Emily menyelesaikan kegiatan memasaknya dengan cepat. Entah kenapa pikirannya tak bisa lepas dari Sinta. Terbayang di pelupuk matanya siang ini Sinta datang kembali ke toko membawakan makanan untuk Abian. Oh, hati Emily jadi tak tenang. Dia ingin segera menyusul ke toko dan menjumpai suaminya. Emily merasa harus menjaga Abian lebih ketat lagi. Jangan beri kesempatan sedikit pun bagi Sinta untuk masuk dan mendekati suaminya seperti kemarin. Emily harus selalu memantau. Memastikan kalau Abian tak diganggu Sinta. Sebab tak ada yang bisa menjamin kalau hati tak kan berubah. Jika hati terus disentuh, mungkin saja dia kan luluh.
Oh, tidak! Emily pun bergidik ngeri membayangkannya. Gelisah jadi makin kuat menyerang hati. Memasak jadi dilakukan terburu-buru. Entah seperti apa rasanya. Emily tak lagi peduli pada rasa masakannya. Yang penting masakan itu matang dan dia bisa segera menyusul Abian ke toko. Jangan sampai Sinta yang tiba lebih dulu. Jangan beri dia kesempatan walau sedetik
Tomy duduk termenung. Dia membiarkan pikirannya melayang tak tentu arah. Sesekali singgah pada kenangannya bersama Emily dulu. Lalu pada cerita pengkhianatannya bersama Sandra. Dan juga teringat pada pertengkarannya dengan Abian malam itu. Semua bercampur aduk dalam kepalanya. Seperti satu film pendek yang diputar secara bergantian hingga dia bisa kembali mengingat semuanya dengan jelas.Ah, Tomy mendesah gelisah. Semua bayang-bayang itu terasa menyiksanya. Terlebih lagi jika dia merasakan hasratnya pada Emily yang tak kunjung padam. Entahlah, Tomy pun tak mengerti dengan perasaannya ini. Mungkin karena sekarang Emily telah jadi milik orang, maka muncul rasa penasaran ingin memiliki di hatinya. Padahal dulu, ketika dia masih menjalin kasih dengan Emily, hasratnya tak menggebu dan menyiksa seperti ini. Tapi sekarang, disaat Emily telah jadi milik orang, entah kenapa dia jadi tak bisa membendung hasratnya pada mantan kekasihnya itu. Sampai-sampai saat dia sedang bersatu dengan
Sore itu Emily sedang duduk santai di ruang tamu ketika sebuah mobil mewah berhenti di depan pagar rumahnya. Mobil siapakah? Emily memperhatikan lewat jendela yang terbuka. Ah, senyum Emily segera mengembang begitu dia mengenali mobil siapakah itu. Itu mobil ibunya! Ya, ibunya datang berkunjung ke rumahnya sore itu. Ibunya datang sendiri. Hanya diantar oleh Pak Diman, supir keluarga mereka. Tak apa, Emily mengerti. Ayahnya pasti belum pulang bekerja saat ini. Sedangkan Sandra, kakaknya, pasti tak akan mau ikut menemani ibunya berkunjung ke rumahnya ini. Jadi tak jadi soal jika hanya ibunyalah saja yang datang mengunjunginya. Emily tetap merasa senang. Sambil tersenyum lebar dia pun memeluk ibunya erat-erat."Mama datang? Kirain mama nggak mau datang ke rumah Mily," kata Emily tersenyum senang."Hus, bicara apa kamu? Mana mungkin mama tidak mau datang ke rumahmu, sayang?" sahut ibunya sambil mencolek hidung Emily dengan gemas."Rumah Mas Abi kecil, ma," kata Emil
