"Apa kamu ingin bersikap pura-pura bodoh dan tidak tahu apa-apa?" tanya Miranda dengan nada sinis. Dira masih mematung di tempatnya, karena dia sama sekali tidak mengerti dan dia ingin menunggu kalimat selanjutnya yang akan diucapkan sang mertua. "Dengar, karena kamu perusahaan mengalami kerugian!" ungkap Miranda. Dira berpikir keras. Apa maksud kalimat yang diucapkan oleh mertuanya ini. Kenapa dia dituduh sebagai penyebab kerugian pada perusahaan? Padahal selama ini dia bahkan tidak pernah berkunjung ke perusahaan itu, jangankan berkunjung tahu perusahaan itu bergerak di bisnis apa dia bahkan tidak paham. "Ma, kenapa Mama menuduhku seperti itu?" tanya Dira. Miranda menarik napas sebelum dia mengeluarkan unek-uneknya. Wanita itu perlahan-lahan mendekati diri."Dira, sejak awal kamu sudah salah karena kamu menikah dengan Abi. Apa aku salah jika aku menuduh dirimu? Karena perbuatanmu ini membuat Nadya bunuh diri dan sekarang Abi mengabaikan tugasnya untuk menjalankan perusahaan gun
Suasana salah satu rumah sakit di sudut ibu kota, ramai pada umumnya. Banyak orang berwarna-warni guna berobat, berkunjung atau pun hanya sekedar mengantar kerabat untuk berobat. Namun, tidak dengan ruang rawat Nadya. Ruangan ini hanya terdengar bunyi alat monitor yang dipasang di tubuh Nadya.Abi terus memegang tangan Nadya. Dia sama sekali tidak ingin melepaskan tangan itu karena Abi merasa sangat bersalah. Beberapa saat yang lalu saat Nadya terbangun dari komanya. Abi mengatakan bahwa dia akan benar-benar bertanggung jawab atas Dira, karena perbuatan yang sudah dilakukan pada wanita itu. Akan tetapi Nadya sama sekali tidak terima jika Abi meninggalkan dirinya dan untuk kedua kalinya dia menggores tangannya dan kali ini cukup dalam sehingga membuat wanita itu kehilangan banyak darah.Beruntung saja saat itu Nadya masih berada di rumah sakit. Jadi dia masih bisa mendapatkan pertolongan secara langsung. Namun, nyatanya dokter memberikan vonis jika Nadia kini kembali koma lagi."Nad,
"Bu, aku sama sekali tidak pernah menyangka Ibu akan melakukan hal seperti ini untuk Kak Nadya!" seru Dira mendekat ke arah sisi ranjang. Lita memasang wajah datarnya, lalu berkata, "Kenapa? Apa kamu iri?" "Aku tidak pernah iri, tapi ini semua tidak bisa dibenarkan, Bu." "Lalu hal seperti apa yang bisa dibenarkan? Kamu menikahi kekasih kakakmu sendiri apa itu bisa dibenarkan?" sergah Lita yang tak terima. "Sudahlah, Bu. Jangan berdebat dengannya, lagi pula dia bukan lagi keluarga kita. Sama halnya dia bukan bagian dari Ayah Indra," sahut Nadya. Lita langsung melihat ekspresi Dira saat Nadya mengatakan kalimat itu. Mungkin ini sudah saatnya anak tidak tahu diri itu tahu hal yang sesungguhnya. Namun, Lita sama sekali tidak melihat ekspresi terkejut dari wajah Dira. Dia justru mendengar kalimat yang sama sekali tak pernah dia duga. "Benar apa kata Kakak. Terima kasih sudah ingin mengatakan rahasia yang sudah aku tunggu sejak lama." Dira menatap wajah Nadya lalu kini beralih pada Li
