Malamnya, saat Mas Alvis sibuk di ruang kerjanya. Aku memandang diriku di pantulan cermin, mencoba menggulung rambutku sampai sebatas leher.
Akhir-akhir ini aku kurang suka rambut panjang, maunya sih rambut pendek saja jadinya bebas ngapa-ngapain. Tadi sore aku juga sempat bertanya ke Laila, katanya aku memang cocoknya rambut pendek.Ingat Laila kan? Kenalan pertamaku saat pertama kali sampai di Yogya ini. Kami sering bertemu untuk sekedar sharing bagusnya masak apa pas malam.“Tapi Mas Alvis sukanya aku rambut panjang, tapi aku sukanya rambutku pendek. Apa Mas Alvis mau ya menyetujuinya?” gulungannya kulepaskan, memilih memantau Kanza di kamar sebelah.Makin kesini, mukanya Kanza itu berbeda dari kami. Kayaknya beneran ikut ke nenek kakeknya deh, dari pihaknya Mas Alvis.“Kamu kok cantiknya makin engga bisa Bunda gapai sih, Sayang? Bunda sebenarnya kangen kakek nenek cuman bingung bilangnya ke Ayah bagaimana.” Beginilah ibu-ibu, SesJalanan hari ini cukup ramai, aku duduk santai dengan Laila menikmati segelas es buah. Karena Kanza tidak ASI padaku jadinya aku bebas makan apa saja, dia bergantungnya di susu formula saja. “Hari ini Yogya panas sekali, aku bahkan harus minum banyak es agar bisa melegakan tenggorokanku.” Hal menyenangkannya adalah aku mempunyai teman sebaik Laila. Walaupun sebenarnya kangen sama orang asing itu, Xera namanya. “Bener banget.” Balasku membenarkan, kami duduknya dekat jalan masuk kompleks. Kanza mah anteng di stroller, dia suka sekali lihat mobil lewat atau sekedar memantau beberapa pejalan kaki dengan mata coklatnya itu. Dia katanya mirip bule, mungkin keturunan dari keluargaku kali ya? “Kamu endak ada niatan masuk arisan gitu? Kebetulan sekitaran sini ada kelompoknya.” Aku memikirkannya lama, kok aku endak berpikiran sampai ke sana sana? Apa dulu aku pernah ikut arisan? Secara kan aku masuk kategori keluarga berada, Mas Alv
Merasa keadaan sudah sepi, Fiera bergegas masuk ke ruang komputer untuk melanjutkan pencariannya mencari Tuan Alvis. Ia harus bisa menemukan jejaknya atau Alvis akan kehilangan jejak lagi. Pasalnya di pencarian kemarin, Fiera menemukan Alvis bermalam di hotel terpencil dan di sekitaran sana terdapat beberapa rumah sakit. “Tidak ada jalan lain selain aku harus ke sana langsung memeriksa, apakah dia benar-benar Tuan Alvis ataukah namanya yang mirip.” Sembari memeriksa sekitar, Fiera mencatat alamat hotelnya. Juga beberapa nama rumah sakit yang tertera di pencariannya. Setelah melakukannya, ia bergegas menghapus jejaknya agar bawahannya tidak mencurigainya sama sekali, Fiera harus melakukannya diam-diam. “Saya perhatikan, Kamu bersikap mencurigakan akhir-akhir ini.” Badan Fiera menengang, penghapusan riwayat di komputer masih berjalan 20% masih bisa dibatalkan. “Kamu sedang mengerjakan sesuatu yang penting kan? Bukankah saya memperkerja
"Hari ini jangan bandel dulu ya? Bunda mau ke rumahnya tetangga yang lagi hajatan." Kataku sembari memasangkan bando menggemaskan di kepala Putri cantikku ini. "Tapi Kanza engga pernah bandel kok, Bunda. Setiap hari selalu anteng dan menjadi anak yang sholehah. Iyakan? Iya dong." Kanza tertawa senang, dia sangat murah senyum sepertiku.Baju ini Mas Alvis berikan kemarin, katanya sih cocok untuk Kanza dan aku. Ternyata setelah di coba beneran cocok banget untuk kami, perihal hajatan tetangga itu, aku sih ikutan aja aslinya Laila-lah yang di undang. Teman baikku itu akan datang sekitaran jam 8 pagi sedangkan sekarang menunjukkan pukul setengah 8. Aku memang paling rajin deh, Mas Alvis saja geleng-geleng sejak tadi. "Jika kepalanya mendadak pusing mending langsung pulang saja ya? Jangan lama di sana takutnya kesehatan kamu terganggu." Dari kemarin, Mas Alvis tuh suka sibuk sendiri soal masalah kesehatan. Padahalkan aku sudah membaik, kem
