"Wah, sepertinya aku melewatkan sesuatu." Tesa berkata sambil mengenyakkan pantatnya di sofa, meski tidak dipersilahkan. Spontan Vina dan Maya melepas pelukan mereka. Keduanya kompak menatap Tesa yang tengah duduk dengan gaya angkuhnya. "Te--- Tesa?" Maya tergagap menyebut nama anak sepupu jauhnya itu. Vina melirik Maya dengan tatapan heran. Kok bisa? Maya yang biasanya selalu bersikap ramah dan antusias itu, tiba-tiba ketakutan seperti melihat setan ketika Tesa datang. Ini yang jadi pertanyaan Vina. "Iya, Tante. Ini saya Tesa, keponakan tersayang dan calon menantu Tante yang paling cantik, dan pastinya akan cepat memberi cucu pada Tante. Karena saya ini subur, nggak mandul kayak itu .... tu.... " Tesa menunjuk Vina dagunya, disertai tatapan merendahkan. Karena tak ingin terlibat masalah dengan Tesa, Vina memilih pergi. "Ma, saya ke atas dulu. Kalau ada apa-apa, Mama panggil Vina aja," pamit Vina. Maya mengangguk pelan, satu kebetulan baginya. Dia tidak ingin Vina mendengar ap
"Gila! 10M itu bukan uang yang sedikit, Vin? Dari mana aku dapat uang sebanyak itu!" Pekik Abra syok. Baru datang langsung dapat laporan kalau mamanya terlilit hutang yang jumlahnya tidak main-main, masih ditambah bunga pula. Bagaimana Abra tidak kaget. "Awalnya aku juga nggak percaya, Mas. Tapi Mama sendiri yang ngomong, aku juga dengar sendiri waktu Tesa nagih," cicit Vina. Meski bukan dirinya yang berhutang, melihat reaksi Abra yang seperti ini membuat nyali Vina ciut juga. Padahal dia janji pada mertuanya untuk bicara dengan Abra, dan membujuk suaminya itu agar mau membantu Maya melunasi hutangnya pada Tesa. Abra menghenyakkan tubuh di tepi ranjang, dia meremas rambutnya kasar, lalu meraupkan kedua tangannya ke wajah. "Kapan hutang Mama jatuh tempo?" Tanya Abra setelah merasa sedikit tenang. "Sebulan lagi, Mas." Abra meninju kasur di sebelahnya. Dia benar-benar tidak menyangka, kalo Tesa dan keluarganya yang selama terlihat baik dan ramah. Ternyata tega pada saudara sendiri
"Mas, cukup! Sekali aku bilang tidak mau, aku tetap tidak mau. Meski aku tidak tidur dengan laki-laki itu, tetap saja hukumnya Zina, Mas." Setengah memekik ketika Vina berkata, saking jengkel nya dia pada Abra yang ngeyel dari tadi. "Terus maumu apa, Vin? Kamu mau semua orang tahu kalau suamimu ini mandul? Kamu mempermalukan suamimu ini, begitu?" Vina terdiam. Berusaha menyusun kalimat yang tepat untuk menyampaikan pendapatnya, tanpa menyinggung perasaan Abra. "Aku mau hamil, Mas. Tapi ---" "Tapi apa? Katakan! Tidak usah berbelit-belit," sahut Abra yang tidak sabar menunggu Vina menyelesaikan kalimatnya. "Aku mau hamil, tapi harus hamil dengan suamiku. Bukan dengan laki-laki lain, meski hanya donor sperma. Kita ini muslim, Mas. Segala sesuatu yang kita lakukan harus sesuai hukum agama. Aku nggak mau seumur hidup menanggung dosa. Kita bukan bule yang hidup bebas, nggak kenal Tuhan. Kamu juga harus memikirkan resiko yang harus kita terima di belakang hari, dengan mengambil keputusan
