Bi Lastri menahan senyumnya saat dia mengatakan itu. Sengaja sekali memang, dia sudah menyiapkan baju ganti untuk Sela, tetapi dia ingin Faiz sendiri yang menggantikan baju istrinya itu."Bibi saja, aku tunggu diluar."Entah mengapa Faiz malah merasa gugup luar biasa, padahal dia tidak memiliki rasa apa-apa terhadap Sela, sehingga wajar jika ia tidak ingin melakukan yang dikatakan oleh Bi Lastri. Ia pernah melihat wanita telanjang hanya Nindy seorang yang ia ingat karena dalam keadaan sadar."Tuan Faiz saja, Tuan kan suaminya.""Biasanya juga kan Bibi yang selalu melayani Sela, apapun itu. Jadi Bibi gantikan saja bajunya, saya akan keluar.""Justru karena itu, Tuan. Sekarang Tuan yang harus membiasakan diri. Ya, biarpun seharusnya istri yang melayani suami, tetapi untuk menunjukkan kasih sayang itu tidak apa jika suami yang melayani istrinya. Nyonya Sela itu butuh sosok yang bisa mengayomi dia, Tuan.""Bi ..., jangan seperti itu. Bibi saja yang gantikan." "Jangan gugup, Tuan. Anggap s
Faiz menelan saliva dengan susah payah saat dia mengumpulkan keberanian untuk mengganti pakaian yang dipakai oleh Sela. Dia sudah menolak, dia juga boleh saja tidak melakukannya, tetapi rasa kasihan tidak bisa ia abaikan. Kebaikan hati Faiz membuat dirinya sendiri harus menggantikan baju itu, sebab terlihat tidak nyaman juga jika Sela harus tidur dengan baju ketat juga celana jeans-nya.Satu persatu kancing baju Sela ia buka sampai pada akhirnya terlihatlah dua gundukan seputih susu yang terbungkus dengan bra renda berwarna putih dengan corak bunga-bunga.Tangan Faiz gemetar bukan main. Saat tangannya menyentuh kulit tubuh Sela tanpa penghalang.'Luruskan niat, aku hanya ingin menggantikan baju saja. Aku pria normal, tetapi aku juga tidak ingin mengkhianati Nindy,' batin Faiz.Setelah susah payah melepaskan jeans yang dipakai Sela, kini sepenuhnya tubuh Sela hanya ditutupi pakaian dalam saja dengan warna dan corak yang senada.Perbedaan Selera tampak jelas sekali, Sela dengan jiwa mud
Meski sudah berbaik hati menawarkan diri untuk membangunkan Faiz dan Sela, ternyata niat baiknya itu tidak diizinkan oleh Feni. Feni malah senang jika anak dan menantunya bangun siang di akhir pekan. Itu membuatnya berpikir jika hubungan Sela dan Faiz mungkin perlahan telah membaik. Apalagi sekarang sudah hadir Arelia, yang konon bahwa anak itu bisa merekatkan hubungan suami dan istri.Nindy hanya bisa gigit jari, pikirannya masih belum tenang membayangkan hal buruk untuknya. Ia tidak ingin lagi terbuang jika keduanya bisa saling jatuh cinta, sampai ia menjadi orang yang terlupakan.Setelah Surya dan Feni selesai dengan sarapan mereka, begitu juga dengan Arelia yang baru saja diberi susu, lalu terlihat Sela menuruni tangga dengan masih memakai baju tidur yang cukup mini. Nampak seperti dress mini untuk tidur yang biasanya orang-orang menyebutnya sebagai baju dinas malam.Sela menguap beberapa kali sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Pagi, Mah, Pah," sapa Sela pada ayah dan
