Pemandangan dari jendela pesawat menampakkan lautan biru yang luas di balik awan putih berarak. Indah sekali! Pulau besar dan kecil bagaikan permata hijau bertebaran di laut. Alex merasakan antusiasme Diana dari genggaman tangannya.
Beberapa menit kemudian pesawat mendarat dengan lembut di Bandara Komodo. Penumpang bergerak turun. Mereka mengambil bagasi dan naik mobil carteran menuju hotel. Diana menikmati hembusan angin yang nyaris tanpa polusi. Suasananya jauh berbeda dengan kota asal mereka. Pepohonan tampak rindang tak tersentuh. Mobil masuk ke halaman sebuah hotel bergaya modern. Alex harus menarik Diana yang tertakjub melihat pemandangan pantai yang terbentang tepat di depan hotel. Proses check in berjalan tanpa hambatan. Begitu berada di dalam kamar Diana langsung menjatuhkan diri ke kasur yang empuk. Perjalanan selama tiga jam membuatnya lelah. Alex meletakkan koper mereka di depan lemari. Dia membuka je"Kita video call Mama ya?" pinta Diana. Mereka sudah kembali berada di penthouse. "Oke." Alex duduk berdampingan. Diana menghubungi nomor Mikaela. Hatinya berdebar membayangkan apa reaksi Mikaela saat tahu dirinya telah menikah. "Diana, apa kabarmu, Nak? Kamu baik? Sehat?" "Kami baik, Ma." Diana tersenyum lebar. Mikaela terdiam sesaat. Matanya mengamati wajah-wajah bahagia yang ada di layar handphone. "Ma, kami sudah meresmikan hubungan." Mikaela mendekap mulut, "Oh, selamat Anakku. Sayang sekali Mama tidak menghadirinya. Kalian baru pulang bulan madu?" "Iya." Diana melirik Alex malu-malu. "Aku punya satu anak lelaki lagi sekarang. Selamat ya Alex. Aku percaya kamu menjaga Diana dengan baik." "Iya, aku akan melindunginya seumur hidup." Alex mengecup dahi Diana. "K
"Huh, kupikir kalian tidak akan datang!" Jack mengomel. "Kami sudah di sini kan? Masih perlu kau menggerutu seperti lelaki tua?" Alex mengawasi monitor CCTV. Semuanya terlihat baik. "Terima kasih, Jack, sudah mengurus semua dengan baik." Diana tersenyum. "Tidak ada masalah selama kami pergi?" tanya Alex. Jack melirik Diana lalu berkata dengan enggan, "Aman. Hanya saja masalah selalu mengikuti kemana pun dia pergi." "Siapa? Alex?" Mata Diana membulat. Alex menoleh dengan malas. Melihat Diana rasanya ingin segera pulang dan bermesraan kembali. "Vorst," panggil Jack sambil memberi kode supaya mendekat. "Apa? Katakan saja." Jack melirik Diana lalu memberi kode keras lagi kepada Alex. Alex menghela nafas, "Ada apa?" Jack menarik jaket Alex dengan tidak sabar, "Ad
"Aku seperti melupakan sesuatu," ujar Alex. "Apa?" Diana mengernyit. "Tentang pekerjaan?" "Itu masalahnya, aku tidak ingat." "Tanda-tanda penuaan mulai terlihat pada dirimu, Vorst," kata Jack sambil membalik pancake dengan melemparnya ke atas. Pancake itu mendarat dengan mulus di tengah panci. "Semoga panci itu jatuh mengenai kakimu," tukas Alex kesal. "Hei! Mulutmu kotor sekali!" "Masalah?" "Sial, kupikir menikah bisa membuatmu.lebih lembut, ternyata sama saja," Jack mengomel panjang lebar. "Sebelum ngomong ngaca dulu." Panci pun melayang ke arah Alex. Refleks Diana menunduk sambil memegangi kepala, takut jadi sasaran nyasar. Ternyata tangan Alex lebih cepat. Dia menangkap gagang panci sebelum menyentuh apa pun. "Bosan hidup rupamya," geram Alex. "Kau yang bosan hidup! Lanjutkan di at
Suatu sore yang sejuk di kediaman Benyamin Hartanto. Sang kepala rumah baru saja tiba dari kantor. Mikaela membuatkan segelas teh manis hangat untuk suaminya, sekaligus mengeluarkan satu stoples kue kering buatan sendiri. "Ini Pa," Mikaela meletakkan nampan berisi makanan dan minuman di meja ruang tamu. "Terima kasih, Sayang. Kamu memang istri terbaik," puji Benyamin. "Bagaimana pekerjaan hari ini? Sibuk?" Mikaela berbasa-basi. "Biasa, tidak ada yang menarik. Semuanya bisa ditangani." "Baguslah." Mikaela menghirup tehnya dengan anggun. Ben memandangi sang istri dari samping. Mikaela dan Diana memang memiliki figur yang sangat mirip. Ben menghela nafas saat teringat akan putrinya. Sejak Ben mengeluarkan nama Diana dari daftar keluarga hingga saat ini sudah mencapai waktu satu bulan. Putri pemberontaknya itu bahkan tidak sekali pun menelepon. &nbs
