"Sepertinya kita sedang dibuntuti." Juna melirik ke cermin di atas dashboard, tampak satu mobil mini Van putih terus mendekat dan menjaga jarak dengan mobil yang ia kemudikan. Sontak saja Dannis yang duduk di kursi belakang langsung menoleh ke kaca yang ada di belakangnya. Ia melihat ada tiga orang di bangku depan mini Van putih. Dan ia merasa bila bukan hanya tiga orang itu saja yang ada di mobil itu. "Apa yang harus kita lakukan?" tanya Juna. "Bila kau harus melawan mereka semua, apa kau bisa menang?" Dannis bertanya balik. "Kenapa kau bertanya padaku, seakan-akan aku yang ingin ditumbalkan," keluh Juna. "Karena aku tidak mungkin melawan preman-preman busuk itu." Dannis tersenyum sambil menepuk-nepuk pundak pengawalnya. Juna mempercepat laju mobilnya. Untungnya saat ini mereka sudah memasuki jalan tol. Rencana semula ingin pergi ke apartemen malah beralih ke tempat lain. Sesekali terlihat Juna melirik ke cermin dashboard. "Apa mereka akan membunuh kita?!" Saka tampak takut ke
"Keluarlah! Aku tahu kalian sedang bersembunyi." Randy berteriak sangat keras. Ujung selongsong pistolnya tepat mengarah ke dahi Juna yang sudah berlumuran darah. Ia tetap menatap pengawal itu dengan tajam. Tidak sedetikpun mengalihkan pandangan. Bagaikan seekor singa yang sudah mengunci bayi rusa. "Bagaimana mungkin kau bekerja sama dengan Andika? Apa kau diberikan asuransi berupa kebebasan? Atau kau sudah lupa dengan semua dosamu di masa lalu?" Tiba-tiba Juna memancing hati nurani Randy dengan pertanyaan tentang kehidupan lalunya. "Aku tidak mengerti maksudmu. Yang pasti, alasanku berada di samping Tuan Andika karena dia telah menyelamatkanku." Randy telat berdiri di depan pengawal itu. Ujung pistolnya begitu dekat dengan dahi Juna. "Oh, begitu. Kau sangat percaya diri sekali. Apa kau berpikir kalau Andika adalah sang penyelamat dunia," sindir pengawal itu. Randy tidak membalas sindiran itu. Ia hanya menjawabnya dengan meletakkan ujung selongsong pistolnya tepat di dahi Juna. T
"Apa kau sudah lebih baik?" tanya Dannis. Juna membutuhkan operasi kecil untuk menutup luka dan mengambil peluru yang tersemat di lengannya. Meski tidak membutuhkan waktu yang lama, namun Dannis tampak khawatir setelah melihat pengawalnya baru saja keluar dari ruang operasi. Ia sudah bisa berjalan seperti biasa, namun ada beberapa perban yang membungkus dirinya. "Bagaimana dengan bocah itu?" Juna berjalan di samping bosnya. Mereka menuju ke lift terdekat. "Dia hanya tergores di pipi. Saat ini, mungkin dia sedang bermain game konsol," pikir Dannis. Ketika pintu lift terbuka di lantai yang dituju, keduanya langsung keluar dan menuju ke ruangan Saka. Di sepanjang jalan terlihat Dannis terus menundukkan wajahnya. Juna memperhatikan raut wajah bosnya yang tampak tidak baik-baik saja. Ia hanya bisa menebak pikiran lelaki di sampingnya itu. "Jangan terlalu dipikirkan. Kita akan mencari cara untuk menjatuhkan Randy dan Andika," ungkap Juna. "Aku sedang tidak memikirkan masalah kemarin.