Selagi Sela bersiap, begitu juga dengan Feni dan Surya yang kembali bersiap membereskan barang yang mereka bawa, Faiz langsung masuk ke dalam kamar Arelia. Di dalam Nindy sedang mempersiapkan barang Arelia yang mungkin diperlukan nanti."Nin, kayanya kamu gak bisa ikut ke acara yang dimaksud mertuaku, karena akan ada orang tuaku juga. Bagaimana reaksi mereka kalau tau kamu yang jadi pengasuh anakku, yang ada mertuaku bakalan tau siapa kamu yang sebenarnya. Dan rencana kita untuk kembali akan semakin sulit terjadi."Nindy menghentikan aktivitasnya, lalu menoleh pada Faiz. "Jadi, maksudnya aku tidak harus ikut supaya kamu sama Sela bisa leluasa karena kamu tidak harus menjaga perasaan aku?""Hanya agar orang tuaku tidak tau saja kalau pengasuh Arelia itu kamu. Yang jelas hubungan aku sama Sela tidak akan pernah baik.""Bohong!""Tidak ada yang terjadi semalam. Aku tidur di bawah dan Sela tidur di kasur. Percayalah, Nin.""Benarkah?""Aku tidak berbohong."Nindy ingin percaya seperti bia
Nindy merasa bahwa akan cukup sulit untuk membuat keluarganya bisa kembali menerima Faiz setelah apa yang terjadi dimasa lalu. Direndahkan oleh orang lain, memang siapa yang akan terima dan memaafkan begitu saja. Apalagi nantinya pun tidak ada jaminan keluarga Faiz akan benar-benar bisa merestui sekaligus meminta maaf pada keluarga Nindy.Nindy goyah, hatinya bimbang antara menerima kenyataan sesuai logika atau mengikuti isi hatinya karena percaya dengan apa yang dijanjikan oleh Faiz untuk bersabar menunggu waktu yang tepat agar mereka bisa bersatu kembali."Kakak belum kepikiran soal itu. Tenang saja, umur Kakak juga masih 24, kok. Masih banyak hal yang harus Kakak lakukan sebelum memutuskan untuk menikah. Kegagalan yang dulu itu, harus dijadikan pembelajaran supaya Kakak gak cepat ambil keputusan. Menikah kan sekali seumur hidup, jadi kalau sudah waktunya ya Kakak juga pasti akan menikah entah dengan siapapun jodoh yang sudah disiapkan oleh Tuhan. Karena kita itu hanya bisa berencan
"Aku udah gak sekolah, Yah.""Ish, ish." Nindy menggelengkan kepalanya melihat kelakuan tengil adiknya seperti biasanya. "Maklum aja, sekolah sama kampus sama-sama tempat buat cari ilmu.""Iya, iyaa."Hangatnya keluarga seperti itu yang terkadang Nindy rindukan jika ia sedang bekerja di rumah Faiz. Dengan senda gurau di meja makan, setidaknya membuat Nindy sedikit mengalihkan pikirannya yang tidak tenang karena membayangkan bagaimana kedekatan Faiz dengan Sela di acara mereka nanti."Nin, sebenarnya ayah sama ibu sudah ngobrol berdua sebelumnya. Penghasilan dari toko, sebagian akan ayah kasih ke kamu. Buat nambah-nambah cicil hutang ke teman kamu itu supaya cepat lunasnya. Ayah kasihan kalau kamu menanggung semuanya sendirian," ucap Roni yang mulai membahas topik serius ketika mereka sudah menghabiskan makanannya masing-masing.Nindy segera menggelengkan kepalanya. "Jangan, Yah. Itu buat biaya hidup sehari-hari sama biaya kuliah Alika aja. Kalau dipake buat bantu aku, nanti malah kali
"Kakak angkat telepon dulu sebentar," ucap Nindy dengan terburu-buru membawa ponsel miliknya dan langsung masuk ke dalam kamar.Alika masih tidak lepas menatap sang kakak sampai akhirnya masuk ke dalam kamar. Dalam pikirannya tentu saja tidak bisa berpikir positif. Ia langsung curiga jika Nindy malah sudah berhubungan baik dengan Faiz."Hallo." Nindy berbisik saat menerima telepon dari Faiz. Ia mengunci dan menjauh dari pintu.Sejak hubungan membaik, Nindy kembali menyimpan nomor Faiz dengan memberi nama emoticon love putih saja karena hanya itu ia ia pikirkan daripada harus memberi nama yang sebenarnya, itu sudah jauh lebih baik pikir Nindy."Bagaimana keadaan ayah dan ibu? Mereka sehat?""Iya, semuanya sehat. Ada apa? Apa acaranya sudah selesai? Kok cepet banget padahal masih sore.""Nin, sepertinya besok kamu jangan pulang dulu ke rumahku. Karena kami semua akan menginap semalam di villa. Tidak ada acara spesial, hanya sekedar makan dan pesta kecil di villa keluarga Sela. Kami pula
