Kiki diluar sana tiba-tiba pergi. Dylan menyadari kalau Kiki tidak ada lagi diluar, padahal barusan ia sangat ingin meminta pertolongannya.
"Kiki kemana sih! Heran selalu ngilang kalo lagi butuh!"Di lain tempat Kiki terus mengikuti kemana kaki Putra menuju. Ternyata kini dirinya diarahkan menuju pantry."Ini Ki, bantuin gue naruh ini buat ke ruang meeting." ucap Putra memberikan dua piring makanan pada Kiki."OBnya soalnya lagi sibuk disuruh yang lain sama atasan." ucap Putra. Kiki menuruti pintanya dan segera membawakannya menuju ruang meeting kembali.Ia ditemani oleh Putra yang sibuk mendorong troli berisi gelas minuman."Tunggulah Ki, jangan cepat-cepat. Mau ke toilet lo?" tanya Putra."Ayo Put, saya takut tuan kenapa-napa." ucap Kiki masih terburu-buru."Yaelah tuan muda mah enggak usah dipikirin Ki, udah gede dia. Emangnya masih bocah." ucap Putra.Tiba-tiba terjadi kehebohan di ruang meeting sana. Kiki maupun Putra pun jadi kaget hingga inisiatif berlari secepatnya dari sana."Siapa yang munafik! Saya enggak pernah sekalipun mengakui kalau saya adalah gay!" tandas Dylan.Heri memegang tangan Dylan dan memegang wajahnya lembut.Tapi hanya dalam mimpi, sebelum akhirnya Dylan mencoba melepas tangannya dan menghindar dengan cepat, bergidik.Dylan jatuh dan merangkak selagi Heri terus mendekatinya, Banyak orang dari perusahaannya merasa begitu malu dengan kelakuan pimpinannya satu itu, bahkan sampai menepuk jidatya atau menutup wajahnya saking malunya."Enggak usah nyangkal gitu lah sayang. Kalau ngaku juga enggak apa-apa kali." ucap Heri dengan nada kemayu yang mencoba untuk mendekatinya lagi.Dylan terus ditarik entah kaki maupun pahanya, Bahkan kini ia terus tarik-tarikan celana yang dipakai oleh Dylan.Dylan berteriak, beberapa dari mereka pun tidak ada yang berani karena takut diapa-apakan, salah satu dari mereka pun akhirnya berteriak, semua heboh. Kiki berlari menuju mereka bersama Putra.Melipat tangan Heri. Dylan segera pergi dari sana. "MEETING BUBAR! KACAU!" kesalnya.Putra segera membawa Heri dan mengeluarkannya dari ruang meeting tersebut. Berbeda halnya dengan Kiki yang beralih mengikuti Dylan. Berjalan menjauh dari sana.Kiki masih mengekorinya dan ketika Dylan berhenti, Kiki ikut berhenti. "Ini semua tuh enggak bakal terjadi kalau kamu enggak kesandung!" ucap Dylan kesal. Kiki tertunduk menyesal.Dylan segera berjalan pergi meninggalkannya yang tertinggal sendirian dibelakang. Tapi baru beberapa langkah, Dylan sudah balik lagi menoleh ke arah Kiki.Bodyguardnya itu masih berdiri menunduk disana. Dylan merasa kasihan dan agak menyesal dengan sikap marahnya barusan. Ia pun kembali lagi mendekati Kiki.Melihat ada sepatu didepan sepatunya, Kiki langsung kaget dan mendongak. Dylan muncul dan langsung memegang tangannya, membawanya pergi dari sana. Kiki hanya menurut mengikuti jalannya.Dylan terus berjalan menuju klinik kantor, dokternya juga masih belum datang. Dylan mengambil obat merah dan kain kasa lalu berikan pada Kiki. Ia tunjukkan tangan dan kaki yang tadi tercakar Heri."Ini.. Obatin." ucap