Tanpa memikirkan perasaan Aruna, kesepakatan antara Bagas dan orangtuanya tercapai. Dewi dan Dimas setuju akan memenuhi syarat yang diajukan oleh putra mereka.
Orang tua Bagas pun memberitahu, bahwa pernikahan Bagas dan Carissa akan dilaksanakan tiga hari lagi. Mereka meminta Bagas untuk fokus mempersiapkan pernikahan."Ingat Bagas … Nanti sore, kamu dan Carissa harus pergi ke butik untuk fitting baju pengantin. Kamu tidak boleh terlambat. Jangan permalukan kami di depan orang tua Carissa," ujar Dewi, tanpa mengindahkan keberadaan Aruna yang mendengar perkataannya.Bagas tidak memiliki pilihan. Dia setuju melakukan permintaan orang tuanya."Bagas akan pergi tepat waktu, asal ada orang yang menemani Aruna di rumah sakit. Bagas tidak tenang meninggalkan Aruna sendirian.""Itu urusan Mamah. Kamu fokus saja pada pernikahanmu dan Carissa," tukas Dewi.Karena tidak ada lagi hal yang harus dibicarakan, Dewi dan Dimas pun bergegas pergi dari kamar rawat. Mereka pergi tanpa sedikitpun bicara pada Aruna."Sayang … aku harap kamu memahami keputusanku. Aku terpaksa setuju menikah dengan Carissa demi masa depan kita. Setidaknya sekarang, papah dan mamah sudah menerimamu menjadi menantu," tutur Bagas setelah kepergian orang tuanya.Aruna bergeming. Hatinya terlalu hancur untuk menimpali kata-kata suaminya. Dia pun hanya bisa menangis.Kini, bukan hanya kehilangan anak, menjadi wanita mandul dan kehilangan kaki, tapi Aruna juga harus rela berbagi suami dengan wanita lain.Aruna merasa mengalami mimpi buruk yang tiada habisnya. Dia hampir tidak percaya dengan semua kejadian buruk yang menimpanya. Aruna ingin bangun dari mimpinya, tapi sayang semua yang dialaminya adalah nyata."Sayang … aku mohon jangan terus menangis. Kamu membuatku sedih."Bagas menghapus air mata di wajah istrinya seraya menatapnya dengan sendu. Dia pun berusaha menghiburnya."Runa sayang … matamu bisa bengkak. Aku mohon jangan menangis lagi. Aku tidak mau wajah cantik mu menjadi cacat."Aruna tersenyum getir. Dia menatap Bagas dengan sinis. "Untuk apa wajah cantik kalau sebentar lagi aku harus membagi mu dengan wanita lain? Kecantikanku tidak cukup membuatmu menjadi milikku seorang.""Runa ... tolong jangan bicara begitu. Aku tetap milikmu, sayang."Bagas kembali mengusap air mata di wajah Aruna, lalu mengecup kedua mata sembabnya. Dia menatap manik hitam Aruna untuk meyakinkan."Meski nanti aku sudah menikah dengan Carissa. Aku tetap milikmu seorang, sayang. Percayalah ... hati dan cintaku hanya milikmu, Runa."Aruna menggigit bibir, menahan isak. Kata-kata Bagas tidak sedikitpun menenangkan hatinya. Aruna malah semakin bersedih. Namun, dia tidak mau terlihat menyedihkan di mata Bagas. Semua rasa sakit hati, kecewa, sedih, dan cemburu, Aruan telan bulat-bulat sendirian."Aku mencintai kamu, Aruna. Percayalah ... cintaku hanya untukmu."Bagas mengecup kening Aruna, lalu mengusap air mata yang kembali jatuh di wajahnya. Bagas pun kembali menatap manik hitam istrinya."Aku mohon jangan bersedih lagi. Seharusnya kamu senang, karena sekarang mamah dan papah sudah menerimamu," tutur Bagas seraya tersenyum menenangkan.Aruna mendengus. Andai orang tua Bagas menerimanya tanpa embel-embel pernikahan kedua mungkin Aruna akan menyambut gembira hal tersebut.Tapi yang Aruna rasakan saat ini justru sebaliknya, Aruna merasa hancur. Tidak bahagia sedikitpun. Dia pun merutuki keputusan Bagas yang setuju untuk menikah lagi, padahal saat ini