Sebagai calon spesialis obgyn kegiatan Fina di semester-semester terakhir banyak sekali berhubungan dengan praktek langsung di rumah sakit yang ditunjuk oleh pihak kampus. Bahkan tak jarang dia juga harus menjalani piket malam.
"Dok."
"Hai Sus Reta."
"Jaga ya Dok."
"Iyups."
"Moga-moga gak ada keadaan darurat ya Dok. Malam ini, saya pengen sedikit santai. Hehehe."
Fina hanya tersenyum saja. Lalu di dan Suster Reta memilih mengobrol. Obrolan bersifat random dan cukup membuat keduanya bisa mengalahkan kantuk.
Pukul sepuluh malam, tiba-tiba perawat dari bagian IGD yang meminta bantuan Fina. Karena di IGD ada keadaan gawat darurat. Pasien mereka adalah ibu hamil.
Fina segera berlari menuju ke ruang IGD. Sampai di sana, dia segera melihat kondisi sang ibu hamil. Setelah melakukan pemeriksaan, Fina segera meminta sang ibu dipindahkan ke ruang operasi. Dia sendiri menghubungi dokter-dokter senior.
Satu jam kemudian terdengar suara bayi dari ruang operasi. Fina mengucapkan syukur karena sekali lagi dia berhasil menyelamatkan ibu hamil dan bayinya. Meski masih dipantau oleh dokter senior.
"Selamat ya Fina, semoga kelak kamu menjadi dokter yang hebat dan amanah. Terus belajar ya."
"Terima kasih Bu, mohon bimbingannya selalu."
"Tentu."
Dokter Eri, menepuk bahu Fina lalu segera berlalu. Fina sendiri masih melanjutkan tugasnya. Setelah selesai dia segera kembali ke ruangannya. Sementara si ibu hamil dan putranya dibawa menuju ruang perawatan.
"Alhamdulillah."
Fina segera mengambil ponselnya, dia bermaksud mengabarkan pada Mas Jo kalau hari ini dia berhasil lagi membantu orang melahirkan.
Senyum Fina terkembang begitu mendapat balasan dari Mas Jo. Mereka pun asik berkirim pesan sampai pagi.
Selesai menjalani tugas piketnya, Fina bermaksud kembali ke kostan. Saat melalui lorong rumah sakit, dia hampir saja menabrak sosok lelaki yang sedang berjalan terburu-buru. Untung Fina bisa mengerem tubuhnya sehingga keduanya tak bersentuhan.
"Maaf, saya tidak se— Fina?" lirihnya.
Sosok lelaki itu menatap Fina kaget pun dengan Fina. Dia pun tak kalah kaget melihat lelaki blasteran di depannya.
Cukup lama keduanya bertatapan hingga Fina kemudian berdehem dan memilih melanjutkan jalannya. Namun sebuah cekalan di lengan kirinya menghentikan langkah Fina.
Fina menatap tak suka kepada lelaki yang dengan kurang ajarnya menyentuhnya.
"Lepas! Kita bukan muhrim!" hardik Fina tegas.
Lelaki blasteran itu melepas cekalannya pada lengan Fina lalu tersenyum sedih.
"I'm sorry. But Please Fin, ijinkan aku ngomong sebentar sama kamu. Sebentar aja. Please."
Ada nada memohon dari suara sang lelaki, Fina sedikit dilema. Namun akhirnya dia mengangguk. Ya, memang banyak hal yang perlu mereka selesaikan. Dan harus segera diselesaikan.
"Kita bicara di taman aja gimana, Fin? Atau —"
"Oke."
Tanpa banyak kata, Fina langsung melangkah menuju ke taman rumah sakit. Lelaki itu pun mengekori langkah Fina.
Sang pria menatap punggung Fina dengan penuh damba. Andai saja dia dulu tak melakukan kesalahan, pasti sosok di depannya sudah menjadi istrinya.
'Bodoh! Kamu terlalu berharap. Dasar bodoh!' Si pria merutuki dirinya terus menerus dalam hati.
Fina duduk di salah satu kursi pajang, sengaja dia duduk di posisi paling ujung. Sang pria pun duduk di ujung yang lain.
