Home / Romansa / Bukan Pemeran Utama / 22 - Ada Harapan

Share

22 - Ada Harapan

Author: Mentari NA
last update Last Updated: 2023-04-06 13:00:57

Lagian semua orang terlihat melupakan Nadhila, dari dulu semua mata hanya tertuju pada Nabhila karena jalan hidup yang di pilihnya sesuai kemauan keluarganya sedangkan Nadhi tidak.

Nadhila suka membangkang, maunya hidup dengan jalannya sendiri, sahabatnya itu bahkan seringkali berdebat panjang dengan Ayahnya sendiri lalu tak pernah ke rumah utamanya selama berminggu-minggu lamanya.

Beberapa orang menganggap Nadhila hanyalah benalu di kehidupan kakak kembarnya itu, mereka bahkan berpikir Nadhi sukses menjadi model karena pengaruh kakaknya saja.

"Harusnya sebelum Nadhi meninggal, dia bisa menemukan pria yang membuatnya bahagia, mencintainya dengan tulus dan selalu ada untukmu. Ada baiknya Nadhi meninggal cepat jadinya dia tidak perlu tersiksa memiliki tunangan toxic sepertimu." Setelah mengatakannya, Xera pergi dari sana.

Andaikan Nadhi mendengarnya, sahabatnya itu akan merengek tak suka. Nadhi itu sulit di tebak, entah beneran Cinta sama Austin
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Bukan Pemeran Utama   23 - Foto Terakhir

    "Ini adalah barang-barang milik Nadhila selama menjadi model di agency kami. Dia sangat berbakat tapi sepertinya Allah lebih menyayanginya daripada kita." Tepat setelah Pria tua itu mengatakannya, beberapa orang bergiliran masuk membawa figura foto milik Nadhila. "Salah satu syarat darinya selama bekerja dengan kami, baju yang dipakainya harus tertutup dan rapi." Terlihat sekali pria itu teramat bangga mendapatkan Nadhila sebagai modelnya. Fiera yang ada di sana memperhatikan semua foto yang datang, tidak ada satupun foto yang memperlihatkan lengan kanan atas Nadhila. Ini termasuk bukti, bahwasanya Nadhila memang masih hidup di suatu tempat. "Terimakasih atas kedatangannya, padahal anda bisa menyimpannya di studio anda saja sebagai kenang-kenangan." Balas Nada, ibu dari Nadhila. "Bisa saja saya melakukannya, Bu Nada. Tapi ini bukan hak kami, tidak ada yang tau alamat apartemen Nadhila kecuali tunangan dan sahabatnya. Sedangkan foto ini seharus

    Last Updated : 2023-04-06
  • Bukan Pemeran Utama   24 - Masa Lalu Nan Indah

    "Kenapa juga aku ceroboh sekali? Harusnya aku tidak memberinya nama Nabhila melainkan nama baru seperti wajahnya, juga nama anakku yang harus di ganti. Nadh, kamu engga bakal ninggalin aku suatu hari nanti kan?" tanyanya pada selembar foto hitam putih. Di sana, ia dan Nadhi sedang mengenakan seragam batik sekolahan. Baru saja penonton acara pentas sekolah. "Andai kamu engga ninggalin aku terus ke luar negeri, andai persahabatan kita tetap berlanjut dan berakhir sebahagia ini. Mungkin kamu dan aku akan bahagia Nadh, kamu engga bakal merasakan semua ini." di usapnya beberapa kali wajah Cinta pertamanya. "Satu hal yang harus kamu tau, Sayang. Aku sangat mencintaimu, aku bahkan ingin terus mencintaimu. Tolong Cintai aku juga." Tapi bagaimana caranya? Nadhila memiliki sikap pantang menyerah, selama dia menginginkan sesuatu maka dia akan terus mengejarnya sampai dapat. Apalagi beberapa hari lalu, Nadhila sempat mengangkat telepon di ponselnya.