Dylan. Kiki mengiyakannya dan menuruti titahnya.Secepat mungkin Kiki mengoleskan besutan luka di tangan dan tulang kering Dylan dengan obat merah.Dylan agak merintih karena perihnya. Bahkan ia sampai meremas tangan Kiki ketika itu."M-maaf tuan." ucap Kiki."Enggak usah minta maaf, saya yang harusnya minta maaf." ucap Dylan tiba-tiba, Kiki sejenak menghentikan olesannya dan beralih melihat ke arah Dylan.Sedangkan lelaki yang dilihatnya itu hanya melengos. Tidak ikhlas. "Maaf barusan saya malah nyalahin kamu. Padahal masih belum ketahuan siapa yang foto dan nyebar foto itu. Enggak seharusnya saya nyalahin kamu kayak gitu. Saya ngerasa... huftt bersalah banget sama kamu. Sekali lagi maafin saya, ya?" ucap Dylan yang kini seluruh matanya tertuju pada Kiki.Kiki tersenyum. "Iya tuan. Enggak apa-apa."Setahu Kiki, Dylan memang selalu seperti itu. Dia... Orang yang baik."Oh iya Ki, yang mau kamu omongin tadi malam tentang foto?" tanya Dylan. Kiki langsung teringat. Ia pun segera merogoh saku celananya dan ambil foto darinya. Ia tunjukkan pada Dylan.Dylan melihat secara keseluruhan sambil memikirkan foto yang dirasa sangat famiiar itu.Tapi... Sayangnya."Tuan kenal siapa anak perempuan di foto ini?" tanya Kiki. Dylan terdiam, ia merasa khawatir kalau Kiki kecewa atas jawaban yang akan ia utarakan."Ini bener foto ibu dan ayah saya, tapi saya bener-bener lupa Ki. Saya bahkan enggak ngerasa punya saudara dekat yang sampai foto bareng kayak gini waktu kecil. Kita soalnya enggak punya saudara dekat disini, saudara kita itu daerah seberang sana. Bahkan saat lebaran pun kita enggak pernah kemana-mana." ucap Dylan.Kiki merasa penasaran dan curiga."Terus siapa dong anak perempuan ini? Apa mungkin saudara jauh mereka?" batin Kiki penasaran."Tapi yang mau saya tanyain, kenapa kok kamu ngerasa bisa kenal sama anak perempuan di foto ini padahal kepalanya enggak keliatan?" tanya Dylan heran. Kiki merasa dicecar, ia sedikit gugup."S-sebenarnya... Baju yang dipakai anak perempuan ini mirip...""Mirip?""Yang dipakai sama teman perempuan saya hehe." ucap Kiki."Oh gitu. Atau kamu bisa tanyakan itu ke kakek saya, mau?" tanya Dylan."Emang boleh tuan?""Malu ya kamu? Yaudah nanti saya yang kasihin ke kakek saya barangkali tahu. Sini fotonya." tagih Dylan."I-iya." ucap Kiki menyodorkan fotonya. Beberapa saat kemudian. Kiki berjalan melewati koridor.Tiba-tiba ia dicegat oleh seorang wanita berambut gelombang panjang dengan dress merah mudanya. "Hai.." sapa Klarissa. Kiki tersentak. Mau apa dia... Kemari?"Bisa bicara sebentar?" tanya Klarissa. Kiki mengangguk. "Bisa.""Kamu tahu enggak kalau aku lebih lama kenal Dylan dibanding kamu?" tanya Klarissa."Iya Non, saya tahu. Lima tahun anda menjadi pacar tuan muda Dylan." ucap Kiki."Bukan hanya itu aja, tapi kita sudah dari kecil saling mengenal. Di usia itu juga kita bahkan sudah saling dijodohkan." ucap Klarissa. Kiki mengangguk."Jadi orang seperti kamu itu... Cocok gak sih jadi pelakor diantara hubungan kita? Kamu itu hanya orang baru yang tiba-tiba muncul terus