Setelah keduanya duduk, tak ada satu pun yang berbicara. Mereka bersyukur, suasana rumah sakit yang masih sepi menghindarkan keduanya dari aksi tontonan para pengunjung yang lain.
"Kamu apa kabar, Fin?"
"Alhamdulilah baik."
"Syukurlah."
Hening. Keduanya sama-sama diam. Fina sibuk menatap ke depan sementara sang pria sesekali melirik ke arah Fina. Mau tak mau sang pria merasa kagum dan jatuh cinta kembali kepada Fina. Wanita cantik yang selalu membuatnya terpesona tetapi harus dia lepaskan gara-gara kesalahan yang menurutnya sepele namun fatal bagi Fina.
"Gak nyangka ya Fin, udah hampir tiga tahun gak ketemu. Keluarga kamu gimana kabarnya?"
"Keluargaku baik."
"Oh. Ehmmm ... kamu lanjut spesialis?"
"Iya."
"Oh, hebat. Ternyata lanjut. Aku pikir ...."
"Kamu pikir hanya karena aku gagal nikah aku gak lanjut gitu?"
Sang pria terhenyak. Dia yang tadinya menatap Fina intens memilih memalingkan muka ke arah lain.
Hatinya merasa bersalah lagi. Hanya demi sebuah ego dan kesempatan yang dia pikir tidak akan datang untuk kedua kalinya dia sampai meninggalkan Fina. Dan bodohnya dia hanya memberi tahu Fina dengan sebuah kalimat lewat pesan yang mengatakan dia menunda pernikahan mereka.
Bukannya mendapat apa yang dia inginkan, sang pria malah kehilangan semua kesempatan. Gagal dan gagal. Bahkan dia tak berani mendatangi Fina meski dia tahu, mereka berada di daerah yang sama yaitu Jogja.
"Maafkan aku Fin. Aku benar-benar minta maaf. Tiga tahun ini, aku gak berani ketemu sama kamu. Meski Mom dan Dad selalu memintaku untuk menemui kamu, tetapi aku malu. Aku gagal Fin. Aku gak punya muka buat ketemu kamu lagi."
Fina hanya tersenyum sinis. Tentu dia sangat ingat bunyi pesan chat dari mantan calon suaminya waktu itu.
'Fina. I'm sorry. Tapi aku harus mengambil kesempatan ini, ini sekali seumur hidup. Aku harap kamu ngerti, kita tunda dulu pernikahan kita. Aku janji aku akan segera kembali ke kamu. I love you.'
Fina tertawa sambil menangis saat itu, mana mungkin prianya mengatakan cinta tapi malah meninggalkan dia di hari seharusnya mereka menikah.
Fina bersyukur dia memiliki keluarga dan para sahabat yang selalu mendampingi dan memberinya semangat. Bahkan keluarganya lah yang memberi dorongan pada Fina untuk melanjutkan spesialisnya yang sempat tertunda gara-gara cuti mau menikah.
Lama keduanya terdiam. Hingga sang pria kembali bersuara.
"Fin. Masih adakah kesempatan untukku? Aku ingin membayar semua perbuatanku dulu padamu."
Sang pria tersenyum lalu menatap Fina dengan tatapan permohonan.
"Mom dan Dad sudah membuatkan rumah sakit untukku. Aku ingin mengembangkannya bersama kamu. Aku gak akan kembali ke Perancis. Aku mau menatap di sini bersama kamu. Kamu mau, 'kan? Kamu mau ngasih aku kesempatan?"
Fina hanya tersenyum sinis, lalu dia menatap sang lelaki dengan tatapan tajamnya.
"Kamu tahu gak, ada hal yang bisa diperbaiki tapi ada juga yang gak bisa diperbaiki. Dan untuk kita, aku minta maaf. Gak akan ada lagi kita di masa depan."
"Maksudmu? Kamu udah gak cinta sama aku?"
Fina tersenyum. "Bukankah sejak awal kita hanya teman. Aku sudah berkali-kali mengatakan kalau aku hanya menganggap kamu teman. Tapi kamu memintaku untuk menjadi istrimu. Kamu bilang, dari pertemanan bisa kok menuju pernikahan yang bahagia. Kamu meyakinkanku terus padahal saat itu aku gak yakin. Karena kamu tahu, saat itu hatiku masih gamang dengan perasaanku sendiri. Tapi kamu terus menyemangatiku hingga aku mau. Dan ketika aku mencoba yakin. Kamu banting aku dengan ego kamu."
