"Terserah kau saja." Dannis berbalik untuk yang kedua kalinya. Kali ini tampak ia sudah tidak menghiraukan bocah berusia 15 tahun itu. Kekesalan terlihat dari raut wajah bocah itu. Satu tangannya mengepal, lalu yang satunya menunjuk ke arah Dannis sambil melontarkan cacian dari jarak jauh. "Jangan sok penting! Kau itu bukan siapa-siapa di keluarga Kartanegara! Kau itu cuma keluarga pengawal yang coba mengambil alih semua warisan paman Alex!" teriaknya. Dannis terlihat tidak menoleh sedikitpun. Meski ia mendengar semua celotehan bocah itu, ia tetap melanjutkan langkahnya dengan santai. "Lihat saja! Kau pasti akan dihabisi oleh ayah!" ancam bocah itu. Di lain tempat, Gilang yang sedang mengantarkan Nina kembali ke apartemennya tampak terkejut dengan interior dari unit apartemen perempuan itu. Rapi, tertata, terkonsep, dan luasnya agak kecil, namun membuatnya nyaman."Saya hanya punya ini dan camilan ini." Nina memberikan sirup orange dingin dan juga camilan berupa singkong goreng b
"Rei, kau lagi di mana? Mama sudah di ibukota. Ingat! Besok, jangan kabur!" Lina Tan, ibu dari Rei Kartanegara tampak membentak anaknya dengan pesan suara. Saat ini wanita yang menjadi janda dari anak kedua Aji Kartanegara itu tampak sedang menuju ke sebuah rumah mewah yang lebih mirip dengan mansion di pinggiran ibukota. Tampak warna hitam dan abu-abu begitu dominan dari mansion bergaya Eropa klasik itu. Mobil Lina Tan perlahan memasuki area mansion yang di mana di kedua sisi jalannya terlihat ada beberapa bunga-bunga dan pepohonan yang ditata rapi, berbaris hingga menuju ke area kolam air mancur yang berada tepat di depan pintu masuk. Terlihat seorang pengawal telah menyambut Lina Tan ketika ia turun dari mobil. Wanita yang memiliki lekuk tubuh bagaikan gitar spanyol itu mengenakan gaun dress panjang berwarna putih yang dihiasi oleh kalung permata di lehernya. Ia dikawal memasuki mansion itu dengan dituntun oleh sang pengawal. Tampak wallpaper abu-abu mendominasi interior di dala
"Apa besok kau akan merencanakan sesuatu?" Lina Tan memeluk erat tubuh Andika sambil berbisik lirih. "Tunggu dan saksikan saja," ucap pria itu. Senyumannya tampak ambigu. Entah apa yang direncanakan oleh prianya itu, namun Lina Tan tampak santai saja ketika dirinya meminta pengawal pribadi Andika untuk mengantarnya hingga ke rumah.Janda satu itu terlihat begitu tertarik dengan paras tampan si pengawal. Belum cukup baginya untuk bermesraan ketika Andika sedang di kamar mandi tadi. Ketika Lina Tan memberikan tawaran untuk bekerja padanya, tampak pengawal itu masih ragu. Ia tidak menjawab apapun kecuali menikmati kelembutan bibir wanita itu. "Apa kau tidak ingin berubah pikiran? Kau tahu, aku bisa memberikanmu uang yang banyak," goda Lina Tan."Maaf, Nyonya, tapi saya tidak bisa berpaling dari Pak Andika." Pengawal itu tampak menolak.Keduanya telah berada di dalam mobil milik Andika. Lina Tan sengaja menyuruh supirnya untuk pulang terlebih dahulu ketika ia mencumbu si Andika. Niatny