Tapi aku tetaplah mengangguk. “Iya Mas, Xera. Kemarin-kemarin kan pas aku belanja ketemu sama perempuan cantik yang masukin barangku ke bagasi mobil itu loh. Namanya Xera, penampilannya Nadhila ternyata sangat mirip dengan penampilannya.” Kepalaku kusandarkan di punggungnya. Ini menyenangkan. Aku tersentak saat Mas Alvis malah melepaskan tanganku darinya, kini kami berhadapan. Terlihat jelas dia dalam mode serius jadinya aku menunggunya memberikanku pertanyaan. “Xera? Kamu ketemu sama dia tapi kenapa baru bilang sama Mas?”Aku kebingungan. “Maksudnya Mas? Kenapa aku harus bilang sedangkan hari itu Mas ketemu dia juga, bahkan Mas loh yang bukain bagasi walaupun dari kursi pengemudi sih. Mas aneh, sini Kanza sama aku saja.” Tasnya kuserahkan padanya. Tadinya aku mau keluar tapi Mas Alvis malah menghalangi jalanku. Kenapa aku merasa Mas Alvis sedang ketakutan? Kenapa matanya memancarkan ketakutan yang sangat besar? “Kamu ingat
Meskipun mengendarai mobilnya, Alvis tetap mendengar laporan yang orang kepercayaannya katakan di seberang telepon sana. Sebenarnya bahaya melakukannya takutnya lokasinya langsung terbaca tapi Alvis harus memeriksanya apalagi kedatangan Xera di Kota ini membuatnya ketakutan. Sahabat Nadhila itu tidak boleh bertemu dengan Nadhila lagi. "Pemicu cepat tidaknya ingatan kembali itu tergantung lingkungan, Pak Alvis. Kesimpulan ini saya pertahankan karena Pasien termasuk dekat dengan lingkungannya apalagi perubahan yang kita lakukan padanya sebelumnya. Saran saya, jauhkan dia dari semua orang terdekatnya, terus dorong dia berpikiran bahwasanya nama yang anda berikan memang miliknya." Tangan Alvis mendingin mengingat perkataan dokternya. "Identitas baru yang anda berikan padanya akan bertahan jika anda berhasil mengasingkannya ke tempat yang tak pernah dia kunjungi dan orang-orang disayanginya." Tepat di depan kantor, Alvis memarkirkan mobilnya. Satpa
"Tau engga Mas? Mereka katanya iri banget sama aku karena anaknya masih umur beberapa bulan eh badanku sudah selangsing ini. Mereka saja susah banget nurunin berat badan di tambah sedang busui." Ceritaku ke Mas Alvis, Kanza sudah tidur. Sedangkan aku duduk di meja rias memakai skincare yang sudah Mas Alvis belikan seminggu setelah bangun dari koma. Katanya sih ini brand yang aku pakai terus menerus. "Haha, kamu kan memang suka olahraga sehabis lahiran. Setiap kali Mas pulang kerja, pasti menemukanmu di ruang olahraga." Kayaknya hidupku memang terlampau sempurna, pantas banyak orang yang iri. Bagaimana tidak? Orangtua yang sangat menyayangiku, Suami yang super duper tau aku bagaimana, anak yang cantik, di tambah sehari-hariku yang merupakan impian semua orang. "Tapi kenapa aku merasa anti banget sama olahraga ya?" hanya feeling sih, asal menebak. "Kayaknya feelingmu salah, Sayang. Mas bahkan kalah dengan rajinnya kamu berolahraga kata