kondisinya sedang dalam keadaan tidak berdaya."Entahlah Bagas. Aku sendiri tidak bisa menahan air mataku. Semua ini terlalu berat dan menyakitkan. Hanya air mata yang bisa mewakili rasa hancur yang aku alami saat ini."Bagas menatap sendu istrinya. "Runa … air matamu membuatku ingin ikut menangis. Tolonglah … hapus kesedihanmu demi aku."Aruna bergeming. Dia memalingkan wajah dari Bagas, pria yang sampai saat ini masih sangat dicintainya.Beberapa jam kemudian …Bagas berpamitan pada Aruna. Dia hendak pergi ke butik untuk memenuhi janji pada kedua orangtuanya ."Aku pergi dulu. Nanti setelah urusanku selesai, aku akan langsung pulang kemari," ujar Bagas seraya mengecup kening istrinya.Aruna bergeming. Tidak menimpali. Bibirnya terkatup. Tidak berniat berucap sepatah katapun. Aruna memilih bersikap bungkam."Sayang … aku tidak bisa meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini. Tolong bicaralah! Jangan terus mendiamkan aku," pinta Bagas. Merasa frustasi dengan kediaman istrinya.Dari semenjak pembicaraan tadi siang, Aruna tidak sedikitpun bicara pada Bagas. Dia bahkan terus memalingkan wajah, seolah tidak mengharapkan kehadirannya."Runa … lihat aku!"Bagas menarik dagu Aruna agar menatap padanya. Nampak, mata Aruna yang sembab masih dipenuhi air mata. Aruna belum berhenti menangis."Aku mohon berhenti menangis! Aku janji hanya akan pergi sebentar."Bagas mengusap air mata Aruna dengan kesal. Mengira istrinya bersedih karena tidak mau ditinggal pergi."Aku hanya pergi untuk mencoba baju pengantin, Runa. Setelah selesai, aku akan segera pulang.""Pergilah!" ucap Aruna.Perkataan Bagas malah membuat dada Aruna semakin sesak. Tangan Aruna pun tanpa sadar meremas sprei. Merasa sakit mendengar Bagas yang menegaskan tujuan kepergiannya."Aku tidak akan melarang mu pergi Bagas. Jadi pergilah! Aku akan membiasakan diri untuk hidup tanpamu.""Runa …." lirih Bagas. Merasa kecewa mendengar kata-kata istrinya."Maaf tuan, nyonya kembali mengirim pesan agar Anda segera berangkat. Apa yang harus saya katakan?"Bagas mengalihkan perhatian pada wanita paruh baya yang berdiri di belakangnya. Nampak, wanita itu terlihat bingung.Beberapa puluh menit lalu, seorang wanita paruh baya datang ke ruang rawat Aruna. Wanita itu adalah salah satu pelayan di rumah keluarga Birendra. Orang tua Bagas sengaja mengirim wanita tersebut untuk menemani Aruna, sekaligus memintanya agar memastikan Bagas pergi setelah kedatangannya."Pergilah! Sudah ada orang yang akan menemaniku. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan ku," pinta Aruna dengan berat hati.Aruna memang tidak ingin Bagas pergi untuk bertemu calon istrinya. Tapi di sisi lain, Aruna pun butuh waktu menyendiri tanpa suaminya. Hati Aruna selalu sakit setiap kali melihat Bagas.Bagas menghela nafas. Dia melirik istrinya. "Baiklah … aku pergi. Kamu baik-baik lah disini. Jika ada apa-apa, segera minta Lastri untuk menghubungiku."Aruna mengangguk. Tanpa berniat menimpali perkataan suaminya.Bagas menatap tegas Lastri, pelayan yang ibunya kirim untuk menemani Aruna."Jaga Aruna dengan baik. Layani dia! Ingat, aku tidak akan memaafkanmu jika sampai terjadi hal buruk padanya.""Baik tuan! Saya akan melayani nyonya muda dengan sebaik mungkin."Bagas membungkukkan badan, lalu Mengecup kening Aruna. Pria itu pun pergi setelah kembali berpamitan pada istrinya."Bagas," lirih Aruna begitu melihat kepergian Bagas. Dada Aruna kembali sakit mengingat tujuan