Ardhan refleks membalikkan badannya, kini ia dan sosok laki-laki yang menyapanya saling berhadapan. Butuh waktu beberapa detik untuk Ardhan menjernihkan hati dan pikirannya.“Ke sini lagi Pak,” tanya sosok itu.“Benar Pak, saya rapat dadakan dengan staff perusahaan ini,” jawab Ardhan setelah mendengar bisikan Kakek.“Oh begitu, urusan pekerjaan rupanya,” jawab sosok tersebut. Kakek dan Ardhan saling berpandangan, ia tak tahu apa yang membuat lelaki temperamental ini berubah jadi lembut dan penyabar.“Tanya kepada dia ada di sini, aku ingin tahu,” ujar si Kakek.“Pak Prama, ada rapat juga di sini atau ingin bertemu mbak Kinanthi saja?” tanya Ardhan.“Oh tidak, saya hanya mengantarkan teman saja setelah makan siang tadi,” jawab Prama dengan nada yang lembut. “Kapan-kapan kita makan siang bareng lagi ya,” ajaknya.“Dengan senang hati Pak, jika saya tidak bawa bekal makanan,” jawab Ardhan, ia menggunakan bahasa yang sopan untuk menolak lelaki itu. Bagaimanapun Ardhan masih trauma menolak
“Harus senang karena ini tugas kantor,” ujar Ardhan, ia mencoba berdamai dengan keadaan.“Baguslah kalau begitu, itu baru calon orang sukses,” puji si Kakek. Ia membereskan meja kerjanya sebelum pulang ke rumah. Dalam waktu singkat ruangannya sudah rapi dan Ardhan keluar bersama si Kakek menuju lift yang terletak di ujung koridor.Kebetulan mereka berbarengan dengan Moritz dan Jonas, namun kedua perusuh itu sama sekali tidak berkutik, jangankan berbicara, menolehpun tidak. Kakek tentu saja heran dengan sikap mereka.“Syukurlah kalau mereka sudah tobat,” kata Kakek., Ardhan meresponnya hanya dengan senyuman.Setibanya di lantai dasar, Ardhan terus berjalan hingga lobby sedangkan Moritz dan Jonas pergi ke kantin. Kakek bertanya tujuan lelaki itu selanjutnya, apakah pulang atau mampir ke tempat lain.“Langsung pulang saja, Kek. Aku kangen kasurku,” jawab Ardhan sembari memakai jaketnya. Mesin motornya sudah menyala, kedua tangannya sudah diposisi dan perlahan pedal gas mulai diputar, mer
Pagi datang dengan cepat, alarm Ardhan kembali menyala, memaksanya untuk membuka mata. Setelah melakukan peregangan sebentar, lelaki itu langsung turun dari ranjangnya. Tangan kanannya meraih handuk merah kemudian keluar dari kamarnya, menuju kamar mandi.“Kamu sudah bangun, Dhan,” sapa si Ibu yang sibuk membuat sarapan. “Kamu baik-baik saja?”“Aku baik-baik saja, Bu,” jawabnya. Ardhan menunjukkan sisi dewasanya, ia tak mau ibunya terus mengkhawatirkannya. “Jangan khawatir, aku mencoba berdamai dengan keadaan.”“Kamu masuk kerja hari ini?”“Tentu saja, Bu. Aku punya banyak tanggung jawab jadi harus bersikap profesional,” jawabnya. Sang Ibu menatap anaknya dengan bangga.“Ibu bangga denganmu, Dhan. Tetapi kita tetap harus bertemu orang tua Karina, kita harus menyelesaikan masalah ini dengan baik.”“Pasti Bu, aku akan meminta ijin bossku untuk pulang setengah hari. Kita harus ke rumah Karina menjelaskan semuanya agar tidak ada kesalahpahaman nantinya,” ujar Ardhan.“Baiklah kalau begitu
“Orang yang berjodoh denganmu,” kata Kakek. “Perempuan yang ditakdirkan menjadi pasanganmu.”“Siapa dia Kek?” tanya Ardhan penasaran. “Apa mbak Kinanthi?”“Mungkin, aku juga tidak tahu. Tak semua urusanmu aku mengetahuinya, Dhan.”“Haruskah aku dekat dengan dia?” tanya Ardhan lagi.“Harus,” jawab kakek singkat padat dan tegas,“Kenapa harus? Kenapa mbak Kinanthi orangnya?” selidik Ardhan.“Karena kalian adalah partner kerja. Mau dekat dengan Kinanthi atau Prama?” tanya Kakek.“Tentu saja mbak Kinanthi, aku muak dengan orang bernama Prama Danureja.”“Kalau begitu lakukanlah,” ucap Kakek.Ardhan mengatakan jika ia akan memulainya setelah masalahnya dengan Karina selesai. Keduanya terus mengobrol sampai tiba di rumahnya. Kedua lelaki itu terkejut karena melihat ada sebuah mobil terparkir di depan rumah Ardhan.“Mobil siapa itu?” gumam Ardhan, ia mematikan mesin motornya kemudian memarkirkannya di garasi dan mulai mencari tahu siapa pemilik mobil putih itu.“Kamu sudah pulang, Dhan,” kata