"Kenapa lama sekali datangnya?" Gilang tampak menyambut kehadiran Dannis. "Kau sudah siap?" Tampak Rei berdiri di samping Gilang dengan setelan begitu rapi. Ia mengenakan blazer hitam yang dipadu dengan kaos oblong.Hari ini adalah tepat di mana acara jamuan Aji Kartanegara dilaksanakan. Kejadian di hari kemarin, tepatnya di rumah Rei, masihlah belum diketahui oleh bocah itu. Ia benar-benar tidak mau tahu apa yang dilakukan oleh ibunya terhadap si pengawal. Di halaman belakang rumah kakeknya, Dannis tampak melihat beberapa orang yang tidak ia kenal. Mereka semua mengenakan pakaian mewah dengan bertabur perhiasan yang mungkin nilainya tidaklah kecil. Ia tahu bahwa mereka adalah para tamu penting kakeknya. Namun ia tampak sedikit sungkan untuk bergabung dan berbincang dengan mereka. Alhasil, ketika Juna, Gilang dan Rei tampak berbincang satu sama lain, ia malah melipir pergi menuju ke tempat duduk yang berada di dekat sebuah pohon rindang. Posisinya berada di sudut halaman. Tidak ban
"Silahkan ambil alih," ungkap Andika. Ia tampak datar dan hanya menatap lurus ke belakang Adipati dengan tatapan kosong. Sesekali ia melirik ke arah gelas kaca berisi anggur yang berada di depan Aji Kartanegara, ayahnya sendiri. Adipati yang duduk di seberang ayahnya tampak sesekali ikut melirik ke arah gelas itu. Tatapan matanya juga memberi kesan bahwa keduanya saling membantu satu sama lain. Namun hal yang berbeda justru ditunjukkan oleh Dannis yang kedua kalinya bertemu dengan Saka Kartanegara, si anak belagu yang ditemuinya ketika ia jalan-jalan santai di mal. Sedari tadi tatapan mata Dannis dan Saka saling bertarung. Sesekali Saka memainkan garpunya, lalu ia tusuk-tusuk ke makanan yang di piringnya sambil memberi kode ke Dannis kalau ia sedang marah. Sayangnya, lelaki yang sudah berumur ini malah menanggapi bocah psiko itu. Ia mengambil ayam bakar bagian paha. Lalu perlahan merobeknya dengan menggunakan kedua tangannya. Mereka yang berada di samping Dannis tampak bingung mel
"Tuan Aji Kartanegara, maaf bila saya lancang main masuk ke dalam ruangan ini." Tiba-tiba saja Nina merangsak masuk ke dalam. Ia yang sebenarnya tidak diundang tampak cemas dan terlihat tergesa-gesa. Dengan mengenakan gaun putih panjang yang dikombinasikan kalung mutiara, ia menghampiri Aji Kartanegara yang hendak meminum anggur itu. "Kau? Kau bukannya sekretarisnya Dannis?" Pria tua itu mengenali wajah Nina. "Nina? Kau sedang apa di sini?" Dannis langsung berdiri sambil menatap kedatangan perempuan itu. Sontak saja yang lainnya ikut menatap ke arah Nina. Tampak Andika dan Adipati begitu kesal. Padahal momen krusial yang mereka tunggu-tunggu hampir saja terjadi. Gangguan dari datangnya Nina membuat keduanya begitu kesal. "Ada apa kau ke sini?" tanya Aji Kartanegara. "Aku haus. Maksudnya … aku ingin Anda menimbang kembali keputusan mengenai sertifikat tanah itu. Tolong jangan gusur universitas itu," ungkap Nina. Ia sampai memegang lengan pria tua itu. "Aku sudah membereskan masa
"Aku akan ke ruangan lain," ungkap Anya. Ia tampak santai sekali berjalan di sekitaran rumah sambil mengenakan seragam cleaning service. Tampak beberapa orang yang berada dalam satu grup cleaning service tidak terlalu mencurigainya. Perempuan itu mulai memasang beberapa kamera pengawas berukuran mini di beberapa sudut ruangan yang berada di dalam rumah itu. Di apartemen keduanya, Nina berusaha untuk memalsukan kartu undangan yang di design spesial untuk acara itu saja. Intinya, kedua perempuan ini saling bekerja sama untuk mengintip pertemuan rahasia para keluarga Kartanegara. "Kakek ini tampaknya bukan hanya kaya, tapi dia benar-benar sangat super kaya." Anya terkejut melihat patung naga berlapis emas tepat berdiri di depannya. ["Fokus saja pada tugasmu. Aku sedang mencoba meniru barcode dan model undangan perjamuan itu."]Kedua perempuan ini tampak seperti agen mata-mata berpengalaman. Sialnya