Karena katanya Mas Alvis akan ke kantor pagi banget, aku kelabakan masak di dapur di temani ocehannya bidadari cantikku. Bundanya riweh, eh dia malah lebih semangat lagi bangunnya.“Jadi apalagi sekarang? Kamu tidak mau menghadiri acara keluar tapi mau datang ke pesta teman? Naa, kamu tahu engga sih bagaimana khawatirnya Mama sama kamu? Setiap kali Mba ke sana, dia selalu bertanya kamu sedang apa.”“Yaudah Mba jawab saja kalau aku sibuk kerja, mengejar mimpi. Mba kenapa sering banget ke sini? Aku engga mau di liatin sama suami Mba terus, dia menakutkan.”“Nadhila, dia kakak iparmu bukan orang asing. Lagian kaliankan pernah sahabatan lama, masa sahabat sendiri tidak di sapa? Hanya karena dia menikah dengan Mba bukan berarti kalian asing begini.”Kepalaku mendadak sakit, suara dengingan terdengar sangat nyaring bersamaan dengan datangnya sahutan demi sahutan percakapan dua orang. Spatula yang ad
Sejam berlalu, Alvis bahkan tak pernah mengalihkan pandangannya dari Nadhila karena merasa bersalah atas kesalahannya di masa lalu. Tak cukup sejam sebenarnya karena tadinya Alvis sempat keluar menidurkan Kanza yang mulai mengantuk pagi. "Naa, meskipun wajahmu tak lagi sama tapi aku tetap menjadikanmu Cinta pertamaku. Kamu taukan kalau temanku hanya kamu? Kenapa pulangmu tak mencariku? Kenapa malah membawa pria lain bersamamu?" bisiknya lirih, ditumpukannya dahinya di genggaman tangan mereka. "Setiap kali Nabhila bertanya tentang persahabatan kita, aku tidak tau mau menjawab apa. Dia seolah meragukanku padahal awalnya dia sendirilah yang datang menawarkan Cinta padaku." Dan pada akhirnya, Alvis menangis lagi. Kenangan indah mereka masih tersimpan baik menjadi satu film di otaknya. Nama Nadhila akan selalu mempunyai tempat spesial meskipun Alvis sempat Cinta mati-matian pada Nabhila. Alvis menegakkan badannya kembali, rambut Nadhila yang berjat
Ya, aku benar-benar mengabaikan semuanya selama beberapa minggu ini. Bahkan saat Kanza berumur 8 bulan sekalipun, otakku masih kosong dengan kenangan. Aku masih menjadi cangkang kosong tanpa memori apapun. “Sudah sampai, Neng.” Lamunanku buyar, aku bergegas membayar ongkos taksi dan keluar. Ya, semenjak tak ada pembahasan masa lalu selama sebulanan lebih. Mas Alvis mulai mengijinkanku ke kantornya bahkan memperkenalkanku ke banyak orang sebagai istrinya. Awalnya aneh, disambut bisikan dan tatapan heran beberapa karyawan tapi engga papa lah. “Jadi pengen punya istri juga atuh kalau Pak Bos dimasakin terus.” Aku tertawa kecil mendengarnya. Pak Dadang namanya, satpam kantor. Beliau bergegas memencet tombol lift untukku. “Nikah cepetan, Pak. Kasian tau jodoh Bapak lama banget nunggunya.” Balasannya, Pak Dadang tertawa. Aku bergegas masuk lift dan tersenyum sopan padanya bersamaan dengan tertutupnya lift ini. Huft! Lagi-lagi aku akan disambut tatapan aneh karyawan. Mereka sebenarnya
Ya, aku benar-benar mengabaikan semuanya selama beberapa minggu ini. Bahkan saat Kanza berumur 8 bulan sekalipun, otakku masih kosong dengan kenangan. Aku masih menjadi cangkang kosong tanpa memori apapun. “Sudah sampai, Neng.” Lamunanku buyar, aku bergegas membayar ongkos taksi dan keluar. Ya, semenjak tak ada pembahasan masa lalu selama sebulanan lebih. Mas Alvis mulai mengijinkanku ke kantornya bahkan memperkenalkanku ke banyak orang sebagai istrinya. Awalnya aneh, disambut bisikan dan tatapan heran beberapa karyawan tapi engga papa lah. “Jadi pengen punya istri juga atuh kalau Pak Bos dimasakin terus.” Aku tertawa kecil mendengarnya. Pak Dadang namanya, satpam kantor. Beliau bergegas memencet tombol lift untukku. “Nikah cepetan, Pak. Kasian tau jodoh Bapak lama banget nunggunya.” Balasannya, Pak Dadang tertawa. Aku bergegas masuk lift dan tersenyum sopan padanya bersamaan dengan tertutupnya lift ini. Huft! Lagi-lagi aku akan disambut tatapan aneh karyawan. Mereka sebenarnya
