Perutnya yang kemarin seperti balon, kini memang tak sekencang sewaktu sebelum dia hamil. Tapi dokter Eli bilang, butuh waktu berminggu-minggu untuk pulih seperti sedia kala. Perubahan hormon yang menyebabkan rahim berkontraksi dan akan menyusut seperti keadaan sebelum hamil.Makanya tadi siang ia sempatkan untuk luluran dan Mbak Nur melakukan pijatan ringan pada tubuhnya, biar lebih rileks. Untungnya baby Radja cukup anteng setelah nenen kenyang habis zhuhur tadi.Memiliki suami seperti Sabda, ia harus pandai-pandai menjaga. Jangan sampai terjadi perselingkuhan seperti yang dilakukan kakak iparnya. Sebenarnya banyak faktor yang membuat lelaki mendua. Salah satunya karena dasar lelakinya memang buaya.Padahal Senja sudah merencanakan sejak awal kalau besok malam dia akan menyiapkan surprise buat suaminya. Tapi ternyata Sabda telah tahu lebih dulu kalau dirinya telah selesai nifas hari ini.Dada Senja makin berdebar ketika pintu kamarnya di buka dari luar. Debarannya mengalahkan ketika
Apa mungkin dia yang berulang tahun, terus dia yang ngasih hadiah pada istrinya? Tapi bisa saja kan? Apa yang tidak mungkin bagi suaminya.Senja masih memperhatikan kotak di tangannya. Nama yang dituju pun bukan namanya, tapi nama Sabda. Kalau untuk dirinya sudah pasti nama yang dikirimi pakai namanya.Bimbang juga, antara mau membuka atau tidak. Itu pasti bukan untuk dirinya. Di letakkannya benda itu di nakas, lantas ia bangkit untuk Salat Asar.Rasa penasarannya di bawa hingga suaminya pulang ke rumah jam setengah sembilan malam. Senja yang sedang mengemas beberapa keperluan Radja untuk perjalanan besok segera berdiri dan membuka pintu."Assalamu'alaikum," ucap Sabda sambil tersenyum. Langsung dipeluknya sang istri dan mengecup keningnya."Wa'alaikumsalam," jawab Senja tidak secerah biasanya. Hari ini dia berharap suaminya bisa pulang cepat, agar bisa makan malam bersama. Tapi nyatanya, Sabda pulang malam lagi.Seperti biasanya pria itu langsung masuk kamar dan mandi, karena ingin s
Sabda memeluk erat tubuh Senja. Aroma jasmine yang menguar dari tubuh sang istri terasa menenangkan dan menimbulkan keinginan lain, keinginan seperti malam kemarin. Menyesal juga telah membuat istrinya benar-benar salah paham. Ketika tangannya telah membingkai wajah Senja dan hendak mengecupnya, baby Radja menangis. Senja melepaskan tangan sang suami, kemudian mendekati box bayi dan mengambil anaknya. Di pangkunya Radja untuk di susui. Sabda mendampingi di sebelahnya sambil memeluk bahu Senja.Lima belas menit sang Radja telah terlelap. Senja menidurkan kembali ke box-nya."Sini!" Sabda menarik pelan tangan istrinya. Senja yang masih jengkel duduk tanpa memandang suaminya. Entah kenapa, rasanya sakit meski sudah dijelaskan kalau itu hanya sekedar bercanda."Percayalah kalau Mas nggak akan mengkhianati sebuah komitmen. Apalagi komitmen sebuah pernikahan. Mas hanya ingin tahu, sejauh mana perasaanmu sama Mas.""Sekarang sudah tahu?" tanya Senja datar."Hmm, Mas tahu kalau akhirnya kamu
