Karena beberapa bahan makanan habis terus suami tersayangku sibuk kerja engga tahu kapan belinya, jadinya aku memutuskan untuk pergi.
Pastinya setelah meminta izin pada Mas Alvis dulu agar dia tidak kelabakan lagi mencariku di mana-mana. Kali ini keluarnya agak jauh dari rumah padahal biasanya sekedar keliling saja di kawasan kompleks bermain dengan Kanza.
Saat ini aku mendorong troli, Kanza ada di depanku tepatnya di dalam gendongan kainnya.
“Kecap manis, saus tiram sama bumbu serba guna.” Gumamku sembari membaca catatan yang aku buat tadi pagi.
Sudah banyak barang yang aku masukkan ke dalam troli, ternyata membeli bahan makanan sambil bawa anak susah juga ya? aku pikir segampang aku memikirkannya, haha.
Sayang sekali Mas Alvis sibuk padahal aku ngarepnya kami jalan bertiga, jadinya bisa makan bersama sehabis berlanja.
“Mba? Engga jalan?” mataku mengerjap, aduh! Saking kangennya sama Mas Alvis jadi lupa jalan.
Dan tahu tidak apa yang menyenangkan? Ternyata kami bertemu lagi di antrian kasir, aku sesekali menoleh ke belakang untuk melambaikan tangan padanya, di balasnya dengan senyuman sopan.Apa aku seceria itu ya? Padahalkan di belakangku bukan langsung dia, melainkan ada bapak-bapak satu terus di belakangnya lagi ada ibu beserta anaknya, setelahnya barulah dia.Kini giliranku, aku menunggunya selama beberapa menit barulah membayarnya jadinya aman.Tak langsung pulang, aku malah duduk di depan supermarket berniat menunggu perempuan itu. Saat dia keluar, aku segera berdiri menghampirinya agar kami bisa berkenalan atau bahkan ke tahap tukar nomor ponsel.Sejauh ini, aku belum menemukan teman yang sesuai dan dialah orangnya. Tipe teman impianku banget pokoknya.“Gue kira lo dah pergi.” Dia sangat mengagumkan.“Haha belum, masih menunggu taksi jemputan. Mau temenin aku menunggu engga? Aku takut sendirian soalnya baru banget di kota
Selagi Mas Alvis sibuk memasukkan barang belanjaanku, Aku sibuk bermain dengan Kanza di ruang tengah. Usianya semakin bertambah membuatku sedikit kewalahan setiap kali dia merengek maunya di manja padahalkan pekerjaanku bukan hanya mengurusnya saja.“Manja banget sih anak Bunda? Bunda kan mau masak untuk Ayah, Princess. Kalau Kanza-nya maunya di gendong terus, masak untuk ayahnya kapan dong?” tanyaku lesu, tapi tetap bersyukur karena adanya Kanza di antara kami.Senyumku mengembang saat Mas Alvis mendekat dan mengambil alih Kanza dariku.“Mas tadi liat teman baruku engga? Dia kece banget tahu Mas, aku jadi iri mau berpenampilan seperti dia. Tapi sadar diri kalau sudah ada Kanza di gendonganku.” Tahu responnya Mas Alvis? Dia malah menertawaiku.Dasar, aku tidak suka ini.“Tadi Mas tidak terlalu memperhatikannya karena terlampau sibuk teleponan dengan sekertaris, Mas. Apa penampilannya sangat cantik?”Aku me
Jariku dengan cepat mengetik nama Austin di laman pencarian internet, hanya saja saat semuanya bermunculan langkah kaki mendekat jadinya aku mengeluarkannya. Tak lupa menghapus jejak pencariannya agar Mas Alvis tidak marah apalagi kecewa karena aku melanggar peraturannya.“Padahal tadi anteng sama ayah kok malah kangen Bunda sih? Harusnya Kanza bilang sama Bunda tidak mau jauh darinya, iyakan Sayang?” Mas Alvis semakin dekat, jariku mengetik asal resep makanan agar mempunyai alasan.“Katanya mau masak kok main hp?”Layar ponselnya kuperlihatkan padanya.“Oh lagi liat resep. Nanti Mas belikan buku resep begitu jadinya kamu engga main ponsel lagi ya? Engga baik bagi Kanza kalau keseringan liat Bundanya main hp.” Maunya menolak tapi nantinya Mas Alvis marah lagi.“Kayaknya ide bagus Mas, aku jadinya punya banyak ide untuk lauk makan kita karena aku melupakan semua resep masakan yang aku tahu dulu.”