“Mas kemarin khawatir banget kamu kenapa-napa mana katanya engga bisa video call. Anaknya Ayah lagi manja ke Bundanya ya?” Aku tersenyum manis. Tau apa hal paling aku syukuri? Ditengah-tengah gilanya rasa penasaranku akan ingatanku yang aneh? Mempunyai suami bernama Alvis Pramuditia. Dia adalah suami paling pengertian, sangat percaya padaku. Sayangnya kemarin, aku malah berbohong padanya. “Kanza kayaknya mau jalan-jalan, Mas. Tapi aku bingung mau bawa ke mana. Laila kayaknya sibuk banget dari kemarin susah di hubungi.” Tuhan, betapa berdosanya diriku. Mas Alvis mendekat, mengambil alih Kanza yang terus menerus di gendong olehku sedari pagi. Mas Alvis sudah pulang, untungnya tidak curiga sama sekali. Hidupku benar-benar mirip drama yang biasa aku tonton akhir-akhir ini, karena tidak punya ingatan apapun soal buku jadi aku tidak bisa membandingkan hidupku dengan buku. “Memikirkan apa Sayang?”Ku tatap Mas Alvis lama. “Ada yang mengganggu pikiranmu lagi semasa Mas ke luar kota kem
Karena tidak bisa menunggu lagi dan muak dengan segala pertanyaan gila yang terus menerus menghantuiku. Aku memilih ke Bandung tanpa ditemani Laila, itupun kesananya naik bus berbekal keberanian. Katanya perjalanannya sangatlah panjang dan lama. Bagaimana jika pradugaku benar? Itu mengerikan bukan? Terus- sudahlah Nabhila, tidak baik menggali sesuatu yang tidak pasti. Dan aku sampai di tempat ini menjelang malam. Warna jingga dibalik kaca taksi terlihat cantik. Setelah membayar taksi, kubawa stroller Kanza mengelilingi daerah asing ini. Beberapa orang sering kali menoleh, sebagian lagi sibuk dengan urusannya sendiri. “Kemana aku harus pergi? Apa yang aku cari di kota ini? Bagaimana jika Mas Alvis tau aku kembali ke Bandung?” Dan pertanyaan ini hanya untuk diriku sendiri. Selama sejam lamanya, aku dan Kanza benar-benar bagai orang hilang. Kesana kemari tanpa tujuan, keluar masuk restoran, cafe, mall dan berakhir di taman. Memperhatikan bagaimana ramainya kanak-kanak bermain. “Apa
Setelah menjadi orang tak tau apapun selama 3 mingguan lebih, akhirnya ada kesempatan untuk membuktikan ingatanku. “Jangan kemana-mana, kalaupun mau keluar harus hubungi Mas dulu.” Hari ini dan 2 hari kedepannya, Mas Alvis harus keluar kota. “Palingan kalau aku keluar ke supermarket, Mas. Beliin Kanza pempres dan kebutuhannya yang lain, yang itu harus aku laporin juga?” Karena takut kangen, aku memeluk Mas Alvis erat. Ini pertama kalinya kami tidur berpisah semenjak pindah. Atau LDR. “Apapun itu, lapor ke Mas. Mas akan berusaha semaksimal mungkin menyelesaikan pekerjaan jadinya bisa pulang cepat.” Perkataannya kubalas dengan gumaman. Aku fokus mendengarkan bagaimana menyenangkannya mendengar detak jantung Mas Alvis. 3 minggu aku menahan diri untuk tidak menanyakan perihal ingatanku, mengapa modeling? Mengapa mereka tidak mengenalku? Dan kenapa aku mulai merasa aku bukanlah aku.Tidak tau kenapa, semenjak kata ‘modeling’ terus terngiang, aku merasa ini bukan jalan yang benar. “M
