“Maaf sekali Mas Ardhan, saya tidak bisa membantu. Atasan saya sedang tidak ada di tempat ja—““Jadi saya tidak bisa mendapatkan tanda tangannya?” tanya Ardhan, lelaki itu tampak kecewa.“Tetapi bohong,” ujar Kinanthi seraya memberikan kertas tersebut kepada pemilknya, ia tertawa keras melihat ekpresi Ardhan tadi. Sedangkan laki-laki yang digoda hanya bisa menggaruk kulit kepalanya. Ia tak menyangka jika Kinanthi akan mempermainkannya.Ardhan yang sempat tersulut emosi mendadak reda karena melihat senyum perempuan itu begitu manis. “Dia cantik ya kalau tersenyum begitu,” ujar si Kakek, ia turut menggoda Ardhan.“Terima kasih untuk tanda tangannya dan kejutannya ya,” kata Ardhan, Kinanthi da Kakek kembali tertawa.“Sama-sama, Mas Ardhan,” balasnya. Karena tujuannya sudah tercapai maka Ardhan pamit pulang ke kantornya. “Hati-hati di jalan,” ujar perempuan tersebut sembari mengantar mereka ke teras depan.Tugasnya sudah selesai, Ardhan kembali ke kantor dengan hati gembira. Ia tak menyan
“Tidak penting berbicara dengan orang itu,” jawab si Kakek. Ardhan mengerutkan dahinya, ia lantas melihat siapa yang menelponnya. “Orang itu mengajakmu makan siang,” lanjut si Kakek.Memang benar ucapan Kakek, orang yang menelpon Ardhan adalah Prama. “Kakek tahu dari mana yang menelponku adalah Pak Prama?” tanya Ardhan polos.“Hanya menduga saja, barangkali Kinanthi bercerita padanya sehingga ia menelponmu,” lanjut si Kakek.“Mbak Kinanthi cerita apa tentang aku ke Prama?”“Mana kutahu, aku hanya menebak saja. Barangkali alur ceritanya seperti itu,” ujar si Kakek sembari menyandarkan punggungnya di kursi.“Mari kita bertemu Mbak Kinanthi,” ajak Ardhan. Kakek tersenyum penuh arti, rencananya untuk mempertemukan Ardhan dan perempuan itu berjalan baik meskipun ia harus putar otak untuk membuat cerita bohong.“Sekarang atau saat makan siang?”“Nanti saat pulang kerja,” kata Ardhan. “Kalau sekarang aku kerja dulu, sebentar lagi jam istirahat, pekerjaanku masih banyak.”Kakek menganggukkan
Ardhan refleks membalikkan badannya, kini ia dan sosok laki-laki yang menyapanya saling berhadapan. Butuh waktu beberapa detik untuk Ardhan menjernihkan hati dan pikirannya.“Ke sini lagi Pak,” tanya sosok itu.“Benar Pak, saya rapat dadakan dengan staff perusahaan ini,” jawab Ardhan setelah mendengar bisikan Kakek.“Oh begitu, urusan pekerjaan rupanya,” jawab sosok tersebut. Kakek dan Ardhan saling berpandangan, ia tak tahu apa yang membuat lelaki temperamental ini berubah jadi lembut dan penyabar.“Tanya kepada dia ada di sini, aku ingin tahu,” ujar si Kakek.“Pak Prama, ada rapat juga di sini atau ingin bertemu mbak Kinanthi saja?” tanya Ardhan.“Oh tidak, saya hanya mengantarkan teman saja setelah makan siang tadi,” jawab Prama dengan nada yang lembut. “Kapan-kapan kita makan siang bareng lagi ya,” ajaknya.“Dengan senang hati Pak, jika saya tidak bawa bekal makanan,” jawab Ardhan, ia menggunakan bahasa yang sopan untuk menolak lelaki itu. Bagaimanapun Ardhan masih trauma menolak
“Harus senang karena ini tugas kantor,” ujar Ardhan, ia mencoba berdamai dengan keadaan.“Baguslah kalau begitu, itu baru calon orang sukses,” puji si Kakek. Ia membereskan meja kerjanya sebelum pulang ke rumah. Dalam waktu singkat ruangannya sudah rapi dan Ardhan keluar bersama si Kakek menuju lift yang terletak di ujung koridor.Kebetulan mereka berbarengan dengan Moritz dan Jonas, namun kedua perusuh itu sama sekali tidak berkutik, jangankan berbicara, menolehpun tidak. Kakek tentu saja heran dengan sikap mereka.“Syukurlah kalau mereka sudah tobat,” kata Kakek., Ardhan meresponnya hanya dengan senyuman.Setibanya di lantai dasar, Ardhan terus berjalan hingga lobby sedangkan Moritz dan Jonas pergi ke kantin. Kakek bertanya tujuan lelaki itu selanjutnya, apakah pulang atau mampir ke tempat lain.“Langsung pulang saja, Kek. Aku kangen kasurku,” jawab Ardhan sembari memakai jaketnya. Mesin motornya sudah menyala, kedua tangannya sudah diposisi dan perlahan pedal gas mulai diputar, mer