"Fin," ucapnya sedih.
"Aku minta maaf, aku gak bisa kembali lagi sama kamu."
Fina berdiri lalu menoleh ke arah sang pria.
"Udah siang, aku harus pulang. Nanti jam sembilan aku ada janji sama dosen. Aku butuh istirahat dulu. Assalamu'alaikum."
Fina berlalu meninggalkan sang pria yang hanya bisa diam. Dia ingin mengejar Fina tetapi dia yakin percuma. Karena Fina adalah sosok keras kepala dan teguh pendirian.
Sang pria memilih memberi waktu pada Fina. Tapi dia berjanji, lain kali dia akan kembali menemui Fina dan mencoba mengambil kembali hati Fina.
Fina kaget mendapati sosok lelaki di depannya. Dia melirik ke arah Suster Reta. Suster Reta hanya bisa meringis sambil memasang mimik meminta maaf karena tidak bisa mencegah kedatangan si pria blasteran berdarah Perancis itu."Hai, Fin. Aku sengaja datang mau ngajak kamu makan siang. Ikut aku yuk? Aku mau ngajak kamu ke tempat biasa kita makan bareng Jo."Fina hanya bersedekap lalu menatap sosok lelaki di depannya."Kamu tahu ini hari apa?""Senin.""Kamu tahu kebiasaanku apa setiap hari senin dan kamis?""Kebiasaan? Kebiasaan apa?"Nathan terlihat mengerutkan kening. Dia berusaha mengingat-ingat dengan hari senin. Senin itu kan awal hari setelah libur, anak sekolah biasanya upacara, lalu orang muslim biasanya puasa sunah."Kamu puasa?""Iyup. Jadi maaf aku gak bisa ikut kamu, lagi pu
Lagi, Fina hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah Nathan yang tanpa tahu malu menemuinya lagi."Apa lagi?""Kamu bohong, 'kan?""Apa yang kamu katakan sama Mom waktu itu bohong?" lanjutnya."Kamu lihat ini?"Fina menunjukkan cincin pernikahannya. Nathan menatap tak percaya."Kamu lihat, 'kan?" Fina masih memperlihatkan cincin di jari manis kirinya."Ini cincin pernikahanku. Memang kami baru akad. Tapi pernikahan kami sudah tercatat di KUA, aku sudah punya buku nikah juga. Masalah resepsi, itu bisa belakangan yang penting sah secara agama dan negara udah terpenuhi. Jadi nanti kalau aku hamil, status anakku jelas." Meski diucapkan dengan nada biasa tapi jelas ada sindiran dalam setiap kalimat Fina."Fin.""Aku udah pernah bilang ke kamu, Nathan. Aku cuma nganggep kamu teman. Se
Hai semua, ini adalah Kisah Rafina anak Bungsu Rayyan-Nasha (Bukan Calon Kakak Ipar). Jadi ini flashback gitu ya. Di bab 1-5 kalian udah lihat sedikit konfliknya kan? Nah, pasti penasaran kan Fina itu nikah sama siapa? Di bab 6 dan seterusnya akan dibuka semua tabirnya. Yuk ikuti. Jangan kaget jika alurnya maju mundur. Karena memang seperti itu mamak nyusunnya. **** Seorang gadis berusia lima belas tahun tengah menatap kedua orang tua dan saudara-saudaranya. Ckckck. Benar-benar ngenes. Ini adalah acara ulang tahun keponakan cantiknya, Royya. Acara sudah berakhir satu jam yang lalu. Teman-tema Royya sudah pada pulang. Royya sendiri sedang bermain bersama Rael ditemani oleh si dokter ganteng bermuka dingin tapi penyayang. Mumpung duo krucil lagi ada boy sitter super kece, justru malah dimanfaatkan oleh tiga pasangan buat yayang-yayangan. Nasha dan Rayyan lagi pijit-pijitan. Eh, maksudnya Rayyan minta di
Fina menatap seluruh bangunan SMADA yang dapat ia tangkap melalui netra matanya. Ada kebahagiaan tersendiri dalam hati Fina karena selangkah lagi cita-citanya akan segera terwujud."Yok." Reihan segera menghampiri Fina setelah memarkirkan mobilnya."Bisa parkir tadi Mas.""Bisa."Kedua kakak beradik itu segera memasuki tempat pengumpulan berkas siswa baru. Berhubung sekarang pendaftaran sudah menggunakan sistem online, jadi Fina hanya tinggal menyerahkan berkas fisik saja yang memang diminta untuk dikumpulkan.Fina duduk dengan manis di samping sang kakak. Mau tak mau, banyak mata yang melihat ke arah Fina dan Reihan. Ya mau gimana lagi, wajah blasteran dengan iris mata cokelat terang terlalu berharga buat dilewatkan. Fina dan Reihan yang sudah biasa menjadi pusat perhatian memilih cuek. Apalagi Reihan, dia memasang sikap cool dan fokus pada ponselnya. Fina sendiri sibuk celingak celinguk kanan kiri. Dia terlalu antusias mengamati keadaan sekitar.
