Bab 113) Beda Kasta"Kamu salah, Keano. Aku merasa nyaman tinggal di sini," bantah Devanka."Tapi tempat ini sungguh tidak layak....""Semua tempat itu layak, Keano." Devanka menggeram. "Kamu jangan pernah membandingkan kehidupanmu dengan kehidupanku. Mungkin kamu tidak pernah merasakan pahitnya hidup di panti asuhan. Kita ini beda kasta!"Senyum Keano terkembang. Getir sekali. Tidakkah Devanka menyadari, jika mereka sama saja? Ayah Keano meninggal saat ia masih sangat kecil dan sejak kecil pula ia terpisah dari ibunya akibat keegoisan sang kakek. Apakah Devanka tidak pernah berpikir bahwa itu lebih menyakitkan? Dia bahkan kadang merasa hidup lebih dari seorang anak yatim. Bedanya ia dipelihara dan diberi fasilitas yang terbaik oleh kakeknya, Albana."Semua manusia sama di hadapan Tuhan, Deva. Tidak ada yang berbeda. Aku tidak pernah merendahkanmu hanya karena status sosial dan kekayaan. Aku hanya ingin agar kamu menjalani kehamilan dan persalinanmu dengan aman dan nyaman sesuai denga
Bab 114) Pulanglah Bersamaku, DevaSam pulang dengan langkah gontai. Rumah kontrakannya memang tidak jauh dari tempat tinggal Devanka, sehingga dia memilih berjalan kaki. Dalam situasi yang seperti ini, entah kenapa ia merasa seperti pecundang. Benar, ia memang pengecut. Dari dulu ia tidak pernah berani mengungkapkan perasaannya kepada gadis itu. Padahal mereka sudah melewatkan banyak hal bersama-sama.Sekeluarnya dari panti asuhan, Sam memilih berjualan siomay. Sampai saat ini penghasilannya begitu-begitu saja, bahkan untuk rumah pun ia masih saja mengontrak. Bertahun-tahun berlalu nyaris tidak ada perubahan apapun pada Sam. Entah usahanya yang kurang keras atau mungkin nasibnya saja yang kurang baik. Termasuk soal hubungannya dengan wanita.Setelah ia kehilangan kontak dengan Devanka bertahun-tahun yang lalu, Sam pernah berusaha menjalin hubungan dengan wanita, tetapi semuanya kandas. Tak ada seorang pun wanita yang mau menerimanya apa adanya. Sungguh menyedihkan.Sam terus melangka
Bab 115) Belanja di Mall"Suaminya sudah berangkat kerja, Neng?" sapa mang Kasim, penjual sayuran keliling yang belakangan ini menjadi langganan Devanka untuk membeli sayuran dan keperluan dapurnya yang lain."Iya, Mang," jawab Devanka seraya mengangguk pasrah. Setiap sore menjelang senja, Keano selalu pulang ke rumahnya. Lelaki itu menepati janjinya untuk pulang setiap hari atau dua hari sekali. Ini sudah berlalu lebih dari seminggu. Bagaimana mungkin orang-orang tidak berpikiran jika Keano adalah suaminya? Apalagi jika melihat kondisinya yang tengah hamil."Rajin sekali suami Eneng, pagi-pagi sudah berangkat kerja," ucap mang Kasim."Dia kerjanya di luar kota, Mang. Makanya harus berangkat pagi-pagi biar nggak telat sampai ke tempat kerjanya," sahut Devanka."Beruntung sekali Eneng punya suami kayak gitu, nggak seperti suaminya Dila, putrinya Mamang. Yang ada putri Mamang lah yang kerja jadi buruh cuci, sementara suaminya nggak mau kerja. Gengsi katanya kerja serabutan," cerocos man
