Mobil terparkir dan turunlah dua orang dari sana. Pak Dipta dan Bu Yola tampak kaget saat melihat Sabda dan Senja berdiri di dalam joglo. Wanita itu menatap Senja tak berkedip. Bagaimana bisa mereka di sana? Apakah mertuanya sudah tahu hubungan mereka? Sabda merangkul bahu istrinya dan mengajaknya menyambut kedatangan Om dan Tantenya. Mereka menyalami dua orang yang masih heran melihat Sabda dan Senja ada di rumah kakeknya."Apa kabar, Om?" sapa Sabda pada Pak Dipta. "Baik. Kalian sudah lama di sini?""Sudah sejak siang tadi, Om."Bu Yola tidak menyapa sama sekali pada mereka, wanita itu langsung menyalami dan mendekati kedua mertuanya. Kedatangannya bersama sang suami ke sana untuk membicarakan rencana pernikahan Arga setelah lebaran nanti. Dan dia yakin kalau Arga dan calon menantunya tadi pasti bertemu dengan Sabda dan Senja."Yola, ini istrinya Sabda. Sudah hamil sebelas minggu." Bu Tedjo bicara pada menantunya. Bu Yola tersenyum seraya menatap sekilas pada Senja. Hanya sejenak,
"Ma. Aku ke sini bersama Senja. Dia ditemani Bumi di luar. Apa sekali saja mama tak ingin melihat cucu mama yang masih berada di perutnya. Dia pinter lho, nggak rewel dan menyusahkan mamanya. Anteng juga saat di ajak bekerja. Kadang aku pengen menemani dia yang mengalami morning sickness. Tapi hingga sekarang, tak pernah dia mengalami itu. Persis seperti cerita mama waktu hamil aku dulu, 'kan?"Sabda tidak lelah bicara meski mamanya masih diam saja. Sebagai anak dia menempatkan posisi yang bersalah karena menikah diam-diam, tanpa minta restu terlebih dahulu. Sebagai anak dia tidak bisa menuruti keinginan orang tuanya untuk menikah dengan gadis pilihan mereka. Sabda tidak membenarkan sikapnya sendiri, demi memperbaiki hubungannya dengan orang tua, terutama dengan mamanya."Keluarga Senja mau umroh bareng-bareng, Ma. Bahkan rencana mau mengajak kami juga. Tapi karena Senja hamil dan takut dia kelelahan dan terjadi apa-apa, akhirnya aku dan Senja tak jadi ikut."Bu Airin kali ini benar-b
Senja membuatkan segelas air hangat untuk suaminya. Belakangan ini dia mengurangi minum teh. Paling hanya sekali di pagi hari saja. Di kantor juga minum air mineral. Terkadang kopi jika ia merasa ngantuk berat.Selesai Salat Asar, Sabda memandang istrinya yang sedang duduk di atas tempat tidur sambil memperhatikan kotak yang ada di tangannya. "Coba di buka!" kata Sabda setelah duduk di sebelah istrinya."Mas saja yang buka." Senja memberikan kotak pada suaminya. Dia jadi takut untuk membukanya sendiri. Pikirannya jadi menduga ke mana-mana."Nggak ada apa-apa. Sayang, yang buka. Kan aku temani di sini," jawab Sabda santai, tanpa curiga dan was-was. Sebenarnya Senja juga heran karena suaminya tidak menunjukkan rasa penasaran.Dengan tangan gemetar dan rasa penasaran, Senja segera mengoyak bungkusan yang dikemas sangat rapi. Sabda memerhatikan. Satu benda warna merah di bentangkan Senja, ia kaget melihat baju tidur yang sangat indah dan seksi di tangannya. Lingerie."Wow!'" seru Sabda sa