Keluarga Nara sedang berkumpul semua. Seperti biasa minimal sebulan sekali, keluarga Elang dan Royyan menginap. Bagi anak-anak Nara, mengunjungi dan menginap di rumah orang tua adalah suatu keharusan sekaligus sebagai tanda bakti kepada orang tua yang telah melahirkan dan merawat mereka sejak kecil."Gimana Fin, sekolahnya?" tanya Elang."Lancar, Mas El.""Udah dapat gebetan belum Fin?" tanya Royyan dengan mimik muka jahil."Ckckck. Fina masih kecil ya Mas, belum mikir ke situ.""Masih kecil kok tingginya udah 160 lebih. Kecil dari mana coba?""Terserah Mas Roy deh, asal Mas bahagia aja. Kan kalau bahagia jatah belanja Mbak Aya aman sentosa. Ya 'kan Mbak?" Fina menoleh ke arah kakak iparnya."Betul, Fin. Apalagi skincare lagi mahal sekarang. Jadi Mbak harus pastikan, papinya anak-anak senang biar uang yang mengalir gak tersendat-sendat hahaha.""Mbak Aya keren, pokoknya.""Harus, punya suami sukses harus dimanfaatk
Menjadi sosok yang pendiam, kurang populer dan tak dianggap keberadaannya itu menyedihkan. Tetapi terlalu populer dan sering disorot pun tak kalah menyebalkan. Itulah yang dirasakan oleh Fina. Fina mengakui dia cantik, soalnya kaca di rumahnya setiap hari sudah ngasih tahu. Bahkan baru bangun tidur dengan rambut awut-awutan dan ada bekas iler di bibir aja dia masih terlihat cantik.Fina mendesah, baru saja kakinya menginjak bumi SMADA, beberapa pasang mata yang berpapasan dengannya langsung menyoroti langkahnya. Fina hanya bisa memasang senyum manis dan memamerkannya pada semua orang yang ia temui."Hai, Fin," sapa salah satu kakak senior. Jelas cowok lah yang nyapa."Hai.""Hai, Fin.""Hai.""Halo, Fina.""Halo.""Pagi Fina.""Pagi.""Hai, Cantik."Fina hanya tersenyum menanggapi salah satu teman seangkatannya mulai melancarkan jurus rayuan gombal bekas jemuran yang sudah jamuran.Fina mengemb
Fina menatap Reihan yang sedang membuka dompetnya dengan penuh perhatian. Mereka sedang berada di Mall untuk membeli tas dan sepatu. Karena Reihan masih single, dia yang paling sering membelikan Fina ini itu. Sedangkan kedua kakaknya yang lain jarang karena sudah berkeluarga. Kalau Papah dan Mamah Fina jelaslah sebagai donatur utama segala kebutuhan Fina."Ke mana lagi?" tanya Reihan setelah memasukkan kembali dompetnya ke saku celana.Fina mengerjapkan matanya beberapa kali kemudian nyengir mendapati Reihan menatapnya penuh selidik."Ngapain lihatin dompetnya Mas kayak gitu?""Hehehe, lihatin dollarnya Mas. Hehehe," jawab Fina ngaco."Kan udah mas kasih semua pecahan dollarnya, Fin."Fina cuma tertawa dan memilih segera membawa tas dan sepatu yang baru dibelikan Reihan. Fina tidak mau tertangkap basah sedang mengamati potret di dompet Reihan. Fina sangat-sangat yakin di bawah foto keluarga Nara tersimpan sesuatu karena secara tidak se