"Apa yang ingin kau lakukan sekarang? Tetap menunggu atau pulang ke apartemen dulu?" Juna bertanya kepada bosnya yang sedari tadi terus saja menatap sang kakek yang masih menangis tiada henti. "Siapa yang berani meracuni paman ketiga? Aku merasa ada yang aneh dengan kejadian ini," pikir Dannis. Juna meminta kepada bosnya untuk mengikutinya sebentar saja. Pengawal tampan itu menggiring bosnya menuju ke jalan raya. Terlihat ada beberapa orang dan sisa tamu yang masih merasa penasaran dengan keadaan di dalam rumah. Mereka tampak berbincang dan berbisik satu sama lain. "Kau ingin membawaku ke mana?" tanya Dannis. "Mobil. Ada yang ingin kuperlihatkan dan kujelaskan kepadamu," ungkap Juna. "Ada apa? Apa yang ingin kau perlihatkan?" Dannis tampak penasaran dan bingung. Cara berjalan Juna tampak berbeda. Ia merasa seperti ada yang dirahasiakan oleh pengawalnya ini. Mobil Van hitam yang sempat dipergunakan oleh mereka untuk merampok kantor Andika tampak terlihat di di ujung pertigaan jala
“Mereka terlalu banyak!” Anya begitu kesulitan untuk menembak para Jager selama sniper itu masih ada. “Kau harus bunuh snipernya terlebih dulu!” Anya berteriak dari balkon lantai tiga. “Aku tahu!” Dannis yang masih baru pertama kali menggunakan senjata sniper itu tampak kaku ketika membunuh beberapa Jager yang mendekat. Meski begitu, pelatihan yang ia lakukan dengan Rosella tidaklah gagal. Dannis tahu tentang sniper yang ada di lantai tiga itu. Ia tahu kalau sniper itu yang membunuh Aden di tragedi lautan api. Saat Rosella membidiknya, ia juga ikut melihat perawakan sniper itu. Tapi masalahnya, kemampuan sniper itu jauh diatasnya. Ia butuh strategi jitu untuk menumbangkannya. “Ada helikopter yang akan datang lima belas menit lagi! Bertahanlah sampai bala bantuan tiba!” Saka berteriak dari lantai dua.“Bala bantuan? Siapa yang akan membantu kita?” Anya merasa bingung. “Seorang teman lama kenalan ayahku.” Saka tersenyum. Anak itu mencoba menyusuri belakang rumah. Ia memanjat Dindin
Perjalanan menuju ke villa yang berada di perbatasan antara Thailand dan Laos lumayan jauh dan memakan waktu tidak sebentar. Dua jam perjalanan Menggunakan taksi sudah cukup membuat kepala Dannis pegal. Terlebih lagi, Saka dan Anya yang ketiduran dan bersandar ke kedua pundaknya. Ia berganti posisi dengan Saka yang semula duduk di tengah-tengah. Saat memasuki wilayah sebuah komplek perumahan yang berada di lereng bukit, pemandangan di kedua sisi jalan berubah menjadi area pepohonan pinus. Sepi, tidak ada mobil yang lalu-lalang. Bahkan jarang ada orang yang sekadar lewat. Dannis merasa wilayah ini sangat berbeda dengan wilayah lainnya. “Hei, bangun. Kita sudah mau sampai.” Dannis membangunkan keduanya. Tampak liur Saka dan Anya membekas di kaos oblongnya. “Apa kita sudah di villa?” Anya melihat ke luar jendela. Ia sangat terpukau dengan pemandangannya. “Aneh, kenapa sepi sekali?” Saka merasakan hal yang sama dengan Dannis. Bocah itu masih saja menguap padahal sudah tidur dua jam.
