“Yakin tidak ingin ikut denganku, sayang? Lagipula hubungan kita sudah resmi, untuk apa menghindar dari media lagi?” Tristan masih mencoba untuk membujuk agar Rossa ikut saja dengannya. Dia ada dinas luar kota selama 3 hari dan meninggalkan Rossa bukan pilihan yang mudah untuknya. Lebih lagi dengan media yang kerap kali mengincar mereka. “Iya, ada beberapa hal yang masih aku persiapkan sebelum acara kita, Tris. Kau tidak usah khawatir, aku akan berhati-hati.” “Tapi….” “Sttt…tidak ada tapi-tapian, oh ya, semua keuanganmu mulai hari ini aku yang ngatur. Okey?” “Siap ibu negara.” Tristan tersenyum, juga terkejut saat Rossa mendadak naik ke atas pangkuannya. Apa yang kini sedang direncakan Rossa? Wanita itu tidak berencana membuatnya high lalu meninggalkannya lagi kan? “Tunggu, apa yang kau rencanakan?” “Aku?” Rossa tersenyum, dia akan balas dendam. Tidak lama lagi Sasa akan datang ke apartemen mereka, dan Rossa terlanjur sakit hati dengan perkataan wanita itu tempo lalu. Jadi biar
Rossa POV Aku tidak pernah melihat seorang Tristan yang sangat lelap jika tertidur. Sampai aku sudah membuatkan sarapan, barulah dia bangun dengan wajah bantal. Tangannya mengucek-ucek kedua matanya, menggemaskan sekali seperti anak kucing. Segera begitu dia menemukan keberadaanku, kakinya melangkah cepat. Memelukku erat. Menciumku dengan nafasnya yang masih hangat. “Ayo sarapan.” “Kenapa gak bangunin aku?” “Kamu nyenyak banget tidurnya, aku gak tega bangunin. Calon suami aku kenapa imut sekali sih?” Demi? Aku melebarkan mata melihat ekspresi malu-malu Tristan. Jika tahu begitu, aku lebih sering menggodanya. Ini memang sungguh diluar prediksi. Tapi aku senang melihatnya begini. “Aku juga sudah lama sekali tidak tidur senyenyak itu tanpa minum obat tidur.” “Kamu juga minum obat tidur?” Tristan mencuri ciuman di bibirku baru menarikku duduk di pangkuannya. Sial. Aku bisa merasakan benda itu di celah pahaku. Dia meletakkan dagu di atas bahuku. Rasanya geli dan lucu. “Semenjak
Rossa POV Zaman menghubungiku lagi setelah hampir satu minggu dia tidak kelihatan, bahkan pesanku dua hari lalu tidak mendapat balasan. Tidak tahu apa yang sedang dia kerjakan, tapi pasti itu urusan kantor sehingga dia tidak menggubrisku sama-sekali. Seperti biasa, hari ini aku baru saja selesai bertemu dengan salah satu designer yang akan membuat bajuku. Lalu memilih konsep wedding dengan salah satu pemilik WO—namanya Rinaldy—dia salah satu bisnisman yang aku rasa sangat gigih dalam mengembangkan bisnisnya. Dan rasanya sangat hetik karena Tristan masih tugas di luar negeri, parahnya, aku sudah merindukan lelaki itu. Padahal dia baru saja pergi. Jake sempat menawari untuk menemaniku, tapi aku tidak setega itu. urusan di kantor saja sudah sangat rempong. Aku memang sempat ke kantor tadi pagi, dan rasanya adalah benar jika aku tetap berada di luar. Semua tatapan langsung tertuju padaku. termasuk teman satu kantor. Mereka memang menyapaku, tapi saat pulang, aku tidak sengaja mendenga
Rossa POV Melihat senyum Tristan begitu tiba di hadapanku saja sudah membuat seluruh tubuhku ingin melompat ke dalam pelukannya. Aku hanya membalas pesannya secara singkat sejak dia pergi, bahkan menolak panggilan videonya. Keterlaluan? MUNGKIN. Tapi, jika kalian berada diposisiku. Apa yang akan kalian lakukan. Pura-pura tidak tahu dan menjadi budak cinta? Tidak. Aku tidak bisa melakukan hal itu atas apa yang sudah dialami orang tuaku. Bukan atas apa yang aku alami. Karena jujur, aku tidak pernah menyalahkan keadaan. Selalu terbesit di hatiku bahwa itu adalah jalan yang diberikan oleh-Nya, agar aku merasakan asam garam kehidupan. “Sayang, aku sangat merindukanmu.” “Ya.” Aku tahu Tristan menyadari perubahan itu. Tubuhnya menegang dan pelukannya terlepas. Kini dia berdiri menghadapku dengan perasaan bingung dan juga takut. Tapi ya Tuhan, aku belum bersiap sama-sekali. “Hey, ada masalah? Kau menghindariku, mengapa?” “Tidak. Aku hanya…” “Sayang, kamu tidak bisa berbohong karena