Nasha dan Rania, memekik keras ketika Reihan datang sambil membopong Zaza yang tak sadarkan diri. Mereka semua panik, namun Reihan menenangkan semuanya dan meminta waktu untuk memeriksa Rana lagi.Nasha dan Rania bergerak gelisah, sedangkan Rayyan malah menatap geli tingkah istri dan adiknya. Fina hanya diam, bingung harus bagaimana. Tadi ketika Nasha dan Rania mencecarnya, Fina hanya bisa bilang kalau melihat Zaza tergeletak di kamar mandi. Fina tidak berani bilang kalau penyebab gurunya jatuh akibat kedatangan Reihan yang tiba-tiba nongol di depan kamar Zaza. Fina takut, papahnya bakalan menghajar sang kakak karena bertingkah tidak sopan tapi memang Reihan gak sopan sih. Fina aja kesal dengan sang kakak yang main nyelonong aja.Tapi, ada dua hal yang membuat rasa kesal Fina pada sang kakak hilang yaitu raut ketakutan di wajah Reihan dan panggilan Reihan pada Zaza. 'Rana' panggilan yang diucapkan sang kakak pada Zaza mau tak mau menyadarkan Fina jika sang kakak sepert
Sepuluh Tahun Kemudian Zio baru selesai bertugas. Dia segera membereskan barang-barangnya, memasukkan ke dalam tas, menaruh jas dan sneli pada tempatnya lalu segera keluar dari ruangannya. Di sepanjang koridor dia menyapa para perawat, rekan kerja atau tersenyum pada pasien atau pengunjung yang berpapasan dengannya. Sampai di parkiran dia segera masuk ke dalam mobil. Satu jam kemudian dia sudah sampai di rumah. "Sore Tuan Nathan." "Sore Gemma. Fin Fin sudah pulang?" "Belum, Nona Fina masih harus menunggu satu pasiennya yang mau melahirkan." "Oh, anak-anak mana?" tanyanya sambil melirik ke arah jam dinding yang menunjuk angka setengah empat. "Jalan-jalan bersama Tuan Besar dan Nyonya." "Oke. Aku mandi dulu ya Gemma." "Baik, Tuan." Zio segera masuk ke kamarnya. Zio dan Fina akhirnya tidak LDR-an lagi sejak sembilan tahun yang lalu. Baik Fina dan Zio menyelesaikan program spesialis tepat waktu. Di sini Zio harus mengacungkan trofi buat sang istri. Di saat dia hanya memikirkan ku
Tarik napas hembuskan. Fina berkali-kali mencoba mengontrol napasnya dan menahan agar tidak mengejan duluan. Sesuai perkiraan ternyata hari kelahiran putrinya hanya maju tiga hari dari HPL. Sang suami sudah diberitahu sejak Fina sering mengalami kontraksi palsu dua hari yang lalu. Zio bilang akan mengusahakan pulang, tetapi Fina paham jarak Paris-Purwokerto sangat jauh. Tapi tetap saja dia berharap sang suami segera pulang. "Suamimu katanya pakai jet pribadi lagi. Biasa nyewa punya temennya Mr. Oliver." Emma yang sejak satu minggu yang lalu sudah di Purwokerto menemani Fina bersama Nasha. Bahkan Ibu Arini juga sedang perjalanan menuju ke rumah sakit. "Sakit Sayang?" tanya Emma. Fina hanya mengangguk. Dia hampir mewek tapi berusaha tegar. Sang ibu yang paham apa yang dirasakan putrinya. Mengelus punggung sang anak yang sedang rebahan dalam posisi miring ke kiri. "Banyak istighfar ya Nduk. Mamah tahu rasanya. Kamu kuat." Fina tak bisa menahan tangisnya. Dia menarik tangan sang ibu
Zio sedang mengangguk-angguk sambil mendengarkan perkataan dosennya. Sejak satu jam yang lalu sang dosen yang sedang marah memarahi Zio karena berani membolos dari ujian. Fina yang kasihan kepada suaminya, turut membantu. Dengan jurus rayuan maut, Fina meminta ijin pada sang dosen untuk bicara. Dia bercerita apa adanya kalau dia dan Zio bertengkar hebat yang menyebabkan Zio langsung ke Indonesia demi menyelesaikan masalah rumah tangga. Cukup lama keduanya bicara.Zio padahal sudah pasrah jika harus mengulang satu tahun lagi. Tapi rupanya aksi heroik Zio membuat dosennya, prof. Louisa yang terkenal killer jadi simpati. Bahkan menyebabkan Zio harus mendengarkan kisah cinta sang dosen dengan suaminya yang juga penuh liku drama. Zio antara harus bersyukur dan siap kuping. Bersyukur dia diberi keringanan dan kesempatan untuk mengikuti ujian susulan tapi dia juga harus membayar kebaikan hati sang dosen dengan mendengarkan cerita sang dosen selama hampir dua jam. Fina sendiri hanya menyaks
