Ruangan pun sesaat hening. Mereka tak menduga Sandra akan melontarkan pertanyaan seperti itu pada Tomy. Sedang Tomy duduk menatap istrinya itu dengan wajah yang sedikit pucat. Dia menyadari, dia memang tak pandai menyimpan rahasia hatinya dari Sandra. Mungkin karena perasaan cintanya untuk Emily terasa sangat menggebu hingga dia tak bisa menahannya. Tapi kini Tomy merasa bodoh. Dia telah memancing rasa cemburu Sandra dan membangun rasa curiga di hati kedua mertuanya. Kini pasti mereka bisa meraba isi hatinya yang ternyata masih menginginkan Emily. Dan semua itu membuat dia berada di posisi yang sulit.
"Kenapa kau bertanya seperti itu, Sandra? Aku telah menikah denganmu. Kini Emily adalah adikku. Tidak mungkin aku mencintai dia," kata Tomy sambil memasang wajah yang lugu. Sikapnya begitu polos seperti orang yang tak berdosa.
Emily menatap kesal pada Tomy, lalu melirik sekilas pada Sandra yang masih terus menatap suaminya dengan wajah yang cemberut. Kakaknya itu benar-bena
Hari itu hati Emily diliputi kebahagiaan. Dia akan pergi menemui Abian untuk mengajak suaminya itu menginap di rumah orangtuanya. Sesuai permintaan kedua orangtuanya kemarin, Emily harus mengajak Abian ke rumah mereka. Biar mereka bisa mengenal Abian lebih dekat lagi, juga supaya bisa menghapus rasa cemburu di hati Sandra terhadapnya. Syukurlah. Emily merasa restu itu sudah di depan mata. Sepertinya tak kan menunggu lama untuk bisa menjalani hidup bersama sebagai suami istri yang sesungguhnya.Ketika sinar matahari telah rata menyentuh alam sekitar, Emily bergegas berangkat. Dia sengaja tak memberitahukan pada Abian tentang semua ini. Tentang perintah dari orangtuanya, juga tentang kedatangannya pagi ini. Emily ingin memberi kejutan. Emily tahu, Abian pasti akan merasa senang, meski pun tak kan dia tunjukkan perasaannya itu. Biarlah. Yang penting apa yang dia rasakan di dalam hatinya, bukan apa yang dia tunjukkan di wajahnya.Emily berangkat dengan menggunakan jasa tak
"Ayo, Mas Abi, cepat," kata Emily tak sabar.Abian yang sedang mengemas pakaiannya pun jadi menoleh padanya. "Jangan bawel, Mily," ucapnya. Lalu berjalan santai menuju lemari pakaiannya dan mengambil beberapa buah pakaian dalamnya dan meletakkannya di atas kasur."Habisnya Mas Abi lama sekali berkemasnya," kata Emily lagi seperti merengek."Kalau kamu nggak sabar seperti itu lebih baik kamu menunggunya di ruang tamu aja.""Kok, menunggu di ruang tamu? Memangnya Mas Abi nggak mau saya bantu?""Kamu nggak bantu saya, Mily. Dari tadi kamu cuma duduk di atas tempat tidur sambil terus bawel."Emily tersenyum lucu. "Sini, saya bantu," ucapnya sambil mengambil pakaian dalam Abian yang tadi diletakkan suaminya itu di atas kasur.Ups! Emily memperhatikan pakaian dalam Abian yang sedang dipegangnya. Ini kali pertama Emily memegang pakaian dalam suaminya. Karena selama mereka tinggal bersama, Abian selalu mencuci pakaian dalamnya sendiri.
