Infertil 15Vina menatap nanar Abra yang sudah terkapar, dengkuran halusnya terdengar. Pertanda pria itu tengah berkelana ke alam mimpi. Tubuh pria itu bahkan masih polos, hanya tertutup selimut. Berpakaian pun Abra tak sanggup, saking lemasnya dia. Akhirnya mereka berdua berhasil menjadi suami istri seutuhnya. Keduanya telah melalui malam pertama, sebagai mana pasangan lainnya. Namun sayangnya malam pertama mereka tak seperti ekspektasi Vina. Abra hanya bertahan sesaat, lalu mengakhiri pendakian, sebelum Vina sempat melayang.Rasanya Vina ingin menangis sejadinya, meluapkan kekecewaan yang kini menguasai hati dan pikirannya. Abra benar-benar membuatnya kecewa, malam pertama yang sudah dia nanti sejak lama berakhir begitu saja. Abra tidak perkasa. Tidak hanya kecewa, tapi juga terluka. Itu yang Vina alami sekarang, walau berbadan atletis dan terlihat begitu jantan. Nyatanya, Abra tak bisa memuaskan Vina. Meski sudah dibantu obat kuat sekalipun, pria itu tetap mlehoi. "Ya, setidakny
"Saya harus bagaimana, Dok?" Tanya Vina dengan air mata yang mengambang di pelupuk mata. Kilasan malam pertama yang jauh dari ekspektasinya kembali membayang, membuat hatinya kembali menelan pil pahit kekecewaan. Vina sudah menceritakan semua yang terjadi malam tadi, mulai dari Abra yang dia paksa minum obat kuat, hingga Abra yang baru masuk langsung keluar dan tepar. "Yang jelas kamu masih harus bersabar, Vin. Ini pengalaman pertama Abra, wajar kalau dia secepat itu. Grogi, tidak percaya diri dan kurang jam terbang yang memicu ejakulasi dini itu terjadi. Tapi kamu tenang, ini tidak permanen, kok. Seiring perjalanan waktu, performa Abra di atas ranjang akan mengalami peningkatan," tutur Dokter Fitria dengan lembut dan sabar, membuat Vina merasa sedikit lega. Akhirnya Vina memutuskan konsul dengan Dokter Fitria, melaporkan perkembangan Abra sekaligus mencurahkan isi hatinya. Tak mungkin dia cerita pada mertua, atau mamanya sendiri, apalagi pada sahabatnya lebih tidak mungkin lagi. S
Infertil 17Abra dan Vina berpegangan tangan, saling menguatkan satu sama lain. Hati mereka ketar ketir sejak pembantu rumah itu memberi tahu, bahwa Maya sudah menunggu mereka di meja makan. 'Ada hal penting yang ingin dibicarakan', begitu kata pembantu itu. Vina dan Abra tentu sudah tahu, hal penting itu apa. Tentu saja Maya akan menagih mereka berdua. Menagih kehamilan Vina. Waktu setahun yang diberikan Maya hampir tiba. "Sudah setahun kalian menikah, tapi Mama lihat Vina belum ada tanda-tanda hamil." Nah, kan bener. Ucapan Maya membuat Vina dan Abra saling pandang. Kalau kemarin-kemarin mereka bisa beralasan menunggu Vina selesai skripsi, atau selesai wisuda. Biar nggak kerepotan, kasihan kalau harus wara wiri dengan perut besar. Sekarang urusan kuliah Vina sudah selesai semua, apalagi yang akan mereka jadikan alasan?"Vina, Abra? Kenapa kalian hanya diam? Kalian nggak child free, kan?" Suara Maya naik satu oktaf. "Nggak, Ma. Kami juga ingin punya anak secepatnya, tapi memang be
