"Bu Citra masih ada tamu, Pak," seorang resepsionis hotel memberitahu Arga yang tergesa ingin menemui istrinya.Tanpa menjawab, Arga duduk di sofa yang ada di lobi hotel. Dia gelisah sambil memegang surat di tangannya. Surat yang tak pernah di sangka akan diterimanya secepat ini."Mas, kita bicara di ruanganku." Citra menghampiri lima belas menit kemudian. Arga mengikuti istrinya menuju sebuah ruangan yang berada di bagian dalam, tepat di belakang ruang resepsionis.Arga menghenyakkan diri di sofa, sedangkan Citra mengambilkan minuman dingin dari dalam kulkas yang ada di sana. Wanita itu sudah tahu maksud kedatangan suaminya di hotel. Karena dia pun menerima surat yang sama pagi ini."Kenapa nggak membicarakan ini denganku dulu?" tanya Arga meletakkan surat di atas meja."Apa Mas punya waktu untuk membahas ini? Mas, terlalu sibuk kan. Lagian mau sampai kapan kita seperti ini. Aku capek, Mas. Beberapa bulan ini aku saja yang berusaha bertahan.""Aku juga berusaha bertahan.""Mas, bukan
Hakim mengalihkan pandangan pada Arga yang tampak tegang. "Kepada Saudara Arga sebagai pihak tergugat, apakah Anda setuju dengan keputusan pihak penggugat?""Saya keberatan, Pak Hakim. Saya masih berusaha untuk meminta kesempatan membenahi diri. Saya akui saya bersalah."Citra menarik napas panjang mendengar jawaban Arga. Tapi dia tidak menoleh sama sekali pada suaminya.Dikarenakan alasan ketidakcocokan bukan karena adanya kekerasan dalam rumah tangga, maka Hakim meminta penggugat dan tergugat untuk melanjutkan ke sidang mediasi. Paling lama selama empat puluh hari jam kerja. Hakim juga menjelaskan prosedur mediasi. Beliau juga menunjukkan daftar mediator yang bisa dipilih untuk menengahi permasalahan mereka. Sidang mediasi tidak diperbolehkan dilakukan di luar pengadilan.Akhirnya Pengacara Citra memilihkan satu mediator yang ada di kantor pengadilan agama hari itu. Pria itu lantas mengajak kliennya dan sang suami menuju ruang terpisah. Di sana ada seorang mediator laki-laki seusia
Udara sejuk menyambut dua insan yang sedang dalam misi perdamaian. Mereka turun dari mobil yang berhenti di halaman samping vila. Siang yang masih berkabut. Seorang laki-laki setengah baya menghampiri dan menyapa mereka dengan ramah."Sudah lama kita nggak bertemu, Mas Arga. Apa kabarnya?" Laki-laki yang menjaga vila menyalami mereka."Baik, Pak Jul.""Beberapa hari yang lalu Mas Chandra beserta istri dan anaknya juga menginap di sini, Mas."Arga manggut-manggut. Vila itu memang milik kakeknya. Jadi siapa saja bisa menginap di sana. Bahkan di wilayah itu ada beberapa vila lain milik sang kakek yang dijadikan tempat untuk berlibur atau berkumpul keluarga pada waktu-waktu tertentu.Keindahan yang ditawarkan di sana memang bisa dibilang setingkat lebih tinggi dibandingkan dengan suasana di villa lain. Makanya nilai jual vila itu memang sangat tinggi.Dari sana bisa langsung melihat pemandangan pegunungan di depan mata. Gunung yang menjulang tinggi dihiasi lebatnya pepohonan terpampang ny
