkan di telangku, lebih baik nggak usah manggil sayang lagi, mungkin hatiku tidak sepedih ini.“Lupa juga Han, Bang. Soalnya tadi siang Aleya menemukan buku ini di ruang kerja Abang.” Sambilku mengambil buku itu dan memberikannya ke tangan bang Rey. Aku terus berpura-pura tidak ingat dengan buku nikahnya yang sudah kusimpan rapi di dalam lemari.“Oh, iya, Abang lupa. Kan buku nikah pegangan suami biasanya memang Abang yang nyimpan sendiri.” Walaupun terlihat dengan wajah yang gugup, tetapi lelaki yang berada di depanku terus mencoba untuk membuat suasana tidak tegang. “Oke, kalau begitu mandi lah dulu, Han tunggu di meja makan. Semua ganti baju Abang sudah ada di atas ranjang.” Sambilku tersenyum tipis padanya.Ketika hendak berjalan menuju ke
“Bun, sudah dikasih tau sama Ayah tentang fotonya dalam buku itu?” Tiba-tiba Aleya memelukku dari belakang.“Haa! foto dalam buku?” Bang Rey yang baru keluar kamar mandi langsung kaget mendengar apa yang dibilang putri kecilnya. Namun, ia tetap berusaha untuk menutupi.“Aduh…!, Bunda lapar nih. Yuk kita makan. Kami tunggu Ayah di meja makan ya, cepat sedikit jangan lama-lama.” Aku pura-pura lapar dan memegang perut, lalu mengajak Aleya ke luar dari kamar tanpa menjawab pertanyaan suamiku.Semua itu kulakukan agar ia tidak curiga tentang buku nikah yang kutemukan di ruang kerjanya. Aku tidak ingin itu terjadi, biar saja permainan ini berjalan perlahan tetapi satu per satu aku bisa mengupas kulitnya. Makan malam begitu terasa hangat, karena Aleya putri kecilku mampu mencairkan suasana. Lebih kurang lima belas menit kami hanya menyantap masakan yang sudah kuhidangkan dengan lengkap yang juga dibantu mbok Sumi. Ikan nila gulai kuning adalah masakan kesukaan bang Rey. Benar saja lelaki it
“Bunda…, ini buku apa?”Tiba-tiba Aleya berteriak dari ruang kerja suamiku, bang Rey.“Palingan buku kerja Ayah, jangan diganggu, nanti hilang.” Jawabku dari arah dapur yang sedang memasak nasi goreng daging untuk anakku, Aleya. Ia memang suka dengan menu yang satu ini, apalagi kalau ditambah dengan acar sebagai pelengkap.“Tapi kok ada foto Ayah. Bun?” Suaranya lagi-lagi menghentikan pekerjaanku sejenak yang sedang mengaduk nasi goreng sambil terburu-buru.“Ya, iyalah Sayang, itu mungkin dokumen berharga, biarkan saja di situ, jangan diganggu!” Sahutku kembali sambil melanjutkan aktivitasku di dapur.“Bunda! Hanifah itu siapa?” Aleya kembali lagi bertanya padaku.Lagi, aku kembali menghentikan pekerjaan sejenak. Lalu menoleh ke arah pintu dapur meskipun dari sini tidak bisa kulihat keberadaan Aleya yang justru di ruang kerja ayahnya.“Mana lah Bunda tau, Nak. Palingan rekan kerja Ayah di kantor.” Jawabku sambil menuangkan nasi goreng yang sudah dimasak ke dalam mangkok lalu meletakka
“Bun, sudah dikasih tau sama Ayah tentang fotonya dalam buku itu?” Tiba-tiba Aleya memelukku dari belakang.“Haa! foto dalam buku?” Bang Rey yang baru keluar kamar mandi langsung kaget mendengar apa yang dibilang putri kecilnya. Namun, ia tetap berusaha untuk menutupi.“Aduh…!, Bunda lapar nih. Yuk kita makan. Kami tunggu Ayah di meja makan ya, cepat sedikit jangan lama-lama.” Aku pura-pura lapar dan memegang perut, lalu mengajak Aleya ke luar dari kamar tanpa menjawab pertanyaan suamiku.Semua itu kulakukan agar ia tidak curiga tentang buku nikah yang kutemukan di ruang kerjanya. Aku tidak ingin itu terjadi, biar saja permainan ini berjalan perlahan tetapi satu per satu aku bisa mengupas kulitnya. Makan malam begitu terasa hangat, karena Aleya putri kecilku mampu mencairkan suasana. Lebih kurang lima belas menit kami hanya menyantap masakan yang sudah kuhidangkan dengan lengkap yang juga dibantu mbok Sumi. Ikan nila gulai kuning adalah masakan kesukaan bang Rey. Benar saja lelaki it