Infertil 18"Hasil pemeriksaan Nyonya Vina semuanya baik, kondisi rahimnya juga sehat. Sangat memungkinkan untuk dibuahi, dan mengandung. Ini saya lihat tak ada masalah yang berarti yang menganggu kesuburan," ucap wanita cantik bersneli panjang itu, sambil melihat medical record yang dia pegang. Sementara Vina dan Abra serius menyimak. "Apa itu artinya istrinya saya ---" Abra tak sanggup melanjutkan kalimatnya, saking bahagianya. "Nyonya Vina subur, Pak. Kans untuk hamil sangat besar. Jadi Bapak dan Ibu tidak perlu khawatir. Soal kapan diberi, itu semua ketetapan yang Di Atas, ya, Pak. Kita hanya bisa menunggu, sambil berusaha dan berdoa," jawab dokter Adriana bijak. "Sekarang giliran Pak Abraham, yang menjalani tes kesuburan. Saya rujuk ke poli andrologi, ya, Pak. Silahkan Bapak bawa kartu ini! Di sana nanti akan bertemu dokter Anwar." Hati Abra mencelos, tiba-tiba gelisah melanda. Kalau hasil pemeriksaan Vina menyatakan, bahwa istrinya itu dalam kondisi sehat, dan subur. Bagaiman
"Mas, kenapa?" Tanya Vina begitu menyadari Abra berubah sikap. Abra yang tengah terpaku menatap ponselnya itu bergeming, panggilan Vina tak didengarnya. Padahal jarak mereka begitu dekat. "Mas! Siapa yang WA?" Tentu Vina penasaran, dengan sikap Abra yang tiba-tiba berubah. Tadi dia baik-baik saja, kok. Abra menanggapi candaan Vina seperti biasa, meksipun sejak di klinik tadi Abra sering tergagap. Abra masih bergeming, dia menatap nanar layar ponselnya. Dia masih tidak percaya dengan apa yang terpampang di sana. Dari awal Abra sudah mengkhawatirkan hasil tes kesuburan nya, dia khawatir kalau ternyata hasilnya tak sesuai harapan. Dan benar, kan. Abra dinyatakan infertil. Begitu isi surat yang Antoni foto, dan kirim ke Abra.Antoni bahkan menulis pesan yang berisi kalimat penyemangat. "Jangan putus asa, Bra. Tanpa anak bukan berarti kita tidak bisa bahagia."Masalahnya ini bukan hanya tentang Abra, tapi juga istri dan mamanya. Maya menuntut cucu darinya, hingga berfikir untuk menggan
Vina membaca sekali lagi pesan yang Antoni kirim ke nomor Abra, berharap dia salah baca, berharap tulisan itu berubah. Tapi harapan tinggal lah harapan, tulisan itu sama sekali tak berubah. Dalam surat itu, dinyatakan sperma Abra hanya berisi mani, tidak mengandung sperma sama sekali. Yang artinya sperma Abra tidak mungkin membuahi sel telur, yang bisa menyebabkan kehamilan. Alias tidak subur atau mandul. Infertil bahasa kerennya. Tangis Vina pecah seketika, sekarang dia bingung harus bagaimana. Syok, sedih, kaget dan tak percaya. Mengapa ini terjadi pada mereka berdua? Itu yang ingin Vina tanyakan, andai bisa bertemu Tuhan. Vina ingin protes sudah begitu kejam dan tidak adil? Itu yang Vina rasakan sekarang. "Mas! Jadi, hasilnya ...." Vina tak sanggup melanjutkan ucapannya, tenggorakannya bagai tercekik. Tak pernah terlintas dalam benak Vina, akan mengalami nasib seperti ini. Dia menatap Abra dengan mata berkaca-kaca, berharap yang dia baca itu salah. Abra mengangguk lemah, membena
Tiga bulan kemudian. "Waktu kalian sudah habis, Mama tidak mau mendengar alasan apapun. Kalau minggu depan hasil tes pack Vina masih negatif, maka kalian harus bercerai!" Ucap Maya penuh penekanan. Mereka sedang berada di ruang makan, tengah menikmati makan malam, yang tidak nikmat untuk Vina dan Abra. Abra dan Vina kompak saling pandang. Bercerai? Bagi Vina itu lebih baik, dia bisa lepas dari tekanan sang Mama mertua. Soal kehidupannya dan keluarganya nanti, itu bisa diatur. Toh Vina sudah lulus kuliah, sudah bisa cari kerja. Meski nanti harus hidup prihatin, karena penghasilan Vina tentu jauh dari nafkah yang diberikan Abra. Itu tak jadi masalah, yang penting hidup bebas tanpa beban. Tapi bagi Abra, itu pertanda kiamat. Mau menikah dengan siapapun, istri Abra nanti tidak akan hamil. Hasil tes kesuburan sudah menyatakan, kalau Abra Infertil, sudah tidak bisa diubah lagi. "Ma, tolong jangan berkata seperti itu. Punya anak atau tidak punya anak, aku hanya hidup bersama Vina, Ma.