mencoba merusak hubungan diantara kita berdua. Biasanya sih hubungan kayak gini hanya sekedar pelampiasan aja, paling cuma bertahan sekitar 3-4 bulan terus putus." ucap Klarissa.Kiki menatapnya datar. Pelakor katanya."Nona Klarissa, saya tegaskan sekali lagi dengan tanpa ada pengulangan kata. Saya... Tidak... Menyukai... Tuan muda dan saya... Bukan... GAY!" ucap Kiki dan langsung pergi meninggalkannya. Klarissa terkejut, ia tentu tidak ingin ditinggalkan begitu saja olehnya."Tunggu..""Kamu serius bukan gay?" tanya Klarissa merasa sedikit lega."Iya.""Terus kamu kenapa posisinya kayak gitu waktu itu?" tanya Klarissa."Ya karena sesuai penjelasan tuan muda waktu itu, kalau ini semua cuma salah paham. Saya kesandung dan jadinya berposisi kayak gitu sama tuan muda." ucap Kiki.Klarissa masih agak bimbang ingin percaya atau tidak. Tapi ekspresi Kiki saat itu terbilang serius dan tidak main-main."Kamu yakin enggak ada perasaan apa gitu ke tuan muda?" tanya Klarissa."Perasaan apa Non? Saya cuma pengawal pribadi tuan muda, enggak lebih. Lagian kan yang lebih mengenal tuan muda, Non sendiri kan? Udah dari kecil kan kenalnya?" tanya Kiki."I-iya sih. Tapi sayang banget aku malah udah nyebar berita bohong kayak gini ke orang-orang. Duh." ucap Klarissa."Oh jadi kamu yang udah sebar berita bohong itu ke media termasuk foto itu?!" tandas Dylan dari belakang mereka."Sayang. Maafin aku ya sayang, aku enggak tahu. Aku kira kamu---""Minta maaf sekarang juga! Sama Kiki!" tandas Dylan. "Karena kamu Kiki jadi yang kena imbasnya, karena kamu juga media berkata buruk tentang kepribadian saya! CEPAT!" tandasnya lagi. Klarissa memalingkan wajah, ia menyesal. Tapi dirinya jaim, gimana dong? "CEPAT!""K-kiki gue minta maaf." ucap Klarissa terpaksa.Kiki setengah tertawa melihatnya. Entahlah ia merasa dibela saja oleh lelaki ini. Tapi kok sesenang ini ya?"Akh Kiki! Gak boleh mikir aneh! Kamu itu bukan seleranya, udah hush hush hushh... Hidup itu bukan selalu tentang cinta Ki!" batin Kiki.Di waktu istirahat kerja. Kiki tiba-tiba ditarik tangannya oleh Putra. "Kerja mulu, ke kantin lah. Udah istirahat nih." ucap Putra yang mendadak muncul didepannya. Tepatnya saat ini Kiki sedang berjaga didepan ruang kerja Dylan. "Udah duluan aja. Tuan Dylan masih didalam. Enggak enak aku." ucap Kiki seraya menunjuk ke dalam ruang kerja Dylan, dimana sang tuan muda s
"Ya karena enggak sesuai kriteria saya." ucap Dylan enteng."Tapi tuan, mohon maaf sebelumnya. Kita udah menghabiskan waktu, biaya dan tenaga banyak untuk ini. Masa sih diantara 60 orang enggak ada satu pun yang sesuai sama kriteria tuan? Minimal yang nyerempet-nyerempet dikit aja tuan." ucap Kiki."Enggak ada satupun yang sesuai kriteria saya. Dan saya enggak mau maksa diri saya buat nerima orang yang menurutmu nyerempet-nyerempet dikit itu." ucap Dylan tersenyum. Kiki menghela nafas. "Terserah tuan deh. Sekarang juga udah sore, kantor ini mau tutup. Kita lanjut besok ya tuan." ucap Kiki. "Oke." ucap Dylan seraya pergi dari sana akan tetapi baru beberapa langkah, Dylan langsung terjatuh. Kiki pun kaget dan langsung mendekatinya. "Tuan, tuan kenapa?" tanyanya panik. Dylan terus memegang kakinya. "Saya enggak bisa berdiri Ki. Aw. Kaki saya kesemutan." Dylan merintih. "Kesemutan? Yaudah saya bantu luruskan kakinya ya tuan." ucap Kiki segera meluruskan kedua kakinya diatas lantai d
