"Aku akan ke ruangan lain," ungkap Anya.
Ia tampak santai sekali berjalan di sekitaran rumah sambil mengenakan seragam cleaning service. Tampak beberapa orang yang berada dalam satu grup cleaning service tidak terlalu mencurigainya.Perempuan itu mulai memasang beberapa kamera pengawas berukuran mini di beberapa sudut ruangan yang berada di dalam rumah itu. Di apartemen keduanya, Nina berusaha untuk memalsukan kartu undangan yang di design spesial untuk acara itu saja. Intinya, kedua perempuan ini saling bekerja sama untuk mengintip pertemuan rahasia para keluarga Kartanegara."Kakek ini tampaknya bukan hanya kaya, tapi dia benar-benar sangat super kaya." Anya terkejut melihat patung naga berlapis emas tepat berdiri di depannya.["Fokus saja pada tugasmu. Aku sedang mencoba meniru barcode dan model undangan perjamuan itu."]Kedua perempuan ini tampak seperti agen mata-mata berpengalaman.Sialnya"Apa yang ingin kau lakukan sekarang? Tetap menunggu atau pulang ke apartemen dulu?" Juna bertanya kepada bosnya yang sedari tadi terus saja menatap sang kakek yang masih menangis tiada henti. "Siapa yang berani meracuni paman ketiga? Aku merasa ada yang aneh dengan kejadian ini," pikir Dannis. Juna meminta kepada bosnya untuk mengikutinya sebentar saja. Pengawal tampan itu menggiring bosnya menuju ke jalan raya. Terlihat ada beberapa orang dan sisa tamu yang masih merasa penasaran dengan keadaan di dalam rumah. Mereka tampak berbincang dan berbisik satu sama lain. "Kau ingin membawaku ke mana?" tanya Dannis. "Mobil. Ada yang ingin kuperlihatkan dan kujelaskan kepadamu," ungkap Juna. "Ada apa? Apa yang ingin kau perlihatkan?" Dannis tampak penasaran dan bingung. Cara berjalan Juna tampak berbeda. Ia merasa seperti ada yang dirahasiakan oleh pengawalnya ini. Mobil Van hitam yang sempat dipergunakan oleh mereka untuk merampok kantor Andika tampak terlihat di di ujung pertigaan jala
"Semuanya tolong berkumpul. Saya akan melakukan pemeriksaan dan penggeledahan barang-barang yang kalian bawa." Salah seorang kepala polisi meminta kepada seluruh orang yang hadir di acara pertemuan itu untuk kooperatif. Mereka semua diminta untuk berdiri dan berbaris ke belakang. Ada tiga tim polisi terdiri dari dua orang yang segera melakukan pengecekan. Dannis dan Juna yang baru saja tiba dari luar langsung diminta ikut serta dalam pemeriksaan itu. Di lain sisi, mayat dari Rafael Kartanegara segera dibawa oleh ambulans untuk dilakukan otopsi lebih lanjut. Tampak terlihat Saka Kartanegara, si bocah yang sempat mengejek Dannis, menangis tanpa henti di sudut ruangan. Ia tidak mampu menahan rasa sakitnya. Kehilangan seorang ayah dengan tiba-tiba dengan kenyataan bahwa sang ayah tewas akibat diracun sangat membuatnya gila. Satu per satu mereka menjalani pemeriksaan. Aji Kartanegara tampak lolos dari pemeriksaan itu. Begitu juga dengan dua pengawalnya. Gilang, Rei, Anya, Adipati, dan A
"Siapa kau sebenarnya? Dan kenapa kau serta temanmu menyelinap ke sana?" tanya Juna."Yang harus kau tahu, aku melakukan hal itu demi sebuah misi. Anggap saja ada seseorang yang memintaku untuk tetap berada di sisi bosmu. Dan orang itu yang menjamin hidupku," ungkap Nina. "Dan siapa orang yang kau maksud itu?" Juna semakin penasaran. Nina tidak menjawabnya. Ia hanya tersenyum sambil membuka pintu mobil Van. Setelah ia berada diluar, Nina tampak tersenyum lagi sebelum ia menutup kembali pintu mobil itu. Terlihat Juna tidak mengejarnya. Ia merasa musuh ataupun teman yang berada di sisi bosnya tampak abu-abu. Tidak ada yang bisa ia percaya sedikitpun. Akhirnya, Juna memilih untuk melanjutkan perjalanannya dan membiarkan Nina, si perempuan misterius, pergi entah ke mana. Di lain tempat, Andika yang tampak geram dan gusar karena rencananya gagal berupaya mengacau di rumah pribadinya. Ia berteriak begitu keras sambil melempar dan membanting beberapa perabot. Adipati yang melihat aksi ay