Suasana club malam ini kondusif. Semua orang bekerja dengan santai namun tetap waspada, karena di tempat hiburan malam apa pun dapat terjadi. Jack masih bekerja satu malam lagi sebelum memulai posisi barunya sebagai manager club cabang di kota tetangga. Alex dan Diana sedang mengobrol santai saat handphone Diana berbunyi. Matanya berbinar melihat nomor Mikaela yang menelepon. "Mama?" sapa Diana. "Ehm... Diana." Suara Ben terdengar dingin. "Papa?" Hati Diana menciut. Alex yang mendengar itu langsung terlihat serius. Dia memberi tanda supaya Diana menyalakan speaker. Diana melakukannya. "Lama tidak dengar kabarmu, Nak," kata Ben. "Kami baik-baik saja," cetus Diana. "Kudengar kalian sudah menikah." "Betul." "Baik." "Ada apa lagi, Pa?" "Diana, ada sesuatu yang mau kutanyak
Sudah beberapa malam wanita yang menuntut pertanggungjawaban Alex datang membuat keributan di club. Jika tidak mengoceh di bar, wanita itu akan membuat resah dengan berteriak-teriak di depan pintu masuk. Diana yang awalnya mengabaikan lama-kelamaan merasa terganggu. "Tidak bisakah kamu berbuat sesuatu terhadap wanita gila itu?" keluh Diana. "Untuk apa? Biarkan saja, nanti juga capek sendiri," ujar Alex dengan santai. "Aku pusing." "Kenapa? Oh," Alex tertawa. "Wanita itu membuatmu pusing?" "Ya iyalah, tiap malam harus lihat dan dengar keributan yang dia buat. Pusing tahu." "Istriku yang malang." Alex menciumi Diana dengan gemas. "Ih kamu ini...." "Aku akan berhenti kalau kamu bilang berhenti," goda Alex. Dia tahu Diana menikmatinya. "Geli tahu!" Diana tertawa. "Kamu mau aku berbuat a
Suasana sore hari yang tenang di kediaman Benyamin Hartanto. Sejak mengetahui bahwa Alex tidak memperhitungkan dendamnya demi Diana, Benyamin sedikit tergerak. Dia berpikir lelaki muda ini masih memiliki hati nurani sebagai manusia, belum sepenuhnya menjadi binatang. Ada secercah harapan untuk mendapatkan putrinya kembali. Ben bisa menebak kalau Alex sangat mempedulikan Diana dan bahkan mungkin akan berbuat apa saja untuk kebahagiaan Diana. Sekarang tidak masalah putrinya telah menikah dengan anak jalanan itu. Ben harus mencari cara untuk menempatkan Alex di bawah kendalinya. Bukan tidak mungkin Alex akan menjadi seekor anjing yang setia kepadanya. "Bagaimana menurutmu? Rencana bagus bukan? Diana akan kembali pada kita dan Alex pun akan berada di bawah naunganku," tutur Ben pada istrinya. "Kamu mau mengendalikan Alex?" Mikaela mengernyit. Suaminya tidak akan menyerah semudah itu rupanya.&
"Wah, kupikir siapa!" Jack tampak gembira. "Apa kabarmu, Jack!" Diana memberikan pelukan hangat untuk Jack. "Baik, masih hidup." Jack tertawa. "Bagaimana seminggu ini? Ada masalah?" tanya Alex. Dia langsung meletakkan tas laptop di meja dan mengeluarkan isinya. "Ah, tidak jauh berbeda dengan di pusat. Tidak ada yang tidak bisa kutangani." "Tidak ada masalah dengan stok?" Alex segera menghubungkan laptopnya dengan jaringan club. Seluruh data yang ada langsung terlihat olehnya. "Sejauh ini aman. Aku hanya menambahkan black light di sudut-sudut tertentu untuk menambah sensasi bagi pengunjung," jelas Jack. "Oh ya? Keren sekali?" timpal Diana. "Aku tidak akan berkata begitu, Princess. Black light dapat memperlihatkan noda tersembunyi di kursi dan sofa yang digunakan oleh pasangan mesum," kata Alex kemudian.  