    Last Updated : 2023-04-06
  • Bukan Pemeran Utama   25 - Hampir Saja Ragu

    "Jangan asal menuduh Mas begitu Sayang, kamu kan tau kalau Masa mana mungkin membohongi kamu." Mataku menatapnya ragu, tapi beberapa ingatan di kepalaku mengatakan dia berbohong. Padahal kemarin-kemarin, aku begitu mempercayai semua yang Mas Alvis katakan. Kami bak keluarga paling bahagia di dunia ini. "Masalahnya aku bingung Mas, semua yang muncul di ingatanku berbanding terbalik dengan apa yang Mas katakan. Bisa saja kan semua ingatan aneh itu milikku, bukan milik orang lain. Untuk apa aku meny—“"Sayang, Nabhila. Ingat cerita Mas tentang kamu yang begitu memantau kehidupannya adikmu? Bahkan hal sederhana pun kamu pantau. Jadi anggap ini bagian dari sana, iyakan?" Aku menunduk. Tapi kenapa di ingatanku berbeda? Di sana meskipun buram, aku seakan duduk di cafe menikmati banyak makanan lalu tertawa terbahak-bahak. Di sana, sekilas aku melihat diriku duduk di kursi lalu suara kamera menggema. Mana mungkin itu bukan aku?

    Last Updated : 2023-04-07
  • Bukan Pemeran Utama   26 - Sekilas Ada

    Malamnya, saat Mas Alvis sibuk di ruang kerjanya. Aku memandang diriku di pantulan cermin, mencoba menggulung rambutku sampai sebatas leher. Akhir-akhir ini aku kurang suka rambut panjang, maunya sih rambut pendek saja jadinya bebas ngapa-ngapain. Tadi sore aku juga sempat bertanya ke Laila, katanya aku memang cocoknya rambut pendek. Ingat Laila kan? Kenalan pertamaku saat pertama kali sampai di Yogya ini. Kami sering bertemu untuk sekedar sharing bagusnya masak apa pas malam. “Tapi Mas Alvis sukanya aku rambut panjang, tapi aku sukanya rambutku pendek. Apa Mas Alvis mau ya menyetujuinya?” gulungannya kulepaskan, memilih memantau Kanza di kamar sebelah. Makin kesini, mukanya Kanza itu berbeda dari kami. Kayaknya beneran ikut ke nenek kakeknya deh, dari pihaknya Mas Alvis. “Kamu kok cantiknya makin engga bisa Bunda gapai sih, Sayang? Bunda sebenarnya kangen kakek nenek cuman bingung bilangnya ke Ayah bagaimana.” Beginilah ibu-ibu, Ses

    Last Updated : 2023-04-07
  • Bukan Pemeran Utama   27 - Ada Bernama Nada

    Jalanan hari ini cukup ramai, aku duduk santai dengan Laila menikmati segelas es buah. Karena Kanza tidak ASI padaku jadinya aku bebas makan apa saja, dia bergantungnya di susu formula saja. “Hari ini Yogya panas sekali, aku bahkan harus minum banyak es agar bisa melegakan tenggorokanku.” Hal menyenangkannya adalah aku mempunyai teman sebaik Laila. Walaupun sebenarnya kangen sama orang asing itu, Xera namanya. “Bener banget.” Balasku membenarkan, kami duduknya dekat jalan masuk kompleks. Kanza mah anteng di stroller, dia suka sekali lihat mobil lewat atau sekedar memantau beberapa pejalan kaki dengan mata coklatnya itu. Dia katanya mirip bule, mungkin keturunan dari keluargaku kali ya? “Kamu endak ada niatan masuk arisan gitu? Kebetulan sekitaran sini ada kelompoknya.” Aku memikirkannya lama, kok aku endak berpikiran sampai ke sana sana? Apa dulu aku pernah ikut arisan? Secara kan aku masuk kategori keluarga berada, Mas Alv