Dengan langkah lebar-lebar Abi memasuki apartemen yang beberapa hari ini tidak pernah dia injak. Setelah membuka pintu lengkingan suaranya memanggil nama Dira. "Dira!" Adi yang tak kunjung mendapatkan jawaban, dia langsung menunju kamar Dira. Benar saja saat dia masuk kamar wanita itu, bola matanya menemukan Dira sedang memejamkan mata. "Dira, bangun! Jangan pura-pura tidak dengar aku memanggilmu," ujar Abi yang kini membangunkan Dira menggunakan kakinya. Dengan mata yang masih berat Dira mencoba melebarkan pandangannya. Pusing yang dia rasakan setelah dari rumah sakit ditambah dengan benturan akibat perbuatan Abi. Membuta tubuhnya semakin melemah. "Kak Abi sudah pulang?" Pertanyaan yang seharusnya tidak ditanyakan oleh Dira, sebab Dira yang meminta Abi untuk pulang. Namun, karena pusing di kepalanya yang gak kunjung reda membuat wanita itu sedikit lupa ingatan."Sekarang jangan berlaga sok manis, Dira. Sementara kamu di luar sana bersikap bar-bar! Dan ingat aku pulang bukan untu
Bola mata Dira membulat saat dia mengetahui sosok lelaki yang kini berada sampingnya dan memegang tangannya. "Ibu Dira, kenapa Anda di sini?" tanya Dokter Rico.Dira langsung menghempaskan tangan Dokter Rico lalu dia mencoba berdiri. Namun, sayangnya kaki Dira kesemutan hingga tak mampu menopang tubuhnya. Beruntung ada Dokter Rico di sana jadi tubuh itu tidak langsung menyentuh lantai kembali. Dokter Rico terpesona dengan kecantikan yang di miliki oleh Dira. Sejak awal dia sudah menaruh hati pada pasiennya itu. "Terima kasih, Dokter Rico," ucap Dira menyadarkan Dokter Rico. Rico langsung melepaskan tangannya saat Dira berusaha untuk berdiri tegap. Dia langsung berkata, "Panggil Rico saja. Karena ini di luar jam kerja." "Iya," jawab Dira dengan tersenyum simpul. "Ibu Dira kenapa di sini? Apa Ibu Dira tinggal di sini?" tanya Rico memberondong Dira. Dira nampak gelagapan saat ditanya oleh Rico. Dia tidak mungkin memberi tahu jika dia tinggal di apartemen ini bersama dengan suami y
"Sial!" umpatan itu dilontarkan Abi saat dirinya sudah sampai di kantor. "Dira sampai kapan kamu akan menguji kesabaran yang aku miliki? Apa kamu akan terus-menerus bermain-main denganku?" gumamnya lagi. Abi benar-benar kesal dengan Dira sejak pertengkaran mereka tadi. Apalagi Dira langsung memberikan uang yang dia berikan, tidak hanya itu wanita itu sekarang benar-benar berani. Abi sangat ingat sebelum menikah dulu saat itu, Dira begitu lucu. Senyum yang menawan, gadis yang tegar dan kuat meskipun dia berada di dalam keluarga yang tak pernah menyayangi dirinya. "Seandainya kamu tidak melangkah terlalu jauh. Mungkin kita sekarang bisa berdamai sebagai adik dan kakak ipar, Dira! Tapi kamu, kamu terlalu jauh melangkah," gumam Abi lagi. Kekesalan Abi kini terus memuncak, dia sudah tidak bisa membendung lagi. Hingga akhirnya semua berkas-berkas yang berada di atas meja dia jadikan pelampiasan. Lelaki itu dengan sekali sapu menghamburkan kertas-kertas berwarna putih ke lantai. "Abi,
"Abi kamu di sini?" Suara itu tentu bukan suara Dira, melainkan suara Rico yang langsung membuat Dira menatap kedua lelaki itu bergantian. Sementara Abi terus berjalan menghampiri Dira dan Rico. Decakan halus keluar dari bibir lelaki itu. "Sejak kapan kamu kenal dengannya?" tanya Abi sembari menunjuk ke arah Dira."Aku—""Kita baru saja mengenal. Aku tidak menyangka jika kamu mengenal dia." Dira langsung bersuara mencegah Rico berbicara lebih lanjut. Rico sedikit menyempitkan kelopak matanya sebelah kanan. Melihat gestur Dira yang nampak aneh memandang ke arah Abi. Apa Abi ada hubungannya dengan Dira? pikir Rico. "Benar, aku baru saja mengenalnya. Bagaimana kabarmu, sudah lama kita tidak bertemu, apa kamu ingin ngopi bersama?" Rico memandang lekat bola mata Abi yang kini menatap dirinya sinis."Tidak perlu, kita tidak sedekat itu. Lagi pula kamu hanya sebagai tetangga, lebih baik jangan dekati dia," ucap Abi sembari menunjuk kembali ke arah Dira. Dira sedikit tersentak saat Abi