Hari kepulangan Ben adalah hari yang dinantikan semua orang, bahkan Alex pun berpikiran baik terhadap ayah mertuanya. Cederanya belum pulih seratus persen, tapi sudah tidak membahayakan. Ben pun bisa berjalan sendiri meskipun lebih lemah dari biasanya. "Bagaimana keadaanmu?" Ben bertanya pada Alex saat hanya ada mereka berdua di ruang tamu. "Apa? Seharusnya aku yang bertanya padamu." Ben meringis menahan tawa, "Tidak boleh bertanya? Lupakan saja niat baikku." Alex berdeham, "Kenapa Anda menghalangi pukulan Lao Hu?" Ben menatap Alex dengan pandangan rumit, "Kenapa? Karena kalau kamu terluka putriku akan bersedih." "Aku mengerti." Alex tersenyum. Ada sesuatu yang menarik dalam pikiran Ben. "Kenapa kamu melindungiku?" Ben bertanya kembali. "Karena Anda ayah istriku." Hening sesaat. Kedua lelaki berbeda generasi itu tampak
Alex dan Diana duduk di kursi taman rumah sakit yang menghadap ke arah kamar VIP. Mereka menikmati suasana yang cukup sejuk sambil mengobrol ringan. "Untung kamu tidak cedera berat seperti waktu itu," kata Diana. "Cuma keretakan rusuk sedikit. Aku masih bisa bermesraan denganmu," goda Alex. "Kamu nih, kata dokter jangan banyak bergerak dulu. Biar tidak berat tapi kalau dipaksa cederanya bisa bertambah." "Cedera apa? Istriku kan mungil dan ringan." Alex mengecup pipi Diana. "Serius dong," gerutu Diana. "Lihat, orang itu sudah keluar." Alex melirik ke satu arah. Diana menoleh ke arah kamar pasien. Tampak Li Wei dan Mikaela berdiri berhadapan. "Kamu bilang mereka ada hubungannya?" tanya Diana. "Rasanya begitu." Terlihat Mikaela merentangkan tangan. Li Wei ragu, maka Mikaela maju untuk memeluknya. Diana te
Suasana dalam kamar VIP di rumah sakit menjadi tegang karena kedatangan Li Wei. Lelaki muda itu datang untuk menjenguk keluarga Hartanto, namun tujuan utamanya adalah untuk bertemu Diana. "Mau apa kemari?" tanya Alex. "Aku datang dengan niat baik. Tanya saja ibu mertuamu." Li Wei tersenyum dingin. "Tidak ada niat baik dalam kepalamu. Aku belum memberimu pelajaran atas apa yang kau lakukan terhadap Diana," geram Alex. "Memangnya kau punya kemampuan?" Li Wei bahkan tidak menatap Alex. Pandangan matanya melembut saat menemukan sosok Diana yang bersembunyi di belakang Alex. "Jaga matamu, Anak Kecil." Alex menghalangi pandangan mata Li Wei. "Mata jelas-jelas punyaku. Memangnya pemandangan di kamar ini punyamu?" ejek Li Wei. "Huss... Kalian ini. Di rumah sakit masih aja mau berkelahi...," desis Mikaela. Dia terpaksa menghampiri anak-anak muda k
"Kau! Cari mati!" Lao Hu menjerit histeris. Darah mengalir ke wajahnya. "Kau yang cari mati, Tua Bangka!" bentak Ben. Alex benar-benar melongo. Bukannya kedua lelaki ini sama-sama tua? Lao Hu merangsek ke arah Ben. Dia hendak menghabisi pengganggu tak terduga ini dalam satu pukulan. Alex tidak tinggal diam. Dia segera menyerang dari samping, tepat mengenai bagian sisi kepala Lao Hu. Walaupun terkena tendangan tapi reaksi Lao Hu masih luar biasa. Lengannya mengibas ke samping membuat tubuh Alex terlempar ke dinding. "Ben! Hati-hati!" seru Mikaela. "Jangan keluar! Tetap di dalam!" Ben berseru pada istrinya. Lao Hu menatap ke arah Mikaela. Tatapan matanya berubah ganas. Ben menempatkan dirinya di antara Mikaela dan Lao Hu. "Heh, wanita yang cantik. Setelah kalian lelaki-lelaki tak berguna ini mati, akan kurebut wanita kalian!" Lao Hu tertawa
Matahari tinggi di puncak langit. Sederetan mobil hitam parkir tidak beraturan di luar gerbang kediaman Hartanto. Beberapa orang penjaga berteriak-teriak mengusir para pendatang yang tidak tahu diri itu. Pintu mobil terbuka nyaris berbarengan. Selusin lelaki bertubuh besar berwajah garang melompat turun. Niko dan Lao Hu turun setelah formasi terbentuk. Teriknya matahari membuat Lao Hu memicingkan mata. "Ini rumahnya?" tanya Lao Hu. "Betul, Bos. Alex sedang berada di sini." jawab Niko dengan hormat. Lao Hu menggerakkan kepala sebagai kode untuk anak buahnya. Kompak, selusin lelaki bertubuh besar merobohkan pintu gerbang. Besi baja terlihat tak berguna di hadapan mereka. Para penjaga berhamburan dari dalam rumah, semua membawa tongkat atau senjata tumpul lainnya. Seketika terjadi pertarungan sengit di pekarangan. Lao Hu dan Niko berjalan melewati mereka seolah tidak ada a