Emily terbangun karena indera penciumannya tersentuh oleh bau harum masakan. Hm, siapa yang sudah memasak di pagi buta seperti ini? Baunya lezat sekali. Sungguh memancing rasa lapar padahal mata masih terasa berat untuk terbuka. Oh, dengan susah payah Emily mencoba membuka matanya dan melihat pada jam dinding. Wah, rupanya sudah bukan pagi buta lagi. Jarum jam sudah berada di angka enam tepat. Pagi sudah menjelang, memberikan sedikit warna terang pada langit yang semalam begitu pekat.Apakah itu Mas Abi yang memasak? Emily mencoba menerka karena dilihatnya Abian tak ada lagi di sampingnya. Kenapa Mas Abi tidak membangunkan aku?Emily pun segera bangun dan duduk di atas kasur sambil mengucek matanya yang masih mengantuk. Hoam, dia menguap lebar. Heran, kenapa pagi ini matanya mengantuk sekali? Padahal semalam tidurnya nyenyak dalam pelukan Abian. Tapi pagi ini matanya berat seperti orang yang habis begadang.Emily duduk beberapa saat sambil berusaha mengumpulkan
Rasanya seperti menyimpan sesuatu yang buruk, Emily pun jadi merasa gelisah. Dia memang tak menceritakan pada Abian tentang kedatangan Tomy ke rumah mereka. Sebab Emily takut emosi Abian akan terpancing lagi seperti dulu. Dia takut kedua laki-laki itu berkelahi dan membuat keadaan menjadi semakin kacau. Tapi menutupi semuanya juga bukan sesuatu yang mudah. Emily jadi merasa bersalah karena tak bersikap jujur pada suaminya. Sungguh menciptakan rasa gelisah yang mengganggu yang membuat dia tak nyaman menjalani hari-harinya.Sedangkan Tomy, dengan perasaan tak berdosa dia datang dan datang lagi menemui Emily. Meski Emily selalu menolak kedatangannya, tapi Tomy tak merasa jera sedikit pun. Justru dia jadi semakin merasa tertantang untuk bisa menaklukkan hati Emily. Bagi Tomy, ini seperti harga diri yang dipertaruhkan. Dia seolah merasa sedang bersaing dengan Abian. Dan sebagai laki-laki yang memiliki segalanya, dia tak kan terima jika harus menyerah kalah pada laki-laki miskin se
Plak! Satu tamparan keras mendarat di pipi Sinta, entah untuk yang kesekian kalinya. Sinta pun kembali menjerit dan coba membalas. Tapi Emily tak memberi kesempatan bagi Sinta untuk membalas serangannya itu. Beberapakali Sinta hanya bisa pasrah menerima pukulan, cakaran dan jambakkan dari Emily. Dia pun menangis, sementara Emily seperti semakin kalap mengikuti amarahnya.Tumpah sudah tumpukan kemarahan Emily yang selama ini dia simpan rapi. Ditambah tekanan masalah yang dibuat Tomy untuknya, membuat luapan emosinya itu semakin hebat tak terkendali. Emily memang sedang pusing menghadapi gangguan dari Tomy akhir-akhir ini. Dan Sinta datang, sengaja mencari masalah dengannya. Jika pada akhirnya Emily tak mampu menahan amarahnya, mungkin itu bukan salahnya. Sinta yang salah karena telah menyulut api di atas tumpukan kayu yang telah tersiram bensin. Jika ternyata kayu itu cepat terbakar dan melukainya, maka itu adalah hasil dari kesalahannya sendiri.Emily terus menyerang,
Sinta pulang dengan wajah dan tangan yang penuh luka serta rambut yang acak-acakan. Matanya pun sembab karena dia habis menangis. Ibunya yang sedang duduk santai di ruang tamu pun terkejut melihat putrinya pulang dalam keadaan yang seperti itu. Perempuan paruhbaya itu tak bisa menerka apa yang telah terjadi dengan putrinya. Sebab tadi dia keluar rumah dalam keadaan yang cantik dan rapi seperti biasanya. Tapi kenapa sekarang pulang dalam keadaan berantakan seperti itu?"Ada apa, Sinta? Apa yang terjadi denganmu? Kenapa kamu berantakan dan penuh luka seperti ini?" tanya ibunya dengan wajah terkejut menatap Sinta.Sinta cemberut. Dengan wajah kesal dia duduk di samping ibunya."Emily memukuli saya, bu," ucapnya mengadu."Apa?! Tidak mungkin!" seru ibunya terkejut dan tidak percaya."Sungguh, bu! Emily memang memukuli saya! Ini, ibu lihat sendiri wajah dan tubuh saya penuh luka!"Ibunya menatap Sinta tak berkedip. "Tidak mungkin Emily melakukan