Bab 116) Kunjungan Ke Rumah Dila"Loh, Neng Deva." Wanita muda itu seketika menyipitkan matanya, heran dengan kemunculan Devanka yang tiba-tiba saja berada di depan rumah kontrakannya."Iya, Dila. Boleh aku masuk?" angguk sopan gadis itu. "Tentu, Neng. Silakan masuk. Maaf rumahnya berantakan. Maklum ada dua anak kecil di rumah ini," ucap Dila sungkan. Devanka melangkah masuk ke dalam. Pemandangan pertama yang dilihatnya di ruang tamu nan sempit ini adalah suasana yang sangat berantakan. Isi ruang tamu ini penuh dengan tumpukan pakaian yang sudah dicuci dan belum sempat dilipat. Sementara dua orang bocah perempuan cilik nampak asyik bermain dengan menggunakan boneka yang terbuat dari kain bekas. Miris sekali Devanka melihatnya. Satu hal yang kemudian membuatnya menatap barang-barang yang dibawanya. Untung dia sempat membeli dua buah boneka ketika di mall."Ada apa, Neng? Tumben berkunjung kemari?" usik Dila sembari menatap sekilas beberapa paper bag yang dibawa oleh Devanka. "Apakah
Bab 117) Permintaan MaafKeano tertegun. Ucapan Devanka begitu manis terdengar. Heran.... Angin apa yang membuat gadis itu tiba-tiba berubah manis terhadapnya. Biasanya setiap kali ia datang disambut dengan ucapan ketus gadis itu. Wajahnya pun selalu cemberut."Iya, Deva," sahutnya agak tersendat, lantas bergegas menuju kamar mandi.Devanka membuka kulkas, kemudian mengeluarkan bahan masakan yang sudah disiapkan. Ikan nila tinggal digoreng dan sayur tahu kacang tinggal ia rebus bersama santan dan bumbu. Sementara nasi sudah ia masak terlebih dahulu, tinggal mengambil di rice cooker.Devanka menyiapkan piring, gelas, mangkok dan sendok, lalu menatanya di lantai beralaskan karpet. Di rumah ini jelas tidak ada meja makan. Mereka makan dengan duduk lesehan begitu saja. Heran, Keano terlihat sangat menikmati setiap masakan yang disajikannya.Keano yang barusan keluar dari kamar mandi terlihat sangat antusias dengan hidangan yang tersaji di depannya. Lelaki itu sudah mengenakan pakaian khas
Bab 118) Istana TerindahPerjalanan menuju bandara seperti tidak terasa, sungguh sangat cepat. Tahu-tahu mereka sudah berada di bandara. Keano tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Pria gagah nan tampan itu terus-terusan merangkul Devanka saat menapaki tangga pesawat dan akhirnya masuk dan duduk di dalam burung besi itu."Kamu ingin pesta pernikahan seperti apa, Sayang?" tanya Keano. Keano sengaja memanggil Devanka dengan panggilan sayang untuk menguji, apakah gadis itu masih menolaknya atau tidak. Dia sama sekali tidak ingin jika Devanka terpaksa menerimanya dan pernikahan ini. Dia tidak ingin menyakiti gadis itu semakin dalam. Sudah cukup penderitaan gadis itu akibat perbuatannya."Terserah kamu saja. Aku ikut mau kamu," sahut Devanka sembari menunduk. Wajahnya kembali memerah. Belum apa-apa Keano sudah menanyakan hal seperti ini kepadanya. Semula ia membayangkan jika menikah sederhana dan tak banyak tamu yang datang. Lagi pula, apa untungnya pesta mewah untuknya? Toh, ia tidak m
Bab 119) Kunjungan Ke Rumah Rani.Pagi yang cerah. Seumur hidup Devanka, tidak pernah dia sarapan dengan dilayani seperti ini. Seperti seorang ratu yang dilayani oleh dayang-dayang. Ini membuat Devanka sedikit risih. Devanka sempat menolak dan ingin menyiapkan sarapannya dan Keano sendirian, tapi dua orang asisten rumah tangga itu menolak dengan tegas. Mereka berkali-kali mengatakan jika semua ini adalah tugasnya.Keano dan Devanka duduk berhadapan. Mereka menyantap makanannya masing-masing dengan lahap. Menu sarapan kali ini adalah inkigayo sandwich, omelet sayur dan secangkir susu hangat."Aku berangkat kerja dulu ya. Kamu baik-baik di sini." Lelaki itu lantas berdiri setelah menghabiskan sarapannya."Ya." Devanka mengulas senyuman tanpa beranjak dari tempat duduknya. Gadis itu memang punya kebiasaan makan pelan-pelan, sehingga tak bisa mengimbangi Keano yang menghabiskan sarapannya dengan cepat. "Kamu hati-hati di jalan ya.""Oh ya, nanti setelah agak siang, akan ada orang-orang da
