“Ini,” Gadis itu menyerahkan kantong kertas yang diambilnya dari dalam lemari.
Ia lalu menerimanya. “Makasih.”
“Ada yang ketinggalan lagi?” tanya Aneth ketika Yuka masih tidak juga beranjak dari tempatnya.
Sewaktu Aneth menanyakan alasannya datang kemari, kepalanya masih sibuk berpikir. Tapi pertanyaan gadis itu selanjutnya cukup menyelamatkannya.
“Ah, Anda mau ambil barang yang tertinggal, ya?”
Ada sarat kecewa ketika Aneth kembali membatasi hubungan mereka dengan bicara formal seperti itu.
“Huh? Oh, iya,” jawab Yuka kaku. Dia sendiri lupa barang apa yang ditinggalkannya di kamar Aneth.
“Harusnya langsung ambil ke kamar aja, nggak pa-pa, kok.”
“Ah, itu... rasanya nggak enak datang dan pergi begitu aja,” sahutnya. Mencari alasan lain untuk mengulur waktu.
Yuka sangat bingung sampai kehilangan kata-kata. Sejak di taman tadi fokusnya tertuj
Cinta sejati itu memandang kelemahan, lalu dijadikan kelebihan untuk saling mencintai. -BJ Habibie.
“Selamat sore, Ranetha,” sapa dokter Hans lebih akrab sore itu. Tidak biasanya beliau datang di sore hari. Biasanya dia berkunjung di pagi atau siang hari.“Sore, Dok,” Aneth membalas sapaannya.Melihat wajah Aneth yang lebih segar dari sebelumnya, dokter Hans tersenyum. “Sepertinya suasana hati kamu lagi bagus, ya? Saya nggak jadi periksa, deh. Kalau lihat saya, nanti malah merusak mood kamu, lagi,” guraunya yang disambut senyuman sekilas oleh Aneth.Sang dokter tertegun sesaat. Karena selama ia datang ke ruangan pasien bernama Ranetha, baru kali ini ia melihat tatapan ramah gadis itu.“Dok,” panggil Aneth.“Ya?” Masih dengan lengkung di bibir dokter Hans menyahut.“Bagaimana cara bangun dari mimpi buruk?”Ini dia yang ditunggu-tunggu olehnya. Kesiapan gadis itu untuk menyembuhkan luka. Karena selama ini, dia tahu gadis ini sangat menutup diri. Perempuan
Ponsel lamanya telah kembali. Yuka memberikannya bersamaan dengan kunci kamar indekos Aneth setelah dia keluar dari rumah sakit. Tetapi ia tetap harus mencari tempat tinggal baru. Ketika Aneth menginjakkan kaki di indekos lamanya, ia tidak sanggup.Berdiri di depan kamarnya membuat sekujur tubuhnya menegang, teringat teror yang diterimanya beberapa waktu lalu. Meski interior kamar telah dibenahi dan perabot yang rusak telah diganti, perasaan khawatir itu masih tersisa. Kecemasan akan seseorang yang mengintainya dan berusaha mencelakainya masih dapat ia rasakan saat berada di sana.Karena alasan itulah, akhirnya Aneth kembali ke sini.Apartemen Yuka.Selain itu dia tidak dianjurkan tinggal sendirian untuk sementara waktu. Mempertimbangkan kondisi tangannya yang belum terlepas dari gips dan luka di telapak kakinya, gerakkannya masih terbatas. Ia butuh seseorang yang dapat membantunya dalam melakukan aktivitas sehari-hari.Mencuci piring misalnya.