“Ini luar biasa! Apa kuil itu terbuat dari emas?” Saka terpukau dengan kemegahan kuil yang ia lihat. Kuil-kuil yang ada di Chiang Mai sangat dijaga kelestariannya. Bukan hanya bentuk fisiknya saja yang begitu artistik dan memiliki sejarah yang tak ternilai, tapi fasilitas pendukung untuk para wisatawan juga diprioritaskan. Kenyamanan, keamanan dan kebersihan sangat terlihat di lingkungan kuil-kuil itu. Saka sangat menikmati kunjungan wisata itu. Ia sangat senang karena bisa pergi lagi bersama sepupu yang telah dianggapnya sebagai seorang kakak. Tidak sedikit ia bertanya tentang kuil-kuil itu ke Dannis. Meski lelaki itu telah menjelma sebagai pria dingin dan kaku, Dannis masih memiliki sisi lembut ketika bersama Saka. “Ngomong-ngomong, kau ingin menunjukkan apa padaku? Sebelum kita ke sini, kau bilang ingin menunjukkan sesuatu,” tanya Dannis.“Oh, aku baru ingat. Ini hanyalah cerita dari ayahku. Dulu sekali, dia pernah menyinggung soal organisasi hitam bernama Dewan XII. Kau tahu aya
“Fraksi IX? Apa kau gila?!” Steven langsung menghentikan ucapan temannya. “Organisasi itu seperti hantu. Tidak ada yang tahu di mana dan siapa amggotanya. Kau pikir kita bisa menemukannya?” ucap Reina. “Aku akan jelaskan dulu. Lalu kalian bisa mengambil kesimpulannya,” ungkap Gan. Anya dan Saka yang belum mengetahui organisasi itu tampak bingung. Dannis yang berada di samping mereka mencoba menjelaskan tentang organisasi Fraksi IX kepada keduanya. Meski harus mengabaikan ucapan Gan, tapi Dannis sangat menikmati menjelaskan hal itu pada Anya dan Saka. “Seorang Verbannen ke-6 mengetahui siapa anggota Fraksi IX. Tapi dia hanya memberikan alamatnya saja. Sayangnya, tempat orang itu sangat jauh dari Verbannen ke-6 yang memberitahukan tentang anggota organisasi itu. Yang aku rencanakan adalah… kita berpencar. Kelompok pertama akan menemui Verbannen di Myanmar. Kita akan mengajaknya untuk bergabung. Lalu kelompok kedua akan pergi menemui orang yang diduga sebagai anggota Fraksi IX di Lao
“Kau sudah bangun?” Gan menyapa temannya yang sedang berdiri di atas balkon penginapan. “Chiang Mai. Apa yang kita lakukan di sini? Kau ingin berwisata kuil?” Dannis menyindir. Hari baru dengan pemandangan langit biru tampak mempesona dirinya. Tapi kejadian yang membuat ia terus mengingat tentang lautan api, membuatnya merasa tidak nyaman. Apalagi kejadian kemarin telah menelan korban, yaitu temannya; Aden. Mereka lari sangat jauh dari lokasi pembakaran dan pembantaian malam lalu. Dengan uang yang tersisa, Gan membawa kedua temannya menuju ke Chiang Mai, tempat di mana salah satu klub malam miliknya yang tersisa.“Kita datang ke sini untuk mengambil simpanan uangku. Para Jager brengsek itu pasti telah menghubungi bank lokal untuk membekukan rekeningku. Aku harus mengambil uang tunai di penyimpananku. Dan… kita juga menunggu Steven, Reina dan satu orang lagi yang matanya ikut dari tanah airmu.” Gan pun pergi setelah mengucapkan hal itu. “Satu orang lagi?” Dannis berpikir siapa yang
Kepergian Gan membuatnya tampak tenang. Saat ini ia hanya ingin beristirahat di tempatnya hingga ajal menjemput. Sambil memegang remote control di salah satu tangannya, Aden menunggu sampai temannya berkumpul dengan yang lain. Tampak dari layar smartphone miliknya ada sebuah foto lama yang membuatnya teringat momen ketika ia masih menjadi seorang Jager. Aden mencoba untuk bernostalgia dengan foto di galeri smartphone miliknya. Sungguh rindu… ia rindu dengan keadaan dulu. “Gan?” Rosella bertemu dengan Gan yang baru saja melompat dari rumah sebelah. “Kenapa kau di sini?” Dannis merasa bingung ketika bertemu dengan Gan. Ia melihat pria itu menangis. Matanya masih tampak bengkak.“Kita harus pergi! Aden akan menekan remote itu! Cepat!” Gan berupaya membawa mereka berdua menjauh. Tapi Rosella dan Dannis tetap diam di tempat sembari mempertanyakan di mana Aden berada. Mereka menolak pergi sebelum Gan menjelaskan tentang keadaan Ad