"Ada apa, sih? Kok kedengerannya ke depan kaya lagi ribut?" Tiba-tiba Roni masuk ke dalam rumah setelah selesai mengurus barang yang datang. Sedangkan Lita masih sibuk dengan para pembeli.Ketegangan antara Nindy dan Alika mulai mereda dengan datangnya Roni. Keduanya seolah tahu apa yang harus mereka perbuat agar tidak membuat sang ayah khawatir dan terjadi hal yang tidak diinginkan lagi."Mm, kita ....""Biasa, Yah. Sibling moment." Alika langsung merangkul Nindy yang tingginya hampir sama dengannya. "Ayo, kita lanjutkan di dalam, Kak. Ayah jangan ganggu!" Ia langsung masuk ke dalam kamar Nindy dan mengunci pintu.Masih belum puas rasanya, apalagi Nindy belum menjawab pertanyaan dari Alika yang pastinya itu adalah hal yang paling ia ingin tahu jawabannya."Jawab pertanyaan aku, Kak!""Apa sih, Dek? Udah jangan bahas itu lagi. Ada ayah di depan. Nanti kalau ayah denger terus ayah kenapa-kenapa karena salah paham gimana?""Makanya kakak jujur dulu, siapa yang nelepon kakak tadi? Pleas
"Bu, kalau misalkan rumah sama toko kita ada yang mau beli satu miliar, kira-kira ibu bakal jual nggak?" tanya Alika dihari ketiga ia diberikan waktu oleh Sela, baru kali itulah ia memberanikan diri berbicara pada ibunya.Lita tersenyum. "Jangan mengkhayal, gak akan sampai nilai jual rumah sama toko ini sampai satu miliar.""Ya, inikah cuma misal aja, Bu. Berharap sesuatu yang baik kan nggak ada salahnya. Jadi, gimana kalau ada yang mau beli satu miliar, ibu bakalan jual?""Kayanya semua orang gak ada yang gak suka uang. Ibu juga sama. Tapi gak semua hal bisa dinilai dengan uang meskipun nominal uang itu lebih besar dari nilai barangnya. Selain memang mustahil ada yang mau membeli rumah dan toko ini sebesar itu, semuanya terlalu berarti untuk ibu dan ayah. Mengingat dulu perjuangan kami berdua untuk memiliki rumah itu tidaklah mudah.""Tapi waktu itu pas kita lagi bener-bener butuh uang untuk biaya operasi ayah, ibu bilang mau gadaikan atau menjual rumah sama toko ini.""Itukan disaat
Malam tiba, Nindy sudah menunggu kepulangan Faiz sambil menggendong Arelia di depan. Sebelumnya Faiz mengirimi pesan singkat jika ia tidak akan lembur."Tuh, Papa pulang," ucap Nindy pada Arelia yang semakin hari semakin pintar merespon meski belum bisa berbicara. "Tumben gak lembur, Mas?" tanya Nindy pelan. Ia hanya ingin bermesraan tetapi harus tetap waspada agar tidak ada orang lain yang mendengarnya."Sekarang di rumah ini ada pria lain tinggal. Aku tidak tenang karena takut dia macam-macam sama kamu. Aku takut dia jatuh cinta sama kamu."Pipi Nindy merona karena tersipu malu. "Ish, Mas. Kayak anak ABG aja cemburunya. Lagian Rico kan sukanya sama Sela. Kalau aku gak akan mudah berpaling." "Tetap saja.""Ya sudah, ayo masuk. Mumpung Bi Lastri di belakang lagi sibuk nyiapin bahan masakan untuk dimasak buat makan malam. Kan porsinya jadi bertambah satu orang. Sela juga belum pulang, Rico baru berangkat tadi siang."Mereka berdua pun bersama-sama masuk ke dalam kamar Arelia."Tadi a
