Pria yang memiliki darah Jerman dari almarhum ibunya itu sedang gusar. Kondisi hatinya terus memburuk setelah keputusan rapat tadi siang. Tampaknya 2 botol Jhonnie Walker yang punya kisaran harga 5-10 juta per botolnya itu belum mampu membuat perasaanya membaik.
Ting! Sudut gelasnya berdenting setelah dijentik menggunakan jari. Mulutnya terus mendecap tengah meresapi rasa lembut dari minuman yang kaya akan aroma buah dan rempah-rempah di tangannya. “Sie mussen die dinge tun von denen sie glauben, dass sie sie nicht tun konne.” Kutipan yang sangat dia sukai. Artinya kurang lebih untuk lebih semangat dalam menyelesaikan semua masalah. “Haaah!” Tubuhnya merosot turun dan langsung mengambil posisi berselenjor di atas sofa. Gelas di tangannya dilepaskan begitu saja. Alkohol mungkin belum mampu membuat mood-nya baik tetapi paling tidak dia bisa tertidur nyenyak selama beberapa waktu ke depan. Sementara itu Marina di dalam kamarnya, maksudnya kamar tamu di rumah Marco, tampaknya menghadapi kegelisahan yang sama. Semenjak pulang dari rapat di kantor Marco, dia pilih untuk mengurung diri. Semua kebutuhannya secara room services oleh para pelayan di rumah ini. “Kenapa tidak ada satu pun yang berjalan lancar? Apakah hidupku dikutuk?” Perasaan seperti itu kerap kali muncul setiap ada masalah. Dulu papa dan mamanya meninggal tepat di depan matanya. Sejak hari itu, hidupnya terus dihantui oleh rasa takut. Lalu muncul anggapan bahwa dia adalah anak pembawa sial. Budenya yang memberi julukan itu. Semakin dia tertekan, keyakinannya bahwa hidupnya adalah petaka juga makin besar. “Menikah dengan pria sepertinya ... aku benar membuat neraka untuk diri sendiri.” Setelah puas menyesali takdir hidupnya itu, Marina meraih handphone yang sedang di cas dekat ranjang. Dia tak mungkin hanya berdiam diri. Bila enggan menikah dengan Marco maka jalan keluarnya adalah bertemu dengan Nathan dan merebut kembali sertifikat rumahnya. Karena titik awal persoalannya ada di sana. “Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif ...” Dia belum menyerah. Coba dengan kirim pesan. Namun rasa optimismenya itu langsung hancur berantakan setelah tahu pesannya sampai kapan pun tidak akan pernah terkirim lagi. Nathan tak akan pernah bisa dihubungi lagi selamanya. “Nyonya, Marina!” Sebelum benda tak bersalah itu melayang ke lantai, suara salah satu pelayan terdengar dari balik pintu. Marina lekas berdiri dan membuka pintu. “Maaf kalau menganggu, tapi nyonya ditunggu di ruang makan oleh tuan besar.” “Baik.” Sadar posisinya di rumah ini, Marina tak akan banyak tingkah. Kalau Marco menintanya datang, dia akan datang dengan cepat. Hanya malas berurusan dengan pria itu, alasannya. Namun, dia salah mengira kalau yang memanggilnya adalah Marco. Dia kurang awas saat pelayan mengatakan ‘tuan besar’ bukannya ‘tuan muda’. Sebab kata tersebut merujuk pada dua sejoli yang doyan travelling meski usia mereka tidak muda lagi. “Ah calon menantuku ... eh sebutan untuk calon istri dari cucu itu apa yah?” Setelah berdiri menyambut Marina, dia berpaling menatap suaminya menunggu jawaban pertanyaannya tadi. “Cucu mantu, sayang,” jawab pria yang semua kepalanya dipenuhi uban sambil menyendok semacam sup dari mangkuk di depannya. “Sudah kubilang jangan makan itu. Mau kolesterolmu kambuh lagi?” Tangan si wanita langsung menepis tangan sang suami dengan mata melotot. “Aki-aki kepala batu! Para pelayan tak