"Kamu kenapa kabur dari anak buahnya juragan Somat. Bukannya enak ya jadi istri juragan Somat yang kaya raya itu?" tanya Darsa, lagi dan lagi melirik ke arah bukit kembar Utari.
"Enghhh ... Itu, Tuan." Utari menjeda ucapannya sejenak, karena merasa gugup. "Sebenarnya saya dijual sama Bapak saya ke juragan Somat untuk melunasi hutang," jelas Utari dengan kepala tertunduk malu.
"Oh, ternyata begitu," sahut Darsa menganggukkan kepalanya pelan.
"Lalu, tujuan kamu sekarang ke mana?" tanya Darsa lagi pada utari.
Utari melirik takut-takut ke arah wajah tampan lelaki matang yang ada di sampingnya itu. "Saya mau ke kota, Tuan," jawab Utari pelan.
"Waduh, kalau ke kota malam-malam terus sendirian kayak gini berbahaya untuk kamu. Nanti yang ada kamu diperkosa sama orang-orang yang ada dijalanan dan asing bagi kamu. Emangnya kamu mau masuk ke lubang yang sama?" Kali ini Darsa menatap lekat wajah Utari.
"Terus saya harus bagaimana, Tuan? Saya enggak mau dikawinkan sama juragan Somat," tanya Utari yang mulai cemas kembali.
"Saya punya pilihan untuk kamu. Saya akan beli kamu dari tangan juragan Somat dan kamu tinggal di rumah saya. Atau kamu saya turunkan di sini sendirian dengan saya kasih kamu uang lima ratus ribu untuk ongkos pergi ke kota. Jadi, kamu mau milih yang mana?"
Darsa langsung menepikan mobilnya. Lalu memutarkan posisi duduknya mengarah lansung ke arah Utari. "Saya enggak bermaksud merendahkan kamu. Karena saya memang butuh seseorang untuk mengurusi rumah saya dan ibu saya yang sedang sakit juga," jelas Darsa secara rinci.
Utari pun juga memutar posisi duduknya, hingga mereka berdua saling berhadapan satu sama lain. Tanpa sadar, gerakan yang Utari timbulkan membuat Darsa semakin panas dingin.
"Maaf, Tuan. Apa Utari enggak merepotkan Tuan lagi? Utari takut tidak becus mengurusi rumah milik Tuan. Apalagi mengurusi orang sakit seperti ibu Tuan. Utari belum punya pengalaman sama sekali, Tuan," ucap Utari panjang lebar pada Darsa.
"Enggak apa-apa, Utari. Saya akan maklumin soal itu. Ibu saya juga bukan orang yang berpenyakit berat, beliau hanya mempunyai penyakit gula dan darah tinggi. Pekerjaan kamu cuma hanya mengingatkannya untuk minum obat, membuat makanan, dan menemani ibu saya di rumah."
"Ya sudah, Tuan. Kalau begitu Utari terima tawaran dari Tuan," putus Utari final, dengan senyuman malu-malu pada Darsa.
"Ehem! Kaki kamu seksi juga, ya," ucap Darsa keceplosan yang arah pandangannya tertuju pada betis Utari yang terbuka.
"A-apa, Tuan?" tanya Utari terbata-bata yang ingin memastikan fungsi dari pendengarannya.
Darsa spontan gelagapan. Ia memaki dalam hatinya atas kecerobohan mulutnya yang tidak bisa dikontrol sedikit pun.
"Enghhh ... Maaf, Utari. Saya enggak bermasud berpikiran kotor tentang kamu. Saya hanya mau bilang kalau baju kebaya yang kamu kenakan itu terlalu ketat," ucap Darsa yang meralat ucapannya tadi.
Dengan polosnya, Utari langsung percaya gitu saja. "Iya, Tuan. Saya juga merasa sesak di bagian dada," balas Utari, yang dengan bodohnya malah menarik kebayanya ke bawah dan sangat jelas menampakkan belahan bukit kembar yang sedap dipandang mata oleh Darsa.
"Ya sudah, ini kamu ganti saja dengan pakaian saya." Darsa memberikan totebage berisi baju bersih kepada Utari.
"Tapi, Tuan, Utari ganti bajunya di mana? Di sini ada, Tuan. Takutnya nanti Tuan mengintip Utari yang sedang berganti baju," ucap Utari dengan lirih, yang kedua pipinya sudah memerah malu.