"Langit sepertinya ikut menangis," pikir Juna.Tepat di hari pemakaman Rafael Kartanegara, rintik hujan yang lumayan deras mengguyur seluruh area pemakaman yang berada di sebuah lahan pribadi milik keluarga Kartanegara. Tepatnya berada di kaki bukit, lumayan jauh dari rumah Aji Kartanegara. Terlihat semua yang hadir merupakan sanak-saudara, kerabat, kolega kantor dan beberapa orang-orang yang dekat dengan Rafael serta Aji Kartanegara. Semuanya mengenakan pakaian berwarna hitam. Turut air mata mengalir deras ketika jenazah diturunkan ke liang lahat. Saka yang berada sangat dekat dengan jenazah ayahnya tidak bisa membendung rindu yang akan terus abadi. Ia kehilangan sosok yang bisa mengerti dan mendengar curahan hatinya. Semuanya seakan tumpah ketika jasad Rafael telah berbaring tenang di dasar liang lahat. "Ayah!""Ayah …."Teriakan seorang anak laki yang sendu dan lirih tampak menyentuh semua pelayat yang hadir. Saka sampai duduk di samping gundukan tanah merah dan membuat pakaiann
"Kak Gilang, apa yang sebenarnya terjadi?!" Rei tampak kewalahan menerima kenyataan di depannya . Seorang pengawal baru saja tergeletak tidak berdaya tepat di depan makam pamannya. Ia juga melihat aksi heroik Juna yang menolong kakek dan sepupunya. Sepengetahuannya saat ini, ia hanya tahu kalau ada seorang sniper yang sedang membidik mereka semua. "Tetaplah sembunyi! Sniper itu masih ada di sana," ungkap Gilang. Ia melindungi Rei yang tampak kebingungan. Sayangnya, sudut bersembunyi mereka berdua begitu terbuka untuk bidikan sang sniper. Ia sangat jelas melihat Rei berdiri membelakangi dirinya. Meski tidak bisa membidik Gilang, tapi sniper itu telah memiliki target mahal yang bisa ia bunuh. "Saya sudah membidiknya."["Usahakan satu tembakan saja. Bidik tepat di kepala belakang."]Andika yang baru saja meninggalkan area pemakaman itu bersama anaknya, Adipati, masih berkomunikasi dengan sniper itu melalui alat komunikasi jarak jauh berupa earphone yang terpasang di telinga mereka ma
Hujan yang semula deras kian mereda, namun kabut yang menyelimuti daerah perbukitan itu menjadi begitu tebal. Pemakaman yang sebelumnya dihadiri oleh para tamu yang berdoa secara hikmat tampak berubah menjadi horor. "Ku–kurang ajar …." Juna yang merasa lemas ketika menatap jasad Rei tidak bisa berharap lebih banyak lagi kecuali rasa kecewa. Rangga yang berdiri di depan pengawal muda itu tampak tidak berdaya. Ia hanya bisa memalingkan wajahnya untuk menghilangkan pemandangan memilukan itu. Dari belakang tampak Saka dan Aji Kartanegara menghampiri mereka. Sekali lagi, pria tua itu mengalami syok yang luar biasa. Ia sampai tersentak dengan mata mendelik ketika melihat jasad cucunya. "Rei? A–apa yang terjadi padanya? Cepat jawab!" bentak Aji Kartanegara. "Rei sudah tidak ada, Kek." Gilang menyahuti ucapan sang kakek. Mendengar hal itu, sontak saja Aji Kartanegara langsung memegang erat dadanya. Rangga yang melihat kelakuan aneh bosnya langsung menghampiri tubuh si pria tua dan menya
"Aku tidak percaya harus menghadiri pemakaman mereka berdua." Dannis tampak tidak berdaya ketika menyaksikan pemakaman ibu dan anak itu. "Ini sudah diluar batas. Siapa pun dalangnya, dia bukan lagi manusia," pikir Juna. Setelah Gilang mendapatkan kabar dari pihak kepolisian perihal kematian Lina Tan yang tiba-tiba, ia langsung menuju ke rumah sakit. Di saat itu, ia tidak bisa berbuat banyak kecuali membiarkan pihak kepolisian untuk memeriksa dan menyelidiki pembunuhan itu. Dirinya hanya bisa mengabarkan ke seluruh anggota keluarga Kartanegara tentang kematian Lina Tan. Setelah itu, ia meminta rumah sakit kepolisian untuk mempersiapkan semua proses pemakaman. Dari yang sudah disampaikan oleh Aji Kartanegara, jasad Rei yang semula di semayamkan di rumah sakit milik Dannis akan dibawa secara bersamaan dengan jasad ibunya. Keduanya akan dimakamkan pada malam itu juga. Tampak terlihat mereka yang hadir di pemakaman hanyalah segelintir keluarga dekat. Dan lokasi pemakamannya berbeda dar