"Kamu... Suka sama dia?" tanya Rudi. Kiki tersentak tidak percaya. "E-enggak Kek." "Lalu kenapa kamu begitu perhatian sama dia?" tanya Rudi."K-karena dia adalah tuan saya Kek, saya diberi tanggung jawab untuk selalu berada disampingnya memenuhi kebutuhannya dan memperhatikannya setiap waktu. Bukan karena hal lain. Itu penjelasan saya, permisi. Dan ditambah saya seorang laki-laki. Tidak mungkin saya menjalin hubungan dengan tuan muda. Itu hal yang tidak etis menurut saya." pamit Kiki segera pergi meninggalkannya, setelah membungkuk terlebih dahulu. Esok paginya, di kantor Rolland Group.Sayembara masih terus dilakukan meski terhitung ini sudah hari ketiga, dimana kini hanya tinggal belasan orang saja yang tersisa. Dimana Kiki dan Putra tidak terlalu keteteran seperti kemarin-kemarin. Satu per satu perempuan sudah bergiliran masuk ke dalam ruangan dimana Dylan berada. Kali ini diantara 15 orang yang tersisa itu tidak ada satupun yang tak lolos di step awal, yaitu cara berjalan seb
Selagi itu, mereka para pendemo masih sibuk menghancurkan dan membalikkan semua barang yang ada didepannya. Disaat yang sama juga Kiki, Putra, satpam maupun para karyawan lapangan yang ada disana bahu-membahu untuk menangkap maupun menghajar para pendemo tersebut. Berbeda halnya dengan Dylan yang begitu ketakutan, ia sedang bersembunyi di kamar mandi ketika itu. Ia bahkan terlihat gemetaran dan begitu cemas. Kiki terus berlari mencari dimana Dylan. Ia geledah semua tempat di lantai satu, meski mayoritas ruangan berpintu disana masih terkunci. Selagi terus mencari dirinya melihat beberapa orang yang langsung menghajarnya, ia balik menghindar dan ikut menghajar. Satu per satu orang yang dihajarnya pun tumbang seketika. Kiki berteriak."Tuan! Tuan dimana! Tuan Dylan!" pekik Kiki masih terus berlari. "Tuan!" tiba masanya ia melintasi toilet sambil meneriaki nama sang tuan, Dylan yang ada didalam pun membalas teriakannya. "Kiki! Kiki saya disini Ki!" pekiknya berulang-ulang, hingga
"Kamu tidak perlu merasa penasaran dari siapa papa tahu tentang ini. Yang kamu perlu beritahu adalah jawaban dari pertanyaan papa itu." ucap Dietrich. Dylan bertambah kesal. Ia jadi semakin enggan untuk menjawab pertanyaannya. Ia hanya terdiam.Rudi yang melihat situasi ini pun angkat bicara. "Itu adalah gosip yang tidak benar. Kiki sendiri bilang, dia tidak suka dengan Dylan. Hal yang terjadi kemarin hanya salah paham saja dan oknum tertentu sepertinya sedang mencari kegaduhan dari misinformasi ini." bela Rudi.Meski begitu penuturan Rudi, akan tetapi Dietrich kembali berkata. "Kalau berita tentang putusnya kamu dari Klarissa, apa itu juga palsu?" tanya Dietrich pada Dylan. Tentu Dylan jadi terdiam karena hal ini, seberapa banyak sih ayahnya ini tahu tentang masalah pribadinya?Kali ini Dylan segera menjelaskan. "Ya karena Dylan mau cari wanita lain. Dan ada beberapa hal yang membuat Dylan yakin ingin memutuskan hubungan itu. Simpel kan?" ucap Dylan.Tentu Dietrich begitu menyayan