Sudah beberapa hari ini Citra mengabari kalau telah mengambil cuti. Di pingit katanya. Mereka juga mengurangi komunikasi di telepon. Cuman beberapa hari sebelumnya saja sempat bertemu untuk fitting baju pengantin. Banyak perubahan untuk gaun yang akan dipakai Citra. Menjelang menikah berat badannya susut beberapa kilo. Tampaknya dia juga terbebani dengan pernikahan itu. Seperti dirinya juga, tapi semua harus tetap berlanjut. Jika ingin semua aman sentosa damai sejahtera. Dan sampai sekarang pun Citra tidak memberitahu siapa pria yang disukainya. Arga tidak peduli jika itu akan tetap jadi rahasia.Bahkan Arga tidak peduli lagi dengan perasaannya, apa yang diinginkannya. Sebab apa yang dimau tak akan mungkin di dapatkan lagi. Tanpa sengaja ketika melihat Sabda mengusap perut Senja di rumah sang kakek, sewaktu reuni keluarga lebaran kemarin saja hampir membuatnya gila dan menggebrak meja. Pemandangan yang menyakitkan.Senja telah sempurna dimiliki, bahkan mungkin rasa untuknya tak ada la
Sejauh dan sedalam apapun terhempas dalam kisah cinta yang kandas, tapi percayalah kalau tak semudah itu membuat segalanya membaik begitu cepat. Mungkin mata akan lupa bagaimana parasnya, tapi hati tak akan mudah lupa siapa nama yang pernah bertahta.Harusnya Sabda kecewa ketika menyadari bahwa wanita yang digenggam tangannya, masih kesulitan berhadapan dengan masa lalunya. Namun Sabda tidak demikian, ia makin mengeratkan genggaman untuk memberi kekuatan. Karena bukan di sini tempatnya menunjukkan kekesalan.Mereka bergerak maju. Sabda memberikan ucapan selamat pada perempuan yang tanpa ia sadari telah lama memendam rasa untuknya. "Selamat menempuh hidup baru, Citra. Wish you happiness," ucap Sabda sambil tersenyum. "Thank's, Mas," jawab Citra sambil tersenyum dan menjabat erat tangan Sabda. Dengan tatapan yang hanya ia saja yang tahu artinya.Kini Sabda menggenggam erat tangan Arga. Lalu memeluknya. "Kamu akan bahagia. Selamat untuk pernikahanmu." Sabda berkata sambil menepuk bahu s
Terlebih dia tadi bisa melihat, bagaimana Sabda dengan penuh percaya diri menggandeng Senja di hadapan orang-orang yang asing melihat mereka. Berani membawa wanita itu dihadapan keluarga yang menentang hubungan mereka. Bahkan tak sungkan menunjukkan perhatian, terlihat sekali kalau Sabda begitu melindungi Senja. Hal yang tidak bisa ia lakukan. "Selamanya kita akan seperti ini jika tidak ingin melepaskan kenangan itu?" kata Citra. Ah, malam pengantin yang begitu menyedihkan. Harusnya mereka menikmati kebersamaan, bukan mengingat kenangan yang menyakitkan hati masing-masing. Citra juga heran, sepertinya sedikit saja Arga tidak tertarik untuk menyentuhnya. Ternyata dugaannya salah. Beberapa menit kemudian Arga mendekat. Citra tidak mengelak. Mereka ini suami istri meski hati entah milik siapa.Sesaat kemudian mereka sudah bercumbu. Pakaian sudah terlempar ke lantai dan mereka bercinta malam itu. Dengan liar, bahkan mungkin tanpa perasaan. Seolah-olah mereka sedang melibas kenangan den
Senja menyadari, bahwa dalam pernikahan harus banyak saling memahami. Terutama soal perasaan dan kebiasaan. Senja harus lebih peka dan hati-hati lagi."Pagi ini kamu temani Mas jogging ke taman kota. Nanti kita sarapan nasi uduk di sana. Mau kan? Mumpung kita masih libur."Senja terpana sejenak. Mas. Sabda telah mengganti panggilan untuknya sendiri dengan sebutan 'Mas'."Senja," panggil Sabda lagi."Iya, Mas. Aku nggak usah masak ya hari ini.""Oke, Sayang. Kita nanti makan di luar."💦 💦 💦 Senja duduk di bangku semen di bawah pohon trembesi yang rindang. Ia menunggu dan memperhatikan Sabda yang berlari mengelilingi taman. Sesekali ia memperhatikan remaja yang sedang bermain basket di lapangan tak jauh dari tempatnya duduk.Pandangannya beralih saat terdengar keributan di sebelah kanan dari tempat duduknya. Orang-orang berkerumun melihat sesuatu. Terdengar ada orang mengatakan bahwa ada perempuan yang tiba-tiba pingsan.Senja beranjak untuk melihat ke sana. Namun dia tidak menyadar
