"Jangan asal menuduh Mas begitu Sayang, kamu kan tau kalau Masa mana mungkin membohongi kamu." Mataku menatapnya ragu, tapi beberapa ingatan di kepalaku mengatakan dia berbohong.
Padahal kemarin-kemarin, aku begitu mempercayai semua yang Mas Alvis katakan. Kami bak keluarga paling bahagia di dunia ini."Masalahnya aku bingung Mas, semua yang muncul di ingatanku berbanding terbalik dengan apa yang Mas katakan. Bisa saja kan semua ingatan aneh itu milikku, bukan milik orang lain. Untuk apa aku meny—“"Sayang, Nabhila. Ingat cerita Mas tentang kamu yang begitu memantau kehidupannya adikmu? Bahkan hal sederhana pun kamu pantau. Jadi anggap ini bagian dari sana, iyakan?"Aku menunduk. Tapi kenapa di ingatanku berbeda? Di sana meskipun buram, aku seakan duduk di cafe menikmati banyak makanan lalu tertawa terbahak-bahak.Di sana, sekilas aku melihat diriku duduk di kursi lalu suara kamera menggema.Mana mungkin itu bukan aku?Malamnya, saat Mas Alvis sibuk di ruang kerjanya. Aku memandang diriku di pantulan cermin, mencoba menggulung rambutku sampai sebatas leher. Akhir-akhir ini aku kurang suka rambut panjang, maunya sih rambut pendek saja jadinya bebas ngapa-ngapain. Tadi sore aku juga sempat bertanya ke Laila, katanya aku memang cocoknya rambut pendek. Ingat Laila kan? Kenalan pertamaku saat pertama kali sampai di Yogya ini. Kami sering bertemu untuk sekedar sharing bagusnya masak apa pas malam. “Tapi Mas Alvis sukanya aku rambut panjang, tapi aku sukanya rambutku pendek. Apa Mas Alvis mau ya menyetujuinya?” gulungannya kulepaskan, memilih memantau Kanza di kamar sebelah. Makin kesini, mukanya Kanza itu berbeda dari kami. Kayaknya beneran ikut ke nenek kakeknya deh, dari pihaknya Mas Alvis. “Kamu kok cantiknya makin engga bisa Bunda gapai sih, Sayang? Bunda sebenarnya kangen kakek nenek cuman bingung bilangnya ke Ayah bagaimana.” Beginilah ibu-ibu, Ses
Jalanan hari ini cukup ramai, aku duduk santai dengan Laila menikmati segelas es buah. Karena Kanza tidak ASI padaku jadinya aku bebas makan apa saja, dia bergantungnya di susu formula saja. “Hari ini Yogya panas sekali, aku bahkan harus minum banyak es agar bisa melegakan tenggorokanku.” Hal menyenangkannya adalah aku mempunyai teman sebaik Laila. Walaupun sebenarnya kangen sama orang asing itu, Xera namanya. “Bener banget.” Balasku membenarkan, kami duduknya dekat jalan masuk kompleks. Kanza mah anteng di stroller, dia suka sekali lihat mobil lewat atau sekedar memantau beberapa pejalan kaki dengan mata coklatnya itu. Dia katanya mirip bule, mungkin keturunan dari keluargaku kali ya? “Kamu endak ada niatan masuk arisan gitu? Kebetulan sekitaran sini ada kelompoknya.” Aku memikirkannya lama, kok aku endak berpikiran sampai ke sana sana? Apa dulu aku pernah ikut arisan? Secara kan aku masuk kategori keluarga berada, Mas Alv
Merasa keadaan sudah sepi, Fiera bergegas masuk ke ruang komputer untuk melanjutkan pencariannya mencari Tuan Alvis. Ia harus bisa menemukan jejaknya atau Alvis akan kehilangan jejak lagi. Pasalnya di pencarian kemarin, Fiera menemukan Alvis bermalam di hotel terpencil dan di sekitaran sana terdapat beberapa rumah sakit. “Tidak ada jalan lain selain aku harus ke sana langsung memeriksa, apakah dia benar-benar Tuan Alvis ataukah namanya yang mirip.” Sembari memeriksa sekitar, Fiera mencatat alamat hotelnya. Juga beberapa nama rumah sakit yang tertera di pencariannya. Setelah melakukannya, ia bergegas menghapus jejaknya agar bawahannya tidak mencurigainya sama sekali, Fiera harus melakukannya diam-diam. “Saya perhatikan, Kamu bersikap mencurigakan akhir-akhir ini.” Badan Fiera menengang, penghapusan riwayat di komputer masih berjalan 20% masih bisa dibatalkan. “Kamu sedang mengerjakan sesuatu yang penting kan? Bukankah saya memperkerja