“A, apa dari sana?” Aden menerka datangnya peluru yang menembaknya. Ia melihat gedung tinggi yang lumayan jauh. Tapi apa mungkin?Tepat di dada bagian kanan peluru Diablo menembusnya. Aden berusaha untuk bangun kembali, namun darah yang mengucur dari luka itu begitu deras. Bahkan darah juga keluar dari mulutnya. “G–guys… ada satu sniper lagi ….” [Kenapa bicaramu terbata-bata?]Gan merasa ada yang tidak beres dengan temannya. Ia menghentikan langkahnya dan berusaha mendengarkan Aden. [Aden? Apa kau terluka?] Rosella merasa cemas. Ia berupaya agar tebakannya salah. “A–aku baik-baik saja. Rose, tolong bisik ke arah gedung diujung sana. Sepertinya dia menembak dari sana.” Aden berusaha keluar dari jalur bidik Vladimir dengan bersembunyi kembali di balik dinding. Dengan posisi terduduk, ia berusaha untuk menghentikan pendarahannya menggunakan sapu tangan yang ia bawa. [Kau yakin? Kau seperti orang yang sedang terluka.]Gan mengkonfirmasinya kembali. Ia merasa ada yang tidak beres de
Serangan dari jarak jauh mulai dilancarkan oleh para Jager. Ternyata mereka sudah mengepung rumah itu semenjak gencatan senjata. Mereka terus maju dari lokasi persembunyiannya yang awal. Perlahan tanpa diketahui oleh Gan dan para pengawalnya. Dan inilah hasilnya. Ledakan besar yang baru saja terjadi berasal dari tembakan bazooka yang dilakukan oleh para Jager dari rumah seberang jalan. Meski para kawanan Gan bisa melawan balik, tapi intensitas serangan para Jager jauh lebih mendominasi. Alhasil, para pasukan Gan yang justru mundur ke belakang rumah untuk melindungi diri. Dan dalam waktu beberapa menit saja, sahut-sahutan bazooka membuat pekarangan depan rumah Gan hancur berantakan. Bahkan beberapa ruangan yang ada di rumahnya hancur menjadi puing-puing. “Mereka mendobrak gerbang!” Salah satu pengawal berteriak. “Dasar sial! Cepat bunuh mereka!” teriak Gan. Ia sedang bersama Aden yang bersiap-siap untuk melancarkan serangan kejutan. Aden terlihat sedang mempersiapkan senapan sniper
Malam bergulir sangat cepat bagi Dannis yang baru saja terbangun dari tidurnya. Ia terlihat kelelahan selama seharian berkutat dalam pelatihan ekstrimnya. Tanpa ia sadari, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Yang ia ingat setelah latihan selesai hanyalah mandi, makan dan tempat tidurnya. Sepertinya karena begitu lelah, ia tertidur hampir dua belas jam lebih. Ia merasakan sekujur tubuhnya terasa sakit, mungkin karena efek dari latihan kemarin. “Kenapa tenang sekali?” Lelaki itu tidak mengira bahwa pagi harinya akan dimulai dengan ketenangan. Biasanya ada langkah kaki yang terdengar lalu-lalang di sepanjang lorong lantai dua. Atau suara dari para pengawal yang mondar-mandir tepat di depan kamarnya. Bahkan ia tidak melihat si gila Rosella yang tiba-tiba masuk dan menggodanya. “Apa yang terjadi? Apa mereka semua mati?” Dannis beranjak dari ranjangnya dan menuju ke arah pintu. Ketika ia membukanya, tidak ada seorang pun yang menjaga di lorong lantai dua. Dan ketika ia melihat ke ba