kepergian suaminya. "Kenapa kamu begitu kejam padaku, Bagas? Kenapa?"Tangis Aruna kembali luruh. Aruna menumpahkan seluruh kesedihan dan rasa sakit hatinya. Aruna merasa takut. Tidak bisa membayangkan hidupnya setelah dimadu oleh suaminya.Siang beranjak malam, Aruna termenung seraya mencengkram ponsel. Baru saja, Aruna mendapat pesan dari Bagas bahwa pria itu tidak bisa kembali ke rumah sakit. Bagas beralasan harus menghadiri pesta bujang yang diadakan oleh teman-teman calon istrinya. Aruna pun tersenyum getir. Belum apa-apa, Bagas sudah melupakan janjinya. Padahal sebelumnya, Bagas berjanji akan langsung pulang ke rumah sakit setelah acara fitting baju pengantinnya selesai. 'Rupanya ... pesta lajang itu lebih penting bagimu dari pada aku, Bagas. Sungguh terlalu, kamu lebih memilih pergi berpesta dari pada menemaniku yang sedang terbaring sakit,' batin Aruna. Merasa kecewa pada suaminya. "Nyonya … sudah larut malam. Sebaiknya, anda istirahat." Aruna melirik Lastri yang dari tadi duduk disampingnya. Terlihat wanita itu menatap sendu padanya. Meski Aruna belum terlalu mengenal Lastri, tapi Aruna bisa menilai Lastri adalah wanita baik. Dari semenjak Lastri bersamanya, wanita itu tidak banyak bicara. Dia diam menemani
"A-apa maksud kamu?" Bagas menatap bingung Aruna yang malah terlihat semakin marah. Aruna pun menatap tajam suaminya. "Bukan hanya perhatian pada calon istrimu, tapi Kamu juga sangat perhatian pada teman-temannya. Tidak perlu menyembunyikan apapun lagi dariku, Bagas. Aku hanya ingin tahu sudah berapa lama kamu menjalin hubungan dengan wanita itu?" "Aruna. A-Aku-," "Berapa lama?" tegas Aruna. Tanpa menurunkan tatapan tajamnya terhadap Bagas. "Satu bulan? Dua bulan atau tiga bulan? Sudah berapa lama kamu berselingkuh?" Bagas terhenyak. Dia menatap sendu istrinya. Bagas meraih tangan Aruna, lalu menggenggamnya dengan erat. "Maafkan aku, Runa. Lima bulan lalu, mamah mengenalkannya padaku. Saat itu perusahaan kami sedang kolaps. Dan hanya keluarga Carissa yang bisa membantu kami. Aku hanya menjalin hubungan pertemanan dengannya, aku sungguh tidak mengkhianatimu." "Teman selingkuhan maksudmu?" dengus Aruna seraya menghempas tangan suaminya. Dia menatap Bagas dengan nyalang. "Mana ada
Mobil yang Aruna dan ibu mertuanya tumpangi sampai di pekarangan rumah keluarga Birendra. Aruna turun dari mobil dengan dibantu oleh Lastri. Dia pun bergeming melihat rumah besar milik mertuanya. Aruna merasa takjub dengan kemegahan rumah tersebut. Aruna pun kini sadar, alasan orang tua Bagas tidak mau menerimanya sebagai menantu. Dia tersenyum getir menyadari perbedaan antara dirinya dan Bagas. 'Ternyata kita memang beda kasta, Bagas. Kehidupan kita jauh berbeda, bagai langit dan bumi. Namun walau begitu, aku tidak mau menjadi bumi yang bisa kamu injak-injak," batin Aruna. Dewi tertawa melihat Aruna yang melongo. Dia pun mencibir menantunya. "Dasar udik! Pasti kamu baru pertama kali berkunjung ke rumah sebagus ini kan? Lihat, air liurmu sampai menetes. Ck!Ck!Ck! Dasar orang miskin!" Aruna terperanjat mendengar cibiran Ibu mertuanya. Baru sadar Dewi memperhatikannya. Aruna pun hanya bisa diam. Tidak menimpali. Aruna sadar memang baru pertama kali berkunjung ke rumah mewah dan me