"Hari ini jangan bandel dulu ya? Bunda mau ke rumahnya tetangga yang lagi hajatan." Kataku sembari memasangkan bando menggemaskan di kepala Putri cantikku ini. "Tapi Kanza engga pernah bandel kok, Bunda. Setiap hari selalu anteng dan menjadi anak yang sholehah. Iyakan? Iya dong." Kanza tertawa senang, dia sangat murah senyum sepertiku.Baju ini Mas Alvis berikan kemarin, katanya sih cocok untuk Kanza dan aku. Ternyata setelah di coba beneran cocok banget untuk kami, perihal hajatan tetangga itu, aku sih ikutan aja aslinya Laila-lah yang di undang. Teman baikku itu akan datang sekitaran jam 8 pagi sedangkan sekarang menunjukkan pukul setengah 8. Aku memang paling rajin deh, Mas Alvis saja geleng-geleng sejak tadi. "Jika kepalanya mendadak pusing mending langsung pulang saja ya? Jangan lama di sana takutnya kesehatan kamu terganggu." Dari kemarin, Mas Alvis tuh suka sibuk sendiri soal masalah kesehatan. Padahalkan aku sudah membaik, kem
Tapi aku tetaplah mengangguk. “Iya Mas, Xera. Kemarin-kemarin kan pas aku belanja ketemu sama perempuan cantik yang masukin barangku ke bagasi mobil itu loh. Namanya Xera, penampilannya Nadhila ternyata sangat mirip dengan penampilannya.” Kepalaku kusandarkan di punggungnya. Ini menyenangkan. Aku tersentak saat Mas Alvis malah melepaskan tanganku darinya, kini kami berhadapan. Terlihat jelas dia dalam mode serius jadinya aku menunggunya memberikanku pertanyaan. “Xera? Kamu ketemu sama dia tapi kenapa baru bilang sama Mas?”Aku kebingungan. “Maksudnya Mas? Kenapa aku harus bilang sedangkan hari itu Mas ketemu dia juga, bahkan Mas loh yang bukain bagasi walaupun dari kursi pengemudi sih. Mas aneh, sini Kanza sama aku saja.” Tasnya kuserahkan padanya. Tadinya aku mau keluar tapi Mas Alvis malah menghalangi jalanku. Kenapa aku merasa Mas Alvis sedang ketakutan? Kenapa matanya memancarkan ketakutan yang sangat besar? “Kamu ingat
Meskipun mengendarai mobilnya, Alvis tetap mendengar laporan yang orang kepercayaannya katakan di seberang telepon sana. Sebenarnya bahaya melakukannya takutnya lokasinya langsung terbaca tapi Alvis harus memeriksanya apalagi kedatangan Xera di Kota ini membuatnya ketakutan. Sahabat Nadhila itu tidak boleh bertemu dengan Nadhila lagi. "Pemicu cepat tidaknya ingatan kembali itu tergantung lingkungan, Pak Alvis. Kesimpulan ini saya pertahankan karena Pasien termasuk dekat dengan lingkungannya apalagi perubahan yang kita lakukan padanya sebelumnya. Saran saya, jauhkan dia dari semua orang terdekatnya, terus dorong dia berpikiran bahwasanya nama yang anda berikan memang miliknya." Tangan Alvis mendingin mengingat perkataan dokternya. "Identitas baru yang anda berikan padanya akan bertahan jika anda berhasil mengasingkannya ke tempat yang tak pernah dia kunjungi dan orang-orang disayanginya." Tepat di depan kantor, Alvis memarkirkan mobilnya. Satpa
"Tau engga Mas? Mereka katanya iri banget sama aku karena anaknya masih umur beberapa bulan eh badanku sudah selangsing ini. Mereka saja susah banget nurunin berat badan di tambah sedang busui." Ceritaku ke Mas Alvis, Kanza sudah tidur. Sedangkan aku duduk di meja rias memakai skincare yang sudah Mas Alvis belikan seminggu setelah bangun dari koma. Katanya sih ini brand yang aku pakai terus menerus. "Haha, kamu kan memang suka olahraga sehabis lahiran. Setiap kali Mas pulang kerja, pasti menemukanmu di ruang olahraga." Kayaknya hidupku memang terlampau sempurna, pantas banyak orang yang iri. Bagaimana tidak? Orangtua yang sangat menyayangiku, Suami yang super duper tau aku bagaimana, anak yang cantik, di tambah sehari-hariku yang merupakan impian semua orang. "Tapi kenapa aku merasa anti banget sama olahraga ya?" hanya feeling sih, asal menebak. "Kayaknya feelingmu salah, Sayang. Mas bahkan kalah dengan rajinnya kamu berolahraga kata
Karena katanya Mas Alvis akan ke kantor pagi banget, aku kelabakan masak di dapur di temani ocehannya bidadari cantikku. Bundanya riweh, eh dia malah lebih semangat lagi bangunnya.“Jadi apalagi sekarang? Kamu tidak mau menghadiri acara keluar tapi mau datang ke pesta teman? Naa, kamu tahu engga sih bagaimana khawatirnya Mama sama kamu? Setiap kali Mba ke sana, dia selalu bertanya kamu sedang apa.”“Yaudah Mba jawab saja kalau aku sibuk kerja, mengejar mimpi. Mba kenapa sering banget ke sini? Aku engga mau di liatin sama suami Mba terus, dia menakutkan.”“Nadhila, dia kakak iparmu bukan orang asing. Lagian kaliankan pernah sahabatan lama, masa sahabat sendiri tidak di sapa? Hanya karena dia menikah dengan Mba bukan berarti kalian asing begini.”Kepalaku mendadak sakit, suara dengingan terdengar sangat nyaring bersamaan dengan datangnya sahutan demi sahutan percakapan dua orang. Spatula yang ad