Acara makan malam itu berjalan dalam suasana yang kaku. Tapi Emily berusaha untuk tidak mengacuhkannya. Hatinya sedang diisi perasaan bahagia karena dia yakin restu dari orangtuanya sudah di depan mata. Masa bodo dengan cemburu Sandra dan sikap sinis Tomy. Emily tetap menikmati makan malamnya dan terus bersikap manis pada Abian.Emily menyendokkan Abian nasi dan lauk pauknya. Lalu tersenyum manis pada suaminya itu sebelum memulai makan malamnya. Abian balas tersenyum hingga membuat Tomy semakin dibakar cemburu karenanya. Laki-laki tampan itu mendengus pelan dengan sikap sinis."Sepertinya kamu telah berhasil merubah Emily, Bi?" kata Ibunda Emily memulai percakapan."Merubah?" Abian sedikit bingung."Ya, Emily yang sekarang sangat berbeda dengan Emily yang dulu. Sekarang dia mau merapikan kamarnya sendiri. Dia juga pandai memasak dan senang memakai daster," kata Ibunda Emily menjelaskan sambil tersenyum menatap putrinya itu."Ya, bu. Saya cuma
Abian duduk diam di tepi tempat tidur. Seperti biasa, wajahnya terlihat dingin. Sementara itu Emily sedang bersiap hendak mandi. Dia mengambil handuk dari lemari kecil yang bersandar di dinding dekat pintu kamar mandi. Tapi dia ragu untuk membuka pakaiannya di sana. Diliriknya Abian yang duduk diam memunggunginya. Hm, dada Emily berdebar. Kenapa rasanya malu untuk membuka pakaian? Padahal Abian suaminya. Padahal Abian sedang memunggunginya. Padahal Abian tak melihat. Padahal saat-saat bersama Abian inilah yang telah lama dia nantikan. Tapi, kok rasanya malu? Ah, buka pakaian di dalam kamar mandi saja, akhirnya Emily memutuskan."Apa Mas Abi mau mandi lagi?" tanya Emily berbasa-basi menawarkan."Nggak. Kan, kamu yang belum mandi," sahut Abian tanpa menoleh."Ya udah, saya mandi dulu," kata Emily sambil melangkah menuju ke kamar mandi."Mandi sana, biar wangi," celetuk Abian tanpa bermaksud apa-apa.Emily yang mendengar kata-kata Abian itu pun cepat
Emily terjaga dari tidurnya ketika dirasakannya ada seseorang yang mengecup matanya. Dia pun cepat membuka matanya karena terkejut dan mendapati wajah Abian yang berada begitu dekat dengan wajahnya.Ah, rupanya Mas Abi yang barusan mengecup mataku, pikir Emily senang. Senyum manis pun segera terurai di bibir indahnya."Mas Abi-kah yang tadi mengecup mata saya?" tanyanya dengan suara yang manja.Abian tak menyahut. Tapi sekali lagi dia mengecup Emily, lalu bangkit berdiri dan membuka gorden jendela kamar yang tadi masih tertutup rapat. Rupanya hari sudah pagi. Emily melihat langit mulai terang terbias cahaya matahari."Sudah pagi, ya?" tanyanya malas."Ya," sahut Abian pendek.Hm, kenapa cepat sekali pagi datang? Padahal aku masih ingin terbaring dalam dekapan Mas Abi. Masih ingin bermalas-malasan menikmati waktu bersama. Tidakkah waktu bisa berhenti barang sejenak? Biar hadirnya pagi tertunda beberapa saat, demi sekadar memberiku
Rasanya seperti ada gumpalan awan hitam yang tiba-tiba berarak datang mendekat. Begitu gelap. Begitu pekat. Datang menghampiri dan menutupi cahaya matahari. Sinta pun merasa dunianya gulita, seiring runtuhnya harapan cintanya pada Abian.Sepertinya Emily telah benar-benar menguasainya. Jika sudah seperti itu, apakah masih ada celah bagiku untuk masuk ke dalam hatinya? Meski hanya sedikit ruang pun tak apa. Tolonglah, Emily..., jangan rebut dia sepenuhnya. Aku juga ingin memiliki dia. Aku juga ingin jadi bagian dari hidupnya.Hati Sinta menangis merasakan Abian yang semakin menjauh. Jika dulu saja dia begitu sulit untuk ku miliki, apa lagi sekarang setelah Emily menguasai hatinya? Gosip yang mengatakan kalau pernikahan mereka cuma main-main saja ternyata salah. Pernikahan mereka bukan main-main. Buktinya sekarang mereka berani menghadap orangtua Emily sebagai bukti keseriusan mereka membangun rumah tangga. Dan aku, akankah aku semakin tersingkir?"Apa yang
