Share

Bab 35. Pertolongan

Penulis: Astika Buana
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Dokter itu menatapku kemudian mengangguk sekilas. Sepertinya dia mengerti tatapanku yang memohon pertolongan.

“Bapak dan Ibu sebaiknya keluar. Pasien membutuhkan istirahat, dan itu adalah tanggung jawab rumah rumah sakit,” ucapnya sambil menengadahkan tangan menunjuk ke arah pintu yang terbuka.

Bukannya menurut, Mas Ammar justru dengan pongahnya melawan. “Dokter mengusir saya? Saya ini ayah dari pasien, dan yang akan menanggung pengobatan dia.”

“Maaf, Pak. Kalau tidak segera mengikuti ucapan saya, akan ada satpam yang akan menunjukkan jalan keluar,” ucap Dokter Burhan dengan sikap tenang, seakan tidak peduli dengan yang dikatakan lawan bicara.

Seperti merasa tidak terima, Mas Ammar menunjuk wajah Dokter Burhan. “Kalau kamu mengusir saya, kamu harus tanggung jawab karena tidak sopan kepada orang yang memberi uang ke rumah sakit ini. Bisa-bisa kamu dipecat!”

Suaranya keras, seakan tidak peduli dengan keadaan Daniel sekarang. Pintu terkuak lebar kemudian. Beberapa petugas medis datang ya
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 36. Teganya

    Ada yang bilang, cobaan yang datangnya bertubi-tubi karena kita adalah orang terpilih. Terpilih karena kuat dibandingkan yang lain. Katanya, ini karena ujian tidak melebihi dari kapasitas kita. Tapi bagiku, lebih baik menjadi wanita yang biasa dan tetap memiliki suami tanpa mendapatkan cobaan dengan penghianatan. Ini sungguh menyakitkan. Tidak hanya penghianatan, tetapi sekaligus penipuan dan perampokan. Aku seperti dibuang kejalanan setelah dilucuti kesemuanya. Rasa percaya diri yang sempat menguatkan diriku, mulai luruh. Tagihan demi tagihan yang disodorkan oleh Laila memperjelas aku sudah tidak tersisa. Bagaimana aku bisa membayar, sedangkan beberapa proyek yang diandalkan ada pembayaran, justru dibatalkan. Entah kenapa semua datang secara beruntun. “Ai. Aku mempunyai sertifikat untuk jaminan pinjaman. Bagaimana? Rencanamu itu, aku sebenarnya kurang setuju.” “Tidak. Tidak perlu Laila. Bukankah itu sertifikat rumah orang tuamu?” “Iya, sih. Tapi tidak apa-apa kalau dipinjam. Aku

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 37. Keharusan

    Nyeri masih terasa. Aku mengepalkan tangan untuk menahannya. Namun, kenapa telapak tangan ini merasakan lain? Bukan ruang hampa yang aku dapati, tetapi kehangatan yang berbalas.“Sudah enakkan?” Suara menyambut saat mataku terbuka. Segera aku menarik tangan ini dari genggamannya. Apa yang ada di pikiran orang lain kalau melihat ini? Bisa jadi hanya menambah masalah lain.“Sudah berapa kali aku bilang, jaga kesehatan. Sudah terjadi peradangan di lambung kamu. Seabadpun kamu dirawat di rumah sakit ini, tidak bakalan sembuh kalau pemicunya tetap kamu biarkan!” ucap Dr. Burhan setelah memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong jas berwarna putih. Aku memandangnya tanpa tenaga, hanya mengerjap kan mata dan menulikan telinga.“Stres! Sudah aku jelaskan dari dulu. Kalau kamu stres, gerakan lambung akan semakin cepat dan memicu kamu kumat lagi. Kesehatan itu lebih dari segala-galanya. Kamu tidak bisa berbuat apa-apa kalau sakit seperti ini. Mengerti tidak, sih?!” ucapnya dengan nada keras.