Pagi itu Abra menarik dua koper besar berisi pakaian dan dokumen pribadi keluar kamar, disusul Vina yang membawa tas yang tak kalah besar, tak lupa sling bag sudah menghiasi bahunya. Mereka memutuskan untuk pindah dari rumah maya ke apartemen milik Abra. Sejak pertengkaran di meja makan beberapa minggu lalu, hubungan Abra dan Vina dengan Maya memburuk. Mereka saling diam, tak ada tergur sapa. Membuat suasana di rumah seperti neraka. Terutama Vina, dia yang paling tersiksa, dia yang menjadi korban pertikaian ibu dan anak itu. Apalagi sehari-hari Vina hanya di rumah saja, karena Abra tidak mengijinkan istrinya bekerja, takut kecantol teman sekantor katanya. Karena hanya di rumah, membuat Vina lebih sering berinteraksi dengan mertuanya. Dan terpaksa mendengar sindiran pedas mamanya Abra itu. "Ma, kami pamit." Abra dan Vina menghampiri Maya, yang tengah menikmati teh sambil membaca majalah di teras samping rumah. Maya menatap keduanya dengan tatapan nanar, apalagi koper dan tas besar y
"Ceritanya panjang. Nanti aku bakal jelasin semua. Sekarang aku minta tolong sama kamu, agar merahasiakan masalah ini dari Ibu. Bisa?" "Oke, oke. Mas Rangga tidak usah menghawatirkan itu, tapi Vina di rumah sakit mana?""Keluarga pasien atas nama Nyonya Vina!" Obrolan Erlita dan Rangga terjeda oleh suara petugas rumah sakit yang memanggil. "Sorry, Ta. Aku ke dalam dulu.""Jangan ditutup dulu, Mas! Vina di rumah sakit mana?" kejar Erlita yang pertayaannya belum dijawab Rangga. "Husada!" Usai berkata Rangga menutup panggilan, dan mengikuti perawat yang tadi memanggil dirinya. * * * * * * * "Apa hubungan Bapak dengan pasien?" tanya sang dokter dengan wajah penuh selidik. Masalahnya ini informasi yang sangat pribadi bagi pasien, jadi dokter harus memastikan hanya orang terdekat pasien yang tahu. "Saya suaminya, Dokter." Wanita cantik itu mengangguk. "Begini, Pak. Pasien sepertinya baru saja mengalami kekerasan seksual. Ini diagnosa sementara saya. Untuk pastinya kami masih menunggu
Rangga tak sanggup menahan air matanya, melihat orang yang dia cintai tergolek tak sadarkan di atas ranjang, dengan pakaian compang-camping. Bahkan nyaris telanjang. Tanpa perlu dijelaskan, siapapun tahu apa yang baru saja Vina alami. Kondisinya menjelaskan semua itu. Buru-buru dia menghambur ke arah ranjang, menarik selimut untuk menutupi tubuh yang selama ini begitu dia puja itu. Kemudian dipeluk nya tubuh lemas itu, dengan berurai air mata. "Maafkan aku, Sayang." Suara Rangga begitu hingga nyaris tak terdengar. Rangga tak bisa berkata apa-apalagi. Baru semalam mereka berdua begitu bahagia, mengetahui akan segera dikaruniai buah hati. Banyak rencana masa depan yang sudah dia rancang dengan sang istri, setelah anak mereka lahir nanti. Namun kenyataan berkata lain, Vina kembali mengalami pelecehan seks*al. Hal yang membuat Rangga merasa berdosa sekali, karena tak bisa menjaga Vina, hingga mendapat perlakuan seperti ini. 'Tuhan.... Apa salah kami, hingga harus mendapat takdir seper