becus, berapa kali kubilang jangan masak sup pakai kepiting!” Marina diangguri dan dia sibuk mengomeli para pelayan. “Kalian bangunkan anak bandel itu di kamarnya. Sana, buruan!” Kemudian berteriak menyuruh pelayan naik ke atas. “Sayangku, my baby bala-bala. Jangan marah-marah yah. Jangan sampai perawatan mahalmu jadi percuma. Atau mau tengkukmu sakit lagi?” Bila si istri selalu menegur pakai tenaga dalam, sebaliknya sang suami menegur dengan kata-kata yang halus. Marina sejak tadi hanya sebagai penonton. Dia orang baru, tak bisa banyak bicara dan tak tahu juga harus bicara apa. “Astaga!” seru nenek Marco tiba-tiba. “Kami terlalu asyik sampai mengabaikan gadis cantik ini. Sini-sini, nak. Mendekatlah.” Dengan langkah ragu-ragu, Marina mendekati meja makan. Duduk di salah kursi kosong di depan kakek dan nenek Marco yang menyambutnya hangat. Tak lama setelah dia duduk, Marco berjalan turun. “Anak ini.” Melihat dandanan acak-acakan cucunya, sebagai nenek yang perhatian tentu akan langsung menegur. “Kami minum lagi?” Aroma pekat alkohol melekat di pakaiannya. “Kali ini berapa botol?” Kakeknya langsung menyambar. “Di bawah satu, kamu kakek anggap lemah.” Dua jari Marco terangkat. “Jhonnie Walker,” ujarnya bangga. Kakeknya menepuk meja. “Itu baru cucu kakek. Bravo bravo!” “Bravo, bandotan!” Nenek Marco melayangkan tamparan ke tangan suaminya yang tengah mengacungkan jempol. “Hentikan kebiasaan burukmu itu Marco kalau tidak mau asam urat, darah tinggi, kolesterol menggerogotimu saat tua nanti.” Kakek Marco langsung manyun. “Itulah yang membedakan Marco dengan kakek. Dulu waktu muda kakek jarang olahraga makanya pas tua seluruh penyakit berkumpul di tubuhnya.” Marco malah menambah keruh suasana. “Kalau dipikir-pikir iya juga sih,” ujar neneknya membenarkan. “Enak saja! Aku olahraga juga kok dulu,” tepis kakeknya. “Buktinya masih ada kok sampai sekarang.” Sekarang dia berdiri kemudian menyingkap lengan sweaternya ingin menunjukkan otot-otot lengannya. Namun, sebelum pertunjukkan itu dimulai istrinya lebih dulu menghentikan. “Jangan berlebihan, pak tua. Ingat pinggangmu.” Tawa pun pecah dalam ruangan itu. Marina ikut tertawa meski masih malu-malu. “Udah Marco, duduk sana kita makan malam sama-sama,” perintah neneknya. Marco mengangguk, dia berjalan ke arah Marina. “Hai, sayang.” Tak hanya panggilan mesra, dia pun melakukan sesuatu yang cukup mengejutkan. Sebuah kecupan mendarat tanpa disangka-sangka ke atas kening Marina. “Terpaksa,” bisiknya. Mau terpaksa atau tidak, semua itu tetap membuat wajah Marina memerah disertai debar jantung yang tak beraturan. “Kamu ngak apa-apa, Marina? Mukamu merah sekali.” “Eh?” Marina kaget. Siapa sangka neneknya Marco menyadari perubahannya tersebut. “Jangan-jangan dia alergi, sayang.” “Kubilang juga apa, pelayan-pelayan di rumah ini ingin dipecat rupanya.” Marina langsung menyangkal. Alergi apanya, menyentuh makanan saja belum. Marco yang tahu alasan mengapa Marina berubah, tersenyum smirk di sebelahnya. Akhrinya setelah berhasil mengembalikan kekondusifan suasana, acara makan malam itu pun dimulai. “Bagaimana persiapan kalian untuk menikah minggu depan?” Sepertinya neneknya Marco akan selalu membuat kejutan-kejutan baru dalam hidup Marina. “Dekor, katering, venue, gaun pengantin akan nenek urus mulai besok.” “Jangan kamu yang urus, sayang. Kan yang menikah mereka berdua.” “Tenang saja, sayang. Urusan tema biar