Aruna turun dari taksi dengan di dibantu oleh Lastri.Sejenak, dia berdiri di depan hotel. Memperhatikan banner pernikahan yang memuat foto Bagas dan Carissa. Dalam foto tersebut, nampak Bagas dan Carissa saling beradu kening seraya tersenyum. Mereka nampak bahagia.Aruna menarik nafas dalam-dalam. Meringankan rasa sakit yang menyesakkan dada. Hatinya pedih melihat Bagas bermesraan dengan wanita lain. Aruna pun bertanya-tanya, kapan suaminya mengambil foto pernikahan? Apakah saat dirinya dirawat di rumah sakit ataukah dari jauh-jauh hari sebelumnya?"Ternyata, kamu tidak terpaksa menikahi wanita itu Bagas," lirih Aruna sambil masih menatap foto suaminya. "Kamu memang menginginkan pernikahan ini."Senyum bahagia di wajah Bagas menjelaskan isi hati pria itu pada Aruna. Bertahun-tahun menjalin hubungan dengan Bagas membuat Aruna sangat mengenal suaminya. Hingga dengan sekali lihat saja Aruna mengetahui, senyum bahagia Bagas pada foto pernikahannya tidak palsu. "Nyonya, Apa tidak sebai
"Aruna?"Tepat ketika Aruna dan Lastri keluar meninggalkan ruang resepsi, Bagas tanpa sengaja melihat ke arah istrinya. Bagas pun kaget mengetahui keberadaan Aruna di pesta pernikahannya. Seketika, senyum di wajah Bagas pun menghilang. 'Bukankah mamah bilang Aruna tidak akan datang? Kenapa dia ada disini?' batin Bagas. Mengingat perkataan ibunya yang mengatakan bahwa Aruna tidak jadi datang ke pesta pernikahan, karena ingin istirahat di rumah. Tadi setelah mengetahui Aruna tidak jadi datang ke pesta pernikahan, Bagas yang sebelumnya sempat khawatir pun merasa lega. Karena itu, sekarang Bagas leluasa melakukan peranannya sebagai mempelai pria dengan mengesampingkan rasa bersalahnya terhadap Aruna. 'Aruna pasti tidak baik-baik saja. Dia pasti sedih melihatku bersama Carissa,' batin Bagas. Menyentak pikirannya yang tercenung karena rasa kaget melihat keberadaan istrinya. 'Aku harus mengejar Aruna.'Bagas melangkah hendak menyusul Aruna. Namun, Carissa dengan cepat merangkul lengan
Aruna dan Lastri tiba di rumah. Mereka kaget melihat para pelayan di kediaman keluarga Birendra sedang berkumpul di ruang tengah menyaksikan berita tentang pernikahan Bagas dan Carissa bersama-sama. "Lihat, Den Bagas dan Nona Carissa serasi sekali! Den Bagas tampan dan nona Carissa cantik. Mereka pasangan yang sempurna." "Iya betul. Den Bagas memang cocok bersanding dengan Nona Carissa." Aruna mengepalkan tangan. Kesal mendengar celetukan yang diungkapkan para pelayan. Hatinya pun kembali sakit mendapati banyak orang yang mendukung pernikahan Bagas dan Carissa. Padahal Aruna sudah cukup sakit hati mendengar para tamu undangan memuji-muji Bagas dan istri barunya. Dia tidak menyangka, masih harus mendengar pujian tersebut di rumah. "Nyonya … sebaiknya, kita segera pergi ke kamar. Anda harus minum obat," ujar Lastri. Tidak tega melihat Aruna yang kembali sedih karena melihat berita tentang Bagas dan istri barunya.Aruna diam. Tidak menimpali. Ia takut air matanya kembali luruh saat m
Aruna duduk di depan meja rias. Dia mengoleskan bedak ke wajahnya dengan gerakan lambat. Tidak bersemangat untuk berhias. Aruna yakin, wanita manapun akan enggan berdandan jika berada dalam posisinya sekarang.Dulu, Aruna memang selalu ingin tampil cantik dihadapan Bagas. Meski dalam keadaan sakit atau pun malas, Aruna selalu memaksakan diri untuk berdandan, walau hanya memakai lipstik dan bedak.Namun sekarang, keinginan itu sudah sirna. Aruna tidak lagi peduli dengan penampilannya. Dia sudah terlanjur kecewa pada Bagas yang sudah mengkhianatinya. "Sayang … tersenyumlah! Wajahmu semakin cantik saat tersenyum," pinta Bagas. Melihat ekspresi wajah Aruna yang datar.Aruna mendengus. Bagaimana bisa ia tersenyum saat hatinya menangis. Namun rupanya, Bagas sama sekali tidak menangkap kesedihan yang Aruna rasakan. Pria itu malah mengecupi bahu Aruna seraya bergelayut manja padanya."Aku sangat merindukanmu, sayang."Aruna bergeming. Tidak menjawab. Hatinya terlalu sakit hingga tidak mengi