Flo tertawa saat melihat ponselnya menampilkan nomer Fina. Rupanya Fina mengajaknya melakukan panggilan video call. Flo segera memposisikan dirinya di samping pria yang semalaman berbagi peluh, cairan dan kenikmatan bersamanya. Dia segera menekan tombol terima dan tampaklah wajah Fina yang menatap Flo dengan tatapan membunuh."Hai Fin, gimana kabarmu? Masih sehat kan? Hahaha. Eh, suamimu semalam hebat banget tahu. Kemarin dia semalaman bersama Aisyah, dan tadi malam dia menghabiskan malam bersamaku. Hahaha. Kita habis kamu tahu lah ... bercinta." Flo menunjukkan leher dan bagian tubuh atasnya yang penuh tanda merah. Dia bahkan sengaja masih belum memakai baju dan menutupi bagian tubuhnya dengan selimut. Bukan itu saja, Flo bahkan sengaja memancing kemarahan Fina dengan mengecup punggung toples lelaki yang kini masih tidur di ranjangnya.Fina menampilkan ekspresi marah dan air matanya sudah meleleh, meluber-luber bersamaan dengan ingusnya."Brengsek kamu, Flo," desis Fina."Hahaha. Ya
Fina baru saja menyelesaikan sholat subuhnya. Dia menatap jam yang menunjuk angka lima. Fina memegang perutnya yang sudah meronta-ronta ingin makan. Mau marah terus sama suami dan ngumpet terus di kamar juga bukan pilihan yang baik. "Kamu lapar ya Dek? Umi juga, tapi Umi masih marah sama Abi kamu. Nyebelin." Fina mengelus perutnya, tapi dasarnya sudah sangat lapar, perutnya sampai berbunyi. Fina sudah tak peduli dengan aksi marahnya pada suami. Dia memutuskan bangkit dan keluar kamar. "Bodo amat. Aku marah tapi aku lapar, ya aku mau makan." Fina segera membuka pintu kamarnya, namun dia kaget mendapati sesosok tubuh terjatuh mengenai kakinya. Fina berteriak dan meminta Zio bangun. Saking marahnya dia hendak menggunakan kakinya untuk membangunkan sang suami tapi sadar itu gak sopan dan dosa pula. Akhirnya Fina berjongkok dan membangunkan suaminya. "Hei bangun. Jangan tidur di sini. Sana tidur di kamar tamu." Fina mengguncang-guncang tubuh suaminya. "Zi, bangun Zi. Hei bangun." Ta
Sebuah pesan mampir di ponsel Fina. Tubuhnya bergetar akibat menahan amarah.[Kamu lihat, suamimu di sini banyak yang naksir. Dan dia selalu ada waktu untukku, putriku dan wanita lain. Jadi jangan berpikir kalau kamu itu cuma satu-satunya. Ya mungkin kamu satu-satunya di Indonesia tapi di Paris, Nathan punya kami]Fina hampir membanting ponselnya saat lagi-lagi Flo mengiriminya foto. Tadi foto Zio sedang berpelukan dengan Aisyah dan sekarang giliran foto toples lelaki yang mirip Zio sedang tiduran bersama Florence.[Kami sering menghabiskan waktu berdua, di tempat tidur. Dia memang hebat, selalu bikin puas dan dia sangat suka kalau aku di bawah. Dia bilang suka melihat ekspresiku saat mengerang di bawah tubuhnya. Hahaha. Dia juga bilang kalau sekarang kamu gak bisa menuhin hasrat dia gara-gara lagi hamil. Dan dia bilang kini kamu terlalu gendut, gak enak buat dipandang apalagi diajak gelut di kasur hahaha]Florence bahkan sampai mengirimkan emoticon tertawa mengejek membuat Fina marah