Foto pria setengah badan, memakai kemeja warna abu-abu dan tersenyum memandang ke arah kamera. Foto itu mungkin sudah berusia belasan tahun, Pak Saif masih terlihat sangat muda dengan senyumnya yang memikat. Senyum itu yang diwariskannya pada Senja. Namun karena sejak dulu Bu Yola tidak ingin mengenali kekasih putranya, makanya beliau tidak menyadari itu.Bu Yola kembali menunduk sebelum ada yang melihat tingkahnya yang aneh. Beliau memandang Bu Hanum yang sedang memangku Radja sambil berbincang dengan Bu Airin. Wanita yang lembut dan anggun. Itulah penilaiannya terhadap ibunya Senja.Pak Prabu mengucapkan permintaan maafnya pada keluarga Bu Hanum karena baru bisa bersilaturahmi, setelah hampir setahun pernikahan anak-anak mereka. "Kami mohon maaf, Bu Hanum, Pak Harto, dan keluarga semua. Sebab baru sekarang kami datang untuk menyambung silaturahmi. Saya pribadi dan istri benar-benar minta maaf."Pakdhe Harto yang jadi perwakilan keluarga mengangguk-angguk sambil tersenyum. Beliau tid
Jam tiga sore, ketika matahari sudah mulai lengser ke langit barat. Mereka bersiap-siap hendak ziarah ke makam Ayahnya Senja. Kali ini Senja dan baby Radja tidak ikut. Dia di rumah di temani budhe, Bumi, dan tetangga sebelah rumah.Angin sore yang berembus bersama kabut menebarkan hawa dingin. Kaum perempuan memakai sweater untuk melindungi tubuh. Pak Prabu, Pak Dipta, Sabda, dan Pakdhe Harto berjalan beriringan paling depan. Kemudian Bu Hanum bersama Bu Airin dan Bu Yola. Di belakang mereka ada Arga dan Citra. Ketika Bu Airin berbincang dengan Bu Hanum, Bu Yola diam mendengarkan sambil memperhatikan sekeliling. Penduduk desa yang ramah. Mereka menyapa Bu Hanum dari depan rumah masing-masing. Jarak antara rumah dan pemakaman desa bisa ditempuh dengan jalan kaki. Mereka berjalan sekitar tiga ratus meter.Pemakaman yang bersih dan terawat, jadi tidak ada kesan yang membuat merinding. Mereka memasuki gapura yang di cat warna hijau daun. Banyak pepohonan rindang di sana. Dedaunan kering h
Bu Airin ikut menemani Bu Hanum menjaga baby Radja. Kemudian Bu Yola ikut menyusul juga ke kamar yang lumayan luas. Ketiga wanita itu duduk bawah beralaskan permadani. Di atas meja ada foto masa kecilnya Senja. Ada foto Bu Hanum bertiga dengan suami dan putrinya."Ini foto terakhir kami bersama ayahnya Senja, sebelum beliau pergi." Bu Hanum mengambil foto di atas meja."Senja kalau diperhatikan dengan serius, sangat mirip ayahnya, Bu," ujar Bu Airin memperhatikan foto yang ditunjukkan padanya.Bu Hanum tersenyum sambil mengangguk pelan. "Senja sebenarnya punya adik kalau saya nggak keguguran saat hamil empat bulan. Adiknya Senja laki-laki.""Oh ya?""Iya. Waktu saya hamil anak kedua, Senja berumur empat tahun. Saya terpeleset waktu belanja di pasar, setelah sampai puskesmas saya pendarahan."Bu Yola hanya memperhatikan Bu Hanum dan Bu Airin bercerita. Ia menunggu, mungkin Bu Hanum akan menceritakan kehidupannya bersama sang suami waktu itu. Tentu kisah yang sangat romantis, mengingat
"Sayang, ayo kita masuk!" ajak Sabda lagi karena istrinya masih mematung."Mas, menyewa vila ini satu malam saja untuk kita?" tanya Senja belum bergerak dari tempatnya."Ayo, masuk. Nanti Mas cerita."Akhirnya mereka melangkah masuk. Sabda kembali mengunci pintu utama. Senja memperhatikan bangunan yang benar-benar masih baru. Di ruang tamu ada sofa warna kelabu dan televisi layar datar yang menempel di dinding. Sabda meraih lengan istrinya dan mengajaknya untuk naik ke lantai dua. Di sana ada tiga kamar. Sabda membuka salah satu kamar yang menguarkan aroma musk. Di tengah ruangan ada ranjang dengan taburan bunga mawar berwarna merah dan putih. Lilin aroma terapi menyala di pojok ruangan. "Ini kamar kita." Sabda menyingkap gorden warna kuning keemasan yang menutupi pintu kaca geser yang menghubungkan kamar dengan balkon."Kita, Mas?" tanya Senja belum juga paham.Kini keduanya berdiri di balkon sambil memandang pekatnya malam. "Ini vila hadiah buat kamu dan Radja. Untuk kalian berdua