Pagi itu Aneth ikut berada di barisan menunggu lift. Ketika tiba gilirannya masuk, beberapa staf bergeser memberi ruang. Bukan untuknya, tapi untuk seseorang yang baru tiba. “Pagi, Pak,” sapa semua pegawai. Aneth mengikuti yang lain dengan gugup sambil membungkuk. “Pagi, Pak.” Laki-laki itu tersenyum dan balas menyapa, “Pagi....” Rasanya ia masih tidak percaya kalau orang sehebat Yuka adalah orang yang bersamanya belakangan ini dan menyatakan cinta padanya. Hari ini adalah hari pertama Aneth masuk kerja setelah diberi izin karena kecelakaan dan dirawat di rumah sakit. Tentu saja izin itu diurus oleh Becca atas permintaan Yuka. Gips di tangan kanannya sudah dilepas, kesehatannya sudah membaik. Tetapi tangan kanannya tetap tidak dianjurkan untuk melakukan aktivitas berat dan belum boleh terlalu banyak begerak. Ia juga sudah pindah dari indekos lama ke sebuah apartemen sederhana yang masih satu daerah dengan indekosnya. A
“Barusan Papa bilang apa?!” “Gila nih anak... . Gue nggak tuli, jangan teriak-teriak di telepon! Sakit kuping gue dengarnya.” Sang Kapten kemudian melanjutkan. “Dinner, sama anaknya kenalan gue besok, namanya Sanny. Cantik anaknya, masih muda,” Yuka meraup wajah frustrasi. “Pa, kalo gue batalin bisa nggak?” Baru juga tiga hari ayahnya pulang. Kenapa beliau tiba-tiba menelepon bahas jodoh? Pakai acara mau mengenalkan ke anak temannya pula. Kapan mereka ada waktu membicarakan soal itu? “Ya nggak bisa, lah... . Gue udah janjiin ke mereka. Lagian waktu itu kan lo yang setuju,” “Hah? Setuju apa? Kapan?” Raut wajahnya mengernyit, ia tidak merasa pernah menyetujui apa pun. “Di hari Yuri sama gue mau ke HK. Waktu di rumah, kan gue bilang mau cariin cewek dari anaknya kenalan gue, lo bilang terserah.” Mulutnya mendadak bisu. Otaknya berputar keras berusaha menggali ingatan. Apa benar pernah ada obroloan seperti itu?
Menyenangkan, mudah diajak mengobrol, cantik, dan elegan. Dia bukan tipikal gadis pemalu, dia begitu percaya diri. Bahkan pada pertemuan pertama mereka,gadis itu bisa dengan lancar bicara pada Yuka dan menatap tepat pada manik matanya tegas. Sesuai apa kata ayahnya, gadis ini adalah tipe idealnya. “Ternyata apa yang dibilang Papaku salah, Sanny lebih mengagumkan dari yang dikatakannya.” Gadis yang dipanggil Sanny itu tersenyum manis. “Begitu? Aku udah sering mendengarnya. Tapi kalau Yuka yang bilang, aku merasa sangat tersanjung.” Gadis bernama Sanny bahkan tidak ragu melayangkan rayuan balik. Dia merespon semua candaan Yuka dengan senang hati. Membalas ucapan manis Yuka dengan berani tanpa malu-malu. Gadis itu juga dengan terang-terangan menunjukan ketertarikannya pada Yuka. Berbeda dengan seseorang. Yuka mengangkat gelasnya, mengajak gadis itu bersulang. Sanny menyambut undangannya dan tersenyum sangat cantik. Kalau ia bertemu dengan Sanny l
