Bab45"Nyonya muda! Nyonya muda!" pekik pelayan itu panik."Brisik!" teriak nyonya Sabhira, yang asik dengan tontonan tivinya."Nyonya Sabhira, nyonya muda kini pingsan," pekik pelayan itu, membuat nyonya Sabhira sedikit terkejut."Panggilkan Dokter! Aku tidak mau wanita miskin itu tiba-tiba mati nggak jelas di rumah ini," bentak nyonya Sabhira pada pelayan itu.Pelayan pun mengangguk, dengan sigap memanggilkan Dokter.Dokter muda tampan itu tersenyum, kala selesai memeriksa Case. "Selamat nyonya! Nona muda tengah hamil," ucap sang Dokter, membuat nyonya Sabhira kesal."Hamil? Dasar sialan, pake acara hamil segala," ketus nyonya Sabhira. Case hanya menghela napas lemah, tidak ada tenaga rasanya dirinya kini."Sudah selesai kan? Pergilah dari rumahku," ucap nyonya Sabhira lagi pada sang Dokter.Dokter tampan itu hanya tersenyum kecil, sembari memberikan vitamin untuk Case.Sepeninggal Dokter tampan itu, nyonya Sabhira meminta pelayan keluar dan membiarkan dia dan Case hanya berdua."A
Bab46"Kau baru sadar?" decak Joe angkuh. Usai berkata pedas, lelaki itu pergi meninggalkan isak tangis Case."Sayang ...." Terdengar suara Mary menyambut Joe di dekat pintu kamar Case. Case pun mendengar jelas suara manja Mary.Hatinya pedih dan sakit, mendapat perlakuan dan celaan suaminya sendiri.Hari ke hari, tubuh Case menjadi mulai gemuk dan tumbuh beberapa jerawat besar di wajahnya yang semula mulus.Joe semakin tidak senang dan jijik melihat Case. "Kandunganmu sudah cukup besar! Dan sekarang lakukan kembali tugasmu di rumah ini, jangan bermalas- malasan," titah nyonya Sabhira."Kau gemuk dan semakin jelek. Sudah miskin, kau juga sangat menjijikan," caci nyonya Sabhira. "Entah bagaimana rupa anakmu nanti," serunya kembali dengan ekspresi jijik.Case tidak menyahut dan tidak pula menanggapinya. Perih dihati dia tahan, selain demi anaknya, juga demi misi yang Wiliam berikan.Kian hari, kehidupan Case semakin menyedihkan. Wanita itu termenung duduk di taman mini rumah besar itu
Bab47Tangis bayi mungil itu semakin kencang, membuat Joe merasa terusik dan berjalan cepat ke arah kamar Case.Brakkk .... lelaki itu menendang keras daun pintu, membuat Case sangat terkejut, begitu pula dengan bayinya yang malah semakin keras menangisnya."Diamkan bayi sialan itu," bentak Joe dengan mata melotot, membuat Case sangat syok mendengar ucapannya."Dia lagi sakit demam, Joe. Aku sudah dari tadi berusaha menenangkannya, tapi dia tetap menangis," jelas Case, dengan mata yang berkaca- kaca."Kau ibu yang bodoh! Mengatasi anak bayi saja tidak bisa. Aku benar- benar muak dengan semua ini.""Gendonglah dia, Joe. Aku pikir dia sedang merindukan kamu. Dari dia lahir, kamu tidak pernah mau menyentuhnya sama sekali.""Aku capek banyak kerjaan! Kepalaku pusing, ditambah lagi dengan tangisannya dari tadi," keluh Joe."Mungkin dia ingin kamu peluk, Joe. Biar bagaimana pun juga, ini anak kamu," sahut Case dengan suara bergetar.Joe mendengkus. "Dari awal sudah kubilang, gugurkan saja d
Bab48"Sepertinya wanita ini mau pergi," ejek nyonya Sabhira. "Hei wanita miskin! Sadar diri itu perlu. Apakah dengan pergi dari rumah besar ini bersama bayimu itu, kau mampu hidup di kakimu sendiri? Jangan membuat lelucuan di masa depan, aku sangat malu jika nanti bertemu kamu di tengah jalan dalam keadaan mengemis belas kasihan orang.""Itu benar, Bu. Aku yakin, kakak tidak akan memberikan 1% pun harta kita untuk wanita ini dan bayinya," cibir Elvina."Jelas! Ibu tidak akan rela dan mengizinkan hal itu terjadi.""Kalian tidak usah memikirkan harta apapun juga! Karena aku memiliki semua itu," jawab Case dengan suara bergetar menahan perih."Sombong dan bodoh! Harta macam apa yang kamu punya? Kamu dan Ibumu hanyalah benalu yang menyedihkan di keluarga ini," bentak nyonya Sabhira keras."Ribut terus! Apakah kalian tidak bosan?" desis Joe, yang menuruni anak tangga.Pelayan tua yang berjalan dari dapur pun meraih bayi mungil Case."Biarkan saya menggendongnya, Nyonya. Kasihan sekali ba