Satu Minggu telah berlalu sejak peristiwa berdarah yang terjadi secara beruntun di keluarga Kartanegara. Aksi keracunan, penembakan dan pembunuhan berencana yang dialami oleh keluarga terkaya di negeri itu telah menjadi sorotan media dalam negeri ataupun media luar selama satu Minggu ke belakang. Tidak ada henti-hentinya ketika menyetel televisi, berita yang selalu ditampilkan adalah konspirasi pembunuhan di keluarga Kartanegara. Sampai detik ini, pihak kepolisian yang telah membentuk tim khusus masih saja melakukan penyelidikan secara intensif. Sayangnya, selama satu Minggu ini, belum ada keterangan dari pihak kepolisian mengenai pelaku yang sebenarnya. Sambil menunggu hasil penyelidikan, selama seminggu itu, Aji Kartanegara dan beberapa kerabat dekat memilih untuk mengadakan pengajian untuk mendoakan ketiga orang itu. Saka, Gilang, Dannis, Juna, Airin, Nina dan Rangga hadir untuk mendampingi si pria tua. Namun sayangnya, Andika dan Adipati belum bisa hadir karena masih berada di lu
“Mereka terlalu banyak!” Anya begitu kesulitan untuk menembak para Jager selama sniper itu masih ada. “Kau harus bunuh snipernya terlebih dulu!” Anya berteriak dari balkon lantai tiga. “Aku tahu!” Dannis yang masih baru pertama kali menggunakan senjata sniper itu tampak kaku ketika membunuh beberapa Jager yang mendekat. Meski begitu, pelatihan yang ia lakukan dengan Rosella tidaklah gagal. Dannis tahu tentang sniper yang ada di lantai tiga itu. Ia tahu kalau sniper itu yang membunuh Aden di tragedi lautan api. Saat Rosella membidiknya, ia juga ikut melihat perawakan sniper itu. Tapi masalahnya, kemampuan sniper itu jauh diatasnya. Ia butuh strategi jitu untuk menumbangkannya. “Ada helikopter yang akan datang lima belas menit lagi! Bertahanlah sampai bala bantuan tiba!” Saka berteriak dari lantai dua.“Bala bantuan? Siapa yang akan membantu kita?” Anya merasa bingung. “Seorang teman lama kenalan ayahku.” Saka tersenyum. Anak itu mencoba menyusuri belakang rumah. Ia memanjat Dindin
Perjalanan menuju ke villa yang berada di perbatasan antara Thailand dan Laos lumayan jauh dan memakan waktu tidak sebentar. Dua jam perjalanan Menggunakan taksi sudah cukup membuat kepala Dannis pegal. Terlebih lagi, Saka dan Anya yang ketiduran dan bersandar ke kedua pundaknya. Ia berganti posisi dengan Saka yang semula duduk di tengah-tengah. Saat memasuki wilayah sebuah komplek perumahan yang berada di lereng bukit, pemandangan di kedua sisi jalan berubah menjadi area pepohonan pinus. Sepi, tidak ada mobil yang lalu-lalang. Bahkan jarang ada orang yang sekadar lewat. Dannis merasa wilayah ini sangat berbeda dengan wilayah lainnya. “Hei, bangun. Kita sudah mau sampai.” Dannis membangunkan keduanya. Tampak liur Saka dan Anya membekas di kaos oblongnya. “Apa kita sudah di villa?” Anya melihat ke luar jendela. Ia sangat terpukau dengan pemandangannya. “Aneh, kenapa sepi sekali?” Saka merasakan hal yang sama dengan Dannis. Bocah itu masih saja menguap padahal sudah tidur dua jam.