“Mama mampir buat ngecek persiapan kalian doang, maaf ya jadi ganggu. Dan juga ingin memastikan sesuatu pada kamu, Ros.” Rossa menyembunyikan wajahnya yang memerah. Dia tidak bisa melihat wajah mertuanya setelah apa yang hampir mereka berdua perbuat. Tidak hanya itu saja, tapi yang paling membuat Rossa kehilangan wajah karena Sasa juga ikut. Calon iparnya. Dia paling tidak suka jika wanita bermuka dua itu sudah ikut campur. Bahkan sejak tadi, wanita itu menatapnya dengan tatatapan benci. Rossa sadar betul tembok di antara mereka itu sangat tinggi. Sejak awal dia tidak pernah suka dengannya. “Padahal baru saja lamaran sudah segitunya, gimana kalo misalnya kalian tidak jadi nikah? Kamu itu harusnya cari tahu latar belakang calon kamu dulu, Tris.” Dasar nenek lampir, batin Rossa. Dia hanya diam, mempersilahkan Sasa mencacinya. Toh juga bukan hanya dia yang melakukannya, tapi Tristan juga senang melakukannya. Bahkan selama ini Tristan yang selalu ngebet pengen menikahinya. “Kamu tid
Tristan POV Aku tahu jika Rossa sedang ada masalah dan dia masih ingin menutupi hal itu dariku. Setelah lama membujuk Hendrix, akhirnya aku tahu bahwa dulu mereka pernah kecelakaan yang mengakibatkan perginya kedua orang mereka. Dari apa yang Hendrix katakan, hidup mereka cukup sulit dulu dan Rossa rela melakukan pekerjaan apapun itu demi keluarga mereka. Lebih dari itu, ternyata Eva—saudara tertua Rossa—juga diceraikan oleh suaminya karena kehidupan yang miris. Jujur mendengar semua pengakuan Hendrix, membuatku merasa tidak kenal dengan Rossa. Dia adalah wanita galak, pecicilan, dan cantik yang selama ini ada dibenakku. Namun ternyata kehidupannya lebih keras dariku. “Ahh, kau datang lebih awal ternyata. Maaf membuatmu menunggu, pak bos.” Jake lekas duduk dan mengambil minumanku. Dasar sialan, dia semakin tidak ada attitude saja, mau pecat tapi sayang juga. Tidak ada dua orang yang sama seperti Jake di dunia ini. Jika pun ada, belum tentu mereka mau menerimaku apa adanya. “Min
Rossa POV Hari ini, aku sedikit menghindari Tristan lagi. Bukan karena urusan kecelakaan, tapi karena tadi malam aku mendapati bahwa kami tidur bersama. Okey, ini sesuatu yang cukup membuatku janggal. Mana aku memeluknya erat, aku bahkan bisa bertaruh jika itu adalah tidur ternikmatku sepanjang masa. Rasanya sungguh damai. Jika biasa aku tidur dengan mimpi buruk, tadi malam aku tidur dan Tristan ada di dalamnya juga. Dia menjadi sosok yang bersinar, memberikan sinarnya padaku. Memberikan kebahagiaan yang tidak pernah aku dapatkan di dalam mimpi. Tapi bukan karena itu makanya aku menghindar. Tapi karena aku ngiler di lengannya. Saking nyenyaknya mungkin? Tapi ya Tuhan, itu meninggalkan jejak di kemejanya yang putih. Dasar Rossa, kau benar-benar membuat dirimu malu sendiri. Harusnya kau harus jaga image. Rasanya bosan di luar, juga jenuh dengan semua urusan duniawi. Sudah siang, aku memutuskan untuk kembali dengan sekantong jajanan. Yang pasti, Tristan harusnya sudah tidak di apar
KENING Tristan sejak sejam lalu berkerut, wajahnya datar, penampilannya kusut. Ruangan kerjanya dipenuhi dengan tumpukan berkas. Dia sudah memutuskan untuk mencari tahu siapa dalang dibalik kejadian yang menimpa keluarga Rossa. Tidak berbeda jauh dari lelaki itu, Rossa yang hari ini juga memutuskan ikut ke kantor sedang sibuk dengan semua berkas di atas meja. Kedatangannya memang dirahasiakan untuk mencegah adanya gosip, tapi tetap saja ada orang yang tidak suka dengan keberadaan Rossa. Kabar bahwa dia sekarang datang ke kantor sudah tersebar ke telinga semua pegawai. Jake? Sebagai seorang sekretaris pribadi, dia juga ikut. Bahkan sejak semalam dia sudah bekerja rodi karena perintah Tristan. Dalam hati Jake ingin mengutuk Tristan yang tidak kenal waktu jika memberi perintah. Kadang jam 2 subuhpun dia harus standby. Gila memang atasannya itu. “Bos…” Jake menarik selembar berkas dari arsip lama dan segera berkumpul ke ruang tengah. “Apa, kau menemukan sesuatu?” “Ini…” Lemba