Bab 120) Persiapan Pernikahan ( Berdamai Dengan Takdir)Rani langsung terhenyak. Dia shock. Besok pagi?! Keano benar-benar sudah gila! Bagaimana mungkin ia mempersiapkan sebuah acara pernikahan dalam waktu yang sesingkat itu, meskipun dibantu oleh para pembantunya?"Mommy nggak perlu khawatir. Orang-orangku akan bekerja malam ini. sebentar lagi mereka akan datang. Mommy dan Aira tinggal duduk dengan manis, tak perlu mengerjakan apapun." Keano berujar seolah mengerti dengan apa yang dipikirkan oleh mommy angkatnya."Tapi tetap saja Mommy merasa ini begitu mendadak. Mommy tidak memiliki persiapan apapun. Andai kalian bilang dua atau tiga hari sebelumnya, tentu Mommy bisa mempersiapkan segala sesuatunya dengan lebih baik." Rani memprotes. Bibir wanita paruh baya itu mengerucut."Ya ampun.... Kalian ini ada-ada saja." Rani memijat keningnya. Meski ia tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya atas rencana pernikahan Devanka dengan Keano, tapi dia merasa bahwa pernikahan ini begitu dadakan. Di
Bab 132) Tak Ada Kesempurnaan Yang Sempurna"Sayang, sudahlah. Mama sudah bahagia di sana. Mama pasti melihat dari atas sana dan tersenyum pada cucunya. Jangan bersedih, Sayang." Athar mengusap-usaha pundak istrinya, kemudian mengajaknya berdiri.Tubuh Aira masih saja gemetar saat Athar membimbingnya menjauhi areal pemakaman. Mereka harus segera melanjutkan perjalanan menuju rumah Hendra. Perjalanan masih memakan waktu sekitar satu jam lagi. Aira kembali duduk di sisi Hendra yang tengah menyetir. Sementara Lina duduk di jok belakang sembari memangku Alia.Sepanjang perjalanan, pikiran Aira melayang tak karuan. Inilah yang membuat ia malas dan jarang mengunjungi makam itu. Bukan karena tak rindu. Setiap kali ia mengunjungi makam ibundanya, setiap kali juga luka itu kembali menganga. Luka masa kecilnya yang menyaksikan ibunya terbujur kaku dan dimasukkan ke liang lahat. Saat itu dia hanya seorang gadis kecil berumur 9 tahun yang tak mengerti kenapa ibunya tiba-tiba meninggal dunia, pad
Bab 131) Lambang Kerinduanku Kepada MamaBeberapa hari di rumah Albana serasa begitu lama bagi Aira. Meskipun Athar selalu meluangkan waktu untuk membersamainya di sela-sela aktivitas kerjanya yang padat, tetapi Aira benar-benar tak nyaman. Kalimat demi kalimat terus berkelanjutan keluar dari mulut Albana soal status Alia, putrinya. Wanita itu benar-benar kesal, karena yang ada di otak kakeknya hanya urusan warisan dan Diamond Group, seolah-olah tidak ada hal yang menjadi prioritas selain itu. Rasa-rasanya putrinya cuma dijadikan alat bagi sang kakek untuk mengekalkan kekuasaan pada kerajaan bisnisnya."Apakah dia menganggap kelahiran anakku hanya sebagai pengisi kursi pewaris Diamond Group kedepannya? Sebegitu murah harganya," gumam Aira dalam hati. Dia benar-benar tak habis pikir. Setelah mendiang ibu dan dirinya, kini giliran putrinya yang baru lahir itu yang di nobatkan Albana sebagai pewaris Diamond Group. Diam-diam ia mengepalkan tangan. Untuk hal yang satu ini, cara pandang A