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 38. Awal

    Sambil menyajikan senyuman, aku mengangguk yakin. Sejenak aku menghela napas dan melebarkan mata. Tubuh aku tegakkan, kemudian melangkahkan kaki yang meninggalkan suara ketukan dari high heel. Udara di luar rumah sakit seakan mengucapkan selamat datang. Aku merasakan angin membelai wajah dan memainkan anak-anak rambutku. Aku dan Laila berjalan beriringan. Berjalan mantap untuk memulai bangkit kembali. “Daniel bagaimana?” “Dia sudah mulai baik. Terapi untuk berlatih jalan dan aku sudah menugaskan Bik Yanti untuk menemaninya,” ucapku sambil menyelipkan helaian rambut ke telinga. Aku belum terbiasa dengan potongan rambut ini. Laila melirik sekilas sambil mengulas senyuman. “Penampilanmu terlihat fresh!” “Harus! Aku akan tunjukkan kalau orang itu tidak berhasil membuatku sedih. Dia tidak penting lagi untukku,” ucapku sambil memasang sabuk pengaman. “Kita kemana dulu?” Laila yang sudah siap di belakang kemudi menoleh ke arahku. “Ke apartemen dulu. Aku tidak mau seperti gelandangan

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 39.  Dikejar

    Sesaat aku mendapati Laila yang mengernyit. Namun, dengan cepat dia menebarkan senyuman. “Hai, Anton! Apa kabar! Masih ingat aku, kan?” seru Laila sambil mengulurkan tangan. Lelaki tambun itu menyambut dan tersenyum lebar, memunculkan lesung pipit yang menunjukkan sisa ketampanan. Tidak ada rambut panjang yang seperti diceritakan, yang aku dapati rambut pendek dengan mulai jarang. Bahkan perawakan tinggi kurus, tergantikan dengan perut yang membuncit. “Hai, Laila. Kamu sekarang terlihat lain, ya. Tidak dekil seperti dulu!” Laila tertawa. “Dulu kan aku jarang mandi.” “Pantes. Sering menguar kalau aku duduk di sebelahmu,” celetuknya sambil tertawa. Awal pertemuan yang lumayan. Aku menangkap si Anton ini mempunyai kepribadian yang menyenangkan. Berbeda dengan ucapan Laila yang katanya menyebalkan. “Ini?” Anton mengarahkan tangan ke arahku. “Aida Fatma. Panggil saja Aida.” “Jadi kamu arsiteknya?” tanyanya lagi. Dan aku pun mengangguk. Dia juga memperkenalkan asistennya yang aku k

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 40. Ide

    “Mas Burhan. Kamu mau aku mengadu sama Kakek?!”Wajah cantik yang sempat dihiasi senyuman indah, sekarang tidak berbekas. Tertinggal kedua alis yang bertaut dan tatapan yang mengintimidasi. Bukannya surut, lelaki di sampingku ini justru menjadi.“Boleh. Justru aku berterima kasih kepadamu. Aku tidak perlu menjelaskan kepada Kakek kalau aku sudah mempunyai pilihan sendiri.”“Mas Burhan! Kamu tidak menghormati rencana Kakek?”Lelaki ini tertawa kecil. “Itu rencana Kakek. Sedangkan yang menjalani aku, kan? Aku tinggal mengatakan kalau aku sudah mempunyai calon sendiri. Tapi, kalau kamu bersikeras membantuku … silahkan.”Aku ingin melayangkan protes. Ini sama saja melibatkan diri ke masalah keduanya. Mencari pengakit saja. Akan tetapi cengkeraman erat di lenganku menunjukkan aku harus diam.Aku menelengkan kepala ke arahnya, wajah menyebalkan yang biasa aku dapati, dia tunjukkan. Dia menarik satu sudut bibir dengan mata memicing. Tidak hanya itu, dia membungkukkan badan sedikit sambil mem