Sebelum menjawab, Darsa terbatuk kecil. "Enggak apa-apa. Saya akan hadap depan terus, nanti kamu gantinya di kursi belakang saja."
Utari mengangguk pelan. Tangannya pun sudah memegang handle pintu Darsa. Tetapi, langsung diturukan ketika tangan besar nan kekar milik Darsa sudah berada di atas pahanya.
"Kamu jangan keluar, mending lewat sini saja," ucap Darsa, yang tanpa sadar mengelus paha Utari seduktif.
Utari semakin merasa risih atas gerakan tangan dari Darsa. "Maaf, Tuan. Bisa turunkan tangan Tuan dari atas paha Utari?" tanya Utari masih menggunakan kesopanan.
Seakan kepalanya seperti disiram oleh air yang sangat dingin. Darsa akhirnya sadar dan lagsung menarik tangannya secepat mungkin. "Oh, ya ampun. Maaf, Utari. Tangan saya memang suka gatal dan sering digesek-gesek supaya gatalnya hilang," alibi Darsa, yang tentu saja semuanya bohong.
Utari hanya bisa menganggukkan kepalanya keki. "Tuan, lampunya tolong di matikan, ya,," pinta Utari dengan suara pelan tanpa menatap ke wajah Darsa.
Darsa menganggukkan kepalanya menyanggupi permintaan dari Utari, meski di dalam hatinya jelas-jelas menolak dengan mentah. "Oke, saya akan matikan lampunya.
Setelah lampu di dalam mobil memang benar-benar padam. Utari langsung bergegas berpindah tempat ke kursi penumpang dengan melewati sela-sesa kursi yang ada di depan. Kain rok kebaya yang dipakai oleh Utari telah tersibak sampai sebatas betis atas. Dan lagi-lagi Darsa dibuat panas dingin oleh kemolekan tubuh dari Utari.
"Astaga, lama-lama saya bisa gila bersama Utari. Keimanan saya selalu diuji saat melihat keindahan dari tubuh Utari,'' gumam Darsa berdecak kesal dari dalam hatinya.
Tidak mau kehabisan akal, Darsa memutar kaca spion tengah mobilnya dan mengarahkan ke arah posisi Utari berada. Senyuman lega milik Darsa kembali terukir di bibirnya. Gerakan jemari Utari yang gemulai membuka kancing kebaya membuat kepala Darsa semakin pening. Meski dalam keadaan gelap, Darsa sangat yakin sekali jika bukit kembar milik Utari sangat besar sekali.
"Untung cuma Bagain atas yang kelihatan, apalagi yang bagian bawah. Bisa-bisa saya jadi gila," ucap Darsa.
***
Halo para pembaca. Jangan lupa untuk memberikan vote, coment dan share.
Mobil yang dikendarai oleh tuan Darsa akhirnya sampai di sebuah villa yang sangat megah dan mewah. Ada gerbang tinggi yang menghalangi masuk ke dalam villa.Dengan gerakan luwes, Darsa mengambil remote control di balik dasboard mobilnya. Kemudian, membuka kaca jendela mobilnya dan langsung menjulurkan tangannya ke luar guna menyatukan sensor yang tertempel di dinding pagar itu."Wah ... Ini villa pribadi milik Tuan?" tanya Utari berdecak kagum menyaksikannya."Iya, ini punya saya. Tapi, sudah lama tidak ditempati. Karena saya terlalu sibuk di luar kota," jawab Darsa sekenanya."Berarti Tuan ini orang kaya juga di kampung ini, ya?" tanya Utari yang semakin tidak mengontrol rasa antusiasnya mengetahui seluk beluk dari seorang Darsa."Enggak juga lah. Saya sama kayak kalian semua, manusia yang membutuhkan sesuap nasi," elak Darsa yang tidak mau mengaku kebenarannya.Utari hanya bisa mengulum senyuman manisnya yang malu-malu."Kalau jaran
Di dalam ruang persegi empat yang lumayan luas dan megah, namun terasa minimalis. Ada Utari yang sedang melihat-lihat isi dari ruang tersebut. Koleksi sabun cair yang beraneka rasa dan masih banyak lagi perlengkapan untuk mandi."Tuan, Utari merasa sedang mimpi melihat kamar mandi orang kaya sebagus kayak gini," ucap Utari terpesona melihat kemewahan yang ditampilkan oleh kamar mandi milik Darsa.Darsa menggelengkan kepalanya pelan. "Kamu ini norak sekali 'sih, Utari. Masa cuma lihat kamar mandi saja sampai air liur kamu tumpah-tumpah," decak Darsa menunjuk sudut bibir Utari yang basah.Sontak Utari langsung mengelap air liurnya yang keluar dikatakan oleh Darsa."Aduh, maaf banget, Tuan. Kalau sikap Utari bikin Tuan Darsa jijik." Utari membukukan tubuhnya beberapa kali guna meminta maaf pada Darsa."Bukannya saya jijik sama kamu Utari. Melainkan saya merasa rugi kalau air liur kamu terbuang sia-sia," jelas Darsa yang terasa ambigu di
