Sudah dua pekan berlalu, namun balasan surat tak kunjung bertamu. Membuat Linara semakin resah perkara kabar Bunda, setiap malam selalu dihantui ketakutan dan kekhawatirannya akan kegagalan yang timbul.
Akankah gagal?
Semua yang Linara rancang untuk bertemu Bunda, dari mulai mengusai bahasa, mencari sumber informasi meskipun tidak 100% akurat, akan kah semua gagal begitu saja? Hanya karena menunggu balasan surat yang tak kunjung datang menyurat kembali?
Resah dan gundah setiap malam, layaknya ritual wajib yang dilakukan sebelum tidur. Setiap pergantian hari, siang berganti malam hingga berganti kembali menjadi pagi, putaran poros hari yang menjadi drama saksi bisu kegelisahan hidup.
“Bunda, Linara rindu...,”
Jeritan hati kecilnya yang selalu menguak rindu, tapi tak kunjung syahdu. Hingga mata tertutup dengan sembab setiap harinya. Sungguh menyiksa, pabila hidup menahan rindu yang tak beradu, layaknya hidup hilang tanpa daksa.
&nb
Malam semakin larut, Kedai juga sudah terasa sepi, mungkin ini waktunya menutup Kedai. Tapi perkara hati Linara masih berkecamuk dengan kegelisahan juga rindu yang menyiksa. Wajahnya tampak lebih sendu dari biasanya, membuat Rayhan yang memperhatikannya merasa sakit campur khawatir dengan Linara.Saat secarik lap sedang diputar pada porosnya meja, menghilangkan sebagian noda yang tertinggal. Tapi lamunan sang pemegang lap tampak risau, dia tak berhenti mengelap meja, hingga menyenggol vas kecil yang menimbulkan sedikit bising.Prang!Pecahan belingnya menyebar, suara bising sesaat membuat Linara tersadar dengan cerobohnya. Segera berjongkok dan mulai memunguti serpihannya.“Kamu engga apa-apa, Linara?”Rayhan segera hadir, Linara hanya menatapnya sebentar lalu kembali memunguti serpihan beling. Rayhan menyadari perihal tatapan dingin Linara, segera mungkin dia membantunya.“Kalau
Rayhan segera berlalu pergi, “Pantas saja Linara tidak mau bertemu dengan keduanya, ternyata begitu menyebalkan.’ Gerutu Rayhan sembari menghela napasnya.Linara masih saja bersembunyi dengan merangkul kakinya penuh takut. Rayhan meliriknya sembari tersenyum kecil, dengan cepat Rayhan menyajikan pesanan dan memberikannya penuh ramah. Beruntung saja Avraam lebih cepat menyelesaikan sarapannya bersama Altan, mereka langsung pergi begitu saja setelah usai semuanya.Dan beruntungnya Aathif belum berkecimpung kembali dunia Kedai, apabila sudah bertemu Avraam terkadang Aathif suka tidak tahu waktu berbincang dengan Avraam. Rayhan segera berjongkok dihadapan Linara, tapi saat melihat Linara, dia dalam keadaan tertidur dengan merangkul kakinya.Kaki yang dirangkul, rambut sebahu yang mulai memanjang itu bergantung bebas, matanya menutup dengan anggun, dengkuran kecil yang terdengar lembut. Melihat semuanya membuat Rayhan tersenyum manis.
Sepanjang jalan trotoar, mengikuti alunan irama bisingnya perkotaan. Ditengah perjalanan tapak kaki, sorot perhatiannya mengalih pada sebuah Toko. Toko yang menyerbak harumnya bunga dan deretan bunga yang tampak indah tersorot silau cahaya jingga.“Indah sekali...,” Ucap Linara saat memandang deretan bunga, sorotnya tertuju pada Peony Flower yang merekah indah berwarna merah muda.Seketika Linara membelokan arahnya, rasanya ingin sekali meminang indahnya Peony Flower. Saat memasuki Toko Bunga dipinggir jalan perkotaan, Linara disambut dengan hangat.“Ada yang bisa saya bantu, Nona?”“Saya ingin Peony flower itu dan Aster putih ya,” Jawab Linara sambil menunjuk arah bunga yang dituju.“Pilihan yang tepat, Nona. Tunggu sebentar ya, saya akan kemas untuk Anda.” Ujar pelayan Toko dengan segera mengemas bunga yang dipesan Linara.Pesanan Linara telah selesai, saat melihat