Sore itu Emily sedang sibuk di dapur. Dia ingin menggoreng ikan kesukaan Abian, suaminya. Semua dia yang mengerjakan. Tawaran bantuan dari Bik Jum tadi pun dia tolak. Lebih enak mengerjakan sendiri, lebih puas, pikir Emily. Toh, yang dia masak sore ini bukan sesuatu yang susah. Hanya membumbui ikan saja, lalu menggorengnya. Tapi tidak pakai hangus!Emily tersenyum mengingat bagaimana pengalaman pertamanya menggoreng ikan dulu. Selain rasanya asin, ikan itu pun hangus karena Emily tidak berani membaliknya lantaran ikan yang digorengnya itu meledak-ledak menimbulkan cipratan minyak yang menakutkan. Lantas ketika mereka makan malam bersama, Abian pun mengajarkan untuk menutup wajannya saja jika dia takut dengan cipratan minyaknya. Setelah itu kecilkan api kompor dan biarkan minyak dalam wajan tenang. Setelah itu barulah balik ikannya dan goreng lagi dengan api sedang seperti tadi.Malam itu, bertambah rasa kekaguman Emily pada Abian. Abian yang pandai memasak itu benar-be
Suasana rumah siang ini sedang sepi. Semua penghuni rumah sedang sibuk dengan urusannya masing-masing. Yang laki-laki sibuk bekerja, sedang yang perempuan sibuk menghabiskan waktu bersama dengan teman-teman mereka diluar rumah. Kecuali Emily. Karena sejak pagi dia cuma bermalas-malasan saja di kamarnya. Mau keluar rumah menemui teman-teman rasanya malas. Entahlah, sekarang Emily lebih senang menghabiskan waktunya di rumah dari pada keluyuran seperti dulu.Dulu, Emily senang sekali keluyuran sepulang dari kuliahnya. Bersama Monik dia pergi kemana saja yang dia inginkan. Keliling di mall berburu berbagai macam barang yang sesungguhnya tidak dia perlukan. Atau nongkrong di cafe bersama teman yang lainnya. Dan banyak lagi kegiatan tidak penting yang sering dia lakukan bersama sahabatnya itu. Dan Monik pasti akan selalu setia menemaninya.Mengingat semua itu, Emily pun jadi merasa rindu pada Monik. Hm, rasanya memang sudah cukup lama juga dia tidak bertemu dengan sahabatnya
<span;>Emily mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Rumah ini masih tetap sama seperti ketika dia tinggalkan dulu. Masih tetap bersih dan terasa sejuk. Sungguh nyaman dan mendamaikan. Dengan perasaan haru Emily pun tersenyum. Tanpa dia sadari, telah banyak kenangan terukir di rumah ini. Rumah ini adalah saksi dari perjalanan cintanya bersama Abian. Juga tentang bagaimana dia berubah dari seorang gadis kaya yang manja, menjadi seorang perempuan sederhana yang pandai mengurus rumah. Ah, Emily merindukan rumah ini. Dan sungguh saat ini dia bahagia bisa kembali kemari. <span;>Ketika itu, Abian yang baru kembali dari kamar untuk menidurkan Amanda di ranjangnya pun tersenyum melihat tingkah Emily yang berdiri di tengah ruangan sambil mengedarkan pandangan. <span;>"Selamat datang, ratuku," katanya sambil menatap Emily dengan romantis. Pagi itu memang mereka baru saja sampai. Dan Abian tahu kalau Emily merindukan rumah ini. <span;>