Klarissa memalingkan wajahnya sebentar. Merasa sedikit malu, tapi sayangnya disaat itu saja. Dirinya lantas kembali berkata padanya. "Tapi kan aku udah minta maaf. Masa kamu enggak mau maafin aku sih? Bahkan ke Kiki juga, Kiki aja enggak merasa bermasalah dengan hal ini. Masa kamu sendiri merasa bermasalah sih?" tanya Klarissa."Karena Kiki enggak ada di posisi saya, dia enggak dimarahi siapapun, pusat perhatian siapapun dan bukan seorang pria yang cukup terkenal seperti saya. Jangan asal ucap hanya karena kamu tahu sedikit tentang hidup saya." ucap Dylan. "Y-ya maaf. Masa sih aku enggak dimaafin Lan? Kamu apa enggak tega sama aku yang udah dateng jauh-jauh kesini cuma untuk nemuin kamu?" tanya Klarissa memelas. "Ya kamu mau ngapain nemuin saya? Memang tidak ada pria lain yang akan menjadi incaran kamu selanjutnya?" tandas Dylan."Kok kamu ngomong gitu sih? Incaran apa maksudnya? Yang aku cinta kan kamu Lan!" ucap Klarissa.Dylan memilih terdiam ketika itu. Kiki maupun Putra saling
Dylan keburu pergi meninggalkan mereka yang memendam banyak pertanyaan didalam hatinya, meski mereka ikut mengekorinya menuju mobil.Ketika sampai didalam mobil. Dylan hanya diam saja disana, terduduk dalam keadaan melihat ke arah kaca mobil, berpangku tangan.Kiki dan Putra terlihat keheranan, tapi mereka juga merasa jika sopan kalau tiba-tiba menanyakan apa yang terjadi. Mereka pun memiih untuk berdiam diri hingga mobil itu melaju pergi.Tak lama mobil pun sampai didepan kantor. Kiki membuka pintu mobil dan membiarkan Dylan keluar dari sana. Dylan berpesan pada mereka. "Kamu dan Putra bisa istirahat sekarang, saya kasih kalian waktu satu jam untuk makan di kantin." ucap Dylan yang langsung pergi setelahnya, meninggalkan Putra di kursi setirnya tampak menghela nafas. "Yaelah bener kan kata gue, jauh-jauh ke restoran cuma nungguin pintu doang.""Enggak usah banyak ngarep deh. Udah yok ke kantin." ucap Kiki seraya pergi.Dylan kembali ke ruang kerjanya, terduduk di kursinya seraya me
"Tenang Kiki, enggak usah terlalu pede. Lagian yang harus kamu tanyakan bukan tentang cinta pertamanya melainkan identitas kamu sendiri didalam lingkugan keluarga itu." batin Kiki mencoba untuk tidak terlalu berlebihan dan belum tentu juga yang ada di foto tersebut adalah dirinya. "Saya ingin tanya ke kamu, apa benar nama teman perempuan kamu itu adalah Kiara?" tanya Dylan. Kiki tersentak, nama itu... Kenapa rasanya begitu nyaman saat didengar? Nama yang seperti pernah ia dengar, nama yang familiar, nama yang..."Bukan tuan." ucap Kiki cepat. Dylan tampak tidak terima dengan jawaban itu. "B-bukan? Kenapa bukan? Kok bisa bukan?" "Iya... Namanya bukan itu.""Siapa namanya?""Saya cuma tahu nama panggilannya. Namanya Riska tuan.""Riska? Bukan Kiara? Kenapa namanya sedikit mirip sama kamu? Kamu bercanda kan? Saya enggak salah dengar kan?" tanya Dylan masih tidak terima.Kiki tersenyum tipis. "Enggak tuan. Tuan enggak salah dengar."Tak lama kemudian hujan masih cukup deras, meski be