Perhatian Sabda yang sedang sibuk di depan laptop di ruang kerjanya teralih ketika ponselnya berdenting. Benda pipih yang tergeletak di meja diraihnya. Ada nomor baru yang mengirimkan pesan. Ada sepuluh foto Senja yang tengah bersalaman dengan Arga. Dia bisa melihat ketika sang sepupu menatap istrinya. Juga di saat mereka saling berpandangan dan bersalaman.'Cinta yang tak pernah selesai.' Tulisan itu terbaca di bawah salah satu foto. Sabda meletakkan kembali ponselnya dengan kasar, tanpa berniat membalasnya. Dadanya bergemuruh dengan perasaan ... entah.Siapa yang mengirimkan pesan itu padanya. Bela? Mama? atau justru Arga sendiri. Sabda kembali menatap layar laptopnya. Siapapun itu, dia pasti hanya ingin membuat hubungannya dengan Senja kacau. Sabda tidak boleh terpancing.Baru sejenak kembali fokus pada pekerjaan, satu pesan lagi masuk. Yang baru saja dikirim juga foto yang sama, hanya di ambil dari sudut yang berbeda. Dari atas tempatnya berdiri Arga memandang Senja yang hendak
Two weeks later ....Sepulang kerja, Sabda mengajak istrinya langsung ke tempat praktek dokter Eli. Sabda tidak sabar menunggu hasil dari pemeriksaan dokter mengenai kehamilan istrinya yang ketiga.Dikarenakan mereka datang lebih awal dan telah membuat appointment sehari sebelumnya, makanya seorang perawat yang berjaga segera mempersilakan mereka berdua untuk masuk ruang praktek."Selamat sore, Dok," sapa Senja dengan ramah."Selamat sore juga. Wah, pasti ini mau program hamil atau sudah mau ngasih kejutan ke saya ini." Dokter Eli bicara sambil tersenyum.Setelah duduk, Senja langsung mengeluarkan hasil testpack keduanya tadi pagi. Meski ini pemeriksaan kehamilannya yang ketiga, tetap saja Senja merasakan berdebar-debar. Pengalaman kehamilan kedua yang berujung kuret membuatnya cemas. Sementara Sabda sendiri malah lebih optimis, bahwa semua pasti baik-baik saja. Sampai ia rela berpuasa tidak menyentuh istrinya sejak pertama kali Senja memberikan hasil testpack di kantor waktu itu."Hmm
Meeting kali ini di adakan di sebuah kafe yang tidak jauh dari kantornya Sabda. Pria itu ingin menghadirkan suasana baru, yang berbeda supaya rapat tidak terasa kaku dan membosankan.Meskipun ini rapat internal kantor yang hanya dihadiri oleh satu tim kerja Candra dan Sabda, tapi pria itu sengaja mencarikan tempat lain selain di ruangan meeting kantor seperti biasanya. Namun dia juga memperhatikan tempat yang di gunakan untuk meeting tetap kondusif dan nyaman.Itulah kenapa mereka sangat disukai oleh para bawahannya. Meski tegas, mereka berdua terutama Sabda cukup fleksibel menjadi seorang pemimpin. Rapat tidak pernah bertele-tele dan selalu efektif. Apa yang dibahas selalu on point, tapi materi yang disampaikan juga jelas.Sebenarnya dia sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan istrinya. Mengajaknya ke dokter kandungan meski hanya untuk melihat kantung janin yang semoga saja sudah terisi. Ah, berlebihan sekali Sabda. Enggak juga, istri dan anaknya adalah dunia baginya. Dia tidak