Bab 130) Bukti Keajaiban Cinta[Ini ada hadiah kecil dari Kakek. Kenapa tidak memberi kabar, cucuku? Padahal bayi itu akan menjadi salah satu pewaris Diamond Group selanjutnya. Kamu masih marah dengan Kakek?!]Aira hanya tersenyum tipis, memandang baris demi baris kalimat yang ditulis oleh kakeknya. Pesan itu terasa menohok, tapi Aira memiliki pengendalian diri yang cukup kuat. Dia berusaha untuk tidak terpancing. Tanpa membalas pesan itu, Aira langsung menutup aplikasi pesan instan, kemudian beralih menuju aplikasi m-banking. Wanita muda itu ternganga saat melihat nominal yang dikirim oleh Albana. Tak main-main. Hadiah kecil yang disebut oleh kakeknya itu adalah dana sebesar satu miliar.Mungkin itu memang hadiah kecil, karena uang satu miliar bukan apa-apa bagi lelaki tua itu. Diamond Group memiliki cabang hingga ke pelosok negeri ini. Diamond Group bukan perusahaan perbankan biasa, tetapi perusahaan perbankan raksasa yang basisnya menyaingi perusahaan perbankan plat merah di negeri
Bab 129) Berdamai Dengan Takdir"Mom tahu apa yang kamu rasakan," ucap Rani dengan lembut. Berhubung Keano tidak kunjung memutar tubuhnya, akhirnya Rani lah yang berjalan memutar dan menghadap lelaki muda itu. Dia menatap Keano seolah ingin menembus di balik kelam hitam sorot mata putra angkatnya ini."Apa yang Mom ketahui tentang diriku?" tanya Keano lirih."Hati dan perasaanmu terhadap Aira."Keano seketika tersentak. "Apa yang Mom katakan? Jangan mengada-ada, Mom. Aira itu adikku dan kebetulan istri Athar, putra kandung Mom!""Tapi kamu mencintainya, bukan? Jujurlah pada Mommy....""Aku...." Suara Keano tertahan di tenggorokannya. Lidahnya terasa kelu untuk berucap.Namun wanita paruh baya itu begitu tenang. Dia malah menggenggam tangan Keano, seolah sedang mentransfer energi untuk menguatkan pemuda ini."Kamu tidak perlu sungkan sama Mommy. Mommy tak akan marah. Takdirlah yang mempertemukan kalian di saat kalian berdua sudah sama-sama dewasa. Tak apa, Nak. Hanya saja, satu hal itu
Bab 128) Kelahiran AliaAira memejamkan matanya sesaat. Dokter anestesi sudah memberikan suntik epidural beberapa saat yang lalu dan rasa nyeri perlahan mulai berkurang. Sekarang dia tinggal menunggu pembukaan lengkap, kemudian mengejan mengikuti instruksi dari dokter. Berhubung tidak ada masalah apapun dengan kandungannya, maka Aira memilih melahirkan secara normal dengan metode epidural.Namun meski sudah diberi suntikan penawar rasa sakit, tetap saja Aira merasa gugup dan takut. Wajar, karena adalah pengalaman pertamanya."Maaf, Sayang. Aku datang terlambat," sesal Athar. Dia mengusap keringat dingin yang membanjiri wajah Aira."Tak apa. Semuanya aman dan terkendali." Senyum Aira mengembang meski agak dipaksakan, sekedar menyamarkan rasa takut di hatinya. "Sebentar lagi kita akan bertemu dengannya. Dokter memperkirakan dia akan lahir beberapa jam lagi. Mana Mommy?""Sebentar lagi Mommy akan datang. Dia pasti akan sangat senang. Momen ini sudah lama dia tunggu." Lelaki itu membungku
Bab 127) ImpasWajah lelaki yang penuh keriput itu seketika berubah memerah. "Kamu pikir Kakek kurang kerjaan, sehingga mesti melakukan permainan anak kecil seperti itu?! Nggak level itu, Aira!""Meskipun aku baru mengenal Kakek, tapi bukan berarti aku tidak tahu bagaimana sifat Kakek. Aku memiliki sumber yang bisa dipercaya....""Kamu memata-matai kakekmu?" dengus Albana.Aira menggeleng. "Tidak," ralatnya."Terus.... Kenapa kamu menuduh Kakek ada bermain di balik semua yang sudah terjadi pada ibu tirimu yang brengsek itu? Masalah dia masuk rumah sakit jiwa, itu urusannya, bukan urusan Kakek. Mungkin itu karmanya karena sudah menyia-nyiakan anak tiri yang baik sepertimu," ujar Albana sinis."Stop, Kek. Berhenti bilang begitu.""Kalau bukan karma, apalagi namanya? Lagi pula kamu itu terlalu baik, Aira. Sudah tahu jika wanita itu pernah hampir saja membunuhmu, tapi kamu masih mau menolongnya!""Itu adalah masa lalu, Kek. Lagi pula, Papa sudah menceraikan Mama Kalina. Kurasa itu sudah i