Genderang perang sudah ditabuh. Lao Hu berangkat ke kediaman Hartanto bersama Niko dan selusin anak buah mereka. Mobil hitam melaju beriringan tanpa rintangan berarti. Jika saja langit berubah jadi gelap disertai kilat menyambar dan guntur bertalu, mereka akan mirip seperti utusan dari neraka. Sayangnya langit begitu cerah tanpa awan sedikit pun. "Bos, Shi Fu Li tidak ikut?" tanya Niko perlahan. "Dia sudah mengatakan bahwa hari ini baik. Aku percaya padanya," sahut Lao Hu yang bersandar memejamkan mata. "Oh, baik kalau begitu." Niko tidak berani bertanya lagi. "Bangunkan aku kalau sudah sampai," kata Lao Hu. "Baik, Bos." Kediaman Hartanto... Alex menyeret Jack ke pekarangan. Dia butuh sedikit gerak badan. Jack yang masih mengantuk terus-menerus menggerutu. "Bacotmu seperti anak perempuan," ledek Alex.
"Shi Fu, bagaimana... Tadi...." Lao Hu yang sudah dapat bergerak kini kebingungan seperti orang baru terbangun dari tidur panjang. "Istirahatlah dulu. Cari hari lain untuk menghadapi Alexander. Terlalu banyak kejutan hari ini, tidak baik." Li Wei termenung. Lao Hu merasa tidak rela, tapi dia tidak berani membantah perkataan seorang Shi Fu Li. Dia membungkukkan badan dengan hormat dan kembali ke kamar. Li Wei menghela nafas. Percakapan singkat dengan Mikaela mengangkat selubung kegelapan dalam hatinya. Ada baiknya juga mengikuti nasihat Mikaela, mungkin dengan demikian dia dapat merebut hati Diana seperti seorang lelaki sejati. Huh, wanita yang dicintai ayahnya memang hebat. Tidak memiliki ilmu apa-apa tapi kekuatannya luar biasa. Sayang, sungguh sangat disayangkan ayah pergi terlalu cepat. Li Wei ingin sekali mendengarkan lagi kisah percintaan itu dari mulut ayahnya, dengan perspektif yang berb
Firasat buruk datang seperti angin dingin di tengah malam, membuat tubuh tidak nyaman dan pikiran tidak tenang. Mikaela menatap dua anak muda yang masih memejamkan mata karena kelelahan mental yang baru saja mereka lalui. Bagaimana mereka bisa melawan musuh yang akan datang? Mikaela keluar dari kamar Diana. Raut wajah yang biasanya lembut kini terlihat penuh tekad. Dia masuk ke kamarnya untuk berbicara dengan Ben. Dilihatnya Ben sedang duduk di meja sambil melihat-lihat dokumen. "Sayang?" panggil Mikaela. "Hmm," gumam Ben acuh tak acuh. Mikaela tersenyum. Lelaki yang telah dinikahinya selama tiga puluh lima tahun ini tampak lelah. Dia meletakkan tangan di bahu Ben. "Bersikap baiklah terhadap Alex, Sayang. Bagaimanapun juga dia suami putri kita...," desah Mikaela. "Hmm." "Aku mau keluar sebentar ya. Tolong jaga anak-anak." Mikaela me
Alex dan Diana memeriksa setiap sudut ruangan untuk menemukan keberadaan akar mantra tersebut. Tidak ada satu sudut pun yang lolos dari pemeriksaan. Entah berapa lama waktu berlalu, tapi Alex mulai merasa lelah. "Selain tempat ini masih ada lagi?" tanya Alex. "Ehm... Kita belum melihat semuanya." Alex menatap Diana, "Di mana?" "Itu." Diana menunjuk ke sebuah titik. Alex mengangkat kepala. Siapa sangka ada rak buku tersembunyi di atas sebuah pilar besar. Siapa pun yang tanpa sengaja melihat ke atas tidak akan dapat menemukannya. "Sepertinya aku harus memanjat." Alex menghela nafas. "Ada tangga di sana." Diana menunjuk ke bawah pilar. Benar saja, ada anak tangga yang dipahat pada pilar. Tangga melingkar itu baru menunjukkan wujudnya setelah mereka benar-benar memperhatikan. "Pikiranmu rumit sekali, Princess." Alex terseny