Sepanjang malam sampai pagi, mata Utari masih terjaga dengan segar bisa dibilang mata Utari kuat melotot. Sejak kejadian di dalam kamar mandi bersama tuan Darsa membuat Utari langsung demam tinggi. Sedangkan tuan Darsa tidurnya malah tambah nyenyak setelah memainkan squisi alami milik Utari. "Tuan, kenapa kita berangkatnya pagi-pagi sekali? Memangnya pejalanannya sangat jauh, ya?" tanya Utari masih dalam keadaan ngantuk, melirik kek arah Darsa yang sedang fokus menyetir mobil. Kenapa Utari bertanya sedemikian seperti itu. Karena, mereka berangkat sebeluum matahari terbit. Sehabis shalat subuh Utari bersama Darsa sudah berangkat untuk meeninggalkan kampung tersebut. Dan Darsa pun melupakan janjinya pada anak buah juragan Somay, tentang janjinya yang menyuruh juragan Somat untuk menemuinya pagi hari. "Sangat jauh, Utari. Sudah begitu Mamah saya dari semalam menanyakan saya kenapa membatalkan rencana saya untuk pulang semalam," jawab Darsa yang menjelaskan secar
Suara ketukan di kaca mobil Darsa terdengar nyaring membuat tubuh mereka refleks saling menjauh. Buru-buru Darsa membuka pintunya dengan gerakan yang lumayan tergesa. "Wah, ternyata Tuan Darsa yang ada di dalam. Saya kira tamu nyonya Indri, Tuan," ucap seorang satpam dengan sopan pada Darsa. Darsa menganggukkan kepalanya kaku dengan senyuman canggung. "Iya, Pak Dirman. Saya baru saja ganti mobil, pasti Pak Dirman enggak mengenalinya, kan?" "Hahaha ... Tuan Darsa tahu saja apa yang otak saya pikirkan," ucap Dirman terkekeh geli. Lalu, Dirman melongok kan kepalanya guna melihat Utari. "Tuan, yang di dalam itu siapa, ya? Kok, kayak masih anak-anak, ya?" tanya Dirman penasaran. Darsa menghela napasnya sejenak. Kemudian melirik Utari mengkode gadis itu untuk turun dari mobil. Seakan mengerti kode dari Darsa, Utari langsung turun dari mobil dan menghampiri Darsa. "Kenalkan, Pak Dirman. Ini pembantu baru yang akan berkerja di
Tubuh Darsa dan juga Utari saling menegang di tempat. Refleks mereka berdua saling menjauhkan dirinya masing-masing dengan gerakan cepat. Utari menatap penuh raut pias pada wajah Darsa, sedangkan Darsa sudah menebalkan wajahnya dengan raut wajah yang sangat dingin sekali."Loh, kamu sudah pulang, Sayang?!" tanya Darsa berseru pelan sambil berjalan ke arah sosok wanita yang berusia matang, namun masih sangat terlihat cantik dan anggun."Ih, kok Mas sambutannya begitu, sih. Jangan bilang Mas Darsa enggak senang kalau aku sudah pulang," tuduh wanita cantik itu yang merajuk kesal.Darsa langsung meraup tubuh istrinya itu dengan lembut, lalu mengecup kening istrinya dengan mesra. "Sssttt ... Kamu ini merajuk terus kayak anak kecil saja. Saya enggak akan senang selama kamu pergi jauh dari saya," ucap Darsa yang mencoba menyakinkan istrinya itu.Utari yang masih berdiri mematung di tempat hanya bisa terdiam dengan jari tangan saling bertaut cemas, ketika menyaks