"Ayo, Radja sudah menunggu kita." Sabda mengajak istrinya segera turun.Seketika Senja lekas meraih hand bag-nya lalu turun dan melangkah sambil digandeng suaminya. Mereka menuju pintu samping. Di balai-balai duduk Citra yang sedang memangku Radja di temani Arga. Bayi itu menatap dua orang yang sedang menjaganya. Entah, bagaimana perasaan Arga ketika memangku anak dari sepupu dan perempuan yang pernah di cintainya."Assalamu'alaikum." Sabda mengucapkan salam."Wa'alaikumsalam." Arga dan Citra menjawabnya hampir bersamaan. "Mommy datang, Radja." Citra bicara pada bayi di pangkuannya.Senja tersenyum sambil menunduk. Dia menyentuh pipi Radja yang memandangnya. Mata beningnya seolah paham kalau yang sedang berdiri di depannya adalah ibunya. "Aku cuci tangan dulu, Mbak." Bergegas Senja ke dapur. Di sana ada ibu dan mama mertuanya yang tengah menyiapkan sarapan. Mereka bicara sejenak, karena Senja ingin segera menyusui putranya dan masuk kamar.Bu Airin pergi ke ruang dalam dan bertemu Sab
Two weeks later ....Sepulang kerja, Sabda mengajak istrinya langsung ke tempat praktek dokter Eli. Sabda tidak sabar menunggu hasil dari pemeriksaan dokter mengenai kehamilan istrinya yang ketiga.Dikarenakan mereka datang lebih awal dan telah membuat appointment sehari sebelumnya, makanya seorang perawat yang berjaga segera mempersilakan mereka berdua untuk masuk ruang praktek."Selamat sore, Dok," sapa Senja dengan ramah."Selamat sore juga. Wah, pasti ini mau program hamil atau sudah mau ngasih kejutan ke saya ini." Dokter Eli bicara sambil tersenyum.Setelah duduk, Senja langsung mengeluarkan hasil testpack keduanya tadi pagi. Meski ini pemeriksaan kehamilannya yang ketiga, tetap saja Senja merasakan berdebar-debar. Pengalaman kehamilan kedua yang berujung kuret membuatnya cemas. Sementara Sabda sendiri malah lebih optimis, bahwa semua pasti baik-baik saja. Sampai ia rela berpuasa tidak menyentuh istrinya sejak pertama kali Senja memberikan hasil testpack di kantor waktu itu."Hmm
Meeting kali ini di adakan di sebuah kafe yang tidak jauh dari kantornya Sabda. Pria itu ingin menghadirkan suasana baru, yang berbeda supaya rapat tidak terasa kaku dan membosankan.Meskipun ini rapat internal kantor yang hanya dihadiri oleh satu tim kerja Candra dan Sabda, tapi pria itu sengaja mencarikan tempat lain selain di ruangan meeting kantor seperti biasanya. Namun dia juga memperhatikan tempat yang di gunakan untuk meeting tetap kondusif dan nyaman.Itulah kenapa mereka sangat disukai oleh para bawahannya. Meski tegas, mereka berdua terutama Sabda cukup fleksibel menjadi seorang pemimpin. Rapat tidak pernah bertele-tele dan selalu efektif. Apa yang dibahas selalu on point, tapi materi yang disampaikan juga jelas.Sebenarnya dia sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan istrinya. Mengajaknya ke dokter kandungan meski hanya untuk melihat kantung janin yang semoga saja sudah terisi. Ah, berlebihan sekali Sabda. Enggak juga, istri dan anaknya adalah dunia baginya. Dia tidak