Bab49"Semua orang berhak bahagia, Joe. Kamu dan seluruh keluargamu, hanya mengukur dari harta dan tahta. Dan hal itu pula lah, yang membuat kalian mati rasa dan dengan tega membully aku bertahun- tahun lamanya. Dan karena harta dan tahta inilah, yang membuat ibumu tega, menghilangkan sisi keibuannya kepadaku, demi menyalurkan rasa benci yang seumur hidup akan dia sesali," ucap Case panjang lebar.Joe tidak bisa bersuara lagi saat ini, lelaki itu terdiam mendengarkan semua penuturan Case."Mari bercerai," pinta Case tegas."Kau yakin?""Tentu saja.""Anak kecil itu butuh kasih sayang kedua orang tuanya," ucap Joe dengan suara lirih."Sudah terlambat. Lagi pula, anakku tidak dianggap di rumah ini, bahkan dikatakan anak pembawa sial. Sebagai seorang ibu yang bertaruh nyawa melahirkannya, aku terluka sangat dalam. Bahkan rasanya, aku tidak kuat untuk hidup, ketika Ibumu dan juga kamu, tega memalingkan wajah dari anakku, dan mengatakan dia pembawa sial, hanya karena aku miskin dan tidak j
Bab50"Khilaf bertahun- tahun, Bu?" sindir Case."Case, saya dan keluarga hanya manusia biasa, kau tidak berhak membenci kami secara sepihak. Biar bagaimana pun juga, apapun yang kamu butuhkan, kami selalu cukupi dan bantu.""Itu menjadi kewajiban kalian, karena anakku menantu di rumah ini." Wiliam menyahut dengan keras."Kalian bukan hanya menyakitiku sebagai menantu. Tapi juga anakku, sebagai cucu pertama keluarga ini. Kalian anggap kami sampah," terang Case dengan hati sakit."Maaf," lirih nyonya Sabhira."Tapi biar bagaimana pun juga, Case adalah istrinya Joe, anak kami. Maka dari itu, tidak mungkin Case meninggalkan rumah ini begitu saja," ucap nyonya Sabhira dengan berani, membuat Wiliam tersulut emosi."Mantako Jordan!" teriak Wiliam, sembari memandangi tajam wajah nyonya Sabhira."Ya, Tuan." Mantako Jordan mendekat."Hancurkan seluruh bisnis keluarga Wilianus! Agar mereka tahu, menyakiti keluarga Wiliam, sama saja dengan mendekati kehancuran mereka," teriak Wiliam lantang. Mem
Bab51"Ketua saya mohon! Pertimbangkan lagi. Biar bagaimana pun juga, Joe adalah ayah dari cucu anda. Cucu kita, Ketua. Bagaimana jika nanti dia tahu, bahwa Anda, adalah orang yang membuat dia dan ayahnya terpisah," ucap nyonya Sabhira lagi."Cucu kita? Itu adalah cucuku! Bukan cucumu, paham!" bentak Wiliam. "Andai aku tidak terpisah dengan Case dan Ibunya. Tidak akan kubiarkan, sampah seperti kalian menyakitinya, bahkan menjadikannya menantu keluarga ini.""Tetapi faktanya dia adalah cucuku juga! Anak kandung Joe," jawab nyonya Sabhira lagi."Apakah anda tidak kasihan pada nasibnya kelak? Besar tanpa sosok seorang ayah, sepertinya ibunya," sindir nyonya Sabhira dengan berani."Rupanya kau berani sekali padaku! Baiklah, jangan salahkan aku, jika kejadian malam ini, adalah malam yang akan kau dan keluarga sesali.""Ketua anda salah paham, aku hanya----.""Hentikan," teriak Joe keras. "Ibu terlalu banyak bicara, hanya akan membuat kita semakin dalam masalah.""Joe, ibu membela kamu," sa