Mereka tidak naik mobil Yuka. Lelaki itu memanggil taksi online untuk mengantar mereka ke apartemen Yuka. Tolong garis bawahi apartemen Yuka, bukan apartemen Aneth. Aneth tidak mampu bertanya ke mana mobil laki-laki itu maupun memintanya mengantar pulang. Ia juga cuma sempat mengirim pesan singkat ke Regina kalau dia pamit pulang. Tidak berani membuka ponselnya lagi, tidak berani menatap, tidak mampu melakukan apa-apa. Hanya duduk kaku, menunggu mereka tiba di tempat tujuan. Keduanya enggan bicara. Mereka hanya diam satu sama lain saat berada di dalam taksi. Sebelah tangan Yuka masih memegangi pergelangan tangan Aneth. Sampai di apartemen, keduanya masih membisu. Yuka baru melepaskan tangannya ketika mereka masuk. Saat itu Aneth mengusap pergelangan tangannya yang sempat dicengkram erat oleh laki-laki itu. Aneth menunggu Yuka bicara. Sedangkan Yuka menunggu Aneth menjelaskan. Tidak ada yang bisa bersikap tenang di sana. Keduanya dilanda emosi
Dering ponsel di pagi itu membuat matanya mau tak mau terbuka, melepaskan rangkulannya. Dia meraih gelas air mineral yang berada di atas nakas meja sebelahnya, meneguknya sambil mengusap pelan matanya sebelum menjawab panggilan. Jam empat dini hari. Nama Rendy tertera di layar. “Halo,” “Pagi, Pak. Maaf mengganggu istirahatnya. Saya mau mengabari kalau Adeline sudah ditemukan. Sekarang orang-orang suruhan Pak Kingsley dalam perjalanan membawa dia ke sini dari Milan,” “Oh, cepat juga, bagus. Pastikan dia nggak kabur lagi setelah tiba di sini. Segera ajukan gugatan, tapi jangan pengacara keluarga Leovin yang mengurusnya.” Yuka lalu menoleh, berharap pembicaraannya tidak mengganggu gadis yang berbaring pulas di sebelahnya. “Jangan sampai masalah ini terdengar keluarga saya juga.” “Baik, Pak. Akan saya siapkan pengacaranya.” “Oke, thank you, Ren.” Setelah mengakhiri panggilan dan meletakkan kembali ponselnya di atas nakas, Yuka kem
“Anda panggil saya?” tanya Aneth formal ketika memasuki ruangan. “Astaga, kita cuma berdua. Ngomong kayak biasa aja, Sayang,” “Kamu, nih. Kalo kedengaran orang lain kan, nggak enak. Udah cukup ya, Regina tau tentang kita. Jangan sampe ada pegawai lain lagi yang tau.” Melirik ke arah pintu besar yang baru ditutupnya. “Becca tau, Rendy tau, supirku juga tau. Memang kenapa kalo yang lainnya tau?” “Oke, mereka nggak masuk hitungan. Mereka orang kepercayaan kamu. Tapi kalau staf lain, bisa jadi biang gosip sekantor!” “Tenang ajaa. Yang lebih penting, aku pergi sore ini, loh. Kita nggak bisa ketemu beberapa hari. Memang kamu nggak bakal kangen?” Beranjak dari bangkunya, Yuka berjalan melewati Aneth yang masih berdiri. Berpindah duduk ke sofa. “Sini,” pinta laki-laki itu. Aneth pun mau tak mau mengikutinya, mengambil tempat di sebelahnya. Memiringkan badan saling berhadapan. Terasa sedikit aneh, ruang Direksi waktu itu menjadi
“Kamu tau, pertemuan kita waktu membahas kontrak... itu bukan pertemuan pertama kita?” tutur Yuka saat mereka duduk di ruang tengah. Sepasang alis Aneth terangkat naik menanggapi. “Ah, kamu ingat?” “Huh? Ternyata kamu tau? Kita pernah ketemu waktu—” “Waktu aku wisuda.” “Waktu aku masih kuliah.” Mereka bicara berbarengan. “Huh?” “Eh?” Keduanya bingung dengan jawaban yang tidak sinkron. “Waktu kamu wisuda?” Yuka mengulang jawaban Aneth dengan pertanyaan. “Iya, waktu itu lift penuh. Aku buru-buru naik tangga ke auditorium terus kesandung karena rok kebaya aku. Tapi kamu bantu menahanku di tangga dan ambilin tabung wisuda aku yang jatuh. Aku sempat kira kamu Valdi, tapi kamu nggak pakai toga.” “Ahh... waktu aku datang ke acara wisudanya Valdi, ya? Wisudanya kamu juga.” Aneth lalu mengangguk. Kemudian ganti ia yang bertanya. “Kalo waktu kamu kuliah itu, maksudnya kapan?” “Hm..