Lima hari berlalu, waktu terasa berjalan lambat bagi Aruna. Setiap hari, Aruna menanti kepulangan Bagas. Dia ingin segera melakukan terapi untuk kesembuhan kakinya. Setelah hampir dua Minggu menjalani kelumpuhan, Aruna sadar sangat membutuhkan kedua kakinya. Dia ingin melakukan segala aktivitas dengan kakinya sendiri, seperti yang biasanya dilakukan. Aruna merasa tidak enak hati pada Lastri yang selalu mengurusi segala keperluannya. Wanita itu melayani semua kebutuhan Aruna, termasuk membantunya membersihkan diri. Hal pribadi yang bahkan tidak bisa Aruna lakukan sendiri. Hari ini, hari yang dinanti Aruna pun tiba. Bagas dan Carissa akan pulang. Aruna ingat, Bagas mengatakan akan bulan madu lima hari. Artinya, penantian Aruna sudah berakhir. "Nyonya, makan dulu." Lastri masuk ke dalam kamar Aruna dengan membawa nampan di tangannya. Dia pun menyimpan nampan di atas meja, lalu melirik Aruna yang termenung di dekat jendela. Tidak sedikit pun terganggu oleh kehadirannya."Anda harus mi
Di rumah sakitWilliam Agnibrata yang sudah sadar sedang melakukan pemeriksaan kesehatan. Beberapa dokter pun bertanya tentang banyak hal padanya. Dokter bertanya tentang nama, keluarga, profesi dan hal terakhir tentang kecelakaan yang William alami. William mampu menjawab semua pertanyaan dokter dengan baik. Dia ingat semua hal tentang dirinya, termasuk kecelakaan yang terjadi padanya. "Syukurlah … Keadaan tuan William baik-baik saja. Kecelakaan yang dialaminya sama sekali tidak mengganggu ingatan tuan William, seperti yang kita takutkan. Tuan William hanya perlu istirahat untuk memulihkan kondisi tubuhnya," ujar salah satu dokter, setelah selesai melakukan pemeriksaan. Widia Agnibrata dan Kusuma Agnibrata pun senang mendengar kabar baik tentang keadaan putra Mereka. Orang tua William tidak menyangka, William yang beberapa Minggu lalu harus menjalani operasi karena pendarahan otak akibat kecelakaan yang dialaminya akan sadar dengan keadaan ingatan utuh. Padahal sebelumnya, Dokt
PLAK! Tangan Bagas melayang dan mendarat tepat di wajah Lastri. Membuat tubuh wanita paruh baya itu tersungkur dan menelungkup di atas lantai. Terlihat sebercak darah keluar dari ujung bibir kanan Lastri. Wanita itu pun hanya bisa menunduk sambil terduduk di atas lantai."Beraninya kamu membawa istriku pergi tanpa seizinku!" berang Bagas seraya menunjuk wajah lastri dengan penuh amarah.Bagas marah besar. Tadi, setelah selesai bicara dengan dokter, Bagas kaget mendapati Aruna yang tidak ada di depan ruang dokter. Bagas pun kalang kabut mencari keberadaan istrinya. Dia sudah bertanya pada perawat dan pengunjung yang berada di sana, tapi tidak ada satupun dari mereka yang melihat kepergian Aruna. Setelah Bagas menemukan Aruna dan Lastri yang berada di lobby rumah sakit. Dia pun mengajak mereka pulang. Dan setiba di rumah, Bagas meminta Aruna untuk istirahat di kamar. kini, Bagas pun tengah menuntut penjelasan dari pelayannya. Hanya saja, Bagas tidak bisa menahan emosi, hingga ia sa