"Kami sudah menemukan penyebab kematian Rafael Kartanegara. Beliau tewas karena diracun dengan menggunakan sianida." Kepolisian telah memberikan statement-nya. Di depan awak media, mereka membicarakan beberapa bukti yang ditemukan saat melakukan olah TKP. Pernyataan mengenai motif pembunuhan dan juga pelakunya masih berada di dalam ranah investigasi lebih lanjut. Saat ini, keluarga Kartanegara hanya meminta kepada kepolisian untuk secepatnya menyelesaikan proses otopsi. Dan tepat saat konferensi pers digelar, mayat dari Rafael Kartanegara sudah berada di dalam perjalanan pulang menuju ke mansion mewah milik Aji Kartanegara. Berita kematian si anak ketiga orang terkaya di negeri itu menjadi tajuk utama di setiap saluran televisi. Sontak saja, semua orang di negeri itu sedang hangat-hangatnya membicarakan tragedi pembunuhan itu. "Dannis, tolong pergi dari sini. Aku akan bersiap-siap untuk menyambut kepulangan Rafael. Ada banyak hal yang harus aku urus," ungkap Aji Kartanegara. "Tap
"Sepertinya kita sedang dibuntuti." Juna melirik ke cermin di atas dashboard, tampak satu mobil mini Van putih terus mendekat dan menjaga jarak dengan mobil yang ia kemudikan. Sontak saja Dannis yang duduk di kursi belakang langsung menoleh ke kaca yang ada di belakangnya. Ia melihat ada tiga orang di bangku depan mini Van putih. Dan ia merasa bila bukan hanya tiga orang itu saja yang ada di mobil itu. "Apa yang harus kita lakukan?" tanya Juna. "Bila kau harus melawan mereka semua, apa kau bisa menang?" Dannis bertanya balik. "Kenapa kau bertanya padaku, seakan-akan aku yang ingin ditumbalkan," keluh Juna. "Karena aku tidak mungkin melawan preman-preman busuk itu." Dannis tersenyum sambil menepuk-nepuk pundak pengawalnya. Juna mempercepat laju mobilnya. Untungnya saat ini mereka sudah memasuki jalan tol. Rencana semula ingin pergi ke apartemen malah beralih ke tempat lain. Sesekali terlihat Juna melirik ke cermin dashboard. "Apa mereka akan membunuh kita?!" Saka tampak takut ke
"Keluarlah! Aku tahu kalian sedang bersembunyi." Randy berteriak sangat keras. Ujung selongsong pistolnya tepat mengarah ke dahi Juna yang sudah berlumuran darah. Ia tetap menatap pengawal itu dengan tajam. Tidak sedetikpun mengalihkan pandangan. Bagaikan seekor singa yang sudah mengunci bayi rusa. "Bagaimana mungkin kau bekerja sama dengan Andika? Apa kau diberikan asuransi berupa kebebasan? Atau kau sudah lupa dengan semua dosamu di masa lalu?" Tiba-tiba Juna memancing hati nurani Randy dengan pertanyaan tentang kehidupan lalunya. "Aku tidak mengerti maksudmu. Yang pasti, alasanku berada di samping Tuan Andika karena dia telah menyelamatkanku." Randy telat berdiri di depan pengawal itu. Ujung pistolnya begitu dekat dengan dahi Juna. "Oh, begitu. Kau sangat percaya diri sekali. Apa kau berpikir kalau Andika adalah sang penyelamat dunia," sindir pengawal itu. Randy tidak membalas sindiran itu. Ia hanya menjawabnya dengan meletakkan ujung selongsong pistolnya tepat di dahi Juna. T
"Apa kau sudah lebih baik?" tanya Dannis. Juna membutuhkan operasi kecil untuk menutup luka dan mengambil peluru yang tersemat di lengannya. Meski tidak membutuhkan waktu yang lama, namun Dannis tampak khawatir setelah melihat pengawalnya baru saja keluar dari ruang operasi. Ia sudah bisa berjalan seperti biasa, namun ada beberapa perban yang membungkus dirinya. "Bagaimana dengan bocah itu?" Juna berjalan di samping bosnya. Mereka menuju ke lift terdekat. "Dia hanya tergores di pipi. Saat ini, mungkin dia sedang bermain game konsol," pikir Dannis. Ketika pintu lift terbuka di lantai yang dituju, keduanya langsung keluar dan menuju ke ruangan Saka. Di sepanjang jalan terlihat Dannis terus menundukkan wajahnya. Juna memperhatikan raut wajah bosnya yang tampak tidak baik-baik saja. Ia hanya bisa menebak pikiran lelaki di sampingnya itu. "Jangan terlalu dipikirkan. Kita akan mencari cara untuk menjatuhkan Randy dan Andika," ungkap Juna. "Aku sedang tidak memikirkan masalah kemarin.