Utari mengambil seprai yang masih terlipat rapih di dalam lemari kecil yang berada di pojok kamar pembantu yang sanga kecil sekali. Lalu, menerapkannya pada kasur lipat untuk dirinya tidur selama tinggal di rumah Indri, ibu kandung tuan Darsa."Kalau tuan Darsa sudah menikah, lalu kenapa tuan Darsa tega melakukan yang tidak senonoh dengan aku kemarin," gumam Utari dengan wajah yang masih pias, karena terkejut.Kepala Utari menunduk dalam dengan jari tangannya saling bertaut cemas. Tetapi Utari tidak bisa menampik kalau ketampanan dan kegagahan Darsa membuat hati Utari tertarik dan terpesona."Aku jadi takut kalau bertemu dengan istrinya tuan Darsa," lirih Utari cemas. "Apa aku mengundurkan diri saja, ya, dari pekerjaan ini?" sambung Utari yang bertanya pada dirinya sendiri.Lamunan Utari langsung buyar ketika suara ketukan dari pintu kamar yang ditempati olehnya. Sontak Utari bergegas cepat membukakan pintunya.Tok ... Tok ... Tok ..."Utari
Suasana di dapur milik Indri terasa sunyi dan sepi sepertitidak ada kegiatan apa pun. Namun, ada ketegangan yang mengisi di are sana, karena ada Darsa yang semakin berani mengukung tubuh Utari ke pojok dinding dapur yang ke halang kulkas besar."Tuan Darsa mau apa lagi dari Utari, hah? Mending Tuan Darsa pergi temui istri Tuan Darsa dari pada di sini bersama Utari," ucap Utari gugup yang tidak berani menatap wajah Darsa langsung.Darsa semakin menundukkan kepalanya sampai pucuk hidungnya menyentuh kening Utari. "Kamu ini kenapa Utari? Jangan bilang kamu cemburu sama istri saya, ya?" tanya Darsa yang menggoda Utari dengan suara berat nan maskulin miliknya itu.Kening Utari mengerut tinggi tidak suka dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Darsa. "Harusnya Utari yang tanya ke Tuan Darsa seperti itu. Kenapa Tuan Darsa tega menjebak Utari dalam permainan ini? Memang iya Tuan Darsa membebaskan Utari dari jeratan juragan Somat, tapi Tuan Darsa sendiri yang malah menja
Suara nyaring dari handpone butut milik Utari membuat gadis itu mengurunkan niatnya untuk tidur malam. Buru-buru Utari bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ke arah lemari kecil yang menyimpan pakaian miliknya. Tertera di layar kecil handphone milik Utari, ada nama Ajeng -Adik kandung Utari- "Assalamu'alaikum, Dik Ajeng." Utari memberikan salam terlebih dahulu dengan kelewat antusias. "Wa'alaikum salam, Mbak! Kabar Mbak Utari di sana bagaimana?" Ajeng membalas dengan menyapa Utari tak kalau antusiasnya. "Alhamdulillah, Mbak baik di sini. Kalau kamu bagaimana, Dik? Apakah juragan Somat tidak melakukan hal yang berbahaya sama kamu?" tanya Utari balik dengan rasa cemasnya. Ada keheningan panjang di seberang telepon sana. Sangat kentara sekali kalau ada masalah yang sedang di hadapi oleh Ajeng, adiknya. "Ajeng, kenapa kamu diam saja? Tolong ceritakan keadaan kamu sekarang di sana sama Mbak, Ajeng," ucap Utari memohon dengan suara yang
Di sebuah Villa keluarga Munthe.Utari ingin memberitahukan kepada Samu tentang kabar ini. Namun, Utari harus mengumpulkan keberanian untuk menelepon Darsa.Dalam lima detik, panggilannya ditolak. Karena itu, Utari hanya bisa mengirim pesan dengan takut-takut untuk memberitahunya bahwa dia memiliki sesuatu untuk dikatakan dan berharap Darsa bisa pulang malam ini.Pernikahan mereka sekarang sedang jalan menuju satu bulan, namun Darsa tidak pernah menghabiskan malam di rumah. Utari akan selalu sendirian di kamar tidur, dan Utari tahu betul di mana Darsa menghabiskan malamnya.Darsa tidak mengangkat teleponnya juga tidak membalas pesannya. Karena itu, hati Utari menjadi resah karena dia tahu Darsa tidak akan pulang malam ini juga.Utari pun beranjak dari duduknya untuk mandi. Setelah itu hendak beristirahat. Namun, ketika pintu dibanting hingga terbuka lebar membuat Utari mengur