Pagi datang dengan cepat, alarm Ardhan kembali menyala, memaksanya untuk membuka mata. Setelah melakukan peregangan sebentar, lelaki itu langsung turun dari ranjangnya. Tangan kanannya meraih handuk merah kemudian keluar dari kamarnya, menuju kamar mandi.“Kamu sudah bangun, Dhan,” sapa si Ibu yang sibuk membuat sarapan. “Kamu baik-baik saja?”“Aku baik-baik saja, Bu,” jawabnya. Ardhan menunjukkan sisi dewasanya, ia tak mau ibunya terus mengkhawatirkannya. “Jangan khawatir, aku mencoba berdamai dengan keadaan.”“Kamu masuk kerja hari ini?”“Tentu saja, Bu. Aku punya banyak tanggung jawab jadi harus bersikap profesional,” jawabnya. Sang Ibu menatap anaknya dengan bangga.“Ibu bangga denganmu, Dhan. Tetapi kita tetap harus bertemu orang tua Karina, kita harus menyelesaikan masalah ini dengan baik.”“Pasti Bu, aku akan meminta ijin bossku untuk pulang setengah hari. Kita harus ke rumah Karina menjelaskan semuanya agar tidak ada kesalahpahaman nantinya,” ujar Ardhan.“Baiklah kalau begitu
“Orang yang berjodoh denganmu,” kata Kakek. “Perempuan yang ditakdirkan menjadi pasanganmu.”“Siapa dia Kek?” tanya Ardhan penasaran. “Apa mbak Kinanthi?”“Mungkin, aku juga tidak tahu. Tak semua urusanmu aku mengetahuinya, Dhan.”“Haruskah aku dekat dengan dia?” tanya Ardhan lagi.“Harus,” jawab kakek singkat padat dan tegas,“Kenapa harus? Kenapa mbak Kinanthi orangnya?” selidik Ardhan.“Karena kalian adalah partner kerja. Mau dekat dengan Kinanthi atau Prama?” tanya Kakek.“Tentu saja mbak Kinanthi, aku muak dengan orang bernama Prama Danureja.”“Kalau begitu lakukanlah,” ucap Kakek.Ardhan mengatakan jika ia akan memulainya setelah masalahnya dengan Karina selesai. Keduanya terus mengobrol sampai tiba di rumahnya. Kedua lelaki itu terkejut karena melihat ada sebuah mobil terparkir di depan rumah Ardhan.“Mobil siapa itu?” gumam Ardhan, ia mematikan mesin motornya kemudian memarkirkannya di garasi dan mulai mencari tahu siapa pemilik mobil putih itu.“Kamu sudah pulang, Dhan,” kata
“Gawat kenapa? Memangnya kenapa kalau Kinanthi di sini,” kata Ardhan selirih mungkin.“Ayah dan Ibumu pasti menduga jika ia masih ada hubungannya dengan Prama,” lanjut Kakek.“Aku rasa orang tuaku tidak akan berpikiran begitu,” sahut Ardhan, ia kemudian duduk di depan kedua orang tuanya.“Perempuan itu beneran sudah putus dengan kekasihnya ‘kan, Dhan?” kata ayahnya mengulang pertanyaannya tadi.“Aku sendiri juga tidak tahu, Yah. Mungkin mereka beneran putus,” jawab Ardhan sembari mengendikkan bahunya.“Panggil saja dia ke sini, biar ibu yang tanya,” sambung Ibu Ardhan bersemangat.Ardhan membulatkan matanya, ia terkejut mendengar hal tersebut. “Biarkan saja dia makan dulu, Bu. Nanti baru ajak ngobrol kalau sudah selesai makan,” ujar Ardhan, ia menolak makan bersama dengan Kinanthi.“Kenapa menunggu nanti, sekarang saja. Biar kita makan sama-sama,” ujar si Ibu.Ardhan pun menuruti kemauan orang tuanya untuk mengajak Kinanthi makan bersama mereka. Ia bangkit dari kursinya kemudian berja
Ardhan bingung hars menjawab apa ketika kedua orang tuanya menatap penuh harap kepadanya. Kakek yang sudah muncul lagi ikut memojokkannya. Lelaki itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Jawab saja, Dha, mereka membutuhkan jawabanmu. Katakan saja apa yang ada di hatimu,” saran si Kakek.“Seperti yang aku bilang tadi, terlalu dini untuk mengatakan suka pada perempuan lain,” jawabnya.“Tetapi kamu suka perempuan pekerja keras seperti mbak Kinanthi, bukan?” desak ibunya.“I –iya, aku suka perempuan pekerja keras. Tetapi bukan berarti aku suka dengan mbak Kinanthi,” jawabnya. “Ayah, Ibu aku baru saja melepas hubunganku dengan calon istriku. Tolong, jangan desak aku,” pinta Ardhan, ia meminta belas kasihan orang tuanya.“Iya Nak, Ibu tahu kamu masih sedih. Ibu hanya sekadar bertanya saja, jawabanmu itu membuat hatiku lega. Cukup puas.”“Sudah ... sudah, ayo kita pulang. Kasihan Ardhan capek, bicara mbak Kianthinya dilanjut besok lagi,” tegas sang ayah. Ia meminta kunci pada Ardhan karena