Percintaan yang sangat berbeda dari malam-malam yang telah di lewati selama ini. Mereka memberikan rasa pada aktivitas intimnya malam itu. Citra pun merasakan perbedaannya. Biasanya bercinta hanya demi nafsu, kini bercinta untuk memperbaiki hubungan mereka. Mungkin karena bercinta tanpa adanya niat ibadah yang membuatnya tak kunjung hamil meski tanpa pengaman.Mama Yola sering menanyakan apakah dia sengaja menunda kehamilan? Setiap mertua dan orang tua pasti sangat berharap akan hadirnya anggota keluarga baru setelah putra-putrinya menikah. Terkadang Citra sampai bingung harus menjawabnya. Pernah di sarankan agar konsultasi ke dokter, tapi bagaimana mau ke dokter, sementara hubungannya dengan Arga seperti kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati pun tak mau."Aku ingin kita segera punya anak," bisik pria itu di tengah aktivitas mereka. Sebuah kalimat yang membuat Citra kaget lantas tersenyum. Kenapa baru sekarang, kenapa tidak dua bulan yang lalu atau setidaknya sebulan sebelum dia me
Senja menoleh ke arah sumber suara. Dia membalas senyum ramah pria yang memakai hem putih bergaris-garis vertikal warna hitam. "Pak Dion," balasnya sambil mengangguk pada mantan bosnya itu."Nggak nyangka ketemu kamu di sini. Sendirian, ya?""Saya sama Mbak Nur." Senja menunjuk pada ART-nya yang masih duduk di bangku tunggu. Wanita yang di sebut juga mengangguk hormat pada laki-laki itu."Pak Dion, ada perlu apa di sini?""Saya nganterin periksa si bungsu, batuknya nggak sembuh-sembuh. Kebetulan nanti sore saya berangkat ke luar kota jadi saya periksakan sekarang. Soalnya pasti nggak sempat kalau harus ke tempat praktek dokternya nanti sore." Lelaki yang kedua tangannya masuk ke saku celana memandang pada anak perempuan usia lima tahun yang sedang di pangku oleh baby sitter. Di sebelahnya seorang ibu juga memandang ke arah Senja dan Pak Dion."Suamimu nggak nganter?""Suami saya ada meeting di kantor, Pak."Pak Dion mengangguk. Tanpa mereka tahu, Bu Airin dan Tata sedang memperhatikan
Cukup lama menunggu Bu Airin dan Tata keluar dari ruang praktek dokter. Kelihatannya tadi mereka juga baik-baik saja, terutama iparnya itu. Apa mungkin Tata hamil lagi? Padahal anaknya belum genap umur setahun.Ketika Bu Airin dan Tata keluar, Senja berdiri hendak menyalami. Tapi ternyata mereka tidak lewat di depannya, melainkan berjalan ke arah lain. Mbak Nur menyuruh majikannya kembali duduk. Baginya, mereka itu memang keterlaluan. Orang-orang kaya yang kelewatan. "Sabar ya, Mbak," ucap Mbak Nur sambil memegang lengan Senja.Senyum menghiasi bibir mungil wanita hamil itu, meski hatinya terasa sangat terguris. Hampir sembilan bulan, nyatanya kondisi tetap sama. Mereka masih harus sabar menunggu beberapa pasien lagi, baru tiba giliran Senja di panggil oleh seorang suster."Sekarang masih mual, Bu Senja?" tanya dokter Eli setelah Senja di dampingi Mbak Nur duduk di hadapan dokter. Waktu telepon tadi Senja sudah menceritakan keluhannya pada dokter."Masih, Dok.""Silakan berbaring, ki
"Kita Salat Zhuhur dulu, habis itu kamu istirahat," kata Sabda setelah mereka sampai di rumah dan masuk kamar. Di kecupnya kening sang istri setelah Senja melepaskan hijabnya."Ganti baju dulu."Senja mengangguk kemudian membuka lemari pakaian. Mengeluarkan daster warna ungu muda. Di bantunya sang istri mengganti pakaiannya, sambil mengusap perut yang sudah membulat sempurna. Sabda tetap menahan diri meski ada yang meluap dalam dada. Ia harus menjaga kondisi istrinya yang tinggal menunggu beberapa hari saja untuk bersalin.Mereka bergantian mengambil air wudhu dan menunaikan ibadah bersama-sama. "Kamu istirahat, ya! Nanti ada apa-apa telepon Mas," pesan Sabda sambil menunggu Senja melipat mukena."Mas, hendak kembali ke kantor?""Iya, hari ini Mas pulang malam. Nanti biar Mbak Nur menemanimu sampai Mas pulang. Banyak pekerjaan yang harus Mas selesaikan sebelum ngambil cuti saat kamu lahiran nanti."Senja mengangguk sambil tersenyum. Wanita itu naik ke pembaringan, Sabda menutup kaki
