Ardhan bingung hars menjawab apa ketika kedua orang tuanya menatap penuh harap kepadanya. Kakek yang sudah muncul lagi ikut memojokkannya. Lelaki itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Jawab saja, Dha, mereka membutuhkan jawabanmu. Katakan saja apa yang ada di hatimu,” saran si Kakek.“Seperti yang aku bilang tadi, terlalu dini untuk mengatakan suka pada perempuan lain,” jawabnya.“Tetapi kamu suka perempuan pekerja keras seperti mbak Kinanthi, bukan?” desak ibunya.“I –iya, aku suka perempuan pekerja keras. Tetapi bukan berarti aku suka dengan mbak Kinanthi,” jawabnya. “Ayah, Ibu aku baru saja melepas hubunganku dengan calon istriku. Tolong, jangan desak aku,” pinta Ardhan, ia meminta belas kasihan orang tuanya.“Iya Nak, Ibu tahu kamu masih sedih. Ibu hanya sekadar bertanya saja, jawabanmu itu membuat hatiku lega. Cukup puas.”“Sudah ... sudah, ayo kita pulang. Kasihan Ardhan capek, bicara mbak Kianthinya dilanjut besok lagi,” tegas sang ayah. Ia meminta kunci pada Ardhan karena
“Menjadi gila dan aneh seperti dia,” jawab Kakek. “Kamu siap meladeni orang seperti dia?”“Siap Kek, aku ingin tahu sejauh mana dia akan menggangguku,” kata Ardhan berusaha setenang mungkin padahal hatinya bergemuruh dan perasaan takut juga menghampirinya.Ia keluar kamar untuk sarapan, Ardhan perlu mengisi tenaganya. Barangkali nanti ia diminta atasannya untuk mengurus Prama. Lelaki itu menyicipi semua makanan yang ada di atas meja, ia memuji masakan ibunya.“Terima kasih Ardhan, anak ibu yang paling tampan,” respon ibunya. Percakapan manis di meja makan itu mampu membuat Ardhan tersenyum, tentu saja itu menjadi awal yang baik baginya sebelum menghadapi kekacauan akibat perbuatan seseorang.Usai sarapan dan membawa bekalnya keluar, Ardhan segera menyiapkan motornya. Tak lupa ia memakai helm dan jaket kulit hitamnya. “Aku pergi dulu ya, Bu.”“Hati-hati di jalan ya Nak,” sahut ibunya. Tak lama kemudian motornya bergerak menjauh dari rumahnya, Kakek sudah mendampinginya sejak tadi. Moto
Kakek tak bereaksi atas perkataan Ardhan barusan, tentu saja hal itu membuat lelaki berlesung pipi itu heran. “Aku benar ‘kan, Kek?” ujarnya meminta validasi dari si Kakek.“Bisa jadi, tetapi kita tidak fokus pada pelaku melainkan bagaimana perusahaan kalian bisa terus menjalin kerjasama bukan,” kata si Kakek.Ardhan setuju dengan apa yang dikatakan oleh pria tua itu, karena ia bertanggung jawab atas kerjasama tersebut. Sudah seharusnya ia berhubungan baik dengan mereka, jangan sampai kejadian seperti ini terulang lagi.“Kamu harus terus berkoordinasi dengan Kinanthi,” imbuh Kakek. Ardha seketika menatap pria tua itu. “Sebatas rekan kerja.”“Rekan kerja ya, tidak lebih,” ucap Ardhan. Kakek menganggukkan kepalanya dan tersenyum.Masalah kesalahpahaman tersebut akhirnya selesai juga, perusahaan Kinanthi kembali bekerja ama dengan perusahaan Ardhan. Kedua perwakilan kantor itu sepakat akan menjaga komunikasi agar kerjasama mereka berjalan dengan lancar.Kinanthi mengantarkan Ardhan hingg
“Mungkin ada hubungannya dengan perusahaan ini, coba kamu cari perusahaan ini di situ,” tunjuk Kakek ke arah ponsel Ardhan.Lelaki itu menuruti perkataan Kakek, dirinya juga penasaran dengan perusahaan tersebut. Ardhan meraih ponselnya dan mulai melakukan pencarian di internet tentang perusahaan itu. “Di sini disebutkan jika perusahaan ini bukan perusahaan baru, sudah berdiri sejak sepuluh tahun yang lalu.”“Sepuluh tahun yang lalu, berarti perusahaan lama.”“Tetapi perusahaan ini memang mengganti namanya baru-baru ini,” ujarnya.“Mengganti nama karena beda pemilik, apakah itu bisa?” tanya Kakek.“Tentu saja bisa, Kek. Tetapi perusahaan ini ada di daftar perusahaan potensial lho, sayang sekali jika tidak ditindak lanjuti.”“Kamu mau berhubungan lagi dengan Prama?” cecar Kakek.“Bagaimana ya Kek, aku jadi bingung,” ujar Ardhan, ia mengusap wajahnya dengan kasar. Kedua lelaki itu dikagetkan dengan suara ketukan dipintu.“Bossmu datang lagi,” kata si Kakek. Memang benar orang yang datang