Bab 126) Menemui AlbanaAira hanya mengangguk sekilas lalu tersenyum tipis kepada Bernard sembari terus melenggang masuk ke dalam. Seorang asisten rumah tangga menyambut dan mengantarkannya ke ruang pribadi sang kakek."Ada apa, Aira? Tumben datang kemari? Mana suamimu?" sapa Albana. Dia heran melihat kedatangan Aira yang tiba-tiba.Aira mendaratkan tubuhnya di kursi dekat pembaringan lelaki tua itu."Athar sedang ada kerjaan, Kek. Aku ke sini hanya ditemani mbak Nana, tapi mbak Nana aku suruh menunggu di mobil....""Kenapa kamu tidak ajak dia masuk, Aira?" sela lelaki tua itu."Ada yang ingin aku bicarakan dengan Kakek dan aku tidak mau Mbak Nana dengar," sahut Aira. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Saat ini mereka hanya berdua. Asisten rumah tangga dan perawat pribadi Albana sudah keluar dari ruangan ini.Albana berdeham. "Baiklah, terserah kamu saja. Apa yang ingin kamu bicarakan sama Kakek. Kelihatannya penting sekali....""Tentu saja, karena ini menyangkut kelangs
Bab 125) Menjenguk Kalina"Kita semua memiliki pengalaman yang buruk saat berhubungan dengan Mama Kalina. Itu memang kenyataan. Kamu, Aira, Athar dan juga aku. Jangan kamu pikir aku tidak sakit hati mendengar ocehan dan hinaan Mama Kalina selama ini, apalagi saat ia membanding-bandingkan aku dengan Athar. Tapi apapun itu, kita nggak boleh dendam sama orang tua....""Benar itu kata Alvino, Kiara," timpal Athar cepat. "Kalau menurutkan sakit hati, ingin rasanya aku membiarkan dia mati di jalanan. Bayangkan, Aira pernah masuk rumah sakit lantaran nyaris keracunan dan itu gara-gara ulahnya.""Aku...." Gadis itu tergagap "Aku tak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Melihat wajah Mama saja rasanya aku tak sudi," keluh Kiara."Jika urusan sakit hati, rasanya akulah yang paling sakit," ucap Aira yang mengambil alih bayi lelaki itu dari pangkuan Alvino. Wanita itu menimang keponakannya penuh kasih sayang. "Mama Kalina pernah berniat membunuhku dan Papa. Kamu masih ingat, kan, insiden di
Bab 124) Putus HubunganWanita itu masih setia mengaduk-aduk bak sampah, entah apa yang dicarinya. Penampilannya sungguh memprihatinkan. Dia mengenakan dress sebatas lutut, tapi kondisinya sudah sobek-sobek dan kotor. Rambutnya acak-acakan, kusut, seperti sudah lama tidak tersentuh sisir. Begitu Aira mendekat, ada bau menyengat yang tercium, membuat wanita itu spontan menutup hidungnya."Mama...!" Aira terpekik dengan mulut membentuk huruf O. Tangannya seketika terulur menarik lengan wanita itu, memaksanya untuk berdiri."Mama.... Kenapa di sini? Apa yang sudah terjadi? Mana Kiara??" Aira mundur selangkah manakala melihat sorot mata mengerikan dari Kalina. "Kamu siapa? Apakah kamu teman perempuan jalang itu, perempuan yang sudah merebut Harold dariku?!" Sepasang tangannya yang kotor malah mencengkeram bahu Aira. Mulutnya menyeringai."Harold?" Aira tergagap. Saking kebingungannya dia tidak sadar bahwa sepasang tangan kokoh itulah yang melepas cengkeraman tangan Kalina di bahunya.Nam