Aruna dan Lastri berada di atap bangunan rumah sakit. Terlihat Aruna yang menangis. Meluapkan rasa sedih dan kecewanya karena pengkhianatan Bagas. Aruna meraung seraya memukuli dada. Meratapi kesengsaraan yang dialaminya setelah kecelakaan yang menimpanya.Lastri pun tidak mampu berbuat banyak. Wanita itu hanya diam. Dia berdiri di belakang Aruna seraya menatap iba padanya. "Bi … apa bibi sudah menemukan pria itu?" tanya Aruna. Melirik Lastri dengan berurai air mata. Aruna teringat pada William Agnibrata, pria yang sudah menabrak mobilnya.Lastri pun mengangguk. "Saya sudah menemukan tempat pria itu dirawat, Nyonya. Tapi, saya tidak bisa memastikan langsung keadaannya. Penjagaan di sana sangat ketat. Saya tidak diizinkan untuk mendekat." Aruna mengepalkan tangan. Merasa kesal pada keadaannya. Di saat Aruna harus berjuang mati-matian bertahan di samping Bagas hanya untuk bisa menjalani pengobatan demi mendapatkan kembali kemampuannya dalam berjalan, orang yang sudah membuat Aruna
Beberapa jam berlalu sejak Aruna menjalani pemeriksaan. Dia melakukan rontgen dan CT scan untuk mencari tahu penyebab kelumpuhan yang dialaminya.Aruna juga menjalani elektromiografi (EMG), guna memeriksa kontraksi otot-otot anggota gerak bagian bawahnya.Meski saat ini Aruna sama sekali belum dapat menggerakkan bagian bawah tubuhnya, tapi dari hasil pemeriksaan, dokter semakin yakin jika kelumpuhan yang Aruna alami hanya bersifat sementara. "Mari kita lakukan pengobatan dengan obat dan terapi. Saya akan meresepkan obat yang harus nyonya Aruna konsumsi untuk mengurangi peradangan yang terjadi. Dan untuk terapi, kita akan melakukan fisioterapi dan terapi okupasi. Jadwal terapi bisa kalian diskusikan dengan perawat yang bertugas," ujar dokter, setelah memberikan penjelasan tentang hasil pemeriksaan. Aruna dan Bagas pun mengangguk. Setuju dengan opsi pengobatan yang dokter berikan. Terlihat rasa lega dalam wajah Aruna. Dia merasa senang, karena dokter menjamin dirinya bisa kembali semb
Di dalam ruang pemeriksaan, udara terasa hening dan tenang. Matahari masuk melalui jendela-jendela besar, menyinari ruangan dengan cahaya terang. Pada ranjang pemeriksaan, terlihat Aruna sedang berbaring. Nampak, seorang dokter tengah memeriksa keadaan kakinya. Sedang di sebelah dokter tersebut, terlihat Bagas memperhatikan proses pemeriksaan istrinya. "Sayang sekali, kenapa anda tidak memberikan perawatan intensif terhadap luka istri anda. Jika hal itu dilakukan, mungkin kaki nyonya Aruna tidak akan menjadi kaku seperti ini," tutur dokter seraya merangsang gerakan pada kaki Aruna dengan memukul daerah lututnya. Bagas melirik Aruna. Nampak, wajah Aruna yang terlihat tegang tidak jauh berbeda dengan dirinya. Bagas dan Aruna sama-sama khawatir, karena belum mendapatkan penjelasan pasti tentang cedera kaki yang Aruna alami."Banyak hal yang terjadi setelah kecelakaan. Aruna membutuhkan waktu untuk menenangkan diri, karena itu kami tidak buru-buru mengambil tindakan pengobatan untuk ka
Aruna dan Bagas dalam perjalanan menuju rumah sakit. Nampak, keduanya sama-sama terdiam, Bagas tenggelam dalam pikirannya dan Aruna pun tenggelam dalam pikirannya sendiri. Di kursi belakang, Lastri memperhatikan kedua majikannya. Dia sempat khawatir pada Aruna yang mungkin akan hilang kendali setelah mengetahui kenyataan yang disembunyikan oleh suaminya, tapi dia lega karena ternyata Aruna mampu mengendalikan emosinya dengan baik. "Bagas," panggil Aruna. Memecah keheningan di dalam mobil. Bagas yang sedang menyetir pun menoleh. Dia tersenyum pada Aruna yang ternyata sedang menatapnya. "Kenapa?" Aruna kembali meluruskan pandangan. Menatap jalanan. "Berkendara seperti ini mengingatkanku pada kecelakaan yang aku alami tempo hari." Deg! Bagas dan Lastri sama-sama kaget mendengar Aruna yang tiba-tiba mengungkit kecelakaan yang dialaminya. "Hal itu sudah berlalu, sayang. Seharusnya, kamu tidak perlu lagi mengingat hal buruk itu. Aku tidak mau kamu bersedih," ujar Bagas. Menimpali pe