Langit mendung sore itu tampak dari balkon kafe lantai tiga sebuah tempat perbelanjaan. Sabda duduk berdua dengan sang papa sambil menikmati dua cangkir kopi. Mereka baru saja selesai melakukan pertemuan dengan seorang buyer dan beberapa investor. Pak Prabu memang ingin putra keduanya juga turun langsung menangani bisnis, tidak hanya sekedar menjadi akuntan saja."Masmu Candra nggak bisa di andalkan, Da. Satu proyek papa nggak bisa ditanganinya dengan baik. Papa yakin kalau kamu juga mampu memegang tender. Dengan kemampuan akuntanmu sudah bisa Papa pastikan kalau kamu punya perhitungan yang jeli dalam proyek." Sabda masih mendengarkan Papanya bicara panjang lebar. Mengeluhkan kinerja kakaknya yang tak lagi memprioritaskan pekerjaan. Apa sebaiknya ia bicara tentang apa yang ia tahu?"Pa, boleh aku tanya sesuatu? Ini di luar pembahasan mengenai pekerjaan. Ini terlalu pribadi sebenarnya.""Tanya aja, apa yang ingin kamu ketahui?""Apa pernah Papa jatuh cinta lagi pada perempuan lain set
Two weeks later ....Sepulang kerja, Sabda mengajak istrinya langsung ke tempat praktek dokter Eli. Sabda tidak sabar menunggu hasil dari pemeriksaan dokter mengenai kehamilan istrinya yang ketiga.Dikarenakan mereka datang lebih awal dan telah membuat appointment sehari sebelumnya, makanya seorang perawat yang berjaga segera mempersilakan mereka berdua untuk masuk ruang praktek."Selamat sore, Dok," sapa Senja dengan ramah."Selamat sore juga. Wah, pasti ini mau program hamil atau sudah mau ngasih kejutan ke saya ini." Dokter Eli bicara sambil tersenyum.Setelah duduk, Senja langsung mengeluarkan hasil testpack keduanya tadi pagi. Meski ini pemeriksaan kehamilannya yang ketiga, tetap saja Senja merasakan berdebar-debar. Pengalaman kehamilan kedua yang berujung kuret membuatnya cemas. Sementara Sabda sendiri malah lebih optimis, bahwa semua pasti baik-baik saja. Sampai ia rela berpuasa tidak menyentuh istrinya sejak pertama kali Senja memberikan hasil testpack di kantor waktu itu."Hmm
Meeting kali ini di adakan di sebuah kafe yang tidak jauh dari kantornya Sabda. Pria itu ingin menghadirkan suasana baru, yang berbeda supaya rapat tidak terasa kaku dan membosankan.Meskipun ini rapat internal kantor yang hanya dihadiri oleh satu tim kerja Candra dan Sabda, tapi pria itu sengaja mencarikan tempat lain selain di ruangan meeting kantor seperti biasanya. Namun dia juga memperhatikan tempat yang di gunakan untuk meeting tetap kondusif dan nyaman.Itulah kenapa mereka sangat disukai oleh para bawahannya. Meski tegas, mereka berdua terutama Sabda cukup fleksibel menjadi seorang pemimpin. Rapat tidak pernah bertele-tele dan selalu efektif. Apa yang dibahas selalu on point, tapi materi yang disampaikan juga jelas.Sebenarnya dia sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan istrinya. Mengajaknya ke dokter kandungan meski hanya untuk melihat kantung janin yang semoga saja sudah terisi. Ah, berlebihan sekali Sabda. Enggak juga, istri dan anaknya adalah dunia baginya. Dia tidak