Setelah pesta pernikahan, banyak orang yang mengaitkannya dengan malam pertama. Nyatanya, gagasan mengenai malam pertama setelah pernikahan tidak selalu terjadi karena para pasangan cenderung lelah setelah seharian menjamu tamu. Tidur hanya dua hingga tiga jam sebelum acara, harus bangun dini hari khususnya pengantin wanita untuk berdandan, menghadiri acara peneguhan sesuai kepercayaan masing-masing, kemudian resepsi. Aneth yang baru pertama kali menikah—begitu juga dengan Yuka sebetulnya—merasa sekujur tubuh dan kakinya sakit karena terlalu lama berdiri. Padahal gaun pengantin didesain senyaman dan seringan mungkin untuk dikenakan di tubuh. Tapi tetap saja. Aneth sangat lelah berdiri dan menarik senyum senyum seharian. Setelah dibantu oleh kru untuk melepaskan gaunnya, ia masih harus membersihkan riasan dan melepas jepit-jepit di rambut. Saking lelahnya, Aneth dan Yuka langsung bergegas tidur semalam. Ya. Hanya tidur. “Morning,
Jalan-jalan sekitar resort, makan malam, dan bersantai sejenak. Saking semangatnya, rasanya Aneth tidak bisa memejamkan mata malam ini. Ia menyukai suasana di Bintan walaupun siang hari sangat terik. “Kamu belum mau tidur?” tanya Yuka yang melihat wajah Aneth masih tampak segar. “Aku belum ngantuk.” “Kamu suka di sini?” Aneth mengangguk sambil tersenyum lebar. “Kamu tau,” ucapnya memberi jeda sejenak. “Aku pernah berharap bisa pensiun dini dan menghabiskan sisa hidupku traveling ke berbagai tempat indah seperti ini.” “Aku bisa kabulin harapan kamu. Kita bisa pergi ke tempat-tempat yang kamu mau.” Aneth tersenyum. “Kalo jadi semudah itu rasanya aneh. Lagi pula pulang dari sini nanti kerjaan kamu udah menanti.” “Err... tolong jangan ingetin aku.” Keduanya lalu tertawa. “Aku mau ke jacuzzi, kamu mau ikut?” Yuka terdiam memandangi Aneth. Menyadari ajakan ambigunya, buru-buru Aneth menimpali, “Ma-mak
Semenjak bertemu dengan keluarga Yuka, Aneth sesekali diundang ke rumah orang tuanya pada akhir pekan. Katanya sekalian mengakrabkan diri karena mereka akan menikah. Jujur saja, sewaktu Yuka mengatakan ingin menikahi Aneth di depan kedua orang tuanya, Aneth masih merasa abu-abu. Menikah. Dulu, kata itu menjadi hal terakhir yang ada di pikirannya. Bahkan tidak masuk dalam rencana masa depannya. Tetapi sejak bersama Yuka, semuanya berubah. Keinginannya mulai berubah. Rencananya tak lagi miliknya sendiri. Belum lama ini dia juga baru tahu, kalau Yuka mengunjungi rumah Mama tanpa sepengetahuannya. Sewaktu Aneth pulang ke rumah, mamanya menceritakan apa yang disampaikan Yuka, termasuk hubungan mereka. Aneth sempat merasa takut dan tidak enak hati untuk mengakui. Tapi Mama kemudian berkata, “Kalau kamu memang mau menikah, jangan diam-diam aja. Setidaknya kasih tau kapan rencana kalian. Kamu juga bisa tanya persiapannya ke Kak Rena yang udah pengalaman
Benang kusut yang selama ini menghambat hubungan mereka sedikit demi sedikit terurai. Yuka telah mengumpulkan kepingan fakta yang menjadi sumber tanyanya pada gadis itu. Tinggal selangkah lagi. Hingga untaian benang yang berantakan lurus seutuhnya. Tatkala di pagi yang cerah, mobilnya yang kontras berhenti di depan rumah konvensional bergaya sederhana yang pernah dikunjunginya. Dia melangkah turun dari mobil. Berdiri di depan pagar hitam dengan ujung-ujung runcing yang tingginya melewati kepalanya. Dari celah pagar itu ia melongok ke pintu rumah yang terbuka. Berharap orang yang dicarinya ada di dalam. Sambil menghela napas dalam-dalam, ia mengumpulkan keberanian. Mengadu gembok yang tergantung di pagar agar menimbulkan suara bunyi. “Permisi,” panggilnya. Bukan, dia bukan mau jadi sales panci atau semacamnya. Dia perlu menemui seseorang. Tak lama kemudian tampak seorang wanita keluar dari dalam. Dengan raut keheranan berhenti melangkah di tera
Semakin langit menggelap, ruangan itu semakin ramai. Tidak seperti siang tadi yang sepi. Mungkin karena bukan akhir pekan, mereka baru menyempatkan datang sepulang kerja. Sebagian besar orang yang hadir mengenakan pakaian berwarna putih. Orang-orang sibuk menyalami keluarganya, memberikan ucapan belasungkawa. Di tengah suasana duka yang pekat, gadis itu sama sekali tidak merasakan apa-apa. Dia tidak menitikkan air mata seperti beberapa dari mereka yang datang. “Neth, gantian kamu sama Niko makan, gih di kamar. Biar Kak Rena sama Kak Denny aja yang jaga.” “Iya, Kak.” Aneth beranjak dari duduknya, diikuti Niko dengan mata sembab dan wajah bengkaknya sehabis menangis. Aneth tidak tahu lagi apa yang harus ia rasakan sementara orang-orang jelas menunjukkan kesedihan mereka. Bisa saja dia mengikuti yang lainnya, berpura-pura menangis. Namun, Aneth tidak suka bersikap munafik. Ada rasa sesak yang mengganjal, tapi bukan kesedihan. Mungkin penyesalan.