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 41. Tawaran

    “Bagaimana? Kamu pasti setuju, kan?”Ternyata lelaki ini tidak main-main. Dia menyodorkan cek kosong untuk aku isi berapapun nominalnya. Mungkin kalau wanita lain akan bersorak dan menerimanya dengan senang hati. Tidak ada kerugiannya. Selain mendapatkan uang, juga berkesempatan bersama dengan bujangan berkualitas. Laki-laki dewasa dengan perawakan ideal dan wajah pantas dibanggakan.Itu yang dia katakan sedari tadi.Namun, itu tidak aku perlukan. Aku masih mampu mencari uang tanpa menggadaikan kisah cinta sandiwara. Bukan keahlianku untuk akting dengan menebar senyuman kepalsuan. Capek.“Silakan,” ucapnya menggodaku dengan menyodorkan pena yang sudah dia buka penutupnya.Aku tertawa kecil.Gara-gara laki-laki ini aku sekarang terseret di kantornya. Kantor yang bukan biasanya aku kunjungi. Tetap berlokasi di rumah sakit, tetapi berbeda lantai. Di ujung ruangan terdapat meja kayu tebal dan di atasnya terdapat papan nama meja berbahan kayu hitam dilapisi plat emas yang terukir nama Dr.

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 42. Tidak

    “Aku tidak butuh ceritamu,” ucapku menghentikan cerita yang kelihatannya masih panjang.Dokter yang merangkap menjadi direktur ini, menceritakan tentang masa lalunya. Seakan memberikan alasan kenapa masih membujang sampai sekarang. Burhan ini pernah dekat dan cinta mati dengan seorang gadis saat sama-sama sekolah di luar negeri.Percintaan beda negara yang mendapatkan penolakan keras dari keluarga besar. Namun, itu tidak menjadi masalah. Toh mereka jauh dari keluarga. Seperti pasangan lainnya, lelaki ini mengaku juga tinggal bersama dengan sang kekasih.“Kamu tidak ingin mendengar cerita lengkapnya?”“Untuk apa?” tanyaku tersenyum dan menggelengkan kepala.Dia mencondongkan tubuh ke depan, dan memberikan tatapan lekat. “Supaya kamu tidak menuduhku yang tidak-tidak. Nanti kamu pikir aku bukan laki-laki normal.”Aku tertawa. “Iya, iya. Aku percaya. Seratus persen.”“Tapi melihat wajahmu, kamu masih terlihat meragukan aku,” ucapnya sambil menelengkan kepala.“Sudah-sudah. Coba aku lihat

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 43. Terperangkap

    “Ma-maaf,” seruku berusaha berdiri tegak. Aku mundur ke belakang dengan bertumpu pada sandaran sofa. Wajahku menghangat, bukan karena kejadian tadi, tetapi disebabkan mata tajam yang menatapku lekat-lekat. Pandangan yang menyapu dari atas sampai bawah membuatku seperti orang yang dicurigai berbuat salah. Dahinya yang keriput semakin berkerut seakan beribu pertanyaan berjubal di kepala lelaki tua yang berdiri di tengah-tengah pintu. “Kakek!” Sontak aku menoleh ke arah Dokter Burhan yang memanggil lelaki tua ini. ‘Ternyata Kakek ini yang masih berpikiran kolot dengan jodoh-jodohan,’ pikir hatiku sambil memastikan baju yang aku kenakan rapi. Seingatkan, lelaki tua ini pemilik sekaligus pemimpin rumah sakit. Setidaknya, aku berpenampilan layak di depannya. Lelaki yang dipanggil kakek itu menoleh ke arah cucunya sambil mendengus dengan kedua alis mata bertaut. Menurutku, si kakek suasana hatinya kurang baik. Wajah lelaki yang baru saja menawarkan projek ini terlihat terkesiap, tapi se