Karena ingin memastikan apa yang di dengarnya adalah kebenaran, Xera bergegas kembali ke Bandung menuju makam sahabatnya. Jelas-jelas di batu nisannya tertulis nama Nabhila Pramuditia. Lalu siapa perempuan yang mengaku sebagai Nabhila itu? Dia bahkan memiliki nama anak yang sama seperti nama keponakan sahabatnya itu. "Apa Alvis diam-diam menikah dengan perempuan lain yang bernama Nabhila? Dan dialah yang menjadi ibu sambung untuk Baby Kanza?" Tanyanya pada sendiri. Tidak mungkin perempuan itu adalah Nabhila karena jelas-jelas Nabhila meninggal di tempat. Yang semua orang ragukan hanyalah Nadhila bukan Nabhila. Wajah Nadhila tak bisa dikenali saat ditemukan, bahkan sebagian keluarga besarnya awalnya menyangkal itu adalah model ternama, Nadhila. "Kalau gue tanyanya ke Mak mereka, takutnya malah membuat keadaan menjadi runyam. Tapi kalau gue tampung semuanya, bisa-bisa gue gila sendiri." Xera mirip orang gila sekarang, ia beralih menata
Lagian semua orang terlihat melupakan Nadhila, dari dulu semua mata hanya tertuju pada Nabhila karena jalan hidup yang di pilihnya sesuai kemauan keluarganya sedangkan Nadhi tidak. Nadhila suka membangkang, maunya hidup dengan jalannya sendiri, sahabatnya itu bahkan seringkali berdebat panjang dengan Ayahnya sendiri lalu tak pernah ke rumah utamanya selama berminggu-minggu lamanya. Beberapa orang menganggap Nadhila hanyalah benalu di kehidupan kakak kembarnya itu, mereka bahkan berpikir Nadhi sukses menjadi model karena pengaruh kakaknya saja. "Harusnya sebelum Nadhi meninggal, dia bisa menemukan pria yang membuatnya bahagia, mencintainya dengan tulus dan selalu ada untukmu. Ada baiknya Nadhi meninggal cepat jadinya dia tidak perlu tersiksa memiliki tunangan toxic sepertimu." Setelah mengatakannya, Xera pergi dari sana. Andaikan Nadhi mendengarnya, sahabatnya itu akan merengek tak suka. Nadhi itu sulit di tebak, entah beneran Cinta sama Austin
"Ini adalah barang-barang milik Nadhila selama menjadi model di agency kami. Dia sangat berbakat tapi sepertinya Allah lebih menyayanginya daripada kita." Tepat setelah Pria tua itu mengatakannya, beberapa orang bergiliran masuk membawa figura foto milik Nadhila. "Salah satu syarat darinya selama bekerja dengan kami, baju yang dipakainya harus tertutup dan rapi." Terlihat sekali pria itu teramat bangga mendapatkan Nadhila sebagai modelnya. Fiera yang ada di sana memperhatikan semua foto yang datang, tidak ada satupun foto yang memperlihatkan lengan kanan atas Nadhila. Ini termasuk bukti, bahwasanya Nadhila memang masih hidup di suatu tempat. "Terimakasih atas kedatangannya, padahal anda bisa menyimpannya di studio anda saja sebagai kenang-kenangan." Balas Nada, ibu dari Nadhila. "Bisa saja saya melakukannya, Bu Nada. Tapi ini bukan hak kami, tidak ada yang tau alamat apartemen Nadhila kecuali tunangan dan sahabatnya. Sedangkan foto ini seharus
"Kenapa juga aku ceroboh sekali? Harusnya aku tidak memberinya nama Nabhila melainkan nama baru seperti wajahnya, juga nama anakku yang harus di ganti. Nadh, kamu engga bakal ninggalin aku suatu hari nanti kan?" tanyanya pada selembar foto hitam putih. Di sana, ia dan Nadhi sedang mengenakan seragam batik sekolahan. Baru saja penonton acara pentas sekolah. "Andai kamu engga ninggalin aku terus ke luar negeri, andai persahabatan kita tetap berlanjut dan berakhir sebahagia ini. Mungkin kamu dan aku akan bahagia Nadh, kamu engga bakal merasakan semua ini." di usapnya beberapa kali wajah Cinta pertamanya. "Satu hal yang harus kamu tau, Sayang. Aku sangat mencintaimu, aku bahkan ingin terus mencintaimu. Tolong Cintai aku juga." Tapi bagaimana caranya? Nadhila memiliki sikap pantang menyerah, selama dia menginginkan sesuatu maka dia akan terus mengejarnya sampai dapat. Apalagi beberapa hari lalu, Nadhila sempat mengangkat telepon di ponselnya.