    Last Updated : 2023-04-07
  • Bukan Pemeran Utama   28 - Tuan Meeaz

    Merasa keadaan sudah sepi, Fiera bergegas masuk ke ruang komputer untuk melanjutkan pencariannya mencari Tuan Alvis. Ia harus bisa menemukan jejaknya atau Alvis akan kehilangan jejak lagi. Pasalnya di pencarian kemarin, Fiera menemukan Alvis bermalam di hotel terpencil dan di sekitaran sana terdapat beberapa rumah sakit. “Tidak ada jalan lain selain aku harus ke sana langsung memeriksa, apakah dia benar-benar Tuan Alvis ataukah namanya yang mirip.” Sembari memeriksa sekitar, Fiera mencatat alamat hotelnya. Juga beberapa nama rumah sakit yang tertera di pencariannya. Setelah melakukannya, ia bergegas menghapus jejaknya agar bawahannya tidak mencurigainya sama sekali, Fiera harus melakukannya diam-diam. “Saya perhatikan, Kamu bersikap mencurigakan akhir-akhir ini.” Badan Fiera menengang, penghapusan riwayat di komputer masih berjalan 20% masih bisa dibatalkan. “Kamu sedang mengerjakan sesuatu yang penting kan? Bukankah saya memperkerja

    Last Updated : 2023-04-07
  • Bukan Pemeran Utama   29 - Penampilan

    "Hari ini jangan bandel dulu ya? Bunda mau ke rumahnya tetangga yang lagi hajatan." Kataku sembari memasangkan bando menggemaskan di kepala Putri cantikku ini. "Tapi Kanza engga pernah bandel kok, Bunda. Setiap hari selalu anteng dan menjadi anak yang sholehah. Iyakan? Iya dong." Kanza tertawa senang, dia sangat murah senyum sepertiku.Baju ini Mas Alvis berikan kemarin, katanya sih cocok untuk Kanza dan aku. Ternyata setelah di coba beneran cocok banget untuk kami, perihal hajatan tetangga itu, aku sih ikutan aja aslinya Laila-lah yang di undang. Teman baikku itu akan datang sekitaran jam 8 pagi sedangkan sekarang menunjukkan pukul setengah 8. Aku memang paling rajin deh, Mas Alvis saja geleng-geleng sejak tadi. "Jika kepalanya mendadak pusing mending langsung pulang saja ya? Jangan lama di sana takutnya kesehatan kamu terganggu." Dari kemarin, Mas Alvis tuh suka sibuk sendiri soal masalah kesehatan. Padahalkan aku sudah membaik, kem

    Last Updated : 2023-04-08
  • Bukan Pemeran Utama   30 - Tebakan Tak Mendasar

    Tapi aku tetaplah mengangguk. “Iya Mas, Xera. Kemarin-kemarin kan  pas aku belanja ketemu sama perempuan cantik yang masukin barangku ke bagasi mobil itu loh. Namanya Xera, penampilannya Nadhila ternyata sangat mirip dengan penampilannya.” Kepalaku kusandarkan di punggungnya. Ini menyenangkan. Aku tersentak saat Mas Alvis malah melepaskan tanganku darinya, kini kami berhadapan. Terlihat jelas dia dalam mode serius jadinya aku menunggunya memberikanku pertanyaan. “Xera? Kamu ketemu sama dia tapi kenapa baru bilang sama Mas?”Aku kebingungan. “Maksudnya Mas? Kenapa aku harus bilang sedangkan hari itu Mas ketemu dia juga, bahkan Mas loh yang bukain bagasi walaupun dari kursi pengemudi sih. Mas aneh, sini Kanza sama aku saja.” Tasnya kuserahkan padanya. Tadinya aku mau keluar tapi Mas Alvis malah menghalangi jalanku. Kenapa aku merasa Mas Alvis sedang ketakutan? Kenapa matanya memancarkan ketakutan yang sangat besar? “Kamu ingat