Rangga mulai gelisah, pikirannya tidak tenang. Entah mengapa tiba-tiba dia merasa tidak enak. Rasa bersalah menggelayuti, karena membiarkan istrinya kembali ke kamar sendiri. Seharusnya, dia mengantar Vina dan memastikan wanita pujaannya Istrinya sampai di kamar dengan selamat. Bukannya membiarkan Vina pergi sendiri, bagaimana kalau Vina butuh bantuan, atau terjadi sesuatu dengan dia? 'Kenapa aku jadi lebay begini, sih? Ini hotel bintang lima, yang keamanannya terjaga. Yakin Vina baik-baik saja sampai kamar' gumam Rangga menghibur diri. 'Tapi Vina sedang hamil, harusnya aku selalu menjaga dia. Bukan malah mementingkan tamu," sanggah sisi hati Rangga yang lain. "Bro! Kamu kayak nggak tenang gitu. Kenapa?" Aditya, sahabat sekaligus rekan bisnis Rangga, menepuk calon bapak itu. "Eh, nggak papa, Men. Lagi kepikiran bini aja. Tadi dia ngeluh nggak enak badan, minta balik ke kamar," jelas Rangga. "Udah, susul sono! Daripada Lu kepikiran terus!" Rangga nampak berfikir sejenak. Sebagai
Tanpa menunggu lama, Edo buru-buru mengikuti langkah Vina. Menyusuri lorong hotel yang sepi. Setelah dirasa aman, Edo mendekat, dan menarik tubuh Vina sekuat tenaga. "Mm! Mm!" Vina berusaha melepaskan tangan asing, yang tiba-tiba membekap mulutnya. Kebaya dipadu kain batik yang dia kenakan, membatasi geraknya. Hingga kesulitan melawan orang entah siapa, yang punya maksud buruk padanya ini. "Mm! Mm!" Vina terus berusaha memberontak, meski tak yakin berhasil. Dia memukul, menendang, menggigit. Apapun yang bisa dia lakukan, dia lakukan saat ini demi bisa menyelamatkan diri. Tapi tenaga orang yang menyerangnya ini sangat kuat. Dari tangannya yang kekar, membuat Vina mengambil kesimpulan bahwa ini adalah laki-laki. Tapi siapa? Dia merasa tak punya musuh. Vina berharap ada orang yang lewat, dan mau menolongnya. Tapi nampaknya harapannya hanya kosong belaka, lorong itu tetap sepi sampai akhirnya sosok misterius itu berhasil menyeretnya masuk ke sebuah kamar. "Auw!" Vina menjerit, ketik
Vina menatap dingin ke arah Edo, berharap laki-laki ini cukup tahu diri, bahwa keberadaannya sangat mengganggu. "Tapi aku suka kamu yang sekarang. Terlihat lebih menggoda." Edo kembali melempar kalimat melecehkan."Pergi!" Vina sudah tak tahan lagi dengan sikap Edo yang menurutnya sangat menyebalkan."Oke, oke. Aku akan pergi. Tapi perlu kamu tahu, kita akan sering ketemu, Vin. Indra, suami adik iparmu itu, sepupuku. Dan satu lagi, perusahaan tempatku bekerja ada kontrak kerja sama dengan perusahaan milik suamimu." Usai berkata Edo melenggang begitu saja, meninggalkan Vina yang setengah mati menahan amarah. * * * * * * * * * *"Apa dia mengganggumu?" Tanya Rangga dengan wajah cemas. Setelah mengecup kening sang istri sekilas, Rangga kemudian menyeret kursi dan mendudukinya. Dari atas pelaminan, dia melihat istrinya memasang wajah kesal dan beberapa kali tanganya menunjuk ke arah keluar. Saat ngobrol dengan Edo tadi. Meski tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, Rangga yaki
"Hati-hati, Yang!" Tangan kanan Rangga memeluk pinggang Vina, sementara tangan kirinya menggandeng tangan sang istri. Mereka sedang menuruni tangga pelaminan, tapi perlakuan Rangga seolah Vina perempuan tua yang tengah menuruni bukit terjal. Vina menjengah mendapat perlakuan lebai dari suaminya. Sejak semalam, sejak tahu di rahimnya tengah tumbuh buah cinta mereka. Rangga jadi over protektif, Vina diperlakukan bak gelas kristal yang rapuh. Bahkan heels yang sedianya akan Vina pakai pada acara ini, diganti flatshoes karena tak mau kaki istrinya pegal dan kram. Bener-bener calon bapak over protective suami Vina ini. Meski jengkel, nyatanya perlakuan Rangga tetap membuat perasaan Vina melayang ke udara. Dia merasa begitu dicintai oleh sang suami. Dia merasa menjadi wanita paling beruntung, di muka bumi ini. Semalam, mereka begitu asyik memikirkan rencana-rencana pada calon buah hati mereka. Rangga bahkan sudah memilih nama yang pantas untuk calon anak mereka. Laki-laki jelang empat pu