mereka yang menentukan. Aku hanya bantu mengumpulkan sebanyak mungkin.” Kakek Marco berusaha paham tujuan istrinya. “Jadi Marco, Marina, bagaimana? Marina kamu suka baju pengantin kayak gimana? Mungkin ada referensi?” “Kain kafan,” jawab Marina dalam hati. Pernikahan ini seperti upacara kematian untuknya. “Nak Marina?” Nenek Marco penasaran dengan reaksi diam Marina. “Kalian berdua tidak sedang bertengkar ‘kan? Marco?” Sasarannya kini kepada sang cucu. Ditatap sama seperti Marina menatapnya. Akhirnya Marco meletakkan sendok dan garpunya. Diangkat gelas minum di dekatnya kemudian meneguknya sedikit. “Soal rencana pernikahan kami sepenuhnya nenek dan kakek yang urus. Marco dan Marina tinggal fitting saja.” Pupil mata Marina membesar, bukan itu jawaban yang dia inginkan. Dia berharap Marco menjelaskan kalau pernikahan harus dibatalkan. “Nice idea!” Usul Marco langsung di acc oleh nenek dan kakeknya. Setelah acara makan malam selesai, kakek dan nenek Marco masuk ke dalam kamar sedangkan Marina langsung menarik tangan Marco untuk bicara di luar. “Apa-apaan ini? Bukannya tugasku sudah selesai tadi siang?” “Perusahaan itu belum jatuh ke tanganku. Berarti belum selesai.” “Kamu sendiri tidak menepati janjimu menemukan Nathan.” “Bukan tidak, tapi belum. Mengapa susah sekali untukmu mengerti sih?” Marina terdiam sejenak begitu melihat Marco mulai mengotot. “Aku punya rencana untuk menaikkan kontrak kita.” “Kontrak? Kontrak apa yang kalian maksud Marco, Marina?” Ada suara yang langsung menyahuti Marco. Sial buat mereka berdua, karena yang menguping adalah nenek Marco. “Kalian tidak sedang mempermainkan kami, bukan?”"Siapa wanita yang tadi dibawa Marco?”Sementara itu di kediaman saudara tiri Marco, kejutan yang diberikan oleh Marco membuat bincang siang mereka terasa kian berat.“I don’t know, mom,” jawab wanita cantik berambut sebahu di dekat guci besar.“Tapi dia cantik. Rambutnya yang panjang bergelombang, bibir merah merona, wah ... pakai baju saja dia seindah itu apalagi tidak.”“Hei, Reza!” seru dua wanita di dekatnya itu bersamaan.“Yah ... ternyata adikku sudah besar.”“Stop nonton film biru atau otongmu mama bikin impoten.” Bila sang kakak membela, mamanya kelihatan kurang senang. Dia senang kalau melihat anaknya ketakutan sambil merapatkan kaki guna menyembunyikan senjata pusakanya.“Di mana dia dapat perempuan secepat itu? Bukannya kemarin dia masih jomlo?”“Wanita itu sudah ada bersamanya sejak dua hari lalu.”“Kamu kok bisa tahu?”“Anak buah Reza yang kasih tahu.” Pria berkulit sawo matang itu terlihat menyembunyikan sesuatu dari mama dan kakaknya. “Yah anak mama yang
“Kenapa bisa lepas?”Sesaat setelah mendapat pesan dari anak buahnya, Marco pergi menemui mereka di rumah sakit. Tepatnya di kamar mayat. Marco yang putuskan sendiri tetap membiarkan mayatnya di autopsi terlebih dulu.“Maafkan kami, bos.”Mereka bisa saja sasaran empuk kemarahan Marco. Namun, tak akan dilakukan demi menjaga tubuhnya dari seragan darah tinggi. Bila menilik dari sisi lain masalah ini, pria yang kini terbujur di depannya, bisa membersihkan tangannya dari darah. Berarti kalau ada apa-apa, bukan dia yang akan kena getah. Sebagai bahan pertimbangan lain Marco membatalkan niat marah-marahnya.“Tetap cari tahu apakah ini suruhan si rubah licik atau ada orang lain yang ingin bermain-main denganku.”“Baik, bos. Siap, bos!”Karena urusannya sudah selesai, Marco kembali berkendara di tengah dinginnya malam kembali ke rumah. Ada yang mesti dia lakukan sebelum fajar kembali menyingsing. Hal itu adalah kontrak dengan calon istri bohongannya.Tak banyak hal yang perlu diubah,