Sabda tidak peduli jika di katakan sok suci. Satu hal ini yang akan di jaga sampai mati, yaitu kehormatan. Papanya selalu menasehati agar menjauhi zina, karena sang papa tahu dunia dalam lingkup pekerjaan mereka. "Istrimu lebih higienis daripada cewek yang sering di ajak bersenang-senang beberapa rekan kerjamu. Itu dosa besar yang bisa membawa penyakit untukmu dan istrimu. Bagaimanapun kondisi istrimu, dialah yang terbaik dari perempuan yang bisa kamu bayar untuk kamu tiduri semalam. Ingat itu, Sabda." Nasehat sang papa masih teringat jelas dalam benaknya.Sabda membuka mata, dan angannya seketika sirna tatkala sang istri menghentikan pijatannya, kemudian ganti memeluknya dari belakang. Mereka menikmati momen itu sambil diam. Banyak pasangan yang sama-sama sibuk bekerja, akhirnya mengurangi waktu bersama. Mempengaruhi hubungan mereka hingga terkadang menjadi berjarak, terlebih jika pekerjaan mereka menuntut untuk sering lembur. Sementara Sabda selalu mengajak Senja untuk selalu peduli
Sabda tersenyum lebar. Apa yang akan dilakukan seorang laki-laki jika melihat istrinya seseksi itu di depan matanya dan di saat yang tepat pula? Tentunya tidak butuh waktu lama untuk segera bertindak.Rasa letih karena perjalanan panjang sudah tak lagi diingatnya. Sabda turun dari ranjang dan berhadapan dengan istrinya. Mereka saling pandang dalam jarak yang sangat dekat. Menikmati momen itu hingga mereka menghabiskan beberapa waktu di ranjang hotel.Radja yang terlelap tidak terganggu oleh suara apapun di kamar. Dia tidur dengan nyenyaknya dan membiarkan kedua orang tuanya menikmati malam milik mereka.Sabda membangunkan istrinya ketika azan subuh berkumandang. Di kecupnya kening Senja yang masih pulas di bawah selimut. "Bangun, Sayang. Sudah pagi," bisiknya pelan.Senja membuka mata, pemandangan yang pertama dilihatnya adalah sang suami yang tersenyum dengan jarak beberapa senti di atasnya. Rambutnya sudah basah. "Sudah subuh, ayo mandi dulu. Bak mandinya sudah Mas isi air hangat."
Setelah meletakkan undangan begitu saja di atas meja, Sabda mengambil ponsel yang tadi ia tinggalkan di ruangan. Ada beberapa pesan dari istrinya.[Mas, bisa pulang cepat hari ini?] Isi pesan dari Senja.[Usahakan pulang sore aja ya.] Pesan selanjutnya seperti sebuah permintaan. Apa karena sakitnya bertambah. Tadi dia bilang hanya agak meriang, bisa jadi hanya masuk angin saja. Sabda cemas dan akhirnya melakukan panggilan. Beberapa kali di telepon tidak di angkat. Senja mengirimkan pesan memang sudah satu jam yang lalu. Sabda kemudian menghubungi Mbak Nur. Panggilannya langsung di jawab. "Halo.""Mbak Senja mana, Mbak?" tanya Sabda tidak sabar."O, masih nyuapin Radja di depan, Mas. Mau saya panggilkan?""Tidak perlu, Mbak. Bagaimana kondisi Mbak Senja hari ini?""Mbak Senja baik-baik saja sejak pagi tadi, Mas. Malah Mbak Senja yang jagain Radja sejak pagi.""Oh ya sudah, Mbak." Sabda mengakhiri panggilan. Dia lega karena istrinya baik-baik saja. Mungkin hanya tidak enak badan saja
Rumah itu sepi di jam setengah satu malam. Hanya lampu yang tidak begitu terang masih menyala di teras rumah. Sabda menyuruh pengasuh putranya turun. Meski dalam perjalanan tadi gadis itu sudah meminta maaf, tapi tidak mengurungkan niat Sabda dan Senja untuk memulangkan Hesti ke rumah orang tuanya.Sabda turun, sedangkan Senja bertahan di dalam mobil memangku Radja yang tertidur pulas. Hesti mengetuk pintu rumah ibunya. Jarak dua meter di belakangnya, Sabda berdiri dengan kedua tangan di masukkan dalam saku jaket menunggu pintu di buka.Seorang wanita memakai daster yang panjangnya di atas paha keluar. Dia tidak kaget melihat kedatangan mereka, karena sudah di kirimi pesan oleh anaknya ketika Hesti dalam perjalanan tadi.Sabda menolak di persilakan masuk oleh ibunya Hesti. Di teras itu juga ia minta maaf karena harus memulangkan Hesti tengah malam. Sabda juga memberikan gaji Hesti yang belum genap kerja sebulan. Sabda juga menjelaskan kenapa harus mengantar pengasuh anaknya kembali k