"Mas, cukup! Sekali aku bilang tidak mau, aku tetap tidak mau. Meski aku tidak tidur dengan laki-laki itu, tetap saja hukumnya Zina, Mas." Setengah memekik ketika Vina berkata, saking jengkel nya dia pada Abra yang ngeyel dari tadi. "Terus maumu apa, Vin? Kamu mau semua orang tahu kalau suamimu ini mandul? Kamu mempermalukan suamimu ini, begitu?" Vina terdiam. Berusaha menyusun kalimat yang tepat untuk menyampaikan pendapatnya, tanpa menyinggung perasaan Abra. "Aku mau hamil, Mas. Tapi ---" "Tapi apa? Katakan! Tidak usah berbelit-belit," sahut Abra yang tidak sabar menunggu Vina menyelesaikan kalimatnya. "Aku mau hamil, tapi harus hamil dengan suamiku. Bukan dengan laki-laki lain, meski hanya donor sperma. Kita ini muslim, Mas. Segala sesuatu yang kita lakukan harus sesuai hukum agama. Aku nggak mau seumur hidup menanggung dosa. Kita bukan bule yang hidup bebas, nggak kenal Tuhan. Kamu juga harus memikirkan resiko yang harus kita terima di belakang hari, dengan mengambil keputusa
"Halo, Bro!" Jantung Vina hampir melompat dari tempatnya, ketika melihat dengan jelas wajah laki-laki yang disapa oleh Abra. "Ya Tuhan .... Apalagi ini?" Desis Vina dalam hati. Laki-laki itu, laki-laki yang tengah menjabat tangan Abra itu. Dia adalah laki-laki yang dulu pernah mengejar-ngejar Vina awal-awal masuk kuliah. Dia kakaknya Erlita, namanya Rangga. Dia bahkan pernah menyatakan perasaannya secara langsung pada Vina, tapi dia menolak. Karena Vina ingin fokus kuliah, bukan pacaran. Orang tuanya sudah susah membiayai pendidikannya, rasanya tak adil kalau Vina malah asik bermain cinta. Bertemu Rangga melempar kembali ingatan Vina ke masa la"Mau kemana sih, Ta? Aku mau pulang." Tolak Vina, ketika Erlita menarik tangannya menuju parkiran. "Iya, ini aku mau antar kamu pulang. Tapi mampir sebentar ke kafe kakakku. Aku lapar, kamu juga, kan?" Jawab Erlita tanpa melepaskan tangan Vina yang dia genggam. "Tapi ini sudah sore, Ta. Nanti mamaku khawatir." "Biar nanti aku yang ngomong
"Bicara berdua?" Abra membeo ucapan istrinya. "Iya, berdua saja. Boleh, kan?" Abra diam, terlihat dia tengah menimang permintaan istrinya. Apakah permintaan itu layak dia kabulkan? Mengingat tatapan Rangga yang terlihat begitu memuja Vina, jujur Abra cemburu. Tapi demi mendapatkan apa yang dia inginkan, dengan terpaksa Abra menyetujui permintaan Vina. "Oke, aku akan ke sana sebentar. Waktu kalian lima belas menit," putus Abra akhirnya. Menurut Abra, tak ada salahnya membiarkan Vina bicara empat mata saja dengan Rangga. Mungkin Vina ingin membuat kesepakatan dengan Rangga. Ah, nanti Vina juga cerita. Lagipula ini tempat umum, banyak pengunjung tak mungkin Rangga berani macem-macem sama Vina. Lagipula Abra akan terus memantau mereka, agar tidak terjadi hal tak diinginkan. "To the point aja, Mas. Waktu kita tidak banyak. Apa alasanmu bersedia menjadi pendonor?" Nada suara Vina terdengar tegas, tanpa basa-basi. "Sebenarnya aku dan Abra tidak terlalu dekat, kami hanya kenal tidak ber
"Tadi kalian ngobrol apa saja, Sayang?" Tanya Abra ketika mereka dalam perjalanan pulang. "Ngobrolin alasan dan tujuan dia, kenapa bersedia menjadi pendonor," jawab Vina jujur, tanpa menyebutkan hal lain yang sempat Rangga tawarkan tadi. "Terus, dia jawab apa?""Katanya kasihan, dan hanya ingin menolong. Bukan karena uang yang Mas kasih.""Dia nggak ngajuin syarat yang aneh-aneh sama kamu, kan?" Tanya Abra lagi. Ada kekhawatiran dalam diri Abra. Bagaimanapun juga Rangga adalah laki-laki normal, yang masih tertarik dengan perempuan, sementara istrinya begitu cantik. Bukan tidak mungkin Rangga jatuh cinta pada istrinya itu. Apalagi Rangga ini masuk golongan good looking, mapan secara finansial. Dan jangan lupakan kalau laki-laki ini fertil, bisa jadi Vina berpaling. Bukankah cinta bisa tumbuh dimana, dan kapan saja? Tak peduli status sudah menikah. "Aneh-aneh apa? Ya enggak, lah," sangkal Vina. Rangga memang tidak minta syarat yang aneh-aneh, tapi Rangga menawarkan hal yang aneh. G