"Langit sepertinya ikut menangis," pikir Juna.Tepat di hari pemakaman Rafael Kartanegara, rintik hujan yang lumayan deras mengguyur seluruh area pemakaman yang berada di sebuah lahan pribadi milik keluarga Kartanegara. Tepatnya berada di kaki bukit, lumayan jauh dari rumah Aji Kartanegara. Terlihat semua yang hadir merupakan sanak-saudara, kerabat, kolega kantor dan beberapa orang-orang yang dekat dengan Rafael serta Aji Kartanegara. Semuanya mengenakan pakaian berwarna hitam. Turut air mata mengalir deras ketika jenazah diturunkan ke liang lahat. Saka yang berada sangat dekat dengan jenazah ayahnya tidak bisa membendung rindu yang akan terus abadi. Ia kehilangan sosok yang bisa mengerti dan mendengar curahan hatinya. Semuanya seakan tumpah ketika jasad Rafael telah berbaring tenang di dasar liang lahat. "Ayah!""Ayah …."Teriakan seorang anak laki yang sendu dan lirih tampak menyentuh semua pelayat yang hadir. Saka sampai duduk di samping gundukan tanah merah dan membuat pakaiann
“Mereka terlalu banyak!” Anya begitu kesulitan untuk menembak para Jager selama sniper itu masih ada. “Kau harus bunuh snipernya terlebih dulu!” Anya berteriak dari balkon lantai tiga. “Aku tahu!” Dannis yang masih baru pertama kali menggunakan senjata sniper itu tampak kaku ketika membunuh beberapa Jager yang mendekat. Meski begitu, pelatihan yang ia lakukan dengan Rosella tidaklah gagal. Dannis tahu tentang sniper yang ada di lantai tiga itu. Ia tahu kalau sniper itu yang membunuh Aden di tragedi lautan api. Saat Rosella membidiknya, ia juga ikut melihat perawakan sniper itu. Tapi masalahnya, kemampuan sniper itu jauh diatasnya. Ia butuh strategi jitu untuk menumbangkannya. “Ada helikopter yang akan datang lima belas menit lagi! Bertahanlah sampai bala bantuan tiba!” Saka berteriak dari lantai dua.“Bala bantuan? Siapa yang akan membantu kita?” Anya merasa bingung. “Seorang teman lama kenalan ayahku.” Saka tersenyum. Anak itu mencoba menyusuri belakang rumah. Ia memanjat Dindin
Perjalanan menuju ke villa yang berada di perbatasan antara Thailand dan Laos lumayan jauh dan memakan waktu tidak sebentar. Dua jam perjalanan Menggunakan taksi sudah cukup membuat kepala Dannis pegal. Terlebih lagi, Saka dan Anya yang ketiduran dan bersandar ke kedua pundaknya. Ia berganti posisi dengan Saka yang semula duduk di tengah-tengah. Saat memasuki wilayah sebuah komplek perumahan yang berada di lereng bukit, pemandangan di kedua sisi jalan berubah menjadi area pepohonan pinus. Sepi, tidak ada mobil yang lalu-lalang. Bahkan jarang ada orang yang sekadar lewat. Dannis merasa wilayah ini sangat berbeda dengan wilayah lainnya. “Hei, bangun. Kita sudah mau sampai.” Dannis membangunkan keduanya. Tampak liur Saka dan Anya membekas di kaos oblongnya. “Apa kita sudah di villa?” Anya melihat ke luar jendela. Ia sangat terpukau dengan pemandangannya. “Aneh, kenapa sepi sekali?” Saka merasakan hal yang sama dengan Dannis. Bocah itu masih saja menguap padahal sudah tidur dua jam.