“Marco itu memang tampan, tapi sayang perangai buruk. Emosinya setipis tisu. Gesekan sedikit saja, emosinya bisa langsung tersulut. Semoga saja tuanya tidak hipertensi kayak kakeknya.”“Jadi nyalahin aku. Aku tekanan darah tinggi bukan karena suka marah-marah loh.” Kakek Marco langsung protes. “Perasaan dari tadi aku diam saja, kenapa jadi malah kena sasaran?”“Masa sih? Kamu ‘kan mudanya kayak anak dan cucumu.”“Kalau gantengnya, harus aku akui.”Marina menghela napas panjang. Berada di dekat dua orang ini, membuatnya harus punya rasa sabar seluas semesta. Apalagi meladeni semua kerandoman yang dimiliki dua orang tua tersebut. Meski begitu perasaan Marina jauh lebih tenang. Bila membandingkan hidupnya, hanya orang tua dari papanya yang punya rasa sayang untuknya, itu pun tidak lama. Kakek nenek dari sang mama, malah tak pernah melihat wajahnya sama sekali. Perang dingin antar keluarga adalah penyebab hal tersebut terjadi.Setiap kali almarhum papanya mengajak liburan ke rumah s
“Kenapa kita ke rumah sakit? Nathan sakit? Dia sakit apa?”Pengkhianatan Nathan memang menyakiti perasaan Marina. Namun, rasa cinta itu tetap ada. Marina mencintainya tulus. Nathan harusnya bersyukur untuk hal ini, bukannya malah berkhianat.Marco melirik, dia pilih tetap diam. Memikirkan bahwa Marina akan heboh, jejeritan di depan rumah sakit, mereka akan jadi bahan tontonan, lebih baik di depan kamar mayat saja baru dijelaskan. Kalau pun nanti dia teriak-teriak, tak akan ada yang bakal terganggu kecuali mayat-mayat itu bisa hidup lagi.“Nathan sakit?” Merasa dianggurin, jaket Marco dia tarik-tarik. “Dia sakit apa, Marco?” Menatap pemilik mata kacang kastanye itu penuh harap. “Puhh!” Makin tak tega menyembunyikannya lama-lama. Satu jari telunjuknya terarah pada tulisan ruangan ‘Kamar Mayat’ di depan pintu.Begitu Marina mengikuti petunjuk Marco, seluruh tubuhnya seketika bergetar hebat. Matanya diselimuti kaca bening yang tak butuh waktu lama untuk pecah dan mengalirkan rasa
“Kematian pria itu tidak wajar. Harus kita selediki.”“Tetapi, dia ‘kan musuh bos, kenapa sampai segitunya diselidiki? Bisa dibiarkan saja, malah justru bagus dendam bos terbalaskan tanpa perlu mengotori tangan sendiri.”Apa yang dikatakan oleh anak buah Marco, memang benar. Namun itu sebelum dia tahu kalau Nathan adalah salah satu dari permintaan Marina. Terikat kontrak, terpaksa dia harus mengusutnya sampai tuntas.“Lakukan saja apa permintaanku. Selanjutnya biar aku yang urus sisanya. Jangan lupa cari tahu juga tentang asal-usul pria itu.”Pemimpin, salah satu anak buahnya yang dipercayakan berkomunikasi langsung dengan Marco, mengangguk paham. Berputar 180 derajat, meninggalkan Barkley. Setelah anak buahnya pergi, Marco menghubungi sekretarisnya lewat telepon pesawat.“Iya ada apa, pak?” Berselang beberapa menit, sebuah kepala terjulur di balik pintu ruangan kerja Marco. Seorang wanita berpakaian rapi masuk dan membawa beberapa map berwarna. Jalannya sedikit lambat, selain