Bab52"Coba tanyakan pada mereka! Apakah mereka akan mengira dan tahu, bahwa Case anak Ketua Wiliam Alexander yang sangat kami hormati? Tidak satu pun yang akan percaya. Sebab apa? Maafkan saya Ketua. Dari penampilan dan kehidupan yang Case jalani, itu sangatlah buruk dan memalukan.""Cukup! Tutup mulut busukmu itu," hardik Joe dengan keras. "Bahkan dalam keadaan seperti ini saja, kamu masih berkata menghina.""Mantako Jordan," panggil Wiliam. "Ya, Tuan," sahut Mantako Jordan."Katakan pada Khan Wilson, putuskan hubungan kerjasama kita kepada White enterprise dan pecat Joe Wilianus secara tidak hormat dan masukan seluruh anggota keluarga White dalam daftar hitam kota Monarki, beserta keluarga Wilianus tanpa terkecuali."Mendengar titah Wiliam pada Mantako Jordan, seketika lutut Mary White mendadak gemetar. Mantako Jordan pun bersiap untuk menjalankan tugas dari sang Tuan."Mohon jangan lakukan itu pada putraku, Ketua. Tolong, tolong kasihani kami," mohon nyonya Sabhira dengan terisa
Bab156"Semua begitu cepat berubah. Dalam hitungan beberapa hari saja, tingkah kamu menjadi begitu tidak biasa. Ada apa? Apa ini ada hubungannya dengan mereka?" tanya Desca pada Jeremy, ketika mereka masuk ke dalam mobil Jeremy."Itu hanya perasaan kamu saja. Sudahlah, tidak untuk di bahas, semua hanyalah kebetulan.""Oh ya? Bagaimana mungkin ini kebetulan. Sedangkan pagi sekali, kamu pergi meninggalkan rumah tanpa pamit. Ini bukan kamu, Jeremy. Aku ini istri kamu, aku kenal kamu dengan baik."Jeremy menarik napas, dan mulai melajukan mobilnya. Desca terdiam, karena Jeremy tidak menanggapi ucapannya. Hatinya jelas gelisah, sebab di selimuti perasaan curiga."Aku mampu mencari tahunya sendiri, jika kamu tidak berani jujur," ujar Desca lagi, membuat Jeremy menelan ludah."Kamu tentu tahu bagaimana sifat burukku. Jika kamu membuat sesuatu yang salah, dan tidak berani mengakuinya, maka aku pun tidak segan- segan, melakukan sesuatu yang tidak bisa kamu perkirakan dampaknya," lanjut Desca l
Bab 155Sebagai seorang istri, Desca jelas merasakan sekali perubahan sang suami. Jeremy yang emosi, menatap tajam kepada Desca yang matanya kini berkaca- kaca."Aku butuh ketenangan, paham!!" tekan Jeremy. Wanita itu hanya terdiam, meski air mata kini jatuh berhamburan membasahi pipinya. Hal itu membuat Jeremy seketika merasa bersalah dan langsung memeluk Desca."Maaf, maaf jika aku berkata kasar dan melukaimu," lirih Jeremy, sembari memeluk istrinya itu.Desca masih tidak bersuara, dia cukup syok dengan perlakuan Jeremy hari ini. "Aku mau istirahat," ujar Desca pada akhirnya, setelah melepaskan diri dengan perlahan dari pelukan Jeremy.Lelaki itu tahu, bahwa kini Desca terluka, dia pun memilih diam dan membiarkan Desca berjalan menuju kasur."Kamu sudah makan?" tanya Jeremy. Namun Desca tidak menyahut dan langsung menenggelamkan diri di dalam selimut.Jeremy terdiam, dan duduk termenung di depan laptopnya yang masih menyala.Bayangan kedua anak kembar Rebecca, membuat pikiran Jere
Bab154"Tidak, aku tidak akan memberitahu mereka," tegas Rebecca. Wanita itu membuang pandangannya dari Jeremy."Oh begitu. Aku yang akan beritahu mereka."Rebecca kembali menatap Jeremy, kemudian tersenyum. "Apakah kamu sudah siap? Jika istrimu mengetahui semuanya?"Jeremy terdiam. Wajahnya nampan gusar, membuat Rebecca tersenyum kecut."Pergilah! Ada baiknya kita, tidak usah saling mengenal lagi. Semua yang pernah terjadi antara kita, anggap saja angin lalu."Jeremy mengernyit. "Angin lalu? Andai tidak ada mereka, tidak masalah bagiku."Mendengar jawaban Jeremy seperti itu, ada perasaan terluka di hati Rebecca. Ingin sekali wanita itu menangis dan mengumpat Jeremy yang berkata selugas itu."Pergilah, aku perlu beristirahat.""Baiklah, tapi ingat, jangan melarangku untuk dekat dan bertemu mereka."Rebecca menatap dalam mata Jeremy. "Akan kupikirkan."Kemudian terdengar bunyi bell. Rebecca beranjak dari duduknya dan menuju pintu. Wanita itu membuka lebar daun pintu dan."Taraaa ...