Bab terbaru

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 107. Merah Muda - TAMAT

    Sorot mata yang terkesan menghakimi, semakin mengukuhkan dia sebagai laki-laki yang menyebalkan. Apa urusannya aku akan pergi dengan siapa? Laki-laki atau perempuan bukankah itu hak aku sepenuhnya? Walaupun aku berkencan dengan laki-laki pun, dia tidak ada hak melarangku. Memang dia siapa? Aku menarik satu sudut bibir ke atas. Mulut ingin menumpahan sumpah serapah, tapi tertelan kembali mengingat dia pandai membalikkan kata-kata. Percuma! “Maaf. Saya sudah selesai,” ucapku seraya meletakkan napkin dan beranjak berdiri. Badan yang sudah berbalik arah, urung bergerak. Tangan kiri ini merasakan genggaman erat. “Ka-kamu mau kemana?” “Kembali ke kamar,” jawabku dengan memasang ekspresi datar. Walaupun di dada ini sudah penuh dengan segala rasa yang campur aduk. Di sudut sana, hati ini menyayangkan kenapa pertemuan ini berakhir dengan kesal? Setitik harapan ada romansa indah benar-benar terkubur dalam. “Terus aku?” Matanya mengerjap menatapku. Seperti anak kecil yang enggan ditinggal

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 106. Lelaki di Sebelahku

    “Ini semuanya Daniel yang bikin,” seru anak lelakiku sembari menyodorkan dua piring di depanku dan di depan lelaki yang duduk di sebelahku. Wafel dengan taburan buah segar dan kacang-kacangan.“Ini untuk, Om?”“Yes! Spesial untuk Mama dan Om Dokter,” jawabnya, kemudian beranjak pergi. Sepertinya dia mengambil sarapan yang untuk dirinya.Mulai duduk sampai sekarang, diri ini seperti beku. Aku diam membeku dan tidak menyapanya. Berjubal pertanyaan, tapi semua seperti tertelan kembali. Dari tadi, Daniel lah yang mendominasi. Anakku itu tidak henti menceritakan keseruan di kota ini.Tertinggal kami berdua terdiam seperti orang asing yang duduk berjajar. Sarapan yang disajikan Daniel yang seharusnya menggugah selera, ini tidak mampu membangkitkan rasa lapar yang tadi sempat mendera.“Gimana kabarmu?” Suara bariton memecah keheningan. Aku menghela napas. Begini rasanya saat merasa asing dengan orang yang dulu sempat dekat.“Baik. Kamu?”Terdengar suara helaan napas darinya. Satu, dua, tiga,

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 105. Goyah?

    “Maafkan aku. Aku tidak amanah,” jawab Laila“Dia?”Dari layar ponsel, terlihat Laila mengangguk. “Pak Burhan tidak percaya dengan apa yang aku ucapan. Dan sepertinya dia mencarimu di apartemen. Dia tahu kalau kamu dan Daniel bepergian jauh.”Aku menghela napas. Ini yang sebelumnya aku takutkan. Mas Burhan bukan laki-laki tidak panjang akal. Dia begitu akrab dengan semua satpam apartemen tempatku tinggal, pasti ada maksud di belakangnya. Pasti dia tahu ini dari mereka yang sudah menjadi informannya.Pantas saja, dia sering membawakan sesuatu buat mereka.“Terus?”“Ya aku tetap bungkam tentang keberadaanmu. Tapi ….”“Tapi kenapa?” tanyaku penasaran. Kekawatiran menyergap. Sudah ada dibayanganku dia berlaku kasar pada Laila. “Aku terpaksa memberikan nomor telponmu.” Mata Laila mengerjap tersirat kekawatiran.Aku tersenyum lebar. “Oalah. Ternyata hanya itu? Tak apa, aku tinggal matikan ponsel. Atau aku tidak jawab panggilannya. Beres, kan? Tidak apa-apa, yang penting kamu aman.”“Semog