“Aduh, harusnya tadi aku tuh naik ojek. Ah ... ternyata minimarketnya jauh. Mana perut masih sakit lagi.”Gadis cantik bergaun cokelat motif bunga-bunga itu, berjalan di trotoar sambil memperhatikan maps mencari lokasi keberadaan minimarket terdekat dari rumah. Meski kesusahan ―karena wanita memang sulit bila berhubungan dengan arah― akhirnya dia sampai juga. Paling yang gempor cuman betisnya saja.Dia berniat membeli beberapa pembalut, sebab berdasarkan perhitungan tanggal dan rasa sakit yang tiba-tiba datang menyerang, sebentar lagi dia akan kedatangan tamu bulanan. Sebagai tamu di rumah Marco, tidak lah mungkin Marco menyiapkan hal-hal seperti itu. Siapa pula yang mau pakai, Marco? Neneknya? Para maid yang rata-rata sudah berumur?Maka dengan inisiatif sendiri Marina pergi membeli keperluannya di minimarket. Dia membeli satu merek yang biasa dipakai setelah itu ke kasir untuk membayar. Pada rak di dekat meja kasir, ada banyak roti dengan berbagai merek. “Sepuluh ribu satu kak
Setelah Marina pingsan, tubuhnya langsung diangkat masuk ke dalam sebuah van yang telah menunggu di ujung gang. Satu dari tiga pria bertopeng itu sebelum masuk ke dalam mobil, menghampiri si nenek tadi.“Ambil ini!” Dia menyerahkan beberapa lembar uang lalu memberi kode seperti mengunci mulut. Harga untuk keberhasilannya memancing Marina ke sarang penyamun.Nenek itu menerimanya dengan hati penuh rasa bersalah. Apalagi saat melihat tiga bungkus roti dalam buntalan kainnya, rasa bersalah itu makin menjadi-jadi. Hanya bisa berdoa dalam hati agar Marina segera dapat pertolongan. Karena sebenarnya dia terpaksa melakukan perbuatan kejam tersebut. Cucunya butuh uang untuk berobat ke rumah sakit.Mobil van melaju meninggalkan gang sempit, masuk ke jalan besar, selap-selip di antara kendaaran lain. Dalam kecepatan 100 km/ jam, hitungan menit saja para penculik telah meninggalkan jalanan ibukota. Masuk ke jalan berbatu sedikit becek sebab hujan semalam. Begitu mulai memasuki kawasan di
“Dari mana aja sih, Reza?”Reza, yang baru kembali dari rumah Marco langsung disambut tanya dari sang mama.“Dari kantor kak Marco.” Dia menyembunyikan satu bagian cerita, tentang singgah ke rumah kakak tirinya demi menyelamatkan Marina.“Lama amat. Jangan sering-sering kelayapan.”“Iya, ma.” Reza mengangguk patuh. Dia memang anak yang penurut. Harus tunduk apa perintah mama. Makanya tak salah Marco menyematkan julukan mama-boys untuknya. “Jadi gimana ma, si Marina udah diamanin?” Mesti pakai bahasa eksplisit agar mamanya tak menaruh curiga sama sekali.Mamanya menjentikkan jari. “Off course.”Muka Reza panik. “Di tempat yang biasa kan, ma?”Mata mamanya menyipit. “Kenapa kamu tanya-tanya begitu?”“Ah ngak kok, ma. Cumanya nanya aja.” Dia memasang ekspresi tenang, seakan tak ada apa-apa. Mata mamanya memicing lagi, tampak masih belum yakin. “Kakak ke mana?” Akhirnya dia mengalihkan perhatian dengan membahas sang kakak yang belum kelihatan batang hidungnya sedari pagi.“Ada
“Dari mana aja sih, Reza?”Reza, yang baru kembali dari rumah Marco langsung disambut tanya dari sang mama.“Dari kantor kak Marco.” Dia menyembunyikan satu bagian cerita, tentang singgah ke rumah kakak tirinya demi menyelamatkan Marina.“Lama amat. Jangan sering-sering kelayapan.”“Iya, ma.” Reza mengangguk patuh. Dia memang anak yang penurut. Harus tunduk apa perintah mama. Makanya tak salah Marco menyematkan julukan mama-boys untuknya. “Jadi gimana ma, si Marina udah diamanin?” Mesti pakai bahasa eksplisit agar mamanya tak menaruh curiga sama sekali.Mamanya menjentikkan jari. “Off course.”Muka Reza panik. “Di tempat yang biasa kan, ma?”Mata mamanya menyipit. “Kenapa kamu tanya-tanya begitu?”“Ah ngak kok, ma. Cumanya nanya aja.” Dia memasang ekspresi tenang, seakan tak ada apa-apa. Mata mamanya memicing lagi, tampak masih belum yakin. “Kakak ke mana?” Akhirnya dia mengalihkan perhatian dengan membahas sang kakak yang belum kelihatan batang hidungnya sedari pagi.“Ada