"Jangan asal menuduh Mas begitu Sayang, kamu kan tau kalau Masa mana mungkin membohongi kamu." Mataku menatapnya ragu, tapi beberapa ingatan di kepalaku mengatakan dia berbohong. Padahal kemarin-kemarin, aku begitu mempercayai semua yang Mas Alvis katakan. Kami bak keluarga paling bahagia di dunia ini. "Masalahnya aku bingung Mas, semua yang muncul di ingatanku berbanding terbalik dengan apa yang Mas katakan. Bisa saja kan semua ingatan aneh itu milikku, bukan milik orang lain. Untuk apa aku meny—“"Sayang, Nabhila. Ingat cerita Mas tentang kamu yang begitu memantau kehidupannya adikmu? Bahkan hal sederhana pun kamu pantau. Jadi anggap ini bagian dari sana, iyakan?" Aku menunduk. Tapi kenapa di ingatanku berbeda? Di sana meskipun buram, aku seakan duduk di cafe menikmati banyak makanan lalu tertawa terbahak-bahak. Di sana, sekilas aku melihat diriku duduk di kursi lalu suara kamera menggema. Mana mungkin itu bukan aku?
Ya, aku benar-benar mengabaikan semuanya selama beberapa minggu ini. Bahkan saat Kanza berumur 8 bulan sekalipun, otakku masih kosong dengan kenangan. Aku masih menjadi cangkang kosong tanpa memori apapun. “Sudah sampai, Neng.” Lamunanku buyar, aku bergegas membayar ongkos taksi dan keluar. Ya, semenjak tak ada pembahasan masa lalu selama sebulanan lebih. Mas Alvis mulai mengijinkanku ke kantornya bahkan memperkenalkanku ke banyak orang sebagai istrinya. Awalnya aneh, disambut bisikan dan tatapan heran beberapa karyawan tapi engga papa lah. “Jadi pengen punya istri juga atuh kalau Pak Bos dimasakin terus.” Aku tertawa kecil mendengarnya. Pak Dadang namanya, satpam kantor. Beliau bergegas memencet tombol lift untukku. “Nikah cepetan, Pak. Kasian tau jodoh Bapak lama banget nunggunya.” Balasannya, Pak Dadang tertawa. Aku bergegas masuk lift dan tersenyum sopan padanya bersamaan dengan tertutupnya lift ini. Huft! Lagi-lagi aku akan disambut tatapan aneh karyawan. Mereka sebenarnya
Ya, aku benar-benar mengabaikan semuanya selama beberapa minggu ini. Bahkan saat Kanza berumur 8 bulan sekalipun, otakku masih kosong dengan kenangan. Aku masih menjadi cangkang kosong tanpa memori apapun. “Sudah sampai, Neng.” Lamunanku buyar, aku bergegas membayar ongkos taksi dan keluar. Ya, semenjak tak ada pembahasan masa lalu selama sebulanan lebih. Mas Alvis mulai mengijinkanku ke kantornya bahkan memperkenalkanku ke banyak orang sebagai istrinya. Awalnya aneh, disambut bisikan dan tatapan heran beberapa karyawan tapi engga papa lah. “Jadi pengen punya istri juga atuh kalau Pak Bos dimasakin terus.” Aku tertawa kecil mendengarnya. Pak Dadang namanya, satpam kantor. Beliau bergegas memencet tombol lift untukku. “Nikah cepetan, Pak. Kasian tau jodoh Bapak lama banget nunggunya.” Balasannya, Pak Dadang tertawa. Aku bergegas masuk lift dan tersenyum sopan padanya bersamaan dengan tertutupnya lift ini. Huft! Lagi-lagi aku akan disambut tatapan aneh karyawan. Mereka sebenarnya