“Ini pertanyaan saya yang terakhir, jika ada seseorang yang menyukai mbak Kinanthi tetapi dia secara tidak sengaja membawa mbak menuju situasi yang berbahaya. Apakah mbak Kinanthi tetap mau bersama orang itu?”“Maksud Mas Ardhan apa sih? Aku tidak paham,” tanya Kinanthi.“Kalau begitu lupakan saja,” ucap Ardhan.“Maaf Mas, tetapi saya sungguh tidak paham,” ulang Kinanthi. “Situasi berbahaya apa?”“Tidak usah dipikirkan mbak, tidak penting kok. Saya pulang dulu ya,” kata Ardhan. Ia melanjutkan langkahnya namun Kinanthi menarik tangannya.“Tunggu sebentar, jawaban saya atas pertanyaan Mas Ardhan tadi adalah saya tetap mau bersama orang itu karena saya dia akan melindungi saya,” jawab Kinanthi sembari menatap mata Ardhan. “Maaf kalau jawaban saya kurang tepat tetapi itu jujur dari dalam hati.”“Terimakasih mbak Kinanthi atas jawabannya, saya pergi dulu,” kata Ardhan. Ia membalikkan badan lalu berjalan menuju parkiran. Kakek melihat adegan itu dengan wajah sumringah akhirnya ada interaksi
“Mana mungkin aku tahu, aku tidak mengatur jodohmu,” ucap si Kakek panik ketika ditembak pertanyaan seperti itu oleh Ardhan. “Tetapi tak ada salahnya untuk mencoba mencari tahu. Mungkin memang benar dia jodohmu.”“Kalau gagal lagi bagaimana?”“Cari lagi yang lain, sampai bertemu orang yang pas dan kamu yakin dia jodohmu,” timpal Kakek.“Akan kupertimbangkan nanti, sekarang aku akan pulang dulu,” gumam Ardhan. Motornya bergerak maju ketika antrian sudah semakin berkurang. Sore ini Ardhan kembali melewati jalur alternatif, ia sudah rindu melihat langit sore yang menguning, sekaligus ingin menghibur dirinya yang lelah bekerja seharian ke sana ke mari.Ardhan melambat laju motornya untuk menikmati terpaan angin sore serta melihat keindahan langit. Seakan semua lelahnya menjadi hilang, kakek membiarkan lelaki itu berbuat sesuka hatinya. Ketika sedang menikmati udara sore hari mendadak ada mobil yang mendahuluinya dan berhenti tak jauh dari posisi Ardhan saat ini.“Itu mobil Prama,” kata Ka
“Mbak Kinanthi tidak suka denganku, Bu. Masa setelah pacaran dengan Pak Prama lalu menjalin hubungan denganku. Seleranya turun,” ujar Ardhan.“Memangnya kamu kenapa? Kamu tidak kalah keren dari Prama,” kata ibunya tidak terima.“Tetapi kami tidak setara Bu, aku pegawai sedangkan Pak Prama Boss dari banyak perusahaan. Aku masih pakai motor kalau Pak Prama ke mana-mana naik mobil. Restoran yang kemarin kita datangi itu milik keluarga Pak Prama lho, Bu,” jelas Ardhan panjang lebar. “Jadi tolong jangan berharap lebih antara mbak Kinanthi dan aku.”Ayah dan Ibunya baru sadar akan perbedaan antara anaknya dengan mantan Kinanthi yang sebelumnya, bagaikan langit dan bumi. Kakek yang berada di antara mereka menyimak apa yang dikatakan oleh Ardhan memang benar adanya. Namun cinta bukan melulu soal harta tetapi ada rasa nyaman juga.“Terus bagaimana, kalian tidak bisa lanjut?”“Lanjut apanya? Kami ini teman Bu, rekan bisnis. Tidak ada hubungan spesial di antara kami berdua,” tegas Ardhan.“Ya su
“Entahlah, aku tidak tahu. Mungkin dia merencanakan makan siang denganmu, dia pernah mengatakan hal itu ‘kan?” ujar si Kakek. Ardhan menganggukkan kepalanya, ia ingat ketika Prama mengajaknya makan siang bersama. “Bersikap waspadalah dengan orang itu, Dhan.”“Aku selalu ingat kata-kata kakek itu,” sahut Ardhan. Mereka melangkah beriringan memasuki ruangan kerja Ardhan. Ia melakukan rutinitasnya seperti biasa, bersih-bersih ruangan tersebut, menghidupkan komputernya dan menyiapkan berkas-berkas yang akan dikerjakan hari ini.Sebelum memulai pekerjaannya, Ardhan memeriksa kembali ponselnya. “Semalam kamu lupa menghubungi Kinanthi ya,” tanya si Kakek. Ardha menjawab dengan anggukan kepalanya.”Sebentar lagi kamu akan bertemu dengan perempuan itu, bersiaplah.”“Maksudnya apa Kek?” tanya Ardhan, lelaki itu kebingungan.Belum sempat Kakek menjawab, terdengar suara ketukan di pintu kerjanya. Tak lama kemudian Pak Bobby masuk ke dalam ruangannya dan memberitahunya jika perusahaan kinanthi meny