"Mau kemana, bu?" tanya Sinta saat dilihatnya ibunya bersiap hendak keluar rumah."Mau beli kue buat hidangan nanti sore. Guntur kan mau datang. Apa kau lupa?" Ibunya balik bertanya."Saya ingat, bu. Kan, dari semalam ibu nggak berhenti mengingatkan saya," jawab Sinta."Kau memang harus selalu diingatkan.""Ah, ibunya saja yang bawel.""Kalau ibu tidak bawel, kau tidak akan menurut. Sekarang kau tunggu ibu di rumah, jangan kemana-mana. Ibu cuma keluar sebentar membeli kue.""Biar saya saja yang beli, bu. Nanti kaki ibu pegal-pegal lagi dipakai berjalan jauh," kata Sinta menawarkan jasa menolong ibunya membelikan kue."Ah!" Ibunya berdecak pelan. "Nanti kau malah keluyuran! Nanti kau pergi ke toko Abian dan berlama-lama ngobrol di sana. Akalmu terlalu banyak!" tolak ibunya."Nggak kok, bu. Saya nggak akan keluyuran. Dan saya juga nggak akan ke toko Mas Abi. Saya akan ke toko kue yang satunya walau pun jaraknya agak jauh dari sin
Sinta berjalan pulang dengan langkah yang ringan. Dia merasa puas karena telah berhasil membuat Emily diam tak berkutik. Sinta tahu, Emily pasti sedang gundah saat ini. Sebab bagaimana pun berita tentang kedatangan Tomy pasti mengganggu pikirannya. Apa lagi tadi Sinta mengucap nama Tomy, pertanda kalau dia telah berkenalan dengan laki-laki tampan itu yang pasti telah membuat Emily merasa takut jika rahasianya diketahui.Sinta tersenyum senang sesaat. Tapi kemudian terasa kecut ketika dia teringat pada Guntur. Kedatangan laki-laki itu telah mengganjal langkahnya. Apa lagi ibunya terus berkeras untuk menikahkan dia dengan laki-laki yang tidak dikenalnya itu. Bagaimana mungkin dia bisa terus mendekati Abian jika ada seorang calon suami untuknya? Huh, rasanya Sinta sudah kehabisan akal untuk menolak perjodohan itu. Tapi ibunya malah semakin berkeras pada keinginannya untuk segera menikahkan Sinta dengan laki-laki pilihannya itu.Sore ini Guntur datang. Sinta pun berjalan s
<span;>Emily mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Rumah ini masih tetap sama seperti ketika dia tinggalkan dulu. Masih tetap bersih dan terasa sejuk. Sungguh nyaman dan mendamaikan. Dengan perasaan haru Emily pun tersenyum. Tanpa dia sadari, telah banyak kenangan terukir di rumah ini. Rumah ini adalah saksi dari perjalanan cintanya bersama Abian. Juga tentang bagaimana dia berubah dari seorang gadis kaya yang manja, menjadi seorang perempuan sederhana yang pandai mengurus rumah. Ah, Emily merindukan rumah ini. Dan sungguh saat ini dia bahagia bisa kembali kemari. <span;>Ketika itu, Abian yang baru kembali dari kamar untuk menidurkan Amanda di ranjangnya pun tersenyum melihat tingkah Emily yang berdiri di tengah ruangan sambil mengedarkan pandangan. <span;>"Selamat datang, ratuku," katanya sambil menatap Emily dengan romantis. Pagi itu memang mereka baru saja sampai. Dan Abian tahu kalau Emily merindukan rumah ini. <span;>
<span;>Pagi itu Abian baru saja terjaga dari tidurnya ketika didengarnya suara ponsel yang berdenting pertanda ada sebuah pesan yang masuk. Abian mengambil ponsel itu dengan malas. Siapa yang menghubunginya pagi buta begini? Dengan mata yang masih mengantuk dia pun berusaha memfokuskan pandangannya pada layar hp. <span;>Emily?! Abian tersentak bagai terkena aliran listrik. Dia pun segera duduk dan membaca pesan itu. 'Mas Abi sayang, nanti malam datang ke sini ya. Ada yang harus kita bicarakan.' <span;>Abian tercekat. Sekali lagi dia membaca pesan itu untuk meyakinkan dirinya kalau isi pesan yang dibacanya memang benar seperti itu. Tapi..., Emily memanggil sayang? Ah, Abian jadi merasa bingung. Bukankah istrinya itu sedang marah padanya? Sedang marah, tapi memanggil sayang? <span;>'Ya, Mily sayang. Saya akan datang nanti malam. Tapi ada apakah?' <span;>'Nggak bisa saya bicarakan di telepon, mas. Pokoknya Ma