"Sendirian aja, Vin? Abra mana?" Rangga bertanya sambil melongok ke arah belakang Vina, mencari keberadaan suami wanita yang masih dia cintai sampai sekarang. "Tadi di antar sampai depan aja, Mas. Kata Mas Abra kita disuruh ngaku sebagai suami istri, karena sarat program bayi tabung harus suami istri," jawab Vina dengan gugup. Sejak pertama bertemu Rangga, jantungnya sulit dikendalikan. Berdetak tak karuan. Keadaan Abra, membuat pikiran Vina travelling kemana-mana melihat postur tegap Rangga. Rasanya dia ingin memeluk, dan .... Ah, sudahlah. Dosa. Vina menghentikan pikirannya yang mulai nakal. "Oh, gitu. Oke." Rangga tersenyum lebar, matanya tak mau beralih dari Vina barang sedetik pun. "Walau hanya pura-pura nggak masalah, Vin. Yang penting pernah jadi suamimu. Dan ingat, kamu akan mengandung benihku." Batin Rangga. "Mas Rangga sudah nunggu lama, ya?" Vina merasa tidak enak pada Rangga, karena dia terlambat 30 menit dari waktu yang dia janjikan. Drama mata bengkak efek menangis
"Ceritanya panjang. Nanti aku bakal jelasin semua. Sekarang aku minta tolong sama kamu, agar merahasiakan masalah ini dari Ibu. Bisa?" "Oke, oke. Mas Rangga tidak usah menghawatirkan itu, tapi Vina di rumah sakit mana?""Keluarga pasien atas nama Nyonya Vina!" Obrolan Erlita dan Rangga terjeda oleh suara petugas rumah sakit yang memanggil. "Sorry, Ta. Aku ke dalam dulu.""Jangan ditutup dulu, Mas! Vina di rumah sakit mana?" kejar Erlita yang pertayaannya belum dijawab Rangga. "Husada!" Usai berkata Rangga menutup panggilan, dan mengikuti perawat yang tadi memanggil dirinya. * * * * * * * "Apa hubungan Bapak dengan pasien?" tanya sang dokter dengan wajah penuh selidik. Masalahnya ini informasi yang sangat pribadi bagi pasien, jadi dokter harus memastikan hanya orang terdekat pasien yang tahu. "Saya suaminya, Dokter." Wanita cantik itu mengangguk. "Begini, Pak. Pasien sepertinya baru saja mengalami kekerasan seksual. Ini diagnosa sementara saya. Untuk pastinya kami masih menunggu
Rangga tak sanggup menahan air matanya, melihat orang yang dia cintai tergolek tak sadarkan di atas ranjang, dengan pakaian compang-camping. Bahkan nyaris telanjang. Tanpa perlu dijelaskan, siapapun tahu apa yang baru saja Vina alami. Kondisinya menjelaskan semua itu. Buru-buru dia menghambur ke arah ranjang, menarik selimut untuk menutupi tubuh yang selama ini begitu dia puja itu. Kemudian dipeluk nya tubuh lemas itu, dengan berurai air mata. "Maafkan aku, Sayang." Suara Rangga begitu hingga nyaris tak terdengar. Rangga tak bisa berkata apa-apalagi. Baru semalam mereka berdua begitu bahagia, mengetahui akan segera dikaruniai buah hati. Banyak rencana masa depan yang sudah dia rancang dengan sang istri, setelah anak mereka lahir nanti. Namun kenyataan berkata lain, Vina kembali mengalami pelecehan seks*al. Hal yang membuat Rangga merasa berdosa sekali, karena tak bisa menjaga Vina, hingga mendapat perlakuan seperti ini. 'Tuhan.... Apa salah kami, hingga harus mendapat takdir seper