Bab153Seakan mengulang masa lalu sang Ayah, Jeremy tidak mengenali Clara, seperti Wiliam dulu tidak mengenali Case.Bedanya Wiliam dan Aluna Welas sempat menikah dan bahagia. Sedangkan Rebecca dan Jeremy? Kandas karena hadirnya sosok Rebecca diantara mereka.Panggilan telepon masuk, ketika Jeremy sedang makan siang bersama keluarganya. Melihat nama orang suruhannya yang menghubungi, Jeremy pun menjawab panggilan itu, dengan menjauh dari meja makan."Tuan ....""Ya, bagaimana?""Dia benar nyonya Rebecca yang anda cari selama ini, dan kedua anak itu adalah anaknya, mereka kembar!" seru lelaki di seberang telepon.Jeremy tertegun, mendengar informasi itu."Kembar!!" "Ya, Tuan. Selama ini, nyonya Rebecca bekerja seorang diri menghidupi kedua anaknya, beliau belum menikah. Hanya saja, ada seorang laki- laki yang memang sangat dekat pada mereka.""Siapa itu?""Zacob Catwalk, Tuan."Hati Jeremy terasa tidak nyaman, mendengar tentang Zacob Catwalk yang dekat dengan Rebecca dan kedua anak k
Bab152Panas dingin, kini Rebecca mendadak kaku, dan seakan kesulitan untuk menoleh ke belakang."Siapa nama kamu?" tanya lelaki itu."Ansel, menghindar! Kamu lupa yang Mami katakan? Jangan bicara dengan orang asing," bentak Clara.Gadis berwajah imut itu menarik tangan Ansel, membawanya menjauh dari Jeremy."Aku bukan orang asing," sahut Jeremy. "Mami, Ansel bicara dengan orang asing," kata Clara mendekati Ibunya. Jeremy yang semula berjongkok karena berbicara pada Ansel, pun kini berdiri.Tidak jauh dari mereka berdiri, seorang wanita yang Clara panggil Mami itu seakan mematung."Ayah," seru Samuel, membuat Jeremy menoleh."Suamiku, kamu di sini? Ayo pulang, pendaftaran sudah selesai," seru Desca.Jeremy serba salah, ingin sekali melihat dan menyapa Rebecca lagi. Ah, bukan hanya itu, dia ingin sekali menanyakan tentang kedua anak ini.Hanya Ansel yang ingin dia tanyakan, sedangkan Clara? Jeremy meyakini, bahwa Rebecca telah menikah lagi, dan Clara anak keduanya."Ansel namanya," gu
Bab151"Kita naik taksi online lagi? Om Zacob nggak jemput kita?" tanya Clara mengulangi pertanyaannya tadi."Betul sayang! Om Zacob itu sibuk!" sahut Rebecca lembut."Ah, orang dewasa selalu saja sibuk," celetuk Clara tak senang."Nanti kalau kita dewasa, kita tidak usah sesibuk itu untuk pergi bekerja," sahut Ansel menimpali.Mereka duduk di sebuah halte."Kalau kalian tidak sibuk bekerja, pastikan kalian memiliki uang yang tidak akan pernah habis." "Tentu saja, aku calon wanita sukses dan kaya! Mam. Lihat wajahku, aku cocok menjadi artis di masa depan." Clara menyahut dengan pongahnya, juga dengan gaya centilnya, membuat Rebecca terkekeh."Baiklah, Mami coba percaya itu, oke." "Ansel, kamu sendiri bagaimana?" tanya Rebecca, menoleh ke arah Ansel."Aku calon dokter, Mam. Jadi, jika Mami sakit, aku bisa mengobatinya." "Oke baiklah, kita perlu pembuktian dari ucapan kalian berdua, oke." "Oke." Ketiganya memasuki taksi online. Di perjalanan, sebuah mobil terlihat mengejar ke arah