Ruang tamu yang berada di salah satu unit apartemen sudut ibu kota, memiliki hawa begitu mencengkeram. Dua anak adam kini sedang duduk saling berhadapan memancarkan sinar permusuhan dari kedua bola mata mereka. Ya, Abi baru saja menyetujui permintaan Dira untuk bisa mengabulkan tiga syarat perjanjian di antara keduanya setelah Dira hampir saja menelpon Nadya sebagai bentuk ancaman untuknya. "Apa kalian sudah siap?" Tentu saja suara itu bukanlah suara dari Dira atau pun Abi. Melainkan sosok pengacara sekaligus sahabat dari Abi. "Tentu saja. Aku selalu siap." Dira mengangkat kedua bahunya seakan perjanjian yang kini mengancam rumah tangganya suatu hal biasa. "Tulis saja apa yang dia mau, asal dia bisa langsung menandatangani surat perceraian itu, aku tidak ada masalah," sahut Abi nampak tenang. Pengacara yang bernama Zain itu menganggukkan kepalanya. Dia sama sekali tidak ingin banyak ikut campur, tugasnya hanya menulis lalu meminta tanda tangan untuk bisa dibawa kejalur hukum. Pe
Abi merasa sangat bersalah ketika hidung yang ia tarik tadi bukan hanya merah tapi juga mengeluarkan cairan berwarna merah. Seketika itu Abi langsung membawa Dira ke rumah sakit. Lelaki itu berdecak sebal saat di rumah sakit justru dokter yang menangani Dira lagi dan lagi adalah Rico. "Sudah selesai belum? Jangan mengambil kesempatan dalam kesempitan!" seru Abi saat melihat Rico yang kini membersihkan darah dari hidung Dira yang tak kunjung berhenti. "Bawel amat! Ini juga karena perbuatan dirimu. Aku heran kenapa wajah Dira penuh memar apa kamu melakukan KDRT?" tuduh Rico. "Jangan sembarang bicara! Sudahlah lebih baik panggil dokter yang lain. Aku mampu membayar tiga kali lipat," ujar Abi kesal dengan tuduhan Rico tadi. Dahi Rico mengkerut sembari menatap penuh tanya pada Dira. Lelaki itu berharap Dira dapat memberikan jawaban yang kini mengganjal di benaknya. Iya, pertanyaan apa kira-kira hubungan Dira dan Abi kini sudah membaik? "Aku sudah tidak apa-apa. Ini juga akan segera b
Dira tercengah saat mengetahui hal penting yang ingin dilakukan Abi. Setelah kepergian Miranda, Abi langsung menghubungi Zain pengacara yang mengurusi perjanjian yang kemarin dibuat untuk kedua belah pihak. "Jadi ini hal penting yang Kakak maksud?" tanya Dira menatap wajah tampan sang suami yang kini berada di sampingnya."Iya, ini hal penting yang harus segera kita selesaikan." Abi memegang tangan Dira lalu menautkan tangannya, "aku sudah bilang padamu jika aku akan memulai dari awal denganmu. Dan langkah pertama yaitu membatalkan perjanjian konyol yang sudah kita buat." Bola mata Dira berbinar di ujungnya ada tumpukan cairan yang hampir saja keluar dari bendungan. Dira sama sekali tidak menduga hal sepele seperti ini tak luput dari pemikiran Abi. "Kamu menangis?" Tangan Abi yang menganggur kini menghapus air bening yang sempat mengalir. Kedua bola mata keduanya kini saling bertatapan seakan tidak ada habisnya Abi langsung meletakkan kepala Dira di pundaknya. Tentu saja Zain yan