Sabda tidak peduli jika di katakan sok suci. Satu hal ini yang akan di jaga sampai mati, yaitu kehormatan. Papanya selalu menasehati agar menjauhi zina, karena sang papa tahu dunia dalam lingkup pekerjaan mereka. "Istrimu lebih higienis daripada cewek yang sering di ajak bersenang-senang beberapa rekan kerjamu. Itu dosa besar yang bisa membawa penyakit untukmu dan istrimu. Bagaimanapun kondisi istrimu, dialah yang terbaik dari perempuan yang bisa kamu bayar untuk kamu tiduri semalam. Ingat itu, Sabda." Nasehat sang papa masih teringat jelas dalam benaknya.Sabda membuka mata, dan angannya seketika sirna tatkala sang istri menghentikan pijatannya, kemudian ganti memeluknya dari belakang. Mereka menikmati momen itu sambil diam. Banyak pasangan yang sama-sama sibuk bekerja, akhirnya mengurangi waktu bersama. Mempengaruhi hubungan mereka hingga terkadang menjadi berjarak, terlebih jika pekerjaan mereka menuntut untuk sering lembur. Sementara Sabda selalu mengajak Senja untuk selalu peduli
Sabda tersenyum lebar. Apa yang akan dilakukan seorang laki-laki jika melihat istrinya seseksi itu di depan matanya dan di saat yang tepat pula? Tentunya tidak butuh waktu lama untuk segera bertindak.Rasa letih karena perjalanan panjang sudah tak lagi diingatnya. Sabda turun dari ranjang dan berhadapan dengan istrinya. Mereka saling pandang dalam jarak yang sangat dekat. Menikmati momen itu hingga mereka menghabiskan beberapa waktu di ranjang hotel.Radja yang terlelap tidak terganggu oleh suara apapun di kamar. Dia tidur dengan nyenyaknya dan membiarkan kedua orang tuanya menikmati malam milik mereka.Sabda membangunkan istrinya ketika azan subuh berkumandang. Di kecupnya kening Senja yang masih pulas di bawah selimut. "Bangun, Sayang. Sudah pagi," bisiknya pelan.Senja membuka mata, pemandangan yang pertama dilihatnya adalah sang suami yang tersenyum dengan jarak beberapa senti di atasnya. Rambutnya sudah basah. "Sudah subuh, ayo mandi dulu. Bak mandinya sudah Mas isi air hangat."
Setelah meletakkan undangan begitu saja di atas meja, Sabda mengambil ponsel yang tadi ia tinggalkan di ruangan. Ada beberapa pesan dari istrinya.[Mas, bisa pulang cepat hari ini?] Isi pesan dari Senja.[Usahakan pulang sore aja ya.] Pesan selanjutnya seperti sebuah permintaan. Apa karena sakitnya bertambah. Tadi dia bilang hanya agak meriang, bisa jadi hanya masuk angin saja. Sabda cemas dan akhirnya melakukan panggilan. Beberapa kali di telepon tidak di angkat. Senja mengirimkan pesan memang sudah satu jam yang lalu. Sabda kemudian menghubungi Mbak Nur. Panggilannya langsung di jawab. "Halo.""Mbak Senja mana, Mbak?" tanya Sabda tidak sabar."O, masih nyuapin Radja di depan, Mas. Mau saya panggilkan?""Tidak perlu, Mbak. Bagaimana kondisi Mbak Senja hari ini?""Mbak Senja baik-baik saja sejak pagi tadi, Mas. Malah Mbak Senja yang jagain Radja sejak pagi.""Oh ya sudah, Mbak." Sabda mengakhiri panggilan. Dia lega karena istrinya baik-baik saja. Mungkin hanya tidak enak badan saja
Rumah itu sepi di jam setengah satu malam. Hanya lampu yang tidak begitu terang masih menyala di teras rumah. Sabda menyuruh pengasuh putranya turun. Meski dalam perjalanan tadi gadis itu sudah meminta maaf, tapi tidak mengurungkan niat Sabda dan Senja untuk memulangkan Hesti ke rumah orang tuanya.Sabda turun, sedangkan Senja bertahan di dalam mobil memangku Radja yang tertidur pulas. Hesti mengetuk pintu rumah ibunya. Jarak dua meter di belakangnya, Sabda berdiri dengan kedua tangan di masukkan dalam saku jaket menunggu pintu di buka.Seorang wanita memakai daster yang panjangnya di atas paha keluar. Dia tidak kaget melihat kedatangan mereka, karena sudah di kirimi pesan oleh anaknya ketika Hesti dalam perjalanan tadi.Sabda menolak di persilakan masuk oleh ibunya Hesti. Di teras itu juga ia minta maaf karena harus memulangkan Hesti tengah malam. Sabda juga memberikan gaji Hesti yang belum genap kerja sebulan. Sabda juga menjelaskan kenapa harus mengantar pengasuh anaknya kembali k