“Ini luar biasa! Apa kuil itu terbuat dari emas?” Saka terpukau dengan kemegahan kuil yang ia lihat. Kuil-kuil yang ada di Chiang Mai sangat dijaga kelestariannya. Bukan hanya bentuk fisiknya saja yang begitu artistik dan memiliki sejarah yang tak ternilai, tapi fasilitas pendukung untuk para wisatawan juga diprioritaskan. Kenyamanan, keamanan dan kebersihan sangat terlihat di lingkungan kuil-kuil itu. Saka sangat menikmati kunjungan wisata itu. Ia sangat senang karena bisa pergi lagi bersama sepupu yang telah dianggapnya sebagai seorang kakak. Tidak sedikit ia bertanya tentang kuil-kuil itu ke Dannis. Meski lelaki itu telah menjelma sebagai pria dingin dan kaku, Dannis masih memiliki sisi lembut ketika bersama Saka. “Ngomong-ngomong, kau ingin menunjukkan apa padaku? Sebelum kita ke sini, kau bilang ingin menunjukkan sesuatu,” tanya Dannis.“Oh, aku baru ingat. Ini hanyalah cerita dari ayahku. Dulu sekali, dia pernah menyinggung soal organisasi hitam bernama Dewan XII. Kau tahu aya
“Fraksi IX? Apa kau gila?!” Steven langsung menghentikan ucapan temannya. “Organisasi itu seperti hantu. Tidak ada yang tahu di mana dan siapa amggotanya. Kau pikir kita bisa menemukannya?” ucap Reina. “Aku akan jelaskan dulu. Lalu kalian bisa mengambil kesimpulannya,” ungkap Gan. Anya dan Saka yang belum mengetahui organisasi itu tampak bingung. Dannis yang berada di samping mereka mencoba menjelaskan tentang organisasi Fraksi IX kepada keduanya. Meski harus mengabaikan ucapan Gan, tapi Dannis sangat menikmati menjelaskan hal itu pada Anya dan Saka. “Seorang Verbannen ke-6 mengetahui siapa anggota Fraksi IX. Tapi dia hanya memberikan alamatnya saja. Sayangnya, tempat orang itu sangat jauh dari Verbannen ke-6 yang memberitahukan tentang anggota organisasi itu. Yang aku rencanakan adalah… kita berpencar. Kelompok pertama akan menemui Verbannen di Myanmar. Kita akan mengajaknya untuk bergabung. Lalu kelompok kedua akan pergi menemui orang yang diduga sebagai anggota Fraksi IX di Lao
“Kau sudah bangun?” Gan menyapa temannya yang sedang berdiri di atas balkon penginapan. “Chiang Mai. Apa yang kita lakukan di sini? Kau ingin berwisata kuil?” Dannis menyindir. Hari baru dengan pemandangan langit biru tampak mempesona dirinya. Tapi kejadian yang membuat ia terus mengingat tentang lautan api, membuatnya merasa tidak nyaman. Apalagi kejadian kemarin telah menelan korban, yaitu temannya; Aden. Mereka lari sangat jauh dari lokasi pembakaran dan pembantaian malam lalu. Dengan uang yang tersisa, Gan membawa kedua temannya menuju ke Chiang Mai, tempat di mana salah satu klub malam miliknya yang tersisa.“Kita datang ke sini untuk mengambil simpanan uangku. Para Jager brengsek itu pasti telah menghubungi bank lokal untuk membekukan rekeningku. Aku harus mengambil uang tunai di penyimpananku. Dan… kita juga menunggu Steven, Reina dan satu orang lagi yang matanya ikut dari tanah airmu.” Gan pun pergi setelah mengucapkan hal itu. “Satu orang lagi?” Dannis berpikir siapa yang
Kepergian Gan membuatnya tampak tenang. Saat ini ia hanya ingin beristirahat di tempatnya hingga ajal menjemput. Sambil memegang remote control di salah satu tangannya, Aden menunggu sampai temannya berkumpul dengan yang lain. Tampak dari layar smartphone miliknya ada sebuah foto lama yang membuatnya teringat momen ketika ia masih menjadi seorang Jager. Aden mencoba untuk bernostalgia dengan foto di galeri smartphone miliknya. Sungguh rindu… ia rindu dengan keadaan dulu. “Gan?” Rosella bertemu dengan Gan yang baru saja melompat dari rumah sebelah. “Kenapa kau di sini?” Dannis merasa bingung ketika bertemu dengan Gan. Ia melihat pria itu menangis. Matanya masih tampak bengkak.“Kita harus pergi! Aden akan menekan remote itu! Cepat!” Gan berupaya membawa mereka berdua menjauh. Tapi Rosella dan Dannis tetap diam di tempat sembari mempertanyakan di mana Aden berada. Mereka menolak pergi sebelum Gan menjelaskan tentang keadaan Ad
