“Thank’s Fara,” Tutur Linara setelah menerima sekotak Juice apel kemasan yang siap saji.
Lantas Fara duduk disebelah Linara, menatap sebentar wajah sahabatnya itu yang terlihat kacau, “Kamu kenapa? Apa kamu sakit?”
“Tidak, hanya saja kemarin Aku kurang tidur saja, emangnya keliatan banget ya?” Sontak Linara bertanya tentang dirinya karena hampir setiap orang yang bertemu dengan Linara menganggap Linara sedang tidak enak badan.
“Sangat jelas! Apalagi mata panda kamu itu keliatan banget melingkarnya, belum lagi bibir kamu terlihat kering dan satu lagi kantung mata mu terlihat mengembung,” Jelas Fara mendeskripsikan keadaan Linara.
“Benarkah?” Sesaat Linara terkejut mendapati penilaian Fara, dengan segera Linara merogoh tas dan mengeluarkan cermin kecil yang selalu dia bawa.
“Benar juga katamu Fara, Aku terlihat kacau sekali,” Ujar Linara sambil membicarakan diriya
“... dan yang Linara sangat ingat adalah lelaki yang berbicara secara terang-terangan sayang pada wanitanya dengan tatapan yang lembut adalah lelaki yang benar-benar mencintai wanitanya,”Kalimat Linara yang terus menerus terekam dalam ingatan Linara, sangat jelas sekali kata itu seperti kata penekanan.“Apa maksudnya ya Linara berkata seperti itu?”“Apa Linara sebenarnya sudah paham bahwa Aku menyukainya tapi dia ingin Aku mengatakannya secara terang-terangan?”Rayhan segera bergidik dan menepuk pipinya, “Sadarlah Rayhan!”Rayhan memijit pelipisnya dengan gemas, dia membuka pintu dengan malas. Sesaat Rayhan masuk, dia disambut dengan kucing gembulnya yang berwarna Abu asap itu, anabul gendut itu terus menerus mengililingi Kaki Rayhan. Membuat Rayhan terpaksa menggedong anabulnya itu.“Selalu saja tiap pulang kau yang menyambutku, kapan ya wujud manusianya?&rdquo
Setelah jarak sudah cukup jauh dari kawasan rumah sakit, Rayhan mulai melonggarkan cengkeramannya, mungkin ini kesempatan Linara untuk melepaskan tangannya. Rayhan segera berhenti dan menoleh ke arah Linara, dia menyadari Linara yang sudah melepaskan diri darinya.“Maafkan Aku, Linara.” Rayhan tertunduk dengan penuh penyesalan, dia merasa bersalah saat tadi membentak Linara tanpa sebab.“Emangnya Kamu punya salah apa?” Linara pura-pura melupakannya.“Tadi Aku membentakmu, semua diluar kendali, Maaf...,”“Sudahlah lupakan saja yang tadi, Linara tau kok pasti ada masalah besar yang sedang Kak Rayhan alami,” Jawab Linara dengan tersenyum, berusaha menghangatkan kembali keadaan. Tapi Rayhan masih saja terdiam, membuat suasana kembali canggung.“Kalau nanti Kak Rayhan sudah tenang, Linara siap mendengarkan cerita Kak Rayhan, itupun kalau Kak Rayhan percaya sama Linara.” tetap saja Rayhan hanya
Semenjak melihat kejadian Rayhan yang mendadak memeluk Linara, disaksikan secara langsung oleh Avraam. Membuat emosi dan Mood menjadi tidak stabil akhir-akhir ini. Belakangan Avraam terlihat kecut dibeberapa pandangan karyawannya, terkadang seperti biasa. Tapi tetap Avraam mengerjakan pekerjaannya secara profesional meskipun mimiknya sedikit seram.Avraam melirik Arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, pukul menunjukan tiga sore. Avraam menghela napasnya dan menyadarkan punggungnya pada kursi.“Mungkin Aku akan pulang lebih awal, rasanya sangat rindu Altan.”Segera mungkin Avraam beranjak dari tempat duduknya, dia berlalu begitu saja meninggalkan ruangannya.“Tolong urusi sisanya, Saya pulang lebih awal,” Ucap Avraam pada Asisten pribadinya yang sedang terduduk dengan pandangan berpacu pada laptop.“Baik, Pak!” Dengan sigap Asistennya berdiri dan sedikit membukukan badannya sebagai penghormatan.