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 104. Keliling

    “Aku mempunyai tanggung jawab untuk mengantarmu. Jadi tidak usah sungkan menerima tawaranku ini,” ucap Candra sebelum memaparkan fasilitas paket tour yang sudah dipesan Laila.Selain hunian yang nyaman, dia menjelaskan kemana saja tujuan yang menjadi pilihan.“Khusus kamu, semua yang ada didaftar bisa kita kunjungi secara bertahap.”“Hmm?”“Ini karena kita dari satu negara asal,” ungkapnya sambil tersenyum.Aku akhirnya menyetujui niat baiknya. Apalagi Daniel kembali meninggalkan aku sendirian. Dia memilih menerima ajakan Steven-anak pemilik gedung hotel ini untuk berkunjung ke rumahnya.Awal hari, aku sudah siap. Riasan sederhana dan memakai baju tebal. Itu pun ditambah mantel berbulu untuk mengusir udara yang masih belum bersahabat dengan tubuh ini.“Mama pakai ini. Aku tidak pakai,” ucap Daniel sambil memasangkan syal miliknya. Kain tebal berwarna putih bercorak kotak-kotak hitam sudah terpasang manis di leherku. “Tapi jangan ilang,” serunya lagi setelah menunjukkan jempolnya.“Iya

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 103. Mengobrol

    POV. Aida Kalau orang lain berlibur ke luar negeri akan dihabiskan dengan berkeliling kota, aku justru kebalikannya. Diriku lebih memilih hari kemerdekaan dengan cara bergelung dalam selimut. Sudah hampir sepekan, tapi aku cukup puas menikmati indahnya hujan salju dari balik jendela.Daniel?Anakku itu seperti bertemu teman bermain. Dia sudah tidak membutuhkan ibunya, dan justru menghabiskan hari dengan Candra.“Mas Candra itu orang baik, Ai. Dia juga penyayang, aku kenal benar siapa dia,” ungkap Laila.“Tapi aku merepotkan dia, La. Apalagi Daniel. Anak itu seperti nyamuk mengintili dia kemana pun pergi. Bahkan saat Candra kerja pun dia ikut serta.”“Santuy aja. Mas Candra malah seneng, kok.” Ucapan Laila membuat kekawatiranku terkikis. Yang dikatakan senada dengan yang diungkapkan Candra sendiri. Katanya, bertemu dengan Daniel menjadi obat rindu dengan para keponakan yang seumur dengan anakku.Begitu juga Daniel. Dia memilih ikut Candra saat aku tawari untuk ikut city tour yang diad

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 102. Awal Langkah Baru

    Kalau tidak terpisah jarak, pasti Laila aku cubit. Sahabat sekaligus rekan kerjaku itu dengan leluasa mentertawakan kebodohanku. Bahkan tidak segan dia melontarkan ledekan. “Awas kamu Laila. Kamu akan tahu akibatnya saat aku pulang nanti.” Dia tertawa. “Siapa takut? Aku tahu akibatnya oleh-oleh souvenir dari sana. Aku harap sih, membawa Mas Candra pulang,” celetuknya dengan senyum masih lebar. Lontaran godaan tidak terhenti. Seperti tukang promosi, Laila menjabarkan siapa saudara jauhnya itu. Bagaimana kesuksesan dia dan apa saja sifatnya. Dari kedekatannya dengan anakku walaupun belum lama kenal, mencerminkan dia orang yang ramah dan penyayang. “Daniel mana? Dia pasti sudah tepar, ya?” “TIdak. Dia justru sudah pergi main dengan Candra.” “Tuh, kan. Baru kenal saja sudah menunjukkan dia bapak yang baik.” “Laila!” sahutku. Allih-alih berhenti, dia justru berbicara terus. “Keluarga Mas Candra itu orangnya baik dan penyayang. Kalau kamu jadi menantunya pasti disayang.” “Ngawur!”