Setelah Marina pingsan, tubuhnya langsung diangkat masuk ke dalam sebuah van yang telah menunggu di ujung gang. Satu dari tiga pria bertopeng itu sebelum masuk ke dalam mobil, menghampiri si nenek tadi.“Ambil ini!” Dia menyerahkan beberapa lembar uang lalu memberi kode seperti mengunci mulut. Harga untuk keberhasilannya memancing Marina ke sarang penyamun.Nenek itu menerimanya dengan hati penuh rasa bersalah. Apalagi saat melihat tiga bungkus roti dalam buntalan kainnya, rasa bersalah itu makin menjadi-jadi. Hanya bisa berdoa dalam hati agar Marina segera dapat pertolongan. Karena sebenarnya dia terpaksa melakukan perbuatan kejam tersebut. Cucunya butuh uang untuk berobat ke rumah sakit.Mobil van melaju meninggalkan gang sempit, masuk ke jalan besar, selap-selip di antara kendaaran lain. Dalam kecepatan 100 km/ jam, hitungan menit saja para penculik telah meninggalkan jalanan ibukota. Masuk ke jalan berbatu sedikit becek sebab hujan semalam. Begitu mulai memasuki kawasan di
“Aduh, harusnya tadi aku tuh naik ojek. Ah ... ternyata minimarketnya jauh. Mana perut masih sakit lagi.”Gadis cantik bergaun cokelat motif bunga-bunga itu, berjalan di trotoar sambil memperhatikan maps mencari lokasi keberadaan minimarket terdekat dari rumah. Meski kesusahan ―karena wanita memang sulit bila berhubungan dengan arah― akhirnya dia sampai juga. Paling yang gempor cuman betisnya saja.Dia berniat membeli beberapa pembalut, sebab berdasarkan perhitungan tanggal dan rasa sakit yang tiba-tiba datang menyerang, sebentar lagi dia akan kedatangan tamu bulanan. Sebagai tamu di rumah Marco, tidak lah mungkin Marco menyiapkan hal-hal seperti itu. Siapa pula yang mau pakai, Marco? Neneknya? Para maid yang rata-rata sudah berumur?Maka dengan inisiatif sendiri Marina pergi membeli keperluannya di minimarket. Dia membeli satu merek yang biasa dipakai setelah itu ke kasir untuk membayar. Pada rak di dekat meja kasir, ada banyak roti dengan berbagai merek. “Sepuluh ribu satu kak
“Kematian pria itu tidak wajar. Harus kita selediki.”“Tetapi, dia ‘kan musuh bos, kenapa sampai segitunya diselidiki? Bisa dibiarkan saja, malah justru bagus dendam bos terbalaskan tanpa perlu mengotori tangan sendiri.”Apa yang dikatakan oleh anak buah Marco, memang benar. Namun itu sebelum dia tahu kalau Nathan adalah salah satu dari permintaan Marina. Terikat kontrak, terpaksa dia harus mengusutnya sampai tuntas.“Lakukan saja apa permintaanku. Selanjutnya biar aku yang urus sisanya. Jangan lupa cari tahu juga tentang asal-usul pria itu.”Pemimpin, salah satu anak buahnya yang dipercayakan berkomunikasi langsung dengan Marco, mengangguk paham. Berputar 180 derajat, meninggalkan Barkley. Setelah anak buahnya pergi, Marco menghubungi sekretarisnya lewat telepon pesawat.“Iya ada apa, pak?” Berselang beberapa menit, sebuah kepala terjulur di balik pintu ruangan kerja Marco. Seorang wanita berpakaian rapi masuk dan membawa beberapa map berwarna. Jalannya sedikit lambat, selain
“Kenapa kita ke rumah sakit? Nathan sakit? Dia sakit apa?”Pengkhianatan Nathan memang menyakiti perasaan Marina. Namun, rasa cinta itu tetap ada. