Sesaat aku mendapati Laila yang mengernyit. Namun, dengan cepat dia menebarkan senyuman. “Hai, Anton! Apa kabar! Masih ingat aku, kan?” seru Laila sambil mengulurkan tangan. Lelaki tambun itu menyambut dan tersenyum lebar, memunculkan lesung pipit yang menunjukkan sisa ketampanan. Tidak ada rambut panjang yang seperti diceritakan, yang aku dapati rambut pendek dengan mulai jarang. Bahkan perawakan tinggi kurus, tergantikan dengan perut yang membuncit. “Hai, Laila. Kamu sekarang terlihat lain, ya. Tidak dekil seperti dulu!” Laila tertawa. “Dulu kan aku jarang mandi.” “Pantes. Sering menguar kalau aku duduk di sebelahmu,” celetuknya sambil tertawa. Awal pertemuan yang lumayan. Aku menangkap si Anton ini mempunyai kepribadian yang menyenangkan. Berbeda dengan ucapan Laila yang katanya menyebalkan. “Ini?” Anton mengarahkan tangan ke arahku. “Aida Fatma. Panggil saja Aida.” “Jadi kamu arsiteknya?” tanyanya lagi. Dan aku pun mengangguk. Dia juga memperkenalkan asistennya yang aku k
“Mas Burhan. Kamu mau aku mengadu sama Kakek?!”Wajah cantik yang sempat dihiasi senyuman indah, sekarang tidak berbekas. Tertinggal kedua alis yang bertaut dan tatapan yang mengintimidasi. Bukannya surut, lelaki di sampingku ini justru menjadi.“Boleh. Justru aku berterima kasih kepadamu. Aku tidak perlu menjelaskan kepada Kakek kalau aku sudah mempunyai pilihan sendiri.”“Mas Burhan! Kamu tidak menghormati rencana Kakek?”Lelaki ini tertawa kecil. “Itu rencana Kakek. Sedangkan yang menjalani aku, kan? Aku tinggal mengatakan kalau aku sudah mempunyai calon sendiri. Tapi, kalau kamu bersikeras membantuku … silahkan.”Aku ingin melayangkan protes. Ini sama saja melibatkan diri ke masalah keduanya. Mencari pengakit saja. Akan tetapi cengkeraman erat di lenganku menunjukkan aku harus diam.Aku menelengkan kepala ke arahnya, wajah menyebalkan yang biasa aku dapati, dia tunjukkan. Dia menarik satu sudut bibir dengan mata memicing. Tidak hanya itu, dia membungkukkan badan sedikit sambil mem
“Bagaimana? Kamu pasti setuju, kan?”Ternyata lelaki ini tidak main-main. Dia menyodorkan cek kosong untuk aku isi berapapun nominalnya. Mungkin kalau wanita lain akan bersorak dan menerimanya dengan senang hati. Tidak ada kerugiannya. Selain mendapatkan uang, juga berkesempatan bersama dengan bujangan berkualitas. Laki-laki dewasa dengan perawakan ideal dan wajah pantas dibanggakan.Itu yang dia katakan sedari tadi.Namun, itu tidak aku perlukan. Aku masih mampu mencari uang tanpa menggadaikan kisah cinta sandiwara. Bukan keahlianku untuk akting dengan menebar senyuman kepalsuan. Capek.“Silakan,” ucapnya menggodaku dengan menyodorkan pena yang sudah dia buka penutupnya.Aku tertawa kecil.Gara-gara laki-laki ini aku sekarang terseret di kantornya. Kantor yang bukan biasanya aku kunjungi. Tetap berlokasi di rumah sakit, tetapi berbeda lantai. Di ujung ruangan terdapat meja kayu tebal dan di atasnya terdapat papan nama meja berbahan kayu hitam dilapisi plat emas yang terukir nama Dr.