Fina mencoba menikmati kehamilannya. Bersyukur kehamilannya tidaklah terlalu rewel karena yang rewel dan ngidam parah adalah bapaknya. Zio yang manja jadi semakin manja. Beberapa hari setelah dia tahu sang istri hamil dan dia sendiri sudah kembali ke Paris, Zio jadi kena sindrom ngidam parah. Setiap pagi dia muntah-muntah dan lemas membuat keluarganya khawatir. Jika siang hari gejala muntahnya sudah reda. Tetapi Zio juga sering ngidam makanan yang aneh-aneh membuat Gemma, Antonio, Emma, Raphael hingga sepupunya si Benyamin kelimpungan mencari makanan yang diinginkan si calon bapak. Tapi diantara semua keinginan si calon bapak, hanya ada satu ngidam yang tidak bisa dituruti oleh semua orang."Fin Fin, Mas Jo kangen. Pengen peluk, Mas Jo ngidam nenen?" rengeknya.Fina hanya bisa meringis mendengarkan rengekan sang suami, setiap hari setiap waktu. Bahkan pernah suatu hari, Zio mengungkapkan keinginannya ketika mereka sedang video call-an dimana ada keponakan-kepanakan yang tentu saja men
Kembali ke rutinitas, mau tak mau Zio dan Fina harus menjalani LDM (Long Distance Marriage) untuk satu tahun lebih ke depannya. Menjalani LDM ternyata tidaklah mudah, ada saja masalah mulai dari gara-gara tidak mengangkat telepon sesegera mungkin hingga cemburu. Ya cemburu. Fina jadi super pencemburu gara-gara sosok Florence yang kini jadi berada di sekitaran Zio dan juga sosok Aisyah yang kini jadi lebih intens berhubungan dengan sang suami dengan alasan pekerjaan. Florence terlihat sekali mencoba memancing Fina lewat update-an status I*-nya yang memasang momen-momen bersama keluarga Evrard dan beberapa kali memposting foto Zio saat menggendong putrinya. Bahkan Aisyah yang kalem juga sepertinya masih berharap jadi madunya. Terlihat dari kehadiran Tuan Ali yang sering membawa sang putri ke rumah Raphael dengan alasan Aisyah sedang belajar bisnis. Sama seperti Fina yang jadi pencemburu, Zio juga cemburu pada sosok Faisal dan Azka yang merupakan teman baru Fina dan usianya lebih tua se
Malam harinya keluarga Nara berkumpul. Mereka semua membicarakan perihal perkataan Winda dan mau tak mau Zio dan Fina bercerita. Meski sedikit menyayangkan sikap sang putri, tapi Rayyan bersyukur, anaknya masih selamat. "Kita jadikan hal ini sebagai bahan pelajaran." Fina dan Zio mengangguk. Semua orang lalu beristirahat. Esok harinya semua orang kembali ke Purwokerto karena dua hari lagi resepsi pernikahan Fina dan Zio akan diselenggarakan. Fina dan Zio jadi ikutan sibuk. Acara resepsi pun digelar dengan meriah, baik Fina dan Zio tak pernah tak menebar senyum. Teman-teman kuliah dan SMA mereka banyak yang datang, kebanyakan pasti akan mengolok-olok dua pasangan. Untung baik Fina dan Zio tahan banting. Zaky, Yudho, Emi, Yuni, Riris dan kawan-kawan dekat Fina-Zio akhirnya datang. Mereka membuat suasana makin heboh apalagi dengan banyolan-banyolan dari Yudho dan Zaky. "Gimana malam hari? Jatah aman?" "Aman, Zak." "Aku yang deg-degan, gak bisa gegayaan." Zaky terlihat nelangsa kare