Sabda tidak peduli jika di katakan sok suci. Satu hal ini yang akan di jaga sampai mati, yaitu kehormatan. Papanya selalu menasehati agar menjauhi zina, karena sang papa tahu dunia dalam lingkup pekerjaan mereka. "Istrimu lebih higienis daripada cewek yang sering di ajak bersenang-senang beberapa rekan kerjamu. Itu dosa besar yang bisa membawa penyakit untukmu dan istrimu. Bagaimanapun kondisi istrimu, dialah yang terbaik dari perempuan yang bisa kamu bayar untuk kamu tiduri semalam. Ingat itu, Sabda." Nasehat sang papa masih teringat jelas dalam benaknya.Sabda membuka mata, dan angannya seketika sirna tatkala sang istri menghentikan pijatannya, kemudian ganti memeluknya dari belakang. Mereka menikmati momen itu sambil diam. Banyak pasangan yang sama-sama sibuk bekerja, akhirnya mengurangi waktu bersama. Mempengaruhi hubungan mereka hingga terkadang menjadi berjarak, terlebih jika pekerjaan mereka menuntut untuk sering lembur. Sementara Sabda selalu mengajak Senja untuk selalu peduli
Sabda tersenyum lebar. Apa yang akan dilakukan seorang laki-laki jika melihat istrinya seseksi itu di depan matanya dan di saat yang tepat pula? Tentunya tidak butuh waktu lama untuk segera bertindak.Rasa letih karena perjalanan panjang sudah tak lagi diingatnya. Sabda turun dari ranjang dan berhadapan dengan istrinya. Mereka saling pandang dalam jarak yang sangat dekat. Menikmati momen itu hingga mereka menghabiskan beberapa waktu di ranjang hotel.Radja yang terlelap tidak terganggu oleh suara apapun di kamar. Dia tidur dengan nyenyaknya dan membiarkan kedua orang tuanya menikmati malam milik mereka.Sabda membangunkan istrinya ketika azan subuh berkumandang. Di kecupnya kening Senja yang masih pulas di bawah selimut. "Bangun, Sayang. Sudah pagi," bisiknya pelan.Senja membuka mata, pemandangan yang pertama dilihatnya adalah sang suami yang tersenyum dengan jarak beberapa senti di atasnya. Rambutnya sudah basah. "Sudah subuh, ayo mandi dulu. Bak mandinya sudah Mas isi air hangat."
Setelah meletakkan undangan begitu saja di atas meja, Sabda mengambil ponsel yang tadi ia tinggalkan di ruangan. Ada beberapa pesan dari istrinya.[Mas, bisa pulang cepat hari ini?] Isi pesan dari Senja.[Usahakan pulang sore aja ya.] Pesan selanjutnya seperti sebuah permintaan. Apa karena sakitnya bertambah. Tadi dia bilang hanya agak meriang, bisa jadi hanya masuk angin saja. Sabda cemas dan akhirnya melakukan panggilan. Beberapa kali di telepon tidak di angkat. Senja mengirimkan pesan memang sudah satu jam yang lalu. Sabda kemudian menghubungi Mbak Nur. Panggilannya langsung di jawab. "Halo.""Mbak Senja mana, Mbak?" tanya Sabda tidak sabar."O, masih nyuapin Radja di depan, Mas. Mau saya panggilkan?""Tidak perlu, Mbak. Bagaimana kondisi Mbak Senja hari ini?""Mbak Senja baik-baik saja sejak pagi tadi, Mas. Malah Mbak Senja yang jagain Radja sejak pagi.""Oh ya sudah, Mbak." Sabda mengakhiri panggilan. Dia lega karena istrinya baik-baik saja. Mungkin hanya tidak enak badan saja
Rumah itu sepi di jam setengah satu malam. Hanya lampu yang tidak begitu terang masih menyala di teras rumah. Sabda menyuruh pengasuh putranya turun. Meski dalam perjalanan tadi gadis itu sudah meminta maaf, tapi tidak mengurungkan niat Sabda dan Senja untuk memulangkan Hesti ke rumah orang tuanya.Sabda turun, sedangkan Senja bertahan di dalam mobil memangku Radja yang tertidur pulas. Hesti mengetuk pintu rumah ibunya. Jarak dua meter di belakangnya, Sabda berdiri dengan kedua tangan di masukkan dalam saku jaket menunggu pintu di buka.Seorang wanita memakai daster yang panjangnya di atas paha keluar. Dia tidak kaget melihat kedatangan mereka, karena sudah di kirimi pesan oleh anaknya ketika Hesti dalam perjalanan tadi.Sabda menolak di persilakan masuk oleh ibunya Hesti. Di teras itu juga ia minta maaf karena harus memulangkan Hesti tengah malam. Sabda juga memberikan gaji Hesti yang belum genap kerja sebulan. Sabda juga menjelaskan kenapa harus mengantar pengasuh anaknya kembali k