<span;>Pagi itu Abian baru saja terjaga dari tidurnya ketika didengarnya suara ponsel yang berdenting pertanda ada sebuah pesan yang masuk. Abian mengambil ponsel itu dengan malas. Siapa yang menghubunginya pagi buta begini? Dengan mata yang masih mengantuk dia pun berusaha memfokuskan pandangannya pada layar hp. <span;>Emily?! Abian tersentak bagai terkena aliran listrik. Dia pun segera duduk dan membaca pesan itu. 'Mas Abi sayang, nanti malam datang ke sini ya. Ada yang harus kita bicarakan.' <span;>Abian tercekat. Sekali lagi dia membaca pesan itu untuk meyakinkan dirinya kalau isi pesan yang dibacanya memang benar seperti itu. Tapi..., Emily memanggil sayang? Ah, Abian jadi merasa bingung. Bukankah istrinya itu sedang marah padanya? Sedang marah, tapi memanggil sayang? <span;>'Ya, Mily sayang. Saya akan datang nanti malam. Tapi ada apakah?' <span;>'Nggak bisa saya bicarakan di telepon, mas. Pokoknya Ma
<span;>Esok sore, di jam yang sama, Sandra mengetuk pintu kamar Nadya yang tertutup rapat. Tak menunggu lama, pintu kamar itu pun terbuka. Wajah Nadya sedikit bingung karena tak biasanya Sandra mengetuk pintu kamarnya seperti ini. <span;>"Ya, Mbak Sandra, ada apa?" tanya Nadya segera. <span;>"Apa kamu sedang sibuk? Saya ingin minta tolong sebentar," jawab Sandra dengan sikap yang sewajarnya. <span;>"Minta tolong apa, mbak?" <span;>"Tomy datang ingin bertemu dengan Rangga. Tapi Rangga baru saja tidur. Sekarang dia sedang menunggu di teras belakang. Mau kamu menemani dia sebentar? Kamu kan tahu kalau saya atau Mily tidak mungkin menemani dia? Hubungan kami belum baik sampai sekarang." <span;>Nadya pun mengangguk hingga membuat Sandra merasa lega. Lalu tanpa curiga Nadya segera berjalan menuruni tangga menuju ke teras belakang dimana Tomy sedang duduk melamun sendirian. <span;
<span;>"Rasanya sulit untuk percaya kalau Abian berbuat seperti itu, Mily," kata Sandra pada Emily di sore itu. <span;>Emily pun menoleh menatap Sandra untuk beberapa saat. "Jadi kakak percaya pada cerita Mas Abi?" tanyanya sedikit terkejut. <span;>"Percaya seratus persen sih tidak. Tapi kakak melihat pribadi Abian selama ini dan Abian yang diceritakan oleh Nadya, kok, sepertinya bertolak belakang sampai seratus delapan puluh derajat. Coba kamu ingat bagaimana bertanggungjawabnya dia selama ini sebagai suamimu. Juga bagaimana dia berkorban demi memenuhi keinginanmu untuk bisa kuliah lagi. Dia sampai mau mengojek sampai malam, Mily. Dan coba kamu ingat lagi bagaimana dulu Abian tetap bertahan untuk tidak menyentuhmu hanya karena menunggu restu dari papa dan mama. Kamu sudah sah menjadi istrinya ketika itu. Kalian pun tinggal bersama dalam satu rumah. Tapi dia bertahan, Mily. Dia tidak menyentuhmu sampai restu itu dia dapatkan. Jadi, aneh rasa
<span;>"Seorang saksi? Bagaimana mungkin lo bisa menghadirkan seorang saksi, Bi? Siang itu cuma ada lo dan Nadya aja kan di sana?" kata Inung dengan nada bingung. <span;>"Gue juga bingung, Nung. Tapi tanpa kehadiran seorang saksi yang bisa membenarkan cerita gue, Emily akan tetap berpikir kalau gue yang salah. Atau jangan-jangan...." <span;>"Jangan-jangan apa?" <span;>"Atau jangan-jangan dia sengaja berbuat begitu biar dia bisa dekat dengan teman laki-lakinya itu tanpa ada yang menghalangi?" <span;>"Apa iya seperti itu, Bi?" tanya Inung sedikit ragu. <span;>Abian mendesah gelisah. "Gue memang nggak mau nuduh secara langsung sama dia. Tapi bagaimana pun rasa curiga itu tetap ada." <span;>"Semoga rasa curiga lo itu salah, Bi," harap Inung. <span;>"Sore ini gue mau datang lagi ke sana, Nung. Gue kangen banget sama Amanda," kata Abian kemudian. <span;>"Ya, gue ngerti per