Dylan langsung berlari keluar dari dalam mobilnya, menuju pintu yang tertutup dihadapannya. Ia segera gedor-gedor pintu itu. "Kiki! Kiki! Kiki kamu ada disini kan?!" tanya Dylan berkali-kali dalam keadaan seperti itu, coba memanggilnya. Akan tetapi pintu itu yang tertutup itu masih terbungkam, bahkan bisa terlihat dengan tanda gorden yang tertutup. Kemungkinan besar kalau sedang tidak ada orang didalam sana. "Sepertinya memang tidak ada orang tuan, dirumah non Kiara." ujar Rizal berdiri disebelahnya. Akan tetapi tiba-tiba pintu itu terbuka dan memunculkan seseorang dihadapan mereka berdua. Tentu Dylan sangat kaget saat melihat Kiki ada dihadapannya dalam wujudnya menjadi seorang laki-laki, memakai rambut pendek. "Kiki!" pekik Dylan yang sesegera mungkin mendekatinya dan mengguncang-guncang bahunya. "Ini bener kamu Ki?" tanya Dylan tidak percaya. Kiki hanya tersenyum tipis saat itu. "I-iya tuan." jawabnya."Kamu kemana aja sih? Saya ratusan kali menelepon kamu, email kamu, sms
Setelah Putra menelepon, Dylan tiba-tiba menelepon video. Kiki pun kaget, ia tidak terbiasa dengan telepon video. Ia bahkan terlihat berantakan saat itu, belum sempat mandi juga tadi sore. Ia bingung, tapi coba sedikit rapikan rambutnya atau sisiri dengan tangan agar tidak terlalu berantakan. Ia ekspresikan wajahnya dengan senyum menghadap kamera, kemudian ia pun terima telepon videonya. Terlihat disana Dylan sedang duduk bersandar pada dipan kasurnya, dipangkuannya juga ada sebuah laptop yang sering dipakainya. "Hai Ra ... Lagi apa?" tanya Dylan tersenyum. "E-eh hehe, a-aku habis makan barusan." ucap Kiki sedikit menutupi kalau dirinya habis teleponan dengan Putra. "Kamu gak tanya saya udah makan?" tanya Dylan, Kiki terkekeh. "Kamu sudah makan?" tanyanya. "Belum, nunggu ngeliat kamu dulu. Baru saya mau makan." ucap Dylan. Kiki makin terkekeh. "Kok gitu pak? Memangnya belum lapar? Ini udah jam 9 loh, nanti telat makan sakit perutnya. Bapak kan besok pagi kerja lagi." tanya Ki
"Tepat, yah meski masih agak nyerempet sedikit dengan bisnis perusahaan kita haha." ujar Richard. Putra tersentak sepanjang mendengar percakapan mereka, seakan dirantai seluruh tubuhnya hingga membuatnya terus mematung didepan sana dengan keadaan raut wajah tidak percaya. Seingat Putra yang terjadi tepat tiga belas tahun lalu adalah peristiwa yang sering dijabarkan oleh Kiki, dimana dirinya menjadi korban dari tragedi kebakaran di rumahnya. Yang turut menghanguskan kedua orang tuanya, tersisa hanya dirinya saja yang masih selamat dalam kejadian itu.Ia membatin. "Ini pasti ada hubungannya sama Kiki, gue yakin banget orang yang ngomong barusan itu direktur dari perusahaan Dean Kyle. Yakin banget gua kalo dia itu pelakunya, gue bener-bener enggak nyangka, kok bisa. Bahkan bapaknya Non Klarissa juga ngomongnya seakan-akan dia emang kongkalikong merencanakan tragedi belasan tahun lalu itu." batin Putra. Tiba-tiba seseorang menepuk punggungnya dari belakang, sontak saja Putra kaget bu