<span;>Esok sore, di jam yang sama, Sandra mengetuk pintu kamar Nadya yang tertutup rapat. Tak menunggu lama, pintu kamar itu pun terbuka. Wajah Nadya sedikit bingung karena tak biasanya Sandra mengetuk pintu kamarnya seperti ini. <span;>"Ya, Mbak Sandra, ada apa?" tanya Nadya segera. <span;>"Apa kamu sedang sibuk? Saya ingin minta tolong sebentar," jawab Sandra dengan sikap yang sewajarnya. <span;>"Minta tolong apa, mbak?" <span;>"Tomy datang ingin bertemu dengan Rangga. Tapi Rangga baru saja tidur. Sekarang dia sedang menunggu di teras belakang. Mau kamu menemani dia sebentar? Kamu kan tahu kalau saya atau Mily tidak mungkin menemani dia? Hubungan kami belum baik sampai sekarang." <span;>Nadya pun mengangguk hingga membuat Sandra merasa lega. Lalu tanpa curiga Nadya segera berjalan menuruni tangga menuju ke teras belakang dimana Tomy sedang duduk melamun sendirian. <span;
<span;>"Rasanya sulit untuk percaya kalau Abian berbuat seperti itu, Mily," kata Sandra pada Emily di sore itu. <span;>Emily pun menoleh menatap Sandra untuk beberapa saat. "Jadi kakak percaya pada cerita Mas Abi?" tanyanya sedikit terkejut. <span;>"Percaya seratus persen sih tidak. Tapi kakak melihat pribadi Abian selama ini dan Abian yang diceritakan oleh Nadya, kok, sepertinya bertolak belakang sampai seratus delapan puluh derajat. Coba kamu ingat bagaimana bertanggungjawabnya dia selama ini sebagai suamimu. Juga bagaimana dia berkorban demi memenuhi keinginanmu untuk bisa kuliah lagi. Dia sampai mau mengojek sampai malam, Mily. Dan coba kamu ingat lagi bagaimana dulu Abian tetap bertahan untuk tidak menyentuhmu hanya karena menunggu restu dari papa dan mama. Kamu sudah sah menjadi istrinya ketika itu. Kalian pun tinggal bersama dalam satu rumah. Tapi dia bertahan, Mily. Dia tidak menyentuhmu sampai restu itu dia dapatkan. Jadi, aneh rasa
<span;>"Seorang saksi? Bagaimana mungkin lo bisa menghadirkan seorang saksi, Bi? Siang itu cuma ada lo dan Nadya aja kan di sana?" kata Inung dengan nada bingung. <span;>"Gue juga bingung, Nung. Tapi tanpa kehadiran seorang saksi yang bisa membenarkan cerita gue, Emily akan tetap berpikir kalau gue yang salah. Atau jangan-jangan...." <span;>"Jangan-jangan apa?" <span;>"Atau jangan-jangan dia sengaja berbuat begitu biar dia bisa dekat dengan teman laki-lakinya itu tanpa ada yang menghalangi?" <span;>"Apa iya seperti itu, Bi?" tanya Inung sedikit ragu. <span;>Abian mendesah gelisah. "Gue memang nggak mau nuduh secara langsung sama dia. Tapi bagaimana pun rasa curiga itu tetap ada." <span;>"Semoga rasa curiga lo itu salah, Bi," harap Inung. <span;>"Sore ini gue mau datang lagi ke sana, Nung. Gue kangen banget sama Amanda," kata Abian kemudian. <span;>"Ya, gue ngerti per