“Roti ini enak loh, Linara.” Tunjuk Rayhan pada sepotong roti yang berada didalam etalase kaca. “Iyakah?” “Tentu, coba saja.” Rayhan langsung memesan roti yang dia maksud. "Wah iya, Roti ini enak banget!" Ucap Linara dengan mata yang berbinar saat menyantap sepotong roti atas rekomendasi Rayhan. Rayhan tersenyum dengan senang ketika ukiran senyum Linara kini terurai dengan lembut. Rasanya menenangkan jiwa. "Kamu akan menemukan Roti ini di Hamburg nanti," "Benarkah? Apa namanya?" Linara tak berhenti mengunyah dengan semangat hingga remahan roti muncul di pinggir bibirnya. Rayhan menatap remahan roti yang tertinggal ditepian bibir Linara, kini tangan Rayhan mulai menyibak dengan lembut remahan roti tersebut. "Ini namanya, Franzbrötchen," Jawab Rayhan sembari mengelap bibir Linara dengan tangan lembutnya. Linara sedikit terkejut saat tangan Rayhan kini menyentuh kembali, segera mungkin Linara menyibak tangan Rayhan
Avraam hanya terdiam, matanya melirik arah lain, tentu saja itu membuat Linara kesal dengan reaksinya yang tampak bodoh, “Apa dia mendengarnya?”“Kak?” Linara menarik kecil mantel Avraam.“Jangan panggil Aku Kakak, Aku bukan Kakakmu.” Jawab Avraam dingin.“Ish, dasar aneh!”Rayhan langsung menyeru Linara untuk segera naik pada Taxi, Linara segera mendorong kopernya segera meninggalkan Avraam. Tentu saja Avraam mengikutinya.“Maaf, Tuan. Tapi saya memesan Taxi ini hanya untuk kami berdua,” Tahan Rayhan.Avraam hanya tersenyum tipis dan terus melalui Rayhan, “Aku ikut kalian, dan ongkosnya akan aku tanggung,”Sekilas Avraam berkata seperti itu, tentu saja perkataannya membuat Rayhan tersihir. Biaya Taxi cukup mahal menuju tempat tujuan, itu akan menimalisir pengeluaran selama di Hamburg. Entah kenapa Rayhan setuju aja saat Avraam berkata seperti it
Pagi menyambut lebih awal, celah sorot mentari juga tampak lebih hangat dari Negara biasa. Sinarnya yang masuk dalam celah Tirai membuat mata ingin membuka katupnya. Tidak ada suara kokok Ayam, hanya terdengar bising kendaraan, dan beberapa obrolan dunia luar yang terasa asing.“Sudah pagi ternyata,” Linara menguap sesaat, mengumpulkan nyawa sejenak.“Kenapa Aku disini?” Linara tersadar setelah beberapa menit dia terdiam, seketika melihat tubuhnya dibalik selimbut. Ternyata Pakaiannya juga masih utuh, badan lengketnya juga masih sama seperti kemarin. Linara menghela napas lega.“Siapa yang membawaku Kesini?” Tanyanya mencuat.Segera mungkin dirinya bangkit dari Ranjang yang tak biasa baginya, melirik sorot arah ruang yag tampak tak biasa, ingatanya tersadar bahwa Linara sedang tak dirumah. Berjalan perlahan membuka tirai jendela yang terkesan klasik.“Terang sekali!” Linara menyipi
Saat perjalan pulang menuju penginapan hanya sunyi yang menyisakan diantara mereka, saling diam satu sama lain, sepertinya hari ini sangat melelahkan. Hingga sampai di penginapan masih membisu. Rayhan yang langsung pergi mengarah kamar mandi, sedangkan Avraam yang langsung terduduk disofa dengan menengadahkan wajahnya menatap atap langit.Berbeda dengan Linara yang langsung menuju kamarnya, pikirannya sedang kacau, emosi juga menumpah erat pada hatinya yang penuh kecewa. Langkah pertama dalam pencarian gagal begitu saja.Linara merebahkan dirinya diatas ranjang, butiran kristal membasahi bantal, tubuhnya hampir terkoyak keadaan yang rumit, dan yang paling parah saat perpisahan di Parade. Hampir saja dirinya berpisah dari Avraam.“Hari yang cukup melelahkan,” Linara menghela napasnya.“Bunda dimana? Linara harap kita segera bertemu,” Harapnya terucap begitu dalam, dengan mata memandang pada langit yang sudah memb
Mungkin demamnya Rayhan ada kaitannya dengan cuaca saat ini, menurut ramalan cuacanya hari ini adalah hari akhir musim panas dan mulai memasuki musim dingin. Perubahan suhu juga cukup signifikan.Angin juga sudah mulai bertiup dingin, aura musim dingin juga sudah mulai terasa. Rayhan yang sedang terduduk dipojok sofa dengan hidungnya yang memerah, wajahnya yang terlihat pucat itu semakin melihatkan dirinya sedang tidak baik-baik saja.Harumnya Sup Ayam menyebar wangi seisi ruangan, Linara terduduk saling berhadapan dengan membawa semangkuk Sup Ayam dan segelas teh jahe hangat. Untungnya Linara membawa beberapa jahe dari rumah, ya meskipun tergolong jahe instan yang sudah dikemas.“Minumlah,”“Aku tidak apa-apa, Linara.” Jawab Rayhan dengan nada yang mulai serak.“Ternyata Kamu manja juga ya,” Timpal Avraam meledek sembari memakan camilanny dengan santai.Rayhan hanya menatap tajam Avraam, rasanya ingin sek