“Bang, kok buku nikahnya ditinggal di ruang kerja?” Tanyaku sambil mengambil pakaian kotor yang ada di dalam koper suamiku.“Bukannya Sayang yang menyimpan dalam lemari?”Sayang? Ia masih memanggilku dengan sebutan itu. Terdengar sangan menjijikkan di telangku, lebih baik nggak usah manggil sayang lagi, mungkin hatiku tidak sepedih ini.“Lupa juga Han, Bang. Soalnya tadi siang Aleya menemukan buku ini di ruang kerja Abang.” Sambilku mengambil buku itu dan memberikannya ke tangan bang Rey. Aku terus berpura-pura tidak ingat dengan buku nikahnya yang sudah kusimpan rapi di dalam lemari.“Oh, iya, Abang lupa. Kan buku nikah pegangan suami biasanya memang Abang yang nyimpan sendiri.” Walaupun terlihat dengan wajah yang gugup, tetapi lelaki yang berada di depanku terus mencoba untuk membuat suasana tidak tegang. “Oke, kalau begitu mandi lah dulu, Han tunggu di meja makan. Semua ganti baju Abang sudah ada di atas ranjang.” Sambilku tersenyum tipis padanya.Ketika hendak berjalan menuju ke
Hari semakin sore, aku tidak bisa lagi untuk menunggu terlalu lama. Bang Rey harus bisa menjelaskan semua permasalahan ini. Aku tidak akan percaya begitu saja semua yang sudah di jelaskan Mbok Sumi, iya semua itu pasti salah dengar, aku nggak mungkin istri kedua, jelas-jelas wanita penggoda itu yang istri kedua. Kuambil ponsel yang masih bertengger di atas nakas, lalu kucari nomor bang Rey, mencoba untuk menghubunginya. Satu, dua, hingga tiga kali mencoba kuhubungi akhirnya ia mengangkat teleponku.[“Assalammualaikum, Bun.”] Ia seperti bahagia dengan panggilanku. [“Wa’alaikumussalam, Yah.”] Jawabku dengan tetap tenang. Meskipun sebelah tangan menempel di dada. Debaran di dalam sana membuatku semakin tidak tenang, awalnya aku berdiri, tetapi kini akhirnya memilih duduk karena lutut kian bergetar. [“Ada apa Bunda nelpon?"]Seketika terdengar suara seorang perempuan di dekat bang Rey. Aku yakin perempuan itu pasti istrinya.[“Ayah ada di mana? kenapa jam segini belum sampai di rumah,
“Bunda kenapa nangis?” Aleya berdiri di depan pintu melihat ke arahku dengan tatapan yang membingungkan.“Sini Sayang, dekat Bunda.” Aku membentangkan kedua tanganku, berharap ia datang dan masuk dalam pelukanku.“Iya Bunda.” Gadis kecilku berlari dan berhamburan menyambut pelukanku.Isak tangisku semakin pecah, setelah adanya Aleya dalam pelukan. Terus kudekap dan peluk sambil mencium kepalanya yang dari tadi menempel di dadaku dalam diam. Entah berapa lama kami berpelukan, hingga mbok Sumi melihat keberadaan kami. Wanita paruh baya itu berdiri di depan pintu kamarku, dengan tatapan sendu. Ia sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, lama sebelum aku menikah dengan bang Rey, mbok Sumi sudah tinggal bersamaku, pengabdiannya untuk keluarga besar Sudarso Prasetio, papaku sendiri tidak di ragukan lagi.“Non, kenapa menangis?” Ia kelihatan sangat cemas dengan keadaanku sekarang.“Nggak apa-apa kok, Mbok.” Jawabku dengan suara serak.“Yang sabar ya, Non. Kasian neng Aliya, ia ikutan sedih
“Bunda…, ini buku apa?”Tiba-tiba Aleya berteriak dari ruang kerja suamiku, bang Rey.“Palingan buku kerja Ayah, jangan diganggu, nanti hilang.” Jawabku dari arah dapur yang sedang memasak nasi goreng daging untuk anakku, Aleya. Ia memang suka dengan menu yang satu ini, apalagi kalau ditambah dengan acar sebagai pelengkap.“Tapi kok ada foto Ayah. Bun?” Suaranya lagi-lagi menghentikan pekerjaanku sejenak yang sedang mengaduk nasi goreng sambil terburu-buru.“Ya, iyalah Sayang, itu mungkin dokumen berharga, biarkan saja di situ, jangan diganggu!” Sahutku kembali sambil melanjutkan aktivitasku di dapur.“Bunda! Hanifah itu siapa?” Aleya kembali lagi bertanya padaku.Lagi, aku kembali menghentikan pekerjaan sejenak. Lalu menoleh ke arah pintu dapur meskipun dari sini tidak bisa kulihat keberadaan Aleya yang justru di ruang kerja ayahnya.“Mana lah Bunda tau, Nak. Palingan rekan kerja Ayah di kantor.” Jawabku sambil menuangkan nasi goreng yang sudah dimasak ke dalam mangkok lalu meletakka