“Aku tidak butuh ceritamu,” ucapku menghentikan cerita yang kelihatannya masih panjang.Dokter yang merangkap menjadi direktur ini, menceritakan tentang masa lalunya. Seakan memberikan alasan kenapa masih membujang sampai sekarang. Burhan ini pernah dekat dan cinta mati dengan seorang gadis saat sama-sama sekolah di luar negeri.Percintaan beda negara yang mendapatkan penolakan keras dari keluarga besar. Namun, itu tidak menjadi masalah. Toh mereka jauh dari keluarga. Seperti pasangan lainnya, lelaki ini mengaku juga tinggal bersama dengan sang kekasih.“Kamu tidak ingin mendengar cerita lengkapnya?”“Untuk apa?” tanyaku tersenyum dan menggelengkan kepala.Dia mencondongkan tubuh ke depan, dan memberikan tatapan lekat. “Supaya kamu tidak menuduhku yang tidak-tidak. Nanti kamu pikir aku bukan laki-laki normal.”Aku tertawa. “Iya, iya. Aku percaya. Seratus persen.”“Tapi melihat wajahmu, kamu masih terlihat meragukan aku,” ucapnya sambil menelengkan kepala.“Sudah-sudah. Coba aku lihat
“Ma-maaf,” seruku berusaha berdiri tegak. Aku mundur ke belakang dengan bertumpu pada sandaran sofa. Wajahku menghangat, bukan karena kejadian tadi, tetapi disebabkan mata tajam yang menatapku lekat-lekat. Pandangan yang menyapu dari atas sampai bawah membuatku seperti orang yang dicurigai berbuat salah. Dahinya yang keriput semakin berkerut seakan beribu pertanyaan berjubal di kepala lelaki tua yang berdiri di tengah-tengah pintu. “Kakek!” Sontak aku menoleh ke arah Dokter Burhan yang memanggil lelaki tua ini. ‘Ternyata Kakek ini yang masih berpikiran kolot dengan jodoh-jodohan,’ pikir hatiku sambil memastikan baju yang aku kenakan rapi. Seingatkan, lelaki tua ini pemilik sekaligus pemimpin rumah sakit. Setidaknya, aku berpenampilan layak di depannya. Lelaki yang dipanggil kakek itu menoleh ke arah cucunya sambil mendengus dengan kedua alis mata bertaut. Menurutku, si kakek suasana hatinya kurang baik. Wajah lelaki yang baru saja menawarkan projek ini terlihat terkesiap, tapi se
Kesal! Kesal rasanya. Aku merasa dijebloskan ke rencana gila yang tidak masuk akal. Dokter Burhan menyahut pertanyaan Kakek Dokter Burhan belum sempat aku jawab. Dan ini memperparah posisiku.“Kakek. Jangan bertanya hal yang membuat Aida malu,” ucapnya sempat membuatku lega. Namun, kalimat yang setelahnya sontak membuatku geram.Ucapan ini sama saja menggali lubang yang mulai menenggelamkan aku. Ungkapan yang bisa jadi orang lain salah menyimpulkan, dan berasumsi seperti lelaki ini mau. Gilanya lagi dia mengatakan hal yanglebih tidak masuk akal.“Kami sama-sama bukan anak muda lagi, walaupun terpercik rasa cinta di antara kami tapi itu bukan satu-satunya alasan kami bersama. Kami orang dewasa yang masih berpikir panjang. Ya, kan, Ai?” ucapnya sambil menatapku dengan sorot mendamba.Matanya meredup dengan suara rendah yang benar-benar terdengar mesra saat berkata, “Ya kan, Ai?” Kalau ini dibiarkan, bisa jadi kakek ini semakin salah paham, terlihat dia yang memberikan tatapan lekat-le
“Ini yang kamu mau!”Dia melempar amplop berwarna coklat berlogo Pengadilan Agama. Aku mendengus menatapnya, kesal melihat perlakuannya yang tidak sopan. Kalau dulu ini aku anggap gurauan, tapi sekarang kami bukan siapa-siapa lagi, dia tidak boleh melakukan ini.Daripada menunjukkan kesal dan menjadi alasan untuk berlama berbincang, lebih baik aku anggap dia orang yang berkapasitas minim.Senyumku mengembang melihat akta cerai yang ada di tanganku. Sekilas aku membaca surat dengan awalan: Panitera Pengadilan Agama dan seterusnya. Intinya menyatakan kalau aku dan dia hanya sekadar mantan suami istri.“Kamu senang? Atau menyesal?”Tersenyum aku menatapnya sambil menggelengkan kepala. Sudah aku putuskan untuk menyederhanakan pikiran. Ini hanya memindah waktu saja. Aku dulu dengannya di posisi titik nol saat kami belum berkenalan. Anggap saja, surat ini sebagai tanda kami di waktu itu. Jadi tidak ada rasa senang atau menyesal.Lelaki ini memenuhi janji untuk mengurus semuanya, walaupun de
Aroma citrus dan pinus yang sempat dikenali penciumanku, sekarang mengusik lagi. Dia langsung duduk mensejajariku yang berseberangan dengan anakku.“Hai!” ucapnya dengan ekspresi datar. Kemudian tanpa menunggu jawabanku dia menghadap ke arah Daniel. Seperti orang yang baru kenal dan tidak mau kenal.Benar-benar pertemuan tidak sengaja yang menyebalkan. Semoga saja tidak merusak hariku.“Jagoannya Om, sekarang jadi anak hebat, ya!” serunya sambil menunjuk tongkat yang disandarkan di sebelah Daniel. “Kamu terlihat keren. Seperti Ichigo Kurasaki”Anakku tertawa lepas. Tidak biasanya saat seseorang menyoal tentang kakinya dia akan tertawa, biasanya dia akan menggerutu dan bersungut-sungut. Namun, dengan lelaki ini dia justru terlihat semangat.“Ichigo yang sedang cidera dan akhirnya jalan dengan bantuan tongkat kayu?” sahut Daniel bersemangat.“Tapi kamu dapat zanpakutou dari Aizen, kan? Kamu jadi lebih hebat!” seru lelaki di sebelahku sambil tertawa.Mereka asyik bercerita dan tertawa b