Di antara kesibukan mereka bekerja, selalu meluangkan waktunya untuk Radja. Apalagi setelah Mbak Yekti berhenti kerja dua bulan yang lalu karena menikah lagi, Radja tidak begitu menyukai pengasuh barunya. Hesti, gadis yang masih berusia dua puluh tahun. Sebenarnya dia sabar juga mengasuh Radja, tapi entah kenapa bocah kecil itu tidak suka. "Kemarin Mbak Nur bilang, Radja nggak mau makan kalau Hesti yang nyuapi. Terus kalau mau buang air kecil juga nyari Mbak Nur. Tapi kalau mau susu atau tidur sudah mau sama Hesti. Biasanya juga sama Mbak Nur." Senja mengajak suaminya membahas pengasuh baru Radja."Apa perlu kita carikan pengasuh baru?" saran Sabda. Sebenarnya Sabda sendiri tidak menyukai gadis itu. Dia punya alasan tersendiri kenapa tidak menyukai pengasuh anaknya. Apalagi di tambah setelah ia tahu latar belakang gadis itu."Nanti kalau Radja juga nggak mau gimana?""Sayang, yang resign." Sabda menarik lengan istrinya agar lebih mendekat padanya. "Jadi meski ada pengasuh, tapi Radja
Bu Yola duduk di depan di samping suaminya yang mengemudi, sedangkan Arga duduk menemani Citra."Perutmu terasa sakit nggak?" tanya Bu Yola sambil menoleh pada sang menantu."Cuman terasa nggak nyaman aja, Ma. Tapi aku nggak ngerasain sakit ini."Sesampainya di klinik, mereka di sambut oleh dua orang perawat yang jaga malam. Citra di bawa ke ruang pemeriksaan. Mendengar penjelasan dari Citra maupun Bu Yola, akhirnya dokter langsung memutuskan untuk melakukan USG. Benar dugaan Bu Yola tadi, rupanya air ketuban sudah pecah sebelum adanya pembukaan. "Terus gimana, Dok?" tanya Bu Yola."Ada dua pilihan, Bu. Kalau air ketuban pecah sebelum kontraksi, bisa dilakukan induksi untuk merangsang kontraksi atau pulang ke rumah sambil menunggu adanya kontraksi secara alami. Tapi melihat dari pemeriksaan tadi, volume air ketuban nyaris habis. Makanya saya kasih pilihan kedua yaitu Cesar." "Cesar saja, Dok," sahut Arga cepat. "Sekarang juga kami akan mempersiapkan untuk operasi Cesar. Kasian baby
Nindy tersenyum getir. "Harus baik dan kami sudah jadi bestie sekarang. Demi anak-anak. Aku juga nggak mau lama-lama nyimpan sakit hati. Lebih baik melanjutkan hidup dengan hati bahagia. Toh sekarang mereka sudah menerima karmanya. Usaha Mas Fatih mulai surut, anak yang di kandung bininya terpaksa harus di operasi karena meninggal di dalam kandungan. Bukan aku bahagia dengan penderitaan mereka, aku juga bukan istri yang baik. Tapi setiap perbuatan pasti ada balasannya. Aku menyadari itu, Ja. Beda istri beda rezeki."Senja mendengar cerita Nindy dengan seksama. Musibah itu membuat Nindy menjadi pribadi yang jauh lebih baik. Melihatnya begitu murka ketika pertama kali ia mengetahui kalau suaminya selingkuh, siapa mengira kalau Nindy akhirnya bisa selegowo itu. Bahkan katanya sekarang menjadi bestie-nya sang mantan demi anak-anak. Tak semua orang bisa melakukan itu.Sikap Tata dan Nindy menyadarkan Senja, bahwa tak boleh menghakimi seseorang karena sikapnya. Sebab bisa saja mereka beruba