    Last Updated : 2023-04-08

Latest chapter

  • Bukan Pemeran Utama   44 - Kini Waktu Berlalu

    Ya, aku benar-benar mengabaikan semuanya selama beberapa minggu ini. Bahkan saat Kanza berumur 8 bulan sekalipun, otakku masih kosong dengan kenangan. Aku masih menjadi cangkang kosong tanpa memori apapun. “Sudah sampai, Neng.” Lamunanku buyar, aku bergegas membayar ongkos taksi dan keluar. Ya, semenjak tak ada pembahasan masa lalu selama sebulanan lebih. Mas Alvis mulai mengijinkanku ke kantornya bahkan memperkenalkanku ke banyak orang sebagai istrinya. Awalnya aneh, disambut bisikan dan tatapan heran beberapa karyawan tapi engga papa lah. “Jadi pengen punya istri juga atuh kalau Pak Bos dimasakin terus.” Aku tertawa kecil mendengarnya. Pak Dadang namanya, satpam kantor. Beliau bergegas memencet tombol lift untukku. “Nikah cepetan, Pak. Kasian tau jodoh Bapak lama banget nunggunya.” Balasannya, Pak Dadang tertawa. Aku bergegas masuk lift dan tersenyum sopan padanya bersamaan dengan tertutupnya lift ini. Huft! Lagi-lagi aku akan disambut tatapan aneh karyawan. Mereka sebenarnya

  • Bukan Pemeran Utama   44 - Kini Waktu Berlalu

    Ya, aku benar-benar mengabaikan semuanya selama beberapa minggu ini. Bahkan saat Kanza berumur 8 bulan sekalipun, otakku masih kosong dengan kenangan. Aku masih menjadi cangkang kosong tanpa memori apapun. “Sudah sampai, Neng.” Lamunanku buyar, aku bergegas membayar ongkos taksi dan keluar. Ya, semenjak tak ada pembahasan masa lalu selama sebulanan lebih. Mas Alvis mulai mengijinkanku ke kantornya bahkan memperkenalkanku ke banyak orang sebagai istrinya. Awalnya aneh, disambut bisikan dan tatapan heran beberapa karyawan tapi engga papa lah. “Jadi pengen punya istri juga atuh kalau Pak Bos dimasakin terus.” Aku tertawa kecil mendengarnya. Pak Dadang namanya, satpam kantor. Beliau bergegas memencet tombol lift untukku. “Nikah cepetan, Pak. Kasian tau jodoh Bapak lama banget nunggunya.” Balasannya, Pak Dadang tertawa. Aku bergegas masuk lift dan tersenyum sopan padanya bersamaan dengan tertutupnya lift ini. Huft! Lagi-lagi aku akan disambut tatapan aneh karyawan. Mereka sebenarnya

  • Bukan Pemeran Utama   43 - Kembali Ke Semula

    “Mas kemarin khawatir banget kamu kenapa-napa mana katanya engga bisa video call. Anaknya Ayah lagi manja ke Bundanya ya?” Aku tersenyum manis. Tau apa hal paling aku syukuri? Ditengah-tengah gilanya rasa penasaranku akan ingatanku yang aneh? Mempunyai suami bernama Alvis Pramuditia. Dia adalah suami paling pengertian, sangat percaya padaku. Sayangnya kemarin, aku malah berbohong padanya. “Kanza kayaknya mau jalan-jalan, Mas. Tapi aku bingung mau bawa ke mana. Laila kayaknya sibuk banget dari kemarin susah di hubungi.” Tuhan, betapa berdosanya diriku. Mas Alvis mendekat, mengambil alih Kanza yang terus menerus di gendong olehku sedari pagi. Mas Alvis sudah pulang, untungnya tidak curiga sama sekali. Hidupku benar-benar mirip drama yang biasa aku tonton akhir-akhir ini, karena tidak punya ingatan apapun soal buku jadi aku tidak bisa membandingkan hidupku dengan buku. “Memikirkan apa Sayang?”Ku tatap Mas Alvis lama. “Ada yang mengganggu pikiranmu lagi semasa Mas ke luar kota kem