Di antara kesibukan mereka bekerja, selalu meluangkan waktunya untuk Radja. Apalagi setelah Mbak Yekti berhenti kerja dua bulan yang lalu karena menikah lagi, Radja tidak begitu menyukai pengasuh barunya. Hesti, gadis yang masih berusia dua puluh tahun. Sebenarnya dia sabar juga mengasuh Radja, tapi entah kenapa bocah kecil itu tidak suka. "Kemarin Mbak Nur bilang, Radja nggak mau makan kalau Hesti yang nyuapi. Terus kalau mau buang air kecil juga nyari Mbak Nur. Tapi kalau mau susu atau tidur sudah mau sama Hesti. Biasanya juga sama Mbak Nur." Senja mengajak suaminya membahas pengasuh baru Radja."Apa perlu kita carikan pengasuh baru?" saran Sabda. Sebenarnya Sabda sendiri tidak menyukai gadis itu. Dia punya alasan tersendiri kenapa tidak menyukai pengasuh anaknya. Apalagi di tambah setelah ia tahu latar belakang gadis itu."Nanti kalau Radja juga nggak mau gimana?""Sayang, yang resign." Sabda menarik lengan istrinya agar lebih mendekat padanya. "Jadi meski ada pengasuh, tapi Radja
Bu Yola duduk di depan di samping suaminya yang mengemudi, sedangkan Arga duduk menemani Citra."Perutmu terasa sakit nggak?" tanya Bu Yola sambil menoleh pada sang menantu."Cuman terasa nggak nyaman aja, Ma. Tapi aku nggak ngerasain sakit ini."Sesampainya di klinik, mereka di sambut oleh dua orang perawat yang jaga malam. Citra di bawa ke ruang pemeriksaan. Mendengar penjelasan dari Citra maupun Bu Yola, akhirnya dokter langsung memutuskan untuk melakukan USG. Benar dugaan Bu Yola tadi, rupanya air ketuban sudah pecah sebelum adanya pembukaan. "Terus gimana, Dok?" tanya Bu Yola."Ada dua pilihan, Bu. Kalau air ketuban pecah sebelum kontraksi, bisa dilakukan induksi untuk merangsang kontraksi atau pulang ke rumah sambil menunggu adanya kontraksi secara alami. Tapi melihat dari pemeriksaan tadi, volume air ketuban nyaris habis. Makanya saya kasih pilihan kedua yaitu Cesar." "Cesar saja, Dok," sahut Arga cepat. "Sekarang juga kami akan mempersiapkan untuk operasi Cesar. Kasian baby
Nindy tersenyum getir. "Harus baik dan kami sudah jadi bestie sekarang. Demi anak-anak. Aku juga nggak mau lama-lama nyimpan sakit hati. Lebih baik melanjutkan hidup dengan hati bahagia. Toh sekarang mereka sudah menerima karmanya. Usaha Mas Fatih mulai surut, anak yang di kandung bininya terpaksa harus di operasi karena meninggal di dalam kandungan. Bukan aku bahagia dengan penderitaan mereka, aku juga bukan istri yang baik. Tapi setiap perbuatan pasti ada balasannya. Aku menyadari itu, Ja. Beda istri beda rezeki."Senja mendengar cerita Nindy dengan seksama. Musibah itu membuat Nindy menjadi pribadi yang jauh lebih baik. Melihatnya begitu murka ketika pertama kali ia mengetahui kalau suaminya selingkuh, siapa mengira kalau Nindy akhirnya bisa selegowo itu. Bahkan katanya sekarang menjadi bestie-nya sang mantan demi anak-anak. Tak semua orang bisa melakukan itu.Sikap Tata dan Nindy menyadarkan Senja, bahwa tak boleh menghakimi seseorang karena sikapnya. Sebab bisa saja mereka beruba