"Kita belum sempat berkenalan dengan serius," tanya Rico pada Nindy yang baru saja keluar dari kamar. Arelia sudah tidur siang, waktunya ia untuk beristirahat dan makan.Tadi pagi, ia tidak melihat Rico karena belum bangun. Pagi-pagi pula ia melihat Faiz dan Sela sudah berangkat bersama meski dengan mobil yang berbeda.'Tengah siang bolong begini baru bangun? Padahal yang punya rumah udah kerja dari pagi,' batin Nindy."Nama saya Nindy.""Kamu udah tau aku, kan?"Nindy hanya mengangguk saja tak merespon lagi. Dia tidak terlalu ingin berbincang panjang lebar dengan Rico yang sangat asing baginya. Apalagi Rico sudah jelas ada di pihak Sela."Arel tidur, kamu mau istirahat, kan? Ayo makan siang bareng. Aku juga mau makan, belum makan apa-apa dari pagi."'Gimana mau makan pagi, bangun aja siang!' batin Nindy lagi."Mas Rico silakan makan di meja makan saja, nanti Bi Lastri yang siapkan. Saya makannya di belakang, di dapur kotor.""Kenapa? Gak apa-apa, makan sama aku aja di meja makan. Nan
"Lo pikir, lo bisa ngerasa tenang karena Gery ngelindungi lo?" Sela dan kedua temannya, juga Alika yang ia incar, kini tengah berada di gedung aula serba guna di kampus mereka. Selama hidupnya, Alika belum pernah merasa yang namanya takut pada siapapun selagi ia tidak bersalah. Sehingga semasa sekolah Alika tidak pernah mengalami perundungan. Ia bahkan menjadi penyelamat teman-temannya yang bungkam tidak bisa mengadu pada guru atau orang tua.Lain hal dengan sekarang, dia lah yang mengalami langsung sebagai mahasiswi yang tengah dirundung atas kesalahan yang tidak ia perbuat. Ia juga bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi korban yang tidak bisa mengungkapkan apa yang terjadi pada orang yang lebih dewasa atau pada pihak yang bisa melindunginya, karena sebuah ancaman yang mengganggu dan ketakutan jika ancaman itu menjadi kenyataan."Aku sudah pernah bilang beberapa kali, kalau aku gak suka sama Gery."Meski sudah berkali-kali Alika mengatakan itu, Sela tidak puas. Karena ia juga tah
Karena sudah terlalu lama diluar, Faiz dan Nindy pun pulang. Berharap kasur yang mereka pesan juga sudah terkirim dan sampai di rumah. Tentunya agar tidak menimbulkan kecurigaan karena mereka sudah pergi cukup lama dari rumah. Meskipun sebenarnya kecurigaan itu sudah timbul dalam diri Sela.Sesampainya di rumah, benar saja. Kasur yang di pesan sudah sampai di diletakan di dalam kamar Arelia. Juga barang-barang Nindy yang ternyata sudah dikeluarkan dari kamarnya oleh Bi Lastri atas perintah Sela sewaktu keduanya pergi."Bibi yang keluarin semua barang-baranya Nindy?" tanya Faiz disaat Nindy diam terpaku melihat barang-barangnya tergelatak di lantai depan kamar Arelia. Rasanya seperti terusir dengan paksa sebab ia seolah tidak diizinkan untuk membereskan barangnya sendiri."Nyonya Sela yang meminta, Tuan," jawab Bi Lastri sambil menggendong Arelia yang baru saja ia buatkan susu."Ini tidak sopan, Bi. Bagaimana pun Nindy juga mempunyai privasi sendiri. Jadi harusnya biarkan dia yang memb
"Terima kasih, Pak.""Tolong langsung di kirim sekarang kasurnya ke alamat itu. Saya mau sudah sampai sebelum malam. Karena kasurnya akan digunakan untuk tidur malam ini."Faiz memastikan bahwa kasur yang baru saja dipesan untuk Nindy agar segera dikirim ke alamat yang sudah dia berikan. Sementara itu dia dan Nindy akan mencari makan sebelum pulang."Mau sekalian beli yang lain? Ada yang ingin kamu beli?"Nindy sekilas tersenyum lalu menggelengkan kepalanya. "Ya sudah, sekarang kita cari makan saja."Setelah mendapatkan tempat untuk makan, pesanan mereka juga langsung dibuatkan oleh pelayan."Kayanya aku butuh kepastian kamu, Mas. Secepatnya," ucap Nindy yang sudah menahan dari tadi ingin segera membahasnya dengan Faiz."Aku pasti akan kembali sama kamu. Memang secepatnya sedang aku usahakan, Sayang.""Kapan tepatnya? Ibu aku sudah tau semuanya, awalnya memang ibu marah dan gak mau sampai aku kembali sama kamu lagi. Tapi, aku meyakinkannya dengan menceritakan semuanya tentang pernika