“Mas kemarin khawatir banget kamu kenapa-napa mana katanya engga bisa video call. Anaknya Ayah lagi manja ke Bundanya ya?” Aku tersenyum manis. Tau apa hal paling aku syukuri? Ditengah-tengah gilanya rasa penasaranku akan ingatanku yang aneh? Mempunyai suami bernama Alvis Pramuditia. Dia adalah suami paling pengertian, sangat percaya padaku. Sayangnya kemarin, aku malah berbohong padanya. “Kanza kayaknya mau jalan-jalan, Mas. Tapi aku bingung mau bawa ke mana. Laila kayaknya sibuk banget dari kemarin susah di hubungi.” Tuhan, betapa berdosanya diriku. Mas Alvis mendekat, mengambil alih Kanza yang terus menerus di gendong olehku sedari pagi. Mas Alvis sudah pulang, untungnya tidak curiga sama sekali. Hidupku benar-benar mirip drama yang biasa aku tonton akhir-akhir ini, karena tidak punya ingatan apapun soal buku jadi aku tidak bisa membandingkan hidupku dengan buku. “Memikirkan apa Sayang?”Ku tatap Mas Alvis lama. “Ada yang mengganggu pikiranmu lagi semasa Mas ke luar kota kem
Karena tidak bisa menunggu lagi dan muak dengan segala pertanyaan gila yang terus menerus menghantuiku. Aku memilih ke Bandung tanpa ditemani Laila, itupun kesananya naik bus berbekal keberanian. Katanya perjalanannya sangatlah panjang dan lama. Bagaimana jika pradugaku benar? Itu mengerikan bukan? Terus- sudahlah Nabhila, tidak baik menggali sesuatu yang tidak pasti. Dan aku sampai di tempat ini menjelang malam. Warna jingga dibalik kaca taksi terlihat cantik. Setelah membayar taksi, kubawa stroller Kanza mengelilingi daerah asing ini. Beberapa orang sering kali menoleh, sebagian lagi sibuk dengan urusannya sendiri. “Kemana aku harus pergi? Apa yang aku cari di kota ini? Bagaimana jika Mas Alvis tau aku kembali ke Bandung?” Dan pertanyaan ini hanya untuk diriku sendiri. Selama sejam lamanya, aku dan Kanza benar-benar bagai orang hilang. Kesana kemari tanpa tujuan, keluar masuk restoran, cafe, mall dan berakhir di taman. Memperhatikan bagaimana ramainya kanak-kanak bermain. “Apa
Setelah menjadi orang tak tau apapun selama 3 mingguan lebih, akhirnya ada kesempatan untuk membuktikan ingatanku. “Jangan kemana-mana, kalaupun mau keluar harus hubungi Mas dulu.” Hari ini dan 2 hari kedepannya, Mas Alvis harus keluar kota. “Palingan kalau aku keluar ke supermarket, Mas. Beliin Kanza pempres dan kebutuhannya yang lain, yang itu harus aku laporin juga?” Karena takut kangen, aku memeluk Mas Alvis erat. Ini pertama kalinya kami tidur berpisah semenjak pindah. Atau LDR. “Apapun itu, lapor ke Mas. Mas akan berusaha semaksimal mungkin menyelesaikan pekerjaan jadinya bisa pulang cepat.” Perkataannya kubalas dengan gumaman. Aku fokus mendengarkan bagaimana menyenangkannya mendengar detak jantung Mas Alvis. 3 minggu aku menahan diri untuk tidak menanyakan perihal ingatanku, mengapa modeling? Mengapa mereka tidak mengenalku? Dan kenapa aku mulai merasa aku bukanlah aku.Tidak tau kenapa, semenjak kata ‘modeling’ terus terngiang, aku merasa ini bukan jalan yang benar. “M
“Saya akan mendapatkan masalah besar jika ada yang tau soal ini, jadi tolong lindungi saya sebaik mungkin, Pak Austin.” Katanya sembari menyerahkan selembar berkas dan foto pada Pria bule di depannya. “Mendebarkan sekali mengotak-atik berkas rahasia demi biaya kuliah anak saya.” Ya, hanya berkas itu yang tersisa. “Kamu yakin ini wajahnya?”Dokter yang ada di depannya mengangguk mantap, “Saya bukannya merendahkan diri saya sebagai dokter, apalagi melanggar sumpah kedokteran. Sudah sepantasnya anda mendapatkan data ini karena anda adalah tunangannya.” Ya, jalan yang dipilihnya tidak salah sama sekali. Harusnya pria inilah yang bersama perempuan itu, bukan pria gila itu. Ia masih ingat dengan jelas betapa posesifnya pria kaya itu setiap kali ada dokter atau suster yang datang memeriksa pasien yang dijaganya. “Hanya struktur wajahnya yang tersisa, mengenai identitas, nama barunya, umurnya sekarang atau bagaimana keadaan terakhirnya. Saya tidak tau. Sepertinya sudah di hilangkan.” Ber