Matahari berada di ketinggian langit, kanopi biru cemerlang membentang dari ujung cakrawala satu ke ujung cakrawala lainnya. Dari kejauhan, terlihat hamparan langit tanpa awan membentang seakan tidak ada ujungnya.Aruna tersenyum memperhatikan langit cerah yang dilihatnya. Dia senang, karena setelah sekian lama terkurung dalam kamar, akhirnya bisa menghirup udara segar. Hari ini, Bagas menepati janjinya membawa Aruna terapi ke rumah sakit. Setelah satu Minggu menunggu, akhirnya Aruna akan melakukan terapi untuk kedua kakinya yang lumpuh. "Anda pasti gugup nyonya," ujar Lastri. Mengalihkan perhatian Aruna dari langit yang diperhatikannya. Aruna menoleh pada Lastri yang berdiri di sampingnya. Senyum Aruna pun merekah mendapati ekspresi wajah Lastri yang terlihat tegang. "Aku baik-baik saja. Aku justru tidak sabar ingin segera bertemu dokter," ucap Aruna. Lastri menarik nafas seraya tersenyum kaku. Sadar sikapnya sudah berlebihan, bukan Aruna. "Saya benar-benar gugup, Nyonya. Semog
Aruna tersenyum getir. Kata-kata Carissa seolah mempertegas posisinya. Walau Aruna istri pertama, tapi statusnya merupakan istri siri."Aku tahu," ucap Aruna singkat. Carissa tersenyum puas. Karena berhasil membuat wajah Aruna berubah pucat. Dia yakin, Aruna sadar betul dengan posisinya yang lebih unggul. "Maaf sudah mengganggu kalian. Aku akan pergi." Carissa berbalik. Dia mendekati Bagas, lalu tanpa malu melumat bibir suaminya. "Carissa akan bersiap memakai lingerie ini. Mas jangan lama-lama disini," ucapnya dengan nada manja. Aruna memejamkan mata. Tanganny terkepal kuat. Hati Aruna pedih. Bukan karena cemburu, tapi karena Aruna kesal tidak mampu berbuat apapun saat Bagas dan Carissa mempertontonkan kemesraan dihadapannya. "Pergilah!" usir Bagas seraya mendorong tubuh Carissa. Carissa pun tidak menentang. Dia pergi dari kamar Aruna dengan senyum penuh kemenangan. Bagas memegang tangan Aruna. "Maafkan Carissa. Orang tuanya terlalu memanjakan dia. Jadi, Carissa agak sedikit ma
Dimas dan Dewi berdiri di depan rumah. Mereka menyambut kepulangan putra dan menantu baru mereka. Dimas dan Dewi pun memeluk Bagas dan Carissa bergantian. Carissa segera memberikan hadiah mahal untuk kedua mertuanya. Sedangkan Bagas bergegas pergi menuju kamarnya. Bagas membuka pintu kamar. Keningnya berkerut saat melihat kamarnya yang ternyata kosong. Bagas pun segera bertanya kepada ibunya. "Mah ... Aruna dimana?" Dewi terkesiap mendengar pertanyaan Bagas. Baru ingat kalau sebelum berangkat bulan madu, Bagas meminta untuk memindahkan Aruna ke kamarnya. "Aruna masih di kamar lamanya. Mamah sudah memintanya pindah, tapi Aruna menolak." Mata Bagas memicing. Tidak begitu saja mempercayai perkataan ibunya. "Mah, jika sampai gara-gara hal ini Aruna kembali marah pada Bagas. Bagas tidak akan tinggal lagi di rumah ini." "Bagas ... Mamah benar-benar sudah menawari Aruna untuk pindah. Hanya saja dia menolak. Su-sungguh!" Dewi berusaha meyakinkan putranya, tapi Bagas tidak mau mendengar