"Yakin gak apa-apa kamu pulang sendiri bawa baby Arel? Mama sama Papa ikut, ya. Nanti kami pulang dengan sopir. Mama khawatir baby Arel sendirian di kursi belakang.""Selagi tidurnya di car seat, aku yakin aman. Aku juga gak akan ngebut, Mah. Aku pulang," ucap Faiz berpamitan pada kedua orang tuanya untuk pulang bersama Arelia saja.Pikiran Faiz tidak tenang jika ia hanya menunggu kabar dari Nindy yang tidak kunjung ada. Akhirnya ia putuskan untuk pulang, agar saat Nindy pulang nanti ia langsung bisa bertanya apa saja yang tejadi.Faiz berpikir jika di rumahnya hanya ada Bi Lastri karena Sela pergi entah ke mana dan dengan siapa. Dan kebiasaan Sela selalu pulang larut malam jika sudah keluar rumah disaat akhir pekan. Hal itu membuat Faiz ingin cepat pulang saja.Sesampainya di rumah, Faiz langsung menggendong Arelia yang tertidur saat di perjalanan. Beruntunglah Arelia tidak menangis karena itu pasti akan sangat merepotkan dirinya yang hanya seorang diri di dalam mobil.Baru saja menu
"Biar aku tanya, apa ibu bisa memaafkan laki-laki itu beserta keluarga setelah apa yang terjadi satu tahun yang lalu sama keluarga kita?" tanya Alika dengan tenang padahal dia sendiri memiliki permasalahan yang serius yang membuat dia tidak tenang setiap harinya, tetapi harus tetap bersikap biasa saja."Sebenarnya ibu hanya tidak suka dengan kesombongan keluarga, orang tua Faiz bukan dengan Faiznya. Kamu sendiri pasti setuju dengan ibu. Kita sudah kenal Faiz bertahun-tahun dan tau bagaimana baiknya dia selama ini pada kita. Tapi karena perbedaan diantara keluarga kita dengan keluarga dia, makanya orang tua Faiz tidak setuju anaknya menikah dengan kakakmu."Alika mengangguk. "Aku juga berpikiran yang sama seperti ibu. Tapi sebenarnya aku tidak bisa langsung mendukung keputusan kak Nin yang mau balik lagi sama kak Faiz. Meskipun kak Nin bilang dia percaya bisa kembali lagi sama-sama, tapi kita kan gak tau keluarganya apa bisa menerima atau menolak kita lagi untuk kedua kalinya. Ditambah
Rico mematung, ia seolah membeku disaat Sela meminta untuk mempraktekan apa yang sudah dia jelaskan.Lalu Sela tertawa kecil. "Bercanda, Kak. Aku cuman bercanda doang."Seketika Rico bisa bernafas dengan lega, ia sudah mencair karena ternyata Sela hanya bergurau saja. Padahal jika harus pun Rico mau melakukannya."Kak Rico ini tegang banget kaya belum pernah ciuman sama cewek aja," goda Sela yang merasa tidak puas dengan godaannya tadi.Sela memang orang yang cukup licik, ia akan memanfaatkan rasa suka Rico agar bisa tunduk dan membantu apapun yang dia perlukan. Padahal ia sama sekali tidak berniat untuk membalas rasa suka itu karena Rico bukanlah laki-laki tipe idealnya. Bahkan dengan Faiz saja, secara sadar Sela pasti lebih memilih Faiz dari fisik juga latar belakang keluarga, tentu juga dengan kekayaannya."Memang tidak pernah."Sela terkejut. "Bohong banget! Udah mau 27 tahun tapi belum pernah ciuman sama cewek? Kakak di Bali ngapain aja sih? Aku aja ciuman pertama itu pas SMA," u