<span;>Beberapa hari telah berlalu. Abian masih tetap berusaha sabar untuk tidak menemui Emily, meskipun kerinduannya pada Emily dan Amanda terasa begitu menyesakan dada. Abian tak dapat tidur, juga tak enak makan. Hari-harinya diisi dengan gelisah. Tak ada yang lain yang mengisi kepalanya selain istri dan putrinya itu. Tapi jika dia datang sekarang, apakah Emily sudah bisa diajak bicara? <span;>"Gue udah nggak bisa nahan rasa kangen gue, Nung. Gue juga nggak bisa membiarkan masalah ini berlarut-larut seperti ini. Gue harus menemui Emily sekarang," kata Abian pada Inung di pagi ini. <span;>"Rasanya memang udah saatnya kalian selesaikan masalah ini. Lo udah kasih waktu untuk dia selama beberapa hari ini. Sekarang saatnya dia dengarkan penjelasan dari lo, Bi. Emily nggak boleh cuma dengar cerita dari satu pihak aja. Dia juga harus mau dengar cerita dari lo," sahut Inung. <span;>"Gue nggak ngerti kenapa Emily bisa termakan cer
<span;>Abian mengulangi pertanyaannya hingga beberapakali. Tapi jawaban dan reaksi Emily tetap sama. Dia tetap berseru meminta Abian untuk pergi dengan wajah yang menyiratkan rasa marah dan kecewa. Abian jadi semakin bingung. Dia tak tahu harus berbuat apa hingga hanya bisa mematung di tempatnya berdiri. Emily seperti tak bisa diajak bicara. Dia terlalu histeris dalam tangis dan kemarahannya. <span;>"Tenang dulu, Mily. Coba jelaskan dulu pada saya ada apa ini sebenarnya? Saya benar-benar nggak ngerti kenapa kamu bersikap seperti ini pada saya?" kata Abian bingung. <span;>"Tanya pada diri Mas Abi sendiri, apa yang sudah Mas Abi lakukan?!" sembur Emily marah. <span;>"Apa yang sudah saya lakukan?" Abian tak mengerti dengan perkataan Emily. "Memangnya apa yang sudah saya lakukan, Mily?" <span;>"Mas yang lebih tahu apa yang sudah Mas lakukan! Dasar laki-laki jahat! Saya benci Mas Abi!" Histeris Emily semakin me
<span;>Sore itu Abian bergegas pulang. Dia ingin mendengar cerita Emily tentang pertemuannya dengan Nadya tadi siang. Abian khawatir terjadi keributan antara Emily dan adik sepupunya itu. Meski Abian tahu kalau Nadya tak akan berani membangkitkan rasa cemburu Emily, tapi tetap saja hati Abian tak tenang membayangkan kedua perempuan itu bertemu dan bicara tentang alasan Nadya meninggalkan rumah mereka dengan cara seperti itu. <span;>Motor Abian berhenti di depan pintu pagar rumahnya. Dia melihat ke arah rumahnya yang sepi. Bahkan jendela pun tertutup rapat. Sepertinya Emily belum pulang. Abian pun berpikir sejenak. Apakah sebaiknya dia menunggu Emily di rumah saja, atau kembali ke toko dan pulang ke rumah lagi nanti? Hm, rasanya lebih baik kembali saja ke toko. Nanti sebelum maghrib, barulah pulang menemui Emily. <span;>Abian pun segera memutar motornya dan melajukannya kembali ke toko. Dan ketika dia memasuki halaman parkir di depan tokonya,
<span;>"Nggak mungkin!" seru Emily pelan. "Nggak mungkin Mas Abi melakukan itu!" <span;>"Saya tahu Mbak Mily tidak akan percaya dengan cerita Saya. Karena itulah saya memilih pergi dan diam," kata Nadya dengan ekspresi wajah yang sangat meyakinkan. <span;>"Oh!" Emily kembali terpekik pelan. Benarkah itu? Benarkah suaminya melakukan perbuatan serendah itu? Rasanya ingin tak percaya, tapi raut wajah Nadya sepertinya tidak main-main. Tampaknya dia tidak sedang bercanda, apa lagi berdusta. <span;>"Maafkan saya, Mbak Mily. Saya tidak tahu kalau selama ini Mas Abi memiliki perasaan yang lain terhadap saya. Andai saja saya tahu, pasti saya tidak akan tinggal di rumah Mbak Mily. Saya pikir, selama ini Mas Abi cuma menganggap saya sebagai adik. Tapi ternyata tidak seperti itu." <span;>"Tapi Mas Abi bukan laki-laki seperti itu, Nadya!" Emily masih mencoba untuk percaya pada kesetiaan suaminya. <span;&