“Ini luar biasa! Apa kuil itu terbuat dari emas?” Saka terpukau dengan kemegahan kuil yang ia lihat. Kuil-kuil yang ada di Chiang Mai sangat dijaga kelestariannya. Bukan hanya bentuk fisiknya saja yang begitu artistik dan memiliki sejarah yang tak ternilai, tapi fasilitas pendukung untuk para wisatawan juga diprioritaskan. Kenyamanan, keamanan dan kebersihan sangat terlihat di lingkungan kuil-kuil itu. Saka sangat menikmati kunjungan wisata itu. Ia sangat senang karena bisa pergi lagi bersama sepupu yang telah dianggapnya sebagai seorang kakak. Tidak sedikit ia bertanya tentang kuil-kuil itu ke Dannis. Meski lelaki itu telah menjelma sebagai pria dingin dan kaku, Dannis masih memiliki sisi lembut ketika bersama Saka. “Ngomong-ngomong, kau ingin menunjukkan apa padaku? Sebelum kita ke sini, kau bilang ingin menunjukkan sesuatu,” tanya Dannis.“Oh, aku baru ingat. Ini hanyalah cerita dari ayahku. Dulu sekali, dia pernah menyinggung soal organisasi hitam bernama Dewan XII. Kau tahu aya
“Fraksi IX? Apa kau gila?!” Steven langsung menghentikan ucapan temannya. “Organisasi itu seperti hantu. Tidak ada yang tahu di mana dan siapa amggotanya. Kau pikir kita bisa menemukannya?” ucap Reina. “Aku akan jelaskan dulu. Lalu kalian bisa mengambil kesimpulannya,” ungkap Gan. Anya dan Saka yang belum mengetahui organisasi itu tampak bingung. Dannis yang berada di samping mereka mencoba menjelaskan tentang organisasi Fraksi IX kepada keduanya. Meski harus mengabaikan ucapan Gan, tapi Dannis sangat menikmati menjelaskan hal itu pada Anya dan Saka. “Seorang Verbannen ke-6 mengetahui siapa anggota Fraksi IX. Tapi dia hanya memberikan alamatnya saja. Sayangnya, tempat orang itu sangat jauh dari Verbannen ke-6 yang memberitahukan tentang anggota organisasi itu. Yang aku rencanakan adalah… kita berpencar. Kelompok pertama akan menemui Verbannen di Myanmar. Kita akan mengajaknya untuk bergabung. Lalu kelompok kedua akan pergi menemui orang yang diduga sebagai anggota Fraksi IX di Lao
“Kau sudah bangun?” Gan menyapa temannya yang sedang berdiri di atas balkon penginapan. “Chiang Mai. Apa yang kita lakukan di sini? Kau ingin berwisata kuil?” Dannis menyindir. Hari baru dengan pemandangan langit biru tampak mempesona dirinya. Tapi kejadian yang membuat ia terus mengingat tentang lautan api, membuatnya merasa tidak nyaman. Apalagi kejadian kemarin telah menelan korban, yaitu temannya; Aden. Mereka lari sangat jauh dari lokasi pembakaran dan pembantaian malam lalu. Dengan uang yang tersisa, Gan membawa kedua temannya menuju ke Chiang Mai, tempat di mana salah satu klub malam miliknya yang tersisa.“Kita datang ke sini untuk mengambil simpanan uangku. Para Jager brengsek itu pasti telah menghubungi bank lokal untuk membekukan rekeningku. Aku harus mengambil uang tunai di penyimpananku. Dan… kita juga menunggu Steven, Reina dan satu orang lagi yang matanya ikut dari tanah airmu.” Gan pun pergi setelah mengucapkan hal itu. “Satu orang lagi?” Dannis berpikir siapa yang
Kepergian Gan membuatnya tampak tenang. Saat ini ia hanya ingin beristirahat di tempatnya hingga ajal menjemput. Sambil memegang remote control di salah satu tangannya, Aden menunggu sampai temannya berkumpul dengan yang lain. Tampak dari layar smartphone miliknya ada sebuah foto lama yang membuatnya teringat momen ketika ia masih menjadi seorang Jager. Aden mencoba untuk bernostalgia dengan foto di galeri smartphone miliknya. Sungguh rindu… ia rindu dengan keadaan dulu. “Gan?” Rosella bertemu dengan Gan yang baru saja melompat dari rumah sebelah. “Kenapa kau di sini?” Dannis merasa bingung ketika bertemu dengan Gan. Ia melihat pria itu menangis. Matanya masih tampak bengkak.“Kita harus pergi! Aden akan menekan remote itu! Cepat!” Gan berupaya membawa mereka berdua menjauh. Tapi Rosella dan Dannis tetap diam di tempat sembari mempertanyakan di mana Aden berada. Mereka menolak pergi sebelum Gan menjelaskan tentang keadaan Ad