Di antara kesibukan mereka bekerja, selalu meluangkan waktunya untuk Radja. Apalagi setelah Mbak Yekti berhenti kerja dua bulan yang lalu karena menikah lagi, Radja tidak begitu menyukai pengasuh barunya. Hesti, gadis yang masih berusia dua puluh tahun. Sebenarnya dia sabar juga mengasuh Radja, tapi entah kenapa bocah kecil itu tidak suka. "Kemarin Mbak Nur bilang, Radja nggak mau makan kalau Hesti yang nyuapi. Terus kalau mau buang air kecil juga nyari Mbak Nur. Tapi kalau mau susu atau tidur sudah mau sama Hesti. Biasanya juga sama Mbak Nur." Senja mengajak suaminya membahas pengasuh baru Radja."Apa perlu kita carikan pengasuh baru?" saran Sabda. Sebenarnya Sabda sendiri tidak menyukai gadis itu. Dia punya alasan tersendiri kenapa tidak menyukai pengasuh anaknya. Apalagi di tambah setelah ia tahu latar belakang gadis itu."Nanti kalau Radja juga nggak mau gimana?""Sayang, yang resign." Sabda menarik lengan istrinya agar lebih mendekat padanya. "Jadi meski ada pengasuh, tapi Radja
Bu Yola duduk di depan di samping suaminya yang mengemudi, sedangkan Arga duduk menemani Citra."Perutmu terasa sakit nggak?" tanya Bu Yola sambil menoleh pada sang menantu."Cuman terasa nggak nyaman aja, Ma. Tapi aku nggak ngerasain sakit ini."Sesampainya di klinik, mereka di sambut oleh dua orang perawat yang jaga malam. Citra di bawa ke ruang pemeriksaan. Mendengar penjelasan dari Citra maupun Bu Yola, akhirnya dokter langsung memutuskan untuk melakukan USG. Benar dugaan Bu Yola tadi, rupanya air ketuban sudah pecah sebelum adanya pembukaan. "Terus gimana, Dok?" tanya Bu Yola."Ada dua pilihan, Bu. Kalau air ketuban pecah sebelum kontraksi, bisa dilakukan induksi untuk merangsang kontraksi atau pulang ke rumah sambil menunggu adanya kontraksi secara alami. Tapi melihat dari pemeriksaan tadi, volume air ketuban nyaris habis. Makanya saya kasih pilihan kedua yaitu Cesar." "Cesar saja, Dok," sahut Arga cepat. "Sekarang juga kami akan mempersiapkan untuk operasi Cesar. Kasian baby
Nindy tersenyum getir. "Harus baik dan kami sudah jadi bestie sekarang. Demi anak-anak. Aku juga nggak mau lama-lama nyimpan sakit hati. Lebih baik melanjutkan hidup dengan hati bahagia. Toh sekarang mereka sudah menerima karmanya. Usaha Mas Fatih mulai surut, anak yang di kandung bininya terpaksa harus di operasi karena meninggal di dalam kandungan. Bukan aku bahagia dengan penderitaan mereka, aku juga bukan istri yang baik. Tapi setiap perbuatan pasti ada balasannya. Aku menyadari itu, Ja. Beda istri beda rezeki."Senja mendengar cerita Nindy dengan seksama. Musibah itu membuat Nindy menjadi pribadi yang jauh lebih baik. Melihatnya begitu murka ketika pertama kali ia mengetahui kalau suaminya selingkuh, siapa mengira kalau Nindy akhirnya bisa selegowo itu. Bahkan katanya sekarang menjadi bestie-nya sang mantan demi anak-anak. Tak semua orang bisa melakukan itu.Sikap Tata dan Nindy menyadarkan Senja, bahwa tak boleh menghakimi seseorang karena sikapnya. Sebab bisa saja mereka beruba