Sepertinya, aku benar-benar harus melupakan nama Austin itu. Pasalnya, semakin dicari semakin tidak menemukan jawaban apapun. Mas Alvis semakin membatasi pergerakanku, arisan kemarin saja diminta tinggalkan saja. Uangnya, skip saja katanya. “Kanza tau tidak? Bunda menyayangkan uangnya, mana 15 juta lagi. Kok Ayah kamu segampang itu skip duit.” Galau sendiri kan diriku. Mana puyeng banget memikirkan siapa Austin itu, mau nonton TV eh kabelnya sudah dicabut sama Mas Alvis katanya engga baik bagi Kanza. “Kanza kan sudah 4 bulanan, Sayang. Jadi engga baik liat hal begituan mending kamu nemenin Kanza main saja.” Bosan sih tapi ada benernya juga. Ini Mas Alvis katakan seminggu lalu. Kanza engga boleh ketergantungan Nonton, apalagi kekurangan kasih sayang. Sekarang saja, dia sibuk memainkan mainannya sedangkan aku memperhatikan. Gabut parah. Yaudalah, mending keluar jalan-jalan saja. Biasanya jam segini, bagian taman akan ramai diisi orang-orang yang mau healing tapi waktunya sedikit
Tuan Meeaz menatap layar di depannya dengan pandangan sulit diartikan, bagaimana bisa wajah asing itu adalah putrinya? “Belum bisa kita pastikan, Tuan. Ini masih abu-abu karena wajahnya sangat berbeda. Tapi menurut perkataan bebe—““Jangan perlihatkan jika masih Abu-abu atau belum kamu pastikan. Jangan sampai Istri saya tau soal ini. Mari kembali ke Bandung, Alvis sangat membenci Yogya sedari dulu jadi dia mana mungkin ada di sini.” Untuk menghormati Tuannya, Fiera mengangguk paham. Memberikan intruksi untuk semua bodyguard agar ke posisinya masing-masing karena mereka semua akan kembali ke Bandung segera. Ya, Tuan Alvis memang membenci Yogyakarta karena ada masa lalu kelam di sini. Dan semua anggota keluarga Meeaz tau soal itu, mustahil Alvis kemari. Mungkin perempuan tadi namanya mirip saja, mana mungkin Alvis sebodoh itu memberikan nama yang sama kan? Itu namanya memberikan celah untuk rencana besarnya. “Berhenti memikirkannya apalagi membahasnya.” Peringat Meeaz sekali lagi.
Ternyata, masuk arisan tidak semenyenangkan itu. Aku pikir, kami akan membahas betapa indahnya keluarga, pertemanan ataukah ada pengalaman yang bisa dibagi agar rumah tangga kedepannya semakin baik. Nyatanya? Semua orang malah membahas betapa mahalnya perhiasan mereka, bajunya yang dibuat oleh desainer ternama ataukah sepatunya yang limited edition. “Arisan? Kamu dulu suka banget ikut arisan.” Masa sih? Tapi tidak mungkin kan Mas Alvis bohong sama istri kesayangannya ini? “Kalung yang Bu Nabhila pakai itu, belinya di mana? Sepertinya mahal sekali.” Sontak semua mata tertuju padaku. Aku ikut menunduk menatap kalung simple yang dibelikan Mas Alvis beberapa hari lalu. Katanya sih sebagai hadiah karena membuatnya bahagia di rumah apalagi Kanza tumbuh dengan baik. “Oh ini. Ini dikasi Mas Alvis, Suamiku. Hadiah katanya, aku kurang tau belinya di mana.” Mereka semua mengangguk paham, saling bersahutan iri karena keromantisan keluarga kami. Tentu saja aku merasa beruntung dengan hal it