“A, apa dari sana?” Aden menerka datangnya peluru yang menembaknya. Ia melihat gedung tinggi yang lumayan jauh. Tapi apa mungkin?Tepat di dada bagian kanan peluru Diablo menembusnya. Aden berusaha untuk bangun kembali, namun darah yang mengucur dari luka itu begitu deras. Bahkan darah juga keluar dari mulutnya. “G–guys… ada satu sniper lagi ….” [Kenapa bicaramu terbata-bata?]Gan merasa ada yang tidak beres dengan temannya. Ia menghentikan langkahnya dan berusaha mendengarkan Aden. [Aden? Apa kau terluka?] Rosella merasa cemas. Ia berupaya agar tebakannya salah. “A–aku baik-baik saja. Rose, tolong bisik ke arah gedung diujung sana. Sepertinya dia menembak dari sana.” Aden berusaha keluar dari jalur bidik Vladimir dengan bersembunyi kembali di balik dinding. Dengan posisi terduduk, ia berusaha untuk menghentikan pendarahannya menggunakan sapu tangan yang ia bawa. [Kau yakin? Kau seperti orang yang sedang terluka.]Gan mengkonfirmasinya kembali. Ia merasa ada yang tidak beres de
Serangan dari jarak jauh mulai dilancarkan oleh para Jager. Ternyata mereka sudah mengepung rumah itu semenjak gencatan senjata. Mereka terus maju dari lokasi persembunyiannya yang awal. Perlahan tanpa diketahui oleh Gan dan para pengawalnya. Dan inilah hasilnya. Ledakan besar yang baru saja terjadi berasal dari tembakan bazooka yang dilakukan oleh para Jager dari rumah seberang jalan. Meski para kawanan Gan bisa melawan balik, tapi intensitas serangan para Jager jauh lebih mendominasi. Alhasil, para pasukan Gan yang justru mundur ke belakang rumah untuk melindungi diri. Dan dalam waktu beberapa menit saja, sahut-sahutan bazooka membuat pekarangan depan rumah Gan hancur berantakan. Bahkan beberapa ruangan yang ada di rumahnya hancur menjadi puing-puing. “Mereka mendobrak gerbang!” Salah satu pengawal berteriak. “Dasar sial! Cepat bunuh mereka!” teriak Gan. Ia sedang bersama Aden yang bersiap-siap untuk melancarkan serangan kejutan. Aden terlihat sedang mempersiapkan senapan sniper
Malam bergulir sangat cepat bagi Dannis yang baru saja terbangun dari tidurnya. Ia terlihat kelelahan selama seharian berkutat dalam pelatihan ekstrimnya. Tanpa ia sadari, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Yang ia ingat setelah latihan selesai hanyalah mandi, makan dan tempat tidurnya. Sepertinya karena begitu lelah, ia tertidur hampir dua belas jam lebih. Ia merasakan sekujur tubuhnya terasa sakit, mungkin karena efek dari latihan kemarin. “Kenapa tenang sekali?” Lelaki itu tidak mengira bahwa pagi harinya akan dimulai dengan ketenangan. Biasanya ada langkah kaki yang terdengar lalu-lalang di sepanjang lorong lantai dua. Atau suara dari para pengawal yang mondar-mandir tepat di depan kamarnya. Bahkan ia tidak melihat si gila Rosella yang tiba-tiba masuk dan menggodanya. “Apa yang terjadi? Apa mereka semua mati?” Dannis beranjak dari ranjangnya dan menuju ke arah pintu. Ketika ia membukanya, tidak ada seorang pun yang menjaga di lorong lantai dua. Dan ketika ia melihat ke ba