  • Bukan Pemeran Utama   42 - Hampanya Kota Bandung

    Karena tidak bisa menunggu lagi dan muak dengan segala pertanyaan gila yang terus menerus menghantuiku. Aku memilih ke Bandung tanpa ditemani Laila, itupun kesananya naik bus berbekal keberanian. Katanya perjalanannya sangatlah panjang dan lama. Bagaimana jika pradugaku benar? Itu mengerikan bukan? Terus- sudahlah Nabhila, tidak baik menggali sesuatu yang tidak pasti. Dan aku sampai di tempat ini menjelang malam. Warna jingga dibalik kaca taksi terlihat cantik. Setelah membayar taksi, kubawa stroller Kanza mengelilingi daerah asing ini. Beberapa orang sering kali menoleh, sebagian lagi sibuk dengan urusannya sendiri. “Kemana aku harus pergi? Apa yang aku cari di kota ini? Bagaimana jika Mas Alvis tau aku kembali ke Bandung?” Dan pertanyaan ini hanya untuk diriku sendiri. Selama sejam lamanya, aku dan Kanza benar-benar bagai orang hilang. Kesana kemari tanpa tujuan, keluar masuk restoran, cafe, mall dan berakhir di taman. Memperhatikan bagaimana ramainya kanak-kanak bermain. “Apa

  • Bukan Pemeran Utama   41 - Modeling

    Setelah menjadi orang tak tau apapun selama 3 mingguan lebih, akhirnya ada kesempatan untuk membuktikan ingatanku. “Jangan kemana-mana, kalaupun mau keluar harus hubungi Mas dulu.” Hari ini dan 2 hari kedepannya, Mas Alvis harus keluar kota. “Palingan kalau aku keluar ke supermarket, Mas. Beliin Kanza pempres dan kebutuhannya yang lain, yang itu harus aku laporin juga?” Karena takut kangen, aku memeluk Mas Alvis erat. Ini pertama kalinya kami tidur berpisah semenjak pindah. Atau LDR. “Apapun itu, lapor ke Mas. Mas akan berusaha semaksimal mungkin menyelesaikan pekerjaan jadinya bisa pulang cepat.” Perkataannya kubalas dengan gumaman. Aku fokus mendengarkan bagaimana menyenangkannya mendengar detak jantung Mas Alvis. 3 minggu aku menahan diri untuk tidak menanyakan perihal ingatanku, mengapa modeling? Mengapa mereka tidak mengenalku? Dan kenapa aku mulai merasa aku bukanlah aku.Tidak tau kenapa, semenjak kata ‘modeling’ terus terngiang, aku merasa ini bukan jalan yang benar. “M

  • Bukan Pemeran Utama   40 - Berkas Sisa Operasi

    “Saya akan mendapatkan masalah besar jika ada yang tau soal ini, jadi tolong lindungi saya sebaik mungkin, Pak Austin.” Katanya sembari menyerahkan selembar berkas dan foto pada Pria bule di depannya. “Mendebarkan sekali mengotak-atik berkas rahasia demi biaya kuliah anak saya.” Ya, hanya berkas itu yang tersisa. “Kamu yakin ini wajahnya?”Dokter yang ada di depannya mengangguk mantap, “Saya bukannya merendahkan diri saya sebagai dokter, apalagi melanggar sumpah kedokteran. Sudah sepantasnya anda mendapatkan data ini karena anda adalah tunangannya.” Ya, jalan yang dipilihnya tidak salah sama sekali. Harusnya pria inilah yang bersama perempuan itu, bukan pria gila itu. Ia masih ingat dengan jelas betapa posesifnya pria kaya itu setiap kali ada dokter atau suster yang datang memeriksa pasien yang dijaganya. “Hanya struktur wajahnya yang tersisa, mengenai identitas, nama barunya, umurnya sekarang atau bagaimana keadaan terakhirnya. Saya tidak tau. Sepertinya sudah di hilangkan.” Ber

  • Bukan Pemeran Utama   39 - Mengapa Aku Asing?