Sekitar pukul sebelas malam, Kiki dan Dylan segera pulang. Mereka saling jalan berdampingan sepanjang perjalanan pulang itu, menyusuri gelapnya jalan yang dikelilingi oleh beberapa pepohonan.Malam yang dingin dan sejuk, seakan suasana saat itu sudah benar-benar pagi, padahal masih belum berganti hari. Dylan merasa kedinginan, dirinya tidak terbiasa dengan suhu sedingin ini. Apakah mungkin ini pengaruh dari dekatnya mereka dengan wilayah pegunungan?"Kamu tahu? Sepanjang saya jalan sama kamu, saya selalu teringat sama Kiki. Kenapa ya kalian terlihat begitu mirip?" tanya Dylan heran. Kiki hanya tersenyum mendengarnya, menganggapnya hal biasa. "Semua orang yang kenal dekat sama saya dan Kiki juga bilangnya begitu pak. Kita terlihat sangat mirip.Bahkan saya pun sampai heran apakah Kiki sebenarnya saudara kandung saya atau bukan." ujar Kiki coba menimpalinya dengan kebohongan lain. Dan mirisnya Dylan benar-benar tidak menyadari hal itu. "Entahlah, mungkin juga karena saya terlalu ba
"Oh iya! Itu kan ada pasar malam di lapangan!" ucap Kiki antusias. "Pasar malam?" Dylan terheran. Kiki langsung bangkit dari duduknya dengan perasaan senang. "Saya mau kesana, katanya ada hadiah yang dapat jam tangan seharga lima ratus ribu! Saya mau kesana!" ucap Kiki. "Kamu tunggu sini aja." ucapnya langsung kabur, tentu saja Dylan tidak mau ditinggal sendirian. "Hei! Saya ikut!" Dylan mengikutinya. Rizal baru akan mengikutinya namun Dylan sudah berteriak. "Jangan ikut!" Mereka berdua akhirnya sampai didepan sebuah pasar malam yang dikelilingi oleh cahaya lampu disetiap wahananya atau di berbagai sisi kios-kios yang bertebaran. Kiki begitu antusias ketika melihatnya, entah kenapa dirinya jadi merasa nostalgia saat seluruh pandangannya terfokus pada suasana pasar malam itu. Seperti halnya di masa lalu, saat dirinya pergi ke pasar malam bersama kedua orang tuanya. Mendadak sebuah senyum terukir manis di sudut bibirnya. Terkesan lirih, tanpa disadari Dylan melihatnya. Entah ke
"Ya terus gimana? Mau ngapain kalau sudah tahu saya ada disini? Saya enggak bisa nikah sama kamu, saya enggak cinta sama kamu." ujar Kiki."Yakin gak cinta sama saya? Kalau gitu yang namanya Kiara juga enggak cinta sama saya ya? Janji belasan tahun lalu akan kamu lupakan sebegitu mudah?" tanya Dylan. Kiki tersentak, ia memalingkan wajahnya merasa tidak nyaman."Maaf saya harus pergi." ucap Kiki yang coba meraih kunci motornya lagi. "Enggak mungkin semudah itu." Dylan masih tetap menghalaunya dan menyembunyikan kuncinya. Dylan beralih memegang tangan Kiki dan membawanya pergi dari sana. Mereka jalan berdampingan di tepian tempat pemancingan, kemudian saling berdiri dan berhadapan. Angin berhembus sejuk dan Dylan pun berkata. "Saya tidak berniat untuk memaksa kamu, saya akan menunggu kamu sampai kapanpun kamu siap. Tapi yang jelas ada satu hal penting yang ingin saya tanyakan ke kamu. Dimana sebenarnya keberadaan Kiki sekarang?" tanya Dylan, Kiki tersentak. Ia hanya memalingkan w