"Mas .... udah, dong!" Vina berusaha menepis tangan Rangga yang terus membelit perutnya dari belakang. Tak masalah bagi Vina kalau tangan itu hanya memeluk, tapi tangan itu merayap kemana-mana. Bukan hanya meraba, tapi kadang mencubit area sensitif, dan meremas dadanya. Tanda bahwa pria yang sudah resmi menjadi suaminya itu mengajaknya kembali mendaki puncak asmara. Rangga tak menjawab, tangannya sibuk meraba-raba tubuh sang istri. Bahkan bibirnya dari tadi tak mau diam. Tengkuk dan leher Vina jadi sasaran. "Capek aku, Mas...." Kembali Vina melayangkan protes. Namun sayangnya Rangga enggan peduli. Ini bukan malam pertama mereka. Pernikahan sudah digelar hampir dua tahun yang lalu, tapi Abra seolah tak pernah bosan mengajak Vina mereguk manisnya madu cinta. Tubuh Vina, dan segala tentang Vina kini jadi candu bagi pria berkulit sawo matang itu. Tak pernah sekalipun dia melewatkan malam tanpa bercinta. Mumpung belum ada anak, belum ada yang mengganggu. Begitu fikir Rangga. Awal perni
"Saya terima nikah dan kawinnya, Levina Agustian binti Hendratmo dengan mas kawin logam mulia 24 karat, seberat 100 gr dibayar tunai." Dengan satu kali tarikan nafas, Rangga berhasil mengucap. Emas 24 karat, adalah lambang kesucian cinta Rangga untuk Vina. Dan seratus gram berarti, cinta Rangga hanya untuk Vina seorang. Begitu ucap Rangga saat Vina menanyakan apa filosofi di balik mas kawin yang dipilih Rangga. Dan semua itu bukan hanya kata-kata, apalagi bualan semata. Rangga sudah membuktikan, bahwa cintanya hanya untuk Vina. Bertahun-tahun dia rela menjomblo, karena tak satupun wanita mampu menggeser posisi mantan istri Abra itu di hatinya. "Bagaimana saksi, sah?""Sah!" Suara lantang nan kompak dari para hadirin terdengar membahana memenuhi ruangan. Tangis Vina pecah seketika, antara bahagia dan haru membaur jadi satu. Untuk kedua kalinya dia menjalani akad nikah lagi. Tak pernah terbersit dalam benaknya, pernikahannya dengan Abra kandas dan kini dia menikah dengan laki-laki la
Vina meninggalkan ruang sidang dengan langkah gontai. Sidang penuh drama dan berlarut-larut membuat dirinya lelah jiwa raga. Abra melalui kuasa hukumnya menolak bercerai dengan alasan masih cinta, dan semua yang terjadi hanya kesalah pahaman belaka. Entah Abra punya apa? Hingga majelis hakim terus menunda keputusan, padahal bukti sudah Vina sodorkan. Dan pengecut nya lagi, Abra tak pernah menghadiri sidang. Sakit, alasannya. "Huft! Lama banget, sih! Drama!" Gerutu Vina dalam hati. Sebenarnya jauh dalam hati, Vina tak pernah menginginkan perceraian ini. Dia berharap pernikahannya dengan Abra adalah yang pertama dan terakhir, hanya maut yang memisahkan mereka. Namun apalah dayanya, Abra yang dulu begitu memujanya, memperlakukannya bak ratu. Tiba-tiba berubah jadi sadis, hanya karena cemburu buta. Apakah masalah keuangan yang telah melilit Abra, yang membuat laki-laki yang biasanya begitu lembut itu, jadi temperamen dan tak berperikemanusiaan? Entahlah, Vina sendiri tidak tahu. Pada s