“Saya akan mendapatkan masalah besar jika ada yang tau soal ini, jadi tolong lindungi saya sebaik mungkin, Pak Austin.” Katanya sembari menyerahkan selembar berkas dan foto pada Pria bule di depannya. “Mendebarkan sekali mengotak-atik berkas rahasia demi biaya kuliah anak saya.” Ya, hanya berkas itu yang tersisa. “Kamu yakin ini wajahnya?”Dokter yang ada di depannya mengangguk mantap, “Saya bukannya merendahkan diri saya sebagai dokter, apalagi melanggar sumpah kedokteran. Sudah sepantasnya anda mendapatkan data ini karena anda adalah tunangannya.” Ya, jalan yang dipilihnya tidak salah sama sekali. Harusnya pria inilah yang bersama perempuan itu, bukan pria gila itu. Ia masih ingat dengan jelas betapa posesifnya pria kaya itu setiap kali ada dokter atau suster yang datang memeriksa pasien yang dijaganya. “Hanya struktur wajahnya yang tersisa, mengenai identitas, nama barunya, umurnya sekarang atau bagaimana keadaan terakhirnya. Saya tidak tau. Sepertinya sudah di hilangkan.” Ber
Sepertinya, aku benar-benar harus melupakan nama Austin itu. Pasalnya, semakin dicari semakin tidak menemukan jawaban apapun. Mas Alvis semakin membatasi pergerakanku, arisan kemarin saja diminta tinggalkan saja. Uangnya, skip saja katanya. “Kanza tau tidak? Bunda menyayangkan uangnya, mana 15 juta lagi. Kok Ayah kamu segampang itu skip duit.” Galau sendiri kan diriku. Mana puyeng banget memikirkan siapa Austin itu, mau nonton TV eh kabelnya sudah dicabut sama Mas Alvis katanya engga baik bagi Kanza. “Kanza kan sudah 4 bulanan, Sayang. Jadi engga baik liat hal begituan mending kamu nemenin Kanza main saja.” Bosan sih tapi ada benernya juga. Ini Mas Alvis katakan seminggu lalu. Kanza engga boleh ketergantungan Nonton, apalagi kekurangan kasih sayang. Sekarang saja, dia sibuk memainkan mainannya sedangkan aku memperhatikan. Gabut parah. Yaudalah, mending keluar jalan-jalan saja. Biasanya jam segini, bagian taman akan ramai diisi orang-orang yang mau healing tapi waktunya sedikit
Tuan Meeaz menatap layar di depannya dengan pandangan sulit diartikan, bagaimana bisa wajah asing itu adalah putrinya? “Belum bisa kita pastikan, Tuan. Ini masih abu-abu karena wajahnya sangat berbeda. Tapi menurut perkataan bebe—““Jangan perlihatkan jika masih Abu-abu atau belum kamu pastikan. Jangan sampai Istri saya tau soal ini. Mari kembali ke Bandung, Alvis sangat membenci Yogya sedari dulu jadi dia mana mungkin ada di sini.” Untuk menghormati Tuannya, Fiera mengangguk paham. Memberikan intruksi untuk semua bodyguard agar ke posisinya masing-masing karena mereka semua akan kembali ke Bandung segera. Ya, Tuan Alvis memang membenci Yogyakarta karena ada masa lalu kelam di sini. Dan semua anggota keluarga Meeaz tau soal itu, mustahil Alvis kemari. Mungkin perempuan tadi namanya mirip saja, mana mungkin Alvis sebodoh itu memberikan nama yang sama kan? Itu namanya memberikan celah untuk rencana besarnya. “Berhenti memikirkannya apalagi membahasnya.” Peringat Meeaz sekali lagi.
Ternyata, masuk arisan tidak semenyenangkan itu. Aku pikir, kami akan membahas betapa indahnya keluarga, pertemanan ataukah ada pengalaman yang bisa dibagi agar rumah tangga kedepannya semakin baik. Nyatanya? Semua orang malah membahas betapa mahalnya perhiasan mereka, bajunya yang dibuat oleh desainer ternama ataukah sepatunya yang limited edition. “Arisan? Kamu dulu suka banget ikut arisan.” Masa sih? Tapi tidak mungkin kan Mas Alvis bohong sama istri kesayangannya ini? “Kalung yang Bu Nabhila pakai itu, belinya di mana? Sepertinya mahal sekali.” Sontak semua mata tertuju padaku. Aku ikut menunduk menatap kalung simple yang dibelikan Mas Alvis beberapa hari lalu. Katanya sih sebagai hadiah karena membuatnya bahagia di rumah apalagi Kanza tumbuh dengan baik. “Oh ini. Ini dikasi Mas Alvis, Suamiku. Hadiah katanya, aku kurang tau belinya di mana.” Mereka semua mengangguk paham, saling bersahutan iri karena keromantisan keluarga kami. Tentu saja aku merasa beruntung dengan hal it