<span;>Beberapa hari telah berlalu. Abian masih tetap berusaha sabar untuk tidak menemui Emily, meskipun kerinduannya pada Emily dan Amanda terasa begitu menyesakan dada. Abian tak dapat tidur, juga tak enak makan. Hari-harinya diisi dengan gelisah. Tak ada yang lain yang mengisi kepalanya selain istri dan putrinya itu. Tapi jika dia datang sekarang, apakah Emily sudah bisa diajak bicara? <span;>"Gue udah nggak bisa nahan rasa kangen gue, Nung. Gue juga nggak bisa membiarkan masalah ini berlarut-larut seperti ini. Gue harus menemui Emily sekarang," kata Abian pada Inung di pagi ini. <span;>"Rasanya memang udah saatnya kalian selesaikan masalah ini. Lo udah kasih waktu untuk dia selama beberapa hari ini. Sekarang saatnya dia dengarkan penjelasan dari lo, Bi. Emily nggak boleh cuma dengar cerita dari satu pihak aja. Dia juga harus mau dengar cerita dari lo," sahut Inung. <span;>"Gue nggak ngerti kenapa Emily bisa termakan cer
<span;>Abian mengulangi pertanyaannya hingga beberapakali. Tapi jawaban dan reaksi Emily tetap sama. Dia tetap berseru meminta Abian untuk pergi dengan wajah yang menyiratkan rasa marah dan kecewa. Abian jadi semakin bingung. Dia tak tahu harus berbuat apa hingga hanya bisa mematung di tempatnya berdiri. Emily seperti tak bisa diajak bicara. Dia terlalu histeris dalam tangis dan kemarahannya. <span;>"Tenang dulu, Mily. Coba jelaskan dulu pada saya ada apa ini sebenarnya? Saya benar-benar nggak ngerti kenapa kamu bersikap seperti ini pada saya?" kata Abian bingung. <span;>"Tanya pada diri Mas Abi sendiri, apa yang sudah Mas Abi lakukan?!" sembur Emily marah. <span;>"Apa yang sudah saya lakukan?" Abian tak mengerti dengan perkataan Emily. "Memangnya apa yang sudah saya lakukan, Mily?" <span;>"Mas yang lebih tahu apa yang sudah Mas lakukan! Dasar laki-laki jahat! Saya benci Mas Abi!" Histeris Emily semakin me
<span;>Sore itu Abian bergegas pulang. Dia ingin mendengar cerita Emily tentang pertemuannya dengan Nadya tadi siang. Abian khawatir terjadi keributan antara Emily dan adik sepupunya itu. Meski Abian tahu kalau Nadya tak akan berani membangkitkan rasa cemburu Emily, tapi tetap saja hati Abian tak tenang membayangkan kedua perempuan itu bertemu dan bicara tentang alasan Nadya meninggalkan rumah mereka dengan cara seperti itu. <span;>Motor Abian berhenti di depan pintu pagar rumahnya. Dia melihat ke arah rumahnya yang sepi. Bahkan jendela pun tertutup rapat. Sepertinya Emily belum pulang. Abian pun berpikir sejenak. Apakah sebaiknya dia menunggu Emily di rumah saja, atau kembali ke toko dan pulang ke rumah lagi nanti? Hm, rasanya lebih baik kembali saja ke toko. Nanti sebelum maghrib, barulah pulang menemui Emily. <span;>Abian pun segera memutar motornya dan melajukannya kembali ke toko. Dan ketika dia memasuki halaman parkir di depan tokonya,
<span;>"Nggak mungkin!" seru Emily pelan. "Nggak mungkin Mas Abi melakukan itu!" <span;>"Saya tahu Mbak Mily tidak akan percaya dengan cerita Saya. Karena itulah saya memilih pergi dan diam," kata Nadya dengan ekspresi wajah yang sangat meyakinkan. <span;>"Oh!" Emily kembali terpekik pelan. Benarkah itu? Benarkah suaminya melakukan perbuatan serendah itu? Rasanya ingin tak percaya, tapi raut wajah Nadya sepertinya tidak main-main. Tampaknya dia tidak sedang bercanda, apa lagi berdusta. <span;>"Maafkan saya, Mbak Mily. Saya tidak tahu kalau selama ini Mas Abi memiliki perasaan yang lain terhadap saya. Andai saja saya tahu, pasti saya tidak akan tinggal di rumah Mbak Mily. Saya pikir, selama ini Mas Abi cuma menganggap saya sebagai adik. Tapi ternyata tidak seperti itu." <span;>"Tapi Mas Abi bukan laki-laki seperti itu, Nadya!" Emily masih mencoba untuk percaya pada kesetiaan suaminya. <span;&