Gemercik suara air yang bertabrakan dengan lantai menjadi pengiring irama di sela-sela tangisan Utari. Tubuh mungil nan rapuhnya bergetar hebat menahan dingin dan kehancuran secara bersamaan.“Hiks ... Kenapa harus aku yang mengalami semua ini ...!” jerit Utari frustrasi yang tertelan dengan kehancuran hati dan fisiknya.“Kenapa semua orang selalu enggak percaya sama aku? Padahal aku sudah berkata dengan sejujurnya,” lirih Utari yang menangis pilu sambil menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangannya.Tubuh Utari pun perlahan merosot begitu saja di lantai. Membiarkan tubuhnya terus-menerus dihujami oleh rintikan air dari shower. Ia menekuk kedua lututnya, menyembunyikan wajahnya di balik lipatan lututnya, dan kembali menangisi nasib malangnya.Tok ... Tok ... Tok ...Suara ketukan pintu membuat kesadaran Utari kembali. Terlebih suara yang sangat familiar bagin
Sarah mengacak rambutnya sambil mengerang frustrasi. Kepalanya berdengung sakit ketika memaksakan tubuhnya bangkit dari tempat tidurnya. Ia mengingat semua kejadian di ruangan kerja Darsa semalam.“Sial! Kenapa Darsa harus pergi menghilang begitu saja! Padahal dia lagi dalam keadaan terbakar gairah. Harusnya dia meminta bantuan padaku,” dengus Sarah yang menggeram marah.Memang benar Darsa menghilang tanpa jejak ketika ia izin ke toilet. Sampai acara puncak di ruangan itu pun dia tetap tidak kembali. Dan akhirnya, Sarah harus menanggung malu dan kekalahan atas taruhannya pada dirinya sendiri bahwa Darsa masih bisa ditaklukkan oleh pesonanya.“Kalau berakhir kayak gini sama saja aku yang rugi!” decak Sarah yang masih tidak terima dengan kekalahannya.Sarah pun lantas keluar dari kamarnya. Ia berjalan menuju ke dapur untuk mengambil minum.Ruang tamu rumah Indri -ibunya Darsa- sudah kembali rapi dan bersih berkat p
Bab 17.Utari mengambil semua pakaian yang sedang di jemur. Teriknya matahari membuat Utari kegerahan. Terlebih ranjang pakaian bersih yang terlihat besar menutupi tubuh Utari.“Bagaimana Darsa? Apa ‘kah rumah kamu yang ada di sana sudah selesai di bangun?”Langkah kaki mungil milik Utari terhenti. Ia tidak sengaja mendengar suara Nyonya besar yang sedang berbicara dengan Tuan Darsa. Meski Utari tahu menguping adalah sebuah kesalahan, tetapi Utari merasa perlu mendengarkan percakapan mereka berdua.“Mah, mamah tenang saja. Saya sudah menyiapkan semuanya di rumah itu. Lagian renovasinya sudah selesai lama. Mamah tidak usah khawatir. Secepatnya saya bersama istri saya akan pindah,” ucap Darsa dengan tenang penuh dengan kejelasan.“Mamah tahu soal itu, Darsa. Tapi Mamah enggak mau istri kamu itu menunda momongan lagi. Sudah hampir lima tahun pernikahan kamu berjalan, tapi sampai sekarang belum juga dapat momongan,&r
Bab 16.Sinar matahari yang sangat menyorot terik membuat tubuh atletik milik Darsa semakin berkilau karena keringat yang membasahi sekujur tubuhnya.“Huh, sudah berapa lama saya enggak olahraga lagi? Padahal cuma baru setengah jam saja napas saya sudah ngos-ngosan,” gumam Darsa yang mendesa lelah.Darsa menyeka keringat di wajahnya menggunakan handuk kecil yang terlampir di bahunya. Tidak sengaja, mata Darsa bertemu dengan bokong Utari yang seksi.“Pagi-pagi sudah disuguhkan pemandangan yang luar biasa sempurna nan indah,” decak Darsa sambil menggelengkan kepalanya pelan dengan senyuman culasnya.Karena tidak mau membuang waktu lama, Darsa langsung menghampiri Utari yang sedang sibuk menyirami tanaman milik ibunya.“Ehem!” Darsa berpura-pura batuk untuk mengalihkan fokus Utari.“Eh, Tuan Darsa. Ada apa ya, Tuan?” tanya Utari terkejut, buru-buru ia menaruh selang di atas tanah.&l