Banyak yang telah terjadi selama empat bulan ini. Mulai dari hal yang kurang menyenangkan hingga hal baik. Memori buruk yang terus dipendam dan menghantuinya selama bertahun-tahun ternyata dapat memudar hanya dalam watu beberapa bulan. Alasan baru baginya untuk tetap bertahan dan memiliki arti hidup yang sesungguhnya. Apakah ini takdir? Ataukah keberuntungan? Yang pasti ia akan memanfaatkannya sebaik mungkin. Segala hal yang semula bertentangan dengannya perlahan berbalik mendukungnya. Sampai suatu hari ketika terbangun, dia masih merasa semuanya bagai mimpi. Tapi ketika membuka ponselnya di pagi hari, Aneth tahu. Apa yang dialaminya adalah kenyataan. Setiap membuka mata, pesan itu selalu meyakinkannya. Ucapan selamat tidur, selamat pagi, atau sisa percakapan semalam yang membuatnya ketiduran. Bukan karena membosankan, hanya dia terlalu nyaman. Hingga insomnia tidak lagi dirasakannya akhir-akhir ini. *** “Kamu... gila....
Perasaan bahagia menyelimutinya sejak turun dari pesawat. Ia tak bisa menahan sudut-sudut bibirnya yang mengembang. Setelah beberapa hari terpisah, akhirnya dia akan menemui pujaan hati di rumah. Andai bisa seperti ini setiap hari, batinnya. Disambut di rumah sepulang kerja, terlelap bersisian dan bangun memandangi wajahnya, menghabiskan waktu senggang, juga melakukan aktivitas dengannya. Ia pasti menjadi laki-laki paling bahagia di dunia jika itu terjadi. “Pak, biar saya bawakan kopernya.” “Nggak pa-pa, Ren. Barang yang kamu udah banyak. Cari troli aja dulu.” Rendy kemudian mengangguk mengiyakan. Selama dua tahun bekerja menjadi asisten Yuka Damiani Leovin, ia diperlakukan dengan amat baik. Pria itu tidak pernah menyuruhnya sesuka hati dan bertingkah semena-mena, menghormati waktu kerja dan hari liburnya, menggunakan tutur kata yang sopan meski ia bawahannya. Bagi Rendy, baru kali ini dia bekerja senyaman ini walau aktivitasnya selama jam kerja padat
“Anda panggil saya?” tanya Aneth formal ketika memasuki ruangan. “Astaga, kita cuma berdua. Ngomong kayak biasa aja, Sayang,” “Kamu, nih. Kalo kedengaran orang lain kan, nggak enak. Udah cukup ya, Regina tau tentang kita. Jangan sampe ada pegawai lain lagi yang tau.” Melirik ke arah pintu besar yang baru ditutupnya. “Becca tau, Rendy tau, supirku juga tau. Memang kenapa kalo yang lainnya tau?” “Oke, mereka nggak masuk hitungan. Mereka orang kepercayaan kamu. Tapi kalau staf lain, bisa jadi biang gosip sekantor!” “Tenang ajaa. Yang lebih penting, aku pergi sore ini, loh. Kita nggak bisa ketemu beberapa hari. Memang kamu nggak bakal kangen?” Beranjak dari bangkunya, Yuka berjalan melewati Aneth yang masih berdiri. Berpindah duduk ke sofa. “Sini,” pinta laki-laki itu. Aneth pun mau tak mau mengikutinya, mengambil tempat di sebelahnya. Memiringkan badan saling berhadapan. Terasa sedikit aneh, ruang Direksi waktu itu menjadi