Bab150Jeremy tertegun, melihat kedua anak itu."Clara, Ansel," teriak seorang wanita, dengan suara yang tidak asing di telinga Jeremy.Jeremy menoleh ke arah wanita itu. Wanita yang mengenakan baju kaos hitam ketat, dengan rok lebar bawahannya.Rambut pendek bergelombang, membuat Jeremy sangat terkejut."Rebecca," gumam lelaki itu. Wanita itu pun sama, terkejut karena bertemu pandang dengan Jeremy."Mami ...." Kedua anak itu berlari senang ke arah wanita tadi. Dengan cepat, wanita itu memeluk kedua anak itu dan membawanya menjauh.Jeremy berniat mengejar. Namun suara panggilan Sam dan Desca mengalihkan perhatiannya."Mami kenapa begitu terlihat panik? Dan kenapa kita pulang secepat ini?" tanya Ansel."Iya, Mami nggak asik, baru juga kita mau berenang," celetuk Clara, kesal."Mami lupa, kalau Mami ada urusan. Kita pulang dulu, oke.""Benar- benar jalan- jalan yang mengesalkan, tidak sesuai dengan harapan," ungkap Clara bernada kecewa."Sudahlah, nanti kalau Mami di pecat, kita semua d
Bab149"Suamiku ...." Desca memeluk suaminya dari belakang.Jeremy tersenyum. "Kamu belum tidur?""Belum! Aku pengen makan pizza." "Pesan sayang." Jeremy mengusap lembut tangan sang istri."Sudah, aku mau disuapin sama kamu," bisik wanita itu di dekat telinga suaminya."Untuk malam ini saja, tolong." Jeremy menghentikan aktivitasnya dan melepaskan pelukan Desca, kemudian lelaki itu berdiri, menghadap istrinya sembari tersenyum."Ayo!" Kata Jeremy tersenyum, membuat Desca sumringah. Keduanya keluar kamar, dengan Jeremy yang merangkul mesra istrinya itu.Hari- hari Desca di penuhi kebahagiaan, apalagi saat dia positif hamil kembali, setelah 2 bulan yang lalu dia keguguran._______"Bos yakin akan ke Negeri Fantasy? Bukankah nyonya Jovanka sudah mewanti Anda, untuk tidak muncul di kehidupan nona Desca lagi.""Aku hanya ingin bertemu dia, cuma sekali saja, memastikan dia bahagia. Aku mendengar kabar beberapa bulan yang lalu, dia keguguran anakku.""Bos, ada baiknya untuk kita menjauhi ny
Bab148"Dalam sepanjang hidup masa sulitku, kamu adalah saudara yang begitu kejam, tidak pernah mencariku sama sekali. Aku bertahan hidup dengan berbagai cara, sedangkan kamu hidup dengan nyaman di rumah ini tanpa beban. Kamu pasti tidak pernah merasakan takut akan kelaparan, seperti yang sering aku rasakan," lirih Elvina.Joe dan Case terdiam."Aku marah, sangat marah setelah tahu kamu mengurus seluruh tanah peninggalan kakek, tanpa mencariku terlebih dahulu. Bisakah kukatakan kamu serakah?" Joe menarik napas, dan mengeluarkan ponselnya, menghubungi seseorang."Datanglah, dan bawa seluruh berkas yang aku minta," tegas Joe kepada lelaki di telepon. Usai panggilan telepon di matikan, Joe kembali menatap Elvina."Katakanlah, apa maumu sekarang ini. Jika kamu ingin tinggal di tempat ini, maaf tidak bisa. Biar bagaimana pun juga, aku tahu tabiatmu begitu jelek kepada Case.""Suamiku jangan begitu! Biar bagaimana pun juga, Elvina adalah saudara perempuanmu, dia kerabat kita.""Tidak! Aku