"Jadi ini alasan kamu tidak pulang?" cetus seorang wanita paru baya yang tak lain adalah Lita. Iya, sejak tadi ia mengikuti Nadya. Sebagai seorang ibu iya tahu persis apa yang dialami sang anak yang tiba-tiba berubah. Lalu fakta yang barusan ia dapatkan jika Indra sang suami justru memberikan ide gila pada sang anak guna memiliki Abi dan menyelamatkan gudang. "Bu, aku bisa menjelaskan ini semua," ucap Indra yang langsung menghampiri Lita yang kini masih berada di pintu masuk. "Penjelasan apa? Ini semua sudah cukup jelas bagiku. Kamu membuatku hidup bak ratu dengan cara seperti ini?" pungkas Lita tak terima. Tidak! Lebih tepatnya ia membohongi dirinya sendiri, dia senang hidup bak ratu karena itu semua adalah hal yang paling ia inginkan sejak dulu, hidup miskin dengan banyak kekurangan tak mampu ia hadapi ditambah dengan kelahiran Dira sebagai mana janin itu sama sekali tidak ia inginkan. "Lalu aku harus bagaimana? Omset kita semakin hari semakin menurun. Bahan yang kita dapatkan t
"Di—Dira, kenapa kamu ada di sini?" tanya Nadya sembari mengacungkan jari telunjuknya ke arah Dira. Wanita itu juga merasa sesak di dadanya saat melihat Dira keluar dari kamar Abi. "Kak Nadya." Mulut Dira bergerak menyebut nama sang kakak. Entah apa yang terjadi pada Dira saat ini setalah ia melihat bola mata sang kakak penuh dengan kebencian saat menatap dirinya. Seolah Dira kini sudah menghancurkan hati sang kakak, tidak heran dan hal itu disadari Dira terlebih ia sudah tidur dengan Abi. Sementara itu, Nadya langsung menghampiri Dira, wanita yang kini memiliki status sebagai kakak Dira itu ingin memberikan tanda merah di pipi sang adik. Namun, sayangnya saat tangannya hampir melayang ke pipi mulus sang adik tertahan di udara. Nadya langsung melirik pada sosok lelaki yang kini memegang pergelangan tangannya. "Kak Abi." "Jangan pernah kamu melakukan kekerasan lagi pada Dira, Nadya. Jika kamu melakukan itu lagi aku akan membuat kamu menerima akibatnya." Ancam Abi sembari melepaskan
"Selamat pagi, Ma," sapa Abi pada Miranda yang kini terduduk di meja makan. Tersirat dengan jelas wajah cemas wanita paru baya itu, tak kala ia tidak melihat Dira. "Abi, mana Dira? Kamu tidak melakukan apapun kan padanya?" cecar Miranda sembari berdiri lalu menggeser Tubun Abi berharap wajah sang menantu berada di balik punggung sang anak. "Ada Ma, Dira di kamar katanya lagi gak enak badan," jawab Abi. "Gak enak badan?" Miranda mengulang kalimat terakhir Abi, setelah wanita itu sadar ia langsung melangkahkan kakinya menuju kamar. "Mama mau kemana?" Abi menarik tangan Miranda guna mencegah wanita paru baya itu tidak melihat keadaan Dira. Abi sedikit menyesali perbuatannya, akibat ia sudah tidak bisa menahan hasratnya saat di kamar mandi, lelaki itu mengulangi kejadian semalam hingga membuat Dira lemas dan seluruh tubuhnya yang putih penuh dengan tanda kemerahan. "Mama ingin melihat Dira, Abi. Mama yakin keadaan Dira semakin memburuk, kita harus ke rumah sakit." Miranda ingat kead
Dira tersenyum miris, berulang kali suara Abi yang menyebutkan nama Nadya terus terdengar di gendang telinganya. Wanita yang kini sudah tidak bisa dikatakan sebagai seorang gadis lagi langsung mengubah posisinya memunggungi sang suami. Perlahan tapi pasti kali ini ia tidak sekuat biasanya yang dapat menahan butiran air bening saat bersama dengan Abi. Rasa sesak di dada wanita itu sudah tidak bisa ia tahan hingga menimbulkan suara isak kan. Tentu saja isakan yang dikeluarkan Dira didengar oleh Abi. Lelaki yang kini masih mengatur napasnya mulai sadar mungkin ia sudah salah berbicara. "Dira apa kamu menangis?" tanya Abi yang langsung mengubah posisinya menatap punggung Dira. Dira diam saat mendengar pertanyaan Abi, haruskah disaat menyedihkan seperti ini ia menjawab pertanyaan Abi yang menurutnya sedang mempermainkan dirinya."Dira, kali ini aku benar-benar dalam keadaan sadar. Aku tahu selama ini aku sudah bersikap keterlaluan padamu, aku sudah melimpahkan semua kesalahan padamu. S