Esok harinya, Dylan pun meminta Rizal untuk menghubungi langsung media cetak yang menerbitkan koran tersebut, dimana dirinya meminta Rizal untuk mencari tahu dimana foto itu berasal serta dimana tepatnya lokasi perlombaan memancing itu diadakan.Putra mengetuk pintu ruang kerjanya, Dylan berkata padanya. "Put, kamu mau bantu saya nyari Kiki lagi?" tanya Dylan. Putra melempar tawa. "Tuan ... Ini tuh udah berbulan-bulan semenjak Kiki pergi dan enggak ninggalin kabar sekalipun ke kita. Otomatis dia udah enggak mau ngeliat kita lagi tuan. Udahlah tuan, biarin aja Kiki ngelakuin hal semaunya. Mungkin memang ini keinginan dia untuk menjauhkan diri dari kita." ujar Putra. Setelah dikatakan seperti itu, Dylan pun jadi malas untuk mengajak Putra pergi kesana.Entah kenapa Putra seperti terkesan selalu menghalaunya untuk mencari Kiki, membuatnya semakin pesimis dan selalu meyakinkannya kalau pencarian yang dilakukannya itu akan berujung sia-sia.Pada akhirnya Dylan pun tidak mengajak Putra,
Disaat Dylan berjalan keluar dari ruang kerjanya, tiba-tiba ia berpapasan dengan Dietrich. "Katanya Klarissa kesini ya barusan? Kamu gak ketemu?" tanya Dietrich yang semakin membuat sang anak malas untuk berlama-lama dengannya, ia memilih lanjut berjalan."Hey! Dylan! Papa lagi ngomong!" pekik Dietrich. Dylan terus melangkah pergi melewati lorong, lift, koridor atau bahkan pintu utama kantor. Ia berjalan menuju area parkir. Entah kenapa sepanjang berjalan menuju sana ia teringat dengan saat ketika Kiki memayunginya yang sedang berlari menghindari hujan. Dylan pun kembali merasa galau, diam-diam ia merasa rindu dengan keadaannya dulu. Saat ketika Kiki masih bekerja dibawahnya.Ia sesegera mungkin masuk ke dalam mobilnya lalu nyalakan, ia jalankan mobilnya saat itu juga, keluar dari area kantor. Saking merasa rungsingnya perasaan Dylan saat itu, dirinya malah memilih kabur dengan tanpa disupiri oleh Putra sekalipun. Ia hanya ingin menyendiri. Bodoh sekali, padahal hanya kehilangan
"Enggak sih tuan. Saya enggak dengar. Dia enggak pernah cerita apa-apa tentang hal kayak gitu." ucap Putra. "Coba kamu lacak dimana keberadaannya sekarang lewat ponselnya." titah Dylan.Putra setengah tertawa. "Lacak? Bukannya harusnya dibiarin aja ya tuan? Kan itu keinginan Kiki sendiri. Mungkin emang ada alasan kenapa Kiki ngelakuin hal ini." ucap Putra. Dylan tercengang mendengar hal itu, ia tampak tidak percaya dengan responnya barusan. "Jadi kamu membiarkan Kiki pergi begitu saja? Kamu ... heh, kamu apa enggak merasa khawatir atau apapun gitu sama dia? Tiba-tiba pergi gitu aja. Kiki itu yang sepanjang hari ada disebelah kamu, tertawa bareng kamu, sedih bareng kamu, makan bareng kamu, ngobrol bareng kamu, yang menjalankan tugas dan kewajibannya sama kamu. Yang suka menolong kamu dan macam-macam. Kamu apa enggak nganggep dia lebih gitu?" tanya Dylan tidak habis pikir. "Emang maksud tuan saya harus menganggap Kiki seperti apa? Y-ya ini memang keinginan dia buat resign dari kerja