Prang ...! Nampan yang dipegang Utari sontak terjatuh ke lantai ketika mata sucii Utari benar-benar melihat belalai panjang, besar, dan berurat milik Darsa. "Utari!" *** Kedua mata Utari terpejam sangat erat sekali dengan kedua tangan saling meremas sisi samping bajunya untuk mengurangi rasa takut, cemas, dan juga malu. Sarah langsung naik ke daratan guna mengambil handuk untuk suaminya, sedangkan Darsa hanya menenggelamkan dirinya di dalam kolam renang agar mata Utari tidak lagi jelalatan. "Pakai ini, Mas." Sarah memberikan baju handuk tersebut kepada Darsa. Dengan gerakan cepat Darsa naik ke atas daratan dan juga langsung memakai baju handuk itu untuk menutupi tubuhnya. Kali ini, Sarah menatap tajam ke arah Utari. "Heh, Utari! Siapa yang suruh kamu ke sini, hah! Pasti kamu sengaja kan ganggu kegiatan kami berdua!" tuduh Sarah dengan suara menggeram marah. Utari menggelengkan kepalanya cepat. "Enggak, Nyonya. S
Suara nyaring dari handpone butut milik Utari membuat gadis itu mengurunkan niatnya untuk tidur malam. Buru-buru Utari bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ke arah lemari kecil yang menyimpan pakaian miliknya. Tertera di layar kecil handphone milik Utari, ada nama Ajeng -Adik kandung Utari- "Assalamu'alaikum, Dik Ajeng." Utari memberikan salam terlebih dahulu dengan kelewat antusias. "Wa'alaikum salam, Mbak! Kabar Mbak Utari di sana bagaimana?" Ajeng membalas dengan menyapa Utari tak kalau antusiasnya. "Alhamdulillah, Mbak baik di sini. Kalau kamu bagaimana, Dik? Apakah juragan Somat tidak melakukan hal yang berbahaya sama kamu?" tanya Utari balik dengan rasa cemasnya. Ada keheningan panjang di seberang telepon sana. Sangat kentara sekali kalau ada masalah yang sedang di hadapi oleh Ajeng, adiknya. "Ajeng, kenapa kamu diam saja? Tolong ceritakan keadaan kamu sekarang di sana sama Mbak, Ajeng," ucap Utari memohon dengan suara yang
Suasana di dapur milik Indri terasa sunyi dan sepi sepertitidak ada kegiatan apa pun. Namun, ada ketegangan yang mengisi di are sana, karena ada Darsa yang semakin berani mengukung tubuh Utari ke pojok dinding dapur yang ke halang kulkas besar."Tuan Darsa mau apa lagi dari Utari, hah? Mending Tuan Darsa pergi temui istri Tuan Darsa dari pada di sini bersama Utari," ucap Utari gugup yang tidak berani menatap wajah Darsa langsung.Darsa semakin menundukkan kepalanya sampai pucuk hidungnya menyentuh kening Utari. "Kamu ini kenapa Utari? Jangan bilang kamu cemburu sama istri saya, ya?" tanya Darsa yang menggoda Utari dengan suara berat nan maskulin miliknya itu.Kening Utari mengerut tinggi tidak suka dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Darsa. "Harusnya Utari yang tanya ke Tuan Darsa seperti itu. Kenapa Tuan Darsa tega menjebak Utari dalam permainan ini? Memang iya Tuan Darsa membebaskan Utari dari jeratan juragan Somat, tapi Tuan Darsa sendiri yang malah menja
Utari mengambil seprai yang masih terlipat rapih di dalam lemari kecil yang berada di pojok kamar pembantu yang sanga kecil sekali. Lalu, menerapkannya pada kasur lipat untuk dirinya tidur selama tinggal di rumah Indri, ibu kandung tuan Darsa."Kalau tuan Darsa sudah menikah, lalu kenapa tuan Darsa tega melakukan yang tidak senonoh dengan aku kemarin," gumam Utari dengan wajah yang masih pias, karena terkejut.Kepala Utari menunduk dalam dengan jari tangannya saling bertaut cemas. Tetapi Utari tidak bisa menampik kalau ketampanan dan kegagahan Darsa membuat hati Utari tertarik dan terpesona."Aku jadi takut kalau bertemu dengan istrinya tuan Darsa," lirih Utari cemas. "Apa aku mengundurkan diri saja, ya, dari pekerjaan ini?" sambung Utari yang bertanya pada dirinya sendiri.Lamunan Utari langsung buyar ketika suara ketukan dari pintu kamar yang ditempati olehnya. Sontak Utari bergegas cepat membukakan pintunya.Tok ... Tok ... Tok ..."Utari