Dira sama sekali tidak menyangka jika Abi benar-benar menginginkan dirinya. Namun, ada hal yang mengganjal di indra penciumannya bahwa kini ada bau aneh yang dicium Dira dari napas Abi. Apa ini alkohol? Dira mencoba menebak sebab ia sama sekali tidak familiar dengan bau itu, tapi jika dipikir-pikir Abi tidak akan meracu tidak jelas dengan menginginkan dirinya jika lelaki itu sadar. "Kak, apa Kakak sadar dengan apa yang Kakak katakan barusan? Aku ini wanita murahan yang sama sekali tidak pernah kamu inginkan, lebih baik Kakak bersihkan diri agar Kakak kembali sadar," ungkap Dira yang kini berani menyentuh tangan Abi yang masih berada di atas aset berharga miliknya. "Selama ini aku menuduh dirimu sebagai wanita murahan, harusnya kamu membuktikan jika dirimu bukanlah wanita seperti itu kan? Selain itu aku tetap masih suamimu tidak masalah jika aku menuntut hak sebagai seorang suami," sahut Abi terkesan memaksa ia tidak ingin ada penolakan. Hasratnya kini sudah menggebu, apa di umurnya
Abi mendorong kuat tubuh beraroma parfum jasmine yang digunakan Nadya, saat ini Abi sama sekali tidak bisa mengontrol dirinya. Hampir saja jemari lentik miliknya menelusuri setiap jengkal pangkal tubuh Nadya. "Nad, bawa aku pulang," rengek Abi pada Nadya. "Kak, aku ini kekasihmu. Jika Kakak menginginkan aku, ayo, tunggu apa lagi," ucap Nadya mencoba merayu Abi. "Jika kamu tidak mau mengantar aku pulang aku bisa cari taxi," ancam Abi. Sungguh lelaki itu ingin sekali menumpahkan kekesalannya pada Nadya. Bisa-bisanya wanita yang sudah ia percayai membuat ia merasakan hal menjijikkan seperti ini. Jika Abi lelaki bejat mungkin ia akan sangat senang bersentuhan dengan siapa saja, tapi dia memiliki prinsip yang sama sekali sudah tertanam kokoh di benaknya. Selain itu ia juga ingin menjaga kehormatan Nadya, kenapa wanita itu sama sekali tidak paham akan niat baiknya?"Iya, aku akan mengantar Kakak pulang," ucap Nadya. Nadya sebenarnya kesal dalam keadaan seperti ini Abi masih saja menola
Nadya mengetuk pintu yang terbuat dari kayu jati di mana pintu itu menjadi pembatas antara dirinya dengan sosok di dalam sana. Perlahan-lahan Nadya memutar gagang pintu itu lalu menyembulkan kepalanya diikuti seluruh tubuh guna bisa masuk ke dalam. "Selamat pagi Pak Abi, hari ini jadwal Anda tidak terlalu padat. Anda hanya memiliki beberapa berkas yang harus di periksa dan ditandatangani, untuk meeting di luar yang sudah dijadwalkan dibatalkan oleh pihak mereka," jelas Nadya yang kini sudah berada tepat di depan Abi hanya ada pembatas meja diantara mereka. Tentu saja ini semua bukan kebetulan semata, karena Nadya yang sudah membatalkan semua jadwal Abi. Ia ingin membuat Abi memiliki banyak waktu agar apa yang ia rencanakan berjalan dengan lancar.Sementara itu, Abi menautkan kedua alisnya, sangat jarang koleganya membatalkan janji terlebih mereka sangat ingin bekerjasama dengan perusahaanya. Namun, jika ia memikirkan lebih jauh tidak ada salahnya para kolega membatalkan janji karen