Rangga mulai gelisah, pikirannya tidak tenang. Entah mengapa tiba-tiba dia merasa tidak enak. Rasa bersalah menggelayuti, karena membiarkan istrinya kembali ke kamar sendiri. Seharusnya, dia mengantar Vina dan memastikan wanita pujaannya Istrinya sampai di kamar dengan selamat. Bukannya membiarkan Vina pergi sendiri, bagaimana kalau Vina butuh bantuan, atau terjadi sesuatu dengan dia? 'Kenapa aku jadi lebay begini, sih? Ini hotel bintang lima, yang keamanannya terjaga. Yakin Vina baik-baik saja sampai kamar' gumam Rangga menghibur diri. 'Tapi Vina sedang hamil, harusnya aku selalu menjaga dia. Bukan malah mementingkan tamu," sanggah sisi hati Rangga yang lain. "Bro! Kamu kayak nggak tenang gitu. Kenapa?" Aditya, sahabat sekaligus rekan bisnis Rangga, menepuk calon bapak itu. "Eh, nggak papa, Men. Lagi kepikiran bini aja. Tadi dia ngeluh nggak enak badan, minta balik ke kamar," jelas Rangga. "Udah, susul sono! Daripada Lu kepikiran terus!" Rangga nampak berfikir sejenak. Sebagai
Tanpa menunggu lama, Edo buru-buru mengikuti langkah Vina. Menyusuri lorong hotel yang sepi. Setelah dirasa aman, Edo mendekat, dan menarik tubuh Vina sekuat tenaga. "Mm! Mm!" Vina berusaha melepaskan tangan asing, yang tiba-tiba membekap mulutnya. Kebaya dipadu kain batik yang dia kenakan, membatasi geraknya. Hingga kesulitan melawan orang entah siapa, yang punya maksud buruk padanya ini. "Mm! Mm!" Vina terus berusaha memberontak, meski tak yakin berhasil. Dia memukul, menendang, menggigit. Apapun yang bisa dia lakukan, dia lakukan saat ini demi bisa menyelamatkan diri. Tapi tenaga orang yang menyerangnya ini sangat kuat. Dari tangannya yang kekar, membuat Vina mengambil kesimpulan bahwa ini adalah laki-laki. Tapi siapa? Dia merasa tak punya musuh. Vina berharap ada orang yang lewat, dan mau menolongnya. Tapi nampaknya harapannya hanya kosong belaka, lorong itu tetap sepi sampai akhirnya sosok misterius itu berhasil menyeretnya masuk ke sebuah kamar. "Auw!" Vina menjerit, ketik
Vina menatap dingin ke arah Edo, berharap laki-laki ini cukup tahu diri, bahwa keberadaannya sangat mengganggu. "Tapi aku suka kamu yang sekarang. Terlihat lebih menggoda." Edo kembali melempar kalimat melecehkan."Pergi!" Vina sudah tak tahan lagi dengan sikap Edo yang menurutnya sangat menyebalkan."Oke, oke. Aku akan pergi. Tapi perlu kamu tahu, kita akan sering ketemu, Vin. Indra, suami adik iparmu itu, sepupuku. Dan satu lagi, perusahaan tempatku bekerja ada kontrak kerja sama dengan perusahaan milik suamimu." Usai berkata Edo melenggang begitu saja, meninggalkan Vina yang setengah mati menahan amarah. * * * * * * * * * *"Apa dia mengganggumu?" Tanya Rangga dengan wajah cemas. Setelah mengecup kening sang istri sekilas, Rangga kemudian menyeret kursi dan mendudukinya. Dari atas pelaminan, dia melihat istrinya memasang wajah kesal dan beberapa kali tanganya menunjuk ke arah keluar. Saat ngobrol dengan Edo tadi. Meski tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, Rangga yaki
"Hati-hati, Yang!" Tangan kanan Rangga memeluk pinggang Vina, sementara tangan kirinya menggandeng tangan sang istri. Mereka sedang menuruni tangga pelaminan, tapi perlakuan Rangga seolah Vina perempuan tua yang tengah menuruni bukit terjal. Vina menjengah mendapat perlakuan lebai dari suaminya. Sejak semalam, sejak tahu di rahimnya tengah tumbuh buah cinta mereka. Rangga jadi over protektif, Vina diperlakukan bak gelas kristal yang rapuh. Bahkan heels yang sedianya akan Vina pakai pada acara ini, diganti flatshoes karena tak mau kaki istrinya pegal dan kram. Bener-bener calon bapak over protective suami Vina ini. Meski jengkel, nyatanya perlakuan Rangga tetap membuat perasaan Vina melayang ke udara. Dia merasa begitu dicintai oleh sang suami. Dia merasa menjadi wanita paling beruntung, di muka bumi ini. Semalam, mereka begitu asyik memikirkan rencana-rencana pada calon buah hati mereka. Rangga bahkan sudah memilih nama yang pantas untuk calon anak mereka. Laki-laki jelang empat pu