“Gawat kenapa? Memangnya kenapa kalau Kinanthi di sini,” kata Ardhan selirih mungkin.“Ayah dan Ibumu pasti menduga jika ia masih ada hubungannya dengan Prama,” lanjut Kakek.“Aku rasa orang tuaku tidak akan berpikiran begitu,” sahut Ardhan, ia kemudian duduk di depan kedua orang tuanya.“Perempuan itu beneran sudah putus dengan kekasihnya ‘kan, Dhan?” kata ayahnya mengulang pertanyaannya tadi.“Aku sendiri juga tidak tahu, Yah. Mungkin mereka beneran putus,” jawab Ardhan sembari mengendikkan bahunya.“Panggil saja dia ke sini, biar ibu yang tanya,” sambung Ibu Ardhan bersemangat.Ardhan membulatkan matanya, ia terkejut mendengar hal tersebut. “Biarkan saja dia makan dulu, Bu. Nanti baru ajak ngobrol kalau sudah selesai makan,” ujar Ardhan, ia menolak makan bersama dengan Kinanthi.“Kenapa menunggu nanti, sekarang saja. Biar kita makan sama-sama,” ujar si Ibu.Ardhan pun menuruti kemauan orang tuanya untuk mengajak Kinanthi makan bersama mereka. Ia bangkit dari kursinya kemudian berja
Ardhan bingung hars menjawab apa ketika kedua orang tuanya menatap penuh harap kepadanya. Kakek yang sudah muncul lagi ikut memojokkannya. Lelaki itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Jawab saja, Dha, mereka membutuhkan jawabanmu. Katakan saja apa yang ada di hatimu,” saran si Kakek.“Seperti yang aku bilang tadi, terlalu dini untuk mengatakan suka pada perempuan lain,” jawabnya.“Tetapi kamu suka perempuan pekerja keras seperti mbak Kinanthi, bukan?” desak ibunya.“I –iya, aku suka perempuan pekerja keras. Tetapi bukan berarti aku suka dengan mbak Kinanthi,” jawabnya. “Ayah, Ibu aku baru saja melepas hubunganku dengan calon istriku. Tolong, jangan desak aku,” pinta Ardhan, ia meminta belas kasihan orang tuanya.“Iya Nak, Ibu tahu kamu masih sedih. Ibu hanya sekadar bertanya saja, jawabanmu itu membuat hatiku lega. Cukup puas.”“Sudah ... sudah, ayo kita pulang. Kasihan Ardhan capek, bicara mbak Kianthinya dilanjut besok lagi,” tegas sang ayah. Ia meminta kunci pada Ardhan karena
“Menjadi gila dan aneh seperti dia,” jawab Kakek. “Kamu siap meladeni orang seperti dia?”“Siap Kek, aku ingin tahu sejauh mana dia akan menggangguku,” kata Ardhan berusaha setenang mungkin padahal hatinya bergemuruh dan perasaan takut juga menghampirinya.Ia keluar kamar untuk sarapan, Ardhan perlu mengisi tenaganya. Barangkali nanti ia diminta atasannya untuk mengurus Prama. Lelaki itu menyicipi semua makanan yang ada di atas meja, ia memuji masakan ibunya.“Terima kasih Ardhan, anak ibu yang paling tampan,” respon ibunya. Percakapan manis di meja makan itu mampu membuat Ardhan tersenyum, tentu saja itu menjadi awal yang baik baginya sebelum menghadapi kekacauan akibat perbuatan seseorang.Usai sarapan dan membawa bekalnya keluar, Ardhan segera menyiapkan motornya. Tak lupa ia memakai helm dan jaket kulit hitamnya. “Aku pergi dulu ya, Bu.”“Hati-hati di jalan ya Nak,” sahut ibunya. Tak lama kemudian motornya bergerak menjauh dari rumahnya, Kakek sudah mendampinginya sejak tadi. Moto
Kakek tak bereaksi atas perkataan Ardhan barusan, tentu saja hal itu membuat lelaki berlesung pipi itu heran. “Aku benar ‘kan, Kek?” ujarnya meminta validasi dari si Kakek.“Bisa jadi, tetapi kita tidak fokus pada pelaku melainkan bagaimana perusahaan kalian bisa terus menjalin kerjasama bukan,” kata si Kakek.Ardhan setuju dengan apa yang dikatakan oleh pria tua itu, karena ia bertanggung jawab atas kerjasama tersebut. Sudah seharusnya ia berhubungan baik dengan mereka, jangan sampai kejadian seperti ini terulang lagi.“Kamu harus terus berkoordinasi dengan Kinanthi,” imbuh Kakek. Ardha seketika menatap pria tua itu. “Sebatas rekan kerja.”“Rekan kerja ya, tidak lebih,” ucap Ardhan. Kakek menganggukkan kepalanya dan tersenyum.Masalah kesalahpahaman tersebut akhirnya selesai juga, perusahaan Kinanthi kembali bekerja ama dengan perusahaan Ardhan. Kedua perwakilan kantor itu sepakat akan menjaga komunikasi agar kerjasama mereka berjalan dengan lancar.Kinanthi mengantarkan Ardhan hingg