“A, apa dari sana?” Aden menerka datangnya peluru yang menembaknya. Ia melihat gedung tinggi yang lumayan jauh. Tapi apa mungkin?Tepat di dada bagian kanan peluru Diablo menembusnya. Aden berusaha untuk bangun kembali, namun darah yang mengucur dari luka itu begitu deras. Bahkan darah juga keluar dari mulutnya. “G–guys… ada satu sniper lagi ….” [Kenapa bicaramu terbata-bata?]Gan merasa ada yang tidak beres dengan temannya. Ia menghentikan langkahnya dan berusaha mendengarkan Aden. [Aden? Apa kau terluka?] Rosella merasa cemas. Ia berupaya agar tebakannya salah. “A–aku baik-baik saja. Rose, tolong bisik ke arah gedung diujung sana. Sepertinya dia menembak dari sana.” Aden berusaha keluar dari jalur bidik Vladimir dengan bersembunyi kembali di balik dinding. Dengan posisi terduduk, ia berusaha untuk menghentikan pendarahannya menggunakan sapu tangan yang ia bawa. [Kau yakin? Kau seperti orang yang sedang terluka.]Gan mengkonfirmasinya kembali. Ia merasa ada yang tidak beres de
Serangan dari jarak jauh mulai dilancarkan oleh para Jager. Ternyata mereka sudah mengepung rumah itu semenjak gencatan senjata. Mereka terus maju dari lokasi persembunyiannya yang awal. Perlahan tanpa diketahui oleh Gan dan para pengawalnya. Dan inilah hasilnya. Ledakan besar yang baru saja terjadi berasal dari tembakan bazooka yang dilakukan oleh para Jager dari rumah seberang jalan. Meski para kawanan Gan bisa melawan balik, tapi intensitas serangan para Jager jauh lebih mendominasi. Alhasil, para pasukan Gan yang justru mundur ke belakang rumah untuk melindungi diri. Dan dalam waktu beberapa menit saja, sahut-sahutan bazooka membuat pekarangan depan rumah Gan hancur berantakan. Bahkan beberapa ruangan yang ada di rumahnya hancur menjadi puing-puing. “Mereka mendobrak gerbang!” Salah satu pengawal berteriak. “Dasar sial! Cepat bunuh mereka!” teriak Gan. Ia sedang bersama Aden yang bersiap-siap untuk melancarkan serangan kejutan. Aden terlihat sedang mempersiapkan senapan sniper
Malam bergulir sangat cepat bagi Dannis yang baru saja terbangun dari tidurnya. Ia terlihat kelelahan selama seharian berkutat dalam pelatihan ekstrimnya. Tanpa ia sadari, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Yang ia ingat setelah latihan selesai hanyalah mandi, makan dan tempat tidurnya. Sepertinya karena begitu lelah, ia tertidur hampir dua belas jam lebih. Ia merasakan sekujur tubuhnya terasa sakit, mungkin karena efek dari latihan kemarin. “Kenapa tenang sekali?” Lelaki itu tidak mengira bahwa pagi harinya akan dimulai dengan ketenangan. Biasanya ada langkah kaki yang terdengar lalu-lalang di sepanjang lorong lantai dua. Atau suara dari para pengawal yang mondar-mandir tepat di depan kamarnya. Bahkan ia tidak melihat si gila Rosella yang tiba-tiba masuk dan menggodanya. “Apa yang terjadi? Apa mereka semua mati?” Dannis beranjak dari ranjangnya dan menuju ke arah pintu. Ketika ia membukanya, tidak ada seorang pun yang menjaga di lorong lantai dua. Dan ketika ia melihat ke ba