“Linara?” Ucap Avraam yang sedikit terkejut saat mendapati Linara bersebelahan dengan Altan, sesaat tatapannya tertuju pada kaki palsu Linara. matanya membulat sempurna melihatnya.Baru kali ini Avraam melihat sosok Linara yang sejatinya, Kaki palsu yang Linara kenakan sungguh membuat sorot perhatiannya tidak teralihkan. Linara menurunkan kembali lipatan celana, kembali pada posisi awal yang menutupi kaki palsunya itu.Setelah itu Linara tertatih saling berhadapan dengan Avraam, Altan menarik narik baju Avraam, “Ayah, Altan tadi jatuh, Kakak ini datang dan membantu Altan.”Avraam menoleh sekejap arah Altan, “Kenapa Ayah diam saja? Apa Ayah kenal dengan Kakak cantik ini?”Avraam segera sadar dalam lamunnya sendiri yang berakhir dalam menatap Altan, kembali melirik Linara, “Terima kasih,” Ucap Avraam singkat dengan kepala sedikit menunduk.“Sama-sama, Tuan. Kalau begitu waktunya Saya pulang, Permi
Ting!Notifikasi pesan muncul dari layar depan, Linara menggapainya, melihat pesan singkat yang terkirim dari grup kelas.‘Hari ini pelajaran dicancel, jadi lusa.’Itulah secarik informasi singkat dari salah satu dosen yang menyebarkan beritanya pada grup kelas, Linara sedikit tersenyum jengkel dengan notif tersebut.“Selalu saja cancel, seenaknya banget, mana udah siap mau berangkat. Huft ... sangat menyebalkan!” Linara menghela napasnya dengan kesal, semua dibatalkan secara mendadak, membuatnya kesal yang menggunung tinggi dalam lubuknya.Melepas Tote bag yang sudah dia sematkan pada bahunya, terbaring ditepi ranjang.“Sebaiknya Aku segera membantu Kakek saja,” Linara segera bangkit dari duduknya. Berjalan menuju Kedai.---Mungkin ini masih terlalu pagi untuk Linara menyelami area Kedai, tapi dari pada di
Beberapa hari ini Linara selalu saja sibuk dengan tugas tambahannya, selain tugas kuliah yang lambat laun menumpuk. Kini bebannya bertambah saat memasuki kelas tambahan, yaitu kelas bahasa. Mungkin dengan menambahnya bahasa membuat Linara semakin mempermudah untuk nanti menyusul Bunda.Meskipun keberadaan Bunda tidak terlalu meyakinkan ada di negara yang berjulukan Kota Gerbang Dunia, Hamburg, Jerman. Setidaknya ada titik celah harapan untuk Linara tetap semangat dalam merajut hidup.Semua berkat Kaivan, yang membantu mencari keberadaan Bunda hingga kini. Meskipun belum ada perkembangan lebih dari keberadaan Bunda. Tapi, Linara yakin Dia bisa bertemu dengan Bunda dan menyampaikan sedikit amanat dari Ayahnya.Keseriusan Linara sangat terlihat dengan beberapa tumpuk buku disebelahnya, matanya menyorot helai demi helai kertas, Pena yang menyangkut disela jarinya, sangat terlihat fokus disudut salah satu meja pelanggan Kedai dekat jendela. Juga ada Fara yang ikut be
“Pagi, Ayah!” Sambut Altan begitu hangat saat Avraam baru saja usai menuruni anak tangga. “Pagi, Altan,” Avraam berjalan mendekati Altan yang sudah bersikap rapih dihadapan meja makan. “Kenapa belum dimakan sarapannya?” “Nungguin Ayah,” Avraam tersenyum begitu lembut, lalu menyiapkan sehelai roti untuk Altan. Baru saja Avraam hendak mengoleskan selai dipermukaan Roti, mendadak Altan menghentikannya. “Tunggu Yah,” “Kenapa? “Boleh engga kalau sarapannya Ke Kedai Paman Aathif aja?” Pinta Altan yang begitu sederhana. “Why?” Avraam sedikit heran dengan pintanya yang begitu sederhana, apakah kini Altan sudah mulai candu dengan sajian di Kedai Aathif? “Altan pengen roti yang dibuat Kak Linara kemarin, boleh kan Yah?” Pinta Altan dengan memohon. “Tentu saja! Selera mu sama dengan Ayah,” Avraam dengan sumringah meresponnya, “Maksud Ayah?” “Tidak, ya udah Ayo kita berangkat,” Ajak Avraam b
“Bagaimana apa Rotinya enak?”“Enak banget, Kak!” Altan menjawab dengan penuh semangat, mulutnya penuh akan remahan roti.“Dan ini Americano mu, Tuan.”“T-terima Kasih,” Jawab Avraam dengan nada pelan, dengan mata yang beralih lawan arah.Linara tak memperdulikan Avraam, kini Linara hanya berpaling pada Altan yang begitu terlihat ceria. Suasana hati Altan seakan penuh bunga. Semua perhatiannya seakan tumpah pada Altan.“Ya udah, Altan makan yang banyak ya, Kakak mau lanjut bekerja.” Linara tersenyum pada Altan.“Tunggu, Kak!” Sesaat Altan menahan Linara dengan secepat kilat menggenggam tangannya.“Ada apa?” Linara mengelus lembut puncak kepala Altan.“Boleh temenin dulu Altan sarapan?” Pintanya dengan tatapan menggemaskan.“Altan jaga sikapmu!” Tukas Avraam, membuat Altan seketika tertunduk kasihan.“M