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 101. Teman Main Daniel

    Aku mengeratkan genggaman pada pergelangan tangan Daniel. Sama denganku, anakku ini terlihat kaget mendengar ucapan lelaki ini. Dari awal persiapan, aku selalu mengatakan ada Tante Candra-saudara Tante Laila-yang akan menemani kami. Bodohnya aku tidak bertanya lebih lanjut kepada Laila siapa sebenarnya saudara yang menjadi tour guide kami. Siapa sangka nama Candra Lukita bukanlah perempuan, tapi justru laki-laki. “Ma-maaf. Saya pikir….” “Santuy, ajah. Aku panggil kamu Aida, ya? Kita mungkin tidak seumuran, tapi di negara ini tidak memandang seseorang dari umur.” Dalam hati aku mencembik. Tidak usah bilang umur. Tanpa dibilang pun aku tahu lelaki ini jauh lebih muda dariku. Tubuhnya aja yang menjulang yang memanipulasi usianya. “Iya, silakan. Tapi sekali lagi minta maaf, ya. Laila juga tidak mengatakan kalau anda laki-laki. Saya juga tidak bertanya,” sahutku memberi alasan. Dia menunjukkan senyuman pemakluman. Jujur aku malu, kok bisanya aku tidak seteliti ini. Sampai jenis kela

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 100. Melarikan Diri

    Kata-kata bernada kompromi bergumul di kepala. Menjadikan apa yang terjadi adalah suatu yang bisa dimaklumi. Kami yang sama-sama dewasa yang tentunya mempunyai kebutuhan hasrat dan itu hal biasa. Terlebih bagi dua insan yang saling jatuh cinta. ‘Huft! Pembelaan mencari pembenaran,’ bisik sudut hatiku sebelah sana. Namun, bukankah kedewasaan dan rasa cinta seharusnya menempatkan seseorang untuk dijaga? Bukan untuk dijadikan obyek pelampiasan hasrat semata. Cinta yang agung hanya tersekat selembar rambut dengan nafsu. Dan, yang terjadi sudah hal demikian. Sepanjang jalan menuju pulang, kami hanya terdiam. Tidak ada kata sepatahpun setelah dia mengatakan maaf. “Aida. Maafkan aku. A-aku sangat merindukan kamu dan mendapati kamu seperti sekarang menjadikan aku tidak mampu mengendalikan diri,” ucapnya dengan suara parau. “Kamu membuatku gila, Aida,” gumamnya sambil meraup kasar wajahnya. Tanganku mencengkeram jaket yang sudah aku eratkan. Begitu juga bawahan baju tidur yang tidak cu

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 99. Datang Kembali

    Kata orang, semakin kita meniatkan sesuatu, semakin godaan akan datang. Aku mengurus semua untuk kepergianku, mulai dari administrasi, sampai izin ke sekolah Daniel. Tentu saja ini dirahasiakan dari Mas Burhan.Dia hanya tahu, ketidak aktifanku di kantor karena untuk pemulihan. Itu juga karena Laila yang memberitahu dia.“Aku mendukung, kok,” ucapnya melalui sambungan telpon.“Benar? Kamu tidak merasa rugi karena aku meninggalkan proyek?” tanyaku sarkas. Setahuku dari dulu dia selalu mengatakan hal yang menyangkut untung dan rugi. Terlebih tentang kehadiranku.Dia tidak tersinggung, justru suara tawa terdengar.“Kamu ingat saja. Itu kan supaya kamu tidak mewakilkan kehadiranmu.”Aku mendengkus. “Huh, bilang saja tidak mau rugi.”“Iya, lah. Rugi kalau aku datang dan gagal bertemu dengan orang yang aku inginkan,” sahutnya memantik diri ini mengernyitkan dahi.Di setiap percakapan, selalu saja ucapan rayuan menyoal. Dasar laki-laki playboy. Mungkin ini satu alasan dia tidak kunjung mempu

DMCA.com Protection Status