"Mas .... udah, dong!" Vina berusaha menepis tangan Rangga yang terus membelit perutnya dari belakang. Tak masalah bagi Vina kalau tangan itu hanya memeluk, tapi tangan itu merayap kemana-mana. Bukan hanya meraba, tapi kadang mencubit area sensitif, dan meremas dadanya. Tanda bahwa pria yang sudah resmi menjadi suaminya itu mengajaknya kembali mendaki puncak asmara. Rangga tak menjawab, tangannya sibuk meraba-raba tubuh sang istri. Bahkan bibirnya dari tadi tak mau diam. Tengkuk dan leher Vina jadi sasaran. "Capek aku, Mas...." Kembali Vina melayangkan protes. Namun sayangnya Rangga enggan peduli. Ini bukan malam pertama mereka. Pernikahan sudah digelar hampir dua tahun yang lalu, tapi Abra seolah tak pernah bosan mengajak Vina mereguk manisnya madu cinta. Tubuh Vina, dan segala tentang Vina kini jadi candu bagi pria berkulit sawo matang itu. Tak pernah sekalipun dia melewatkan malam tanpa bercinta. Mumpung belum ada anak, belum ada yang mengganggu. Begitu fikir Rangga. Awal perni
"Saya terima nikah dan kawinnya, Levina Agustian binti Hendratmo dengan mas kawin logam mulia 24 karat, seberat 100 gr dibayar tunai." Dengan satu kali tarikan nafas, Rangga berhasil mengucap. Emas 24 karat, adalah lambang kesucian cinta Rangga untuk Vina. Dan seratus gram berarti, cinta Rangga hanya untuk Vina seorang. Begitu ucap Rangga saat Vina menanyakan apa filosofi di balik mas kawin yang dipilih Rangga. Dan semua itu bukan hanya kata-kata, apalagi bualan semata. Rangga sudah membuktikan, bahwa cintanya hanya untuk Vina. Bertahun-tahun dia rela menjomblo, karena tak satupun wanita mampu menggeser posisi mantan istri Abra itu di hatinya. "Bagaimana saksi, sah?""Sah!" Suara lantang nan kompak dari para hadirin terdengar membahana memenuhi ruangan. Tangis Vina pecah seketika, antara bahagia dan haru membaur jadi satu. Untuk kedua kalinya dia menjalani akad nikah lagi. Tak pernah terbersit dalam benaknya, pernikahannya dengan Abra kandas dan kini dia menikah dengan laki-laki la
Vina meninggalkan ruang sidang dengan langkah gontai. Sidang penuh drama dan berlarut-larut membuat dirinya lelah jiwa raga. Abra melalui kuasa hukumnya menolak bercerai dengan alasan masih cinta, dan semua yang terjadi hanya kesalah pahaman belaka. Entah Abra punya apa? Hingga majelis hakim terus menunda keputusan, padahal bukti sudah Vina sodorkan. Dan pengecut nya lagi, Abra tak pernah menghadiri sidang. Sakit, alasannya. "Huft! Lama banget, sih! Drama!" Gerutu Vina dalam hati. Sebenarnya jauh dalam hati, Vina tak pernah menginginkan perceraian ini. Dia berharap pernikahannya dengan Abra adalah yang pertama dan terakhir, hanya maut yang memisahkan mereka. Namun apalah dayanya, Abra yang dulu begitu memujanya, memperlakukannya bak ratu. Tiba-tiba berubah jadi sadis, hanya karena cemburu buta. Apakah masalah keuangan yang telah melilit Abra, yang membuat laki-laki yang biasanya begitu lembut itu, jadi temperamen dan tak berperikemanusiaan? Entahlah, Vina sendiri tidak tahu. Pada s