    Sepertinya, aku benar-benar harus melupakan nama Austin itu. Pasalnya, semakin dicari semakin tidak menemukan jawaban apapun. Mas Alvis semakin membatasi pergerakanku, arisan kemarin saja diminta tinggalkan saja. Uangnya, skip saja katanya. “Kanza tau tidak? Bunda menyayangkan uangnya, mana 15 juta lagi. Kok Ayah kamu segampang itu skip duit.” Galau sendiri kan diriku. Mana puyeng banget memikirkan siapa Austin itu, mau nonton TV eh kabelnya sudah dicabut sama Mas Alvis katanya engga baik bagi Kanza. “Kanza kan sudah 4 bulanan, Sayang. Jadi engga baik liat hal begituan mending kamu nemenin Kanza main saja.” Bosan sih tapi ada benernya juga. Ini Mas Alvis katakan seminggu lalu. Kanza engga boleh ketergantungan Nonton, apalagi kekurangan kasih sayang. Sekarang saja, dia sibuk memainkan mainannya sedangkan aku memperhatikan. Gabut parah. Yaudalah, mending keluar jalan-jalan saja. Biasanya jam segini, bagian taman akan ramai diisi orang-orang yang mau healing tapi waktunya sedikit

  • Bukan Pemeran Utama   38 - Sangat Berbeda, Tuan

    Tuan Meeaz menatap layar di depannya dengan pandangan sulit diartikan, bagaimana bisa wajah asing itu adalah putrinya? “Belum bisa kita pastikan, Tuan. Ini masih abu-abu karena wajahnya sangat berbeda. Tapi menurut perkataan bebe—““Jangan perlihatkan jika masih Abu-abu atau belum kamu pastikan. Jangan sampai Istri saya tau soal ini. Mari kembali ke Bandung, Alvis sangat membenci Yogya sedari dulu jadi dia mana mungkin ada di sini.” Untuk menghormati Tuannya, Fiera mengangguk paham. Memberikan intruksi untuk semua bodyguard agar ke posisinya masing-masing karena mereka semua akan kembali ke Bandung segera. Ya, Tuan Alvis memang membenci Yogyakarta karena ada masa lalu kelam di sini. Dan semua anggota keluarga Meeaz tau soal itu, mustahil Alvis kemari. Mungkin perempuan tadi namanya mirip saja, mana mungkin Alvis sebodoh itu memberikan nama yang sama kan? Itu namanya memberikan celah untuk rencana besarnya. “Berhenti memikirkannya apalagi membahasnya.” Peringat Meeaz sekali lagi.

  • Bukan Pemeran Utama   37 - Arisan Dan Keluarga Meeaz

    Ternyata, masuk arisan tidak semenyenangkan itu. Aku pikir, kami akan membahas betapa indahnya keluarga, pertemanan ataukah ada pengalaman yang bisa dibagi agar rumah tangga kedepannya semakin baik. Nyatanya? Semua orang malah membahas betapa mahalnya perhiasan mereka, bajunya yang dibuat oleh desainer ternama ataukah sepatunya yang limited edition. “Arisan? Kamu dulu suka banget ikut arisan.” Masa sih? Tapi tidak mungkin kan Mas Alvis bohong sama istri kesayangannya ini? “Kalung yang Bu Nabhila pakai itu, belinya di mana? Sepertinya mahal sekali.” Sontak semua mata tertuju padaku. Aku ikut menunduk menatap kalung simple yang dibelikan Mas Alvis beberapa hari lalu. Katanya sih sebagai hadiah karena membuatnya bahagia di rumah apalagi Kanza tumbuh dengan baik. “Oh ini. Ini dikasi Mas Alvis, Suamiku. Hadiah katanya, aku kurang tau belinya di mana.” Mereka semua mengangguk paham, saling bersahutan iri karena keromantisan keluarga kami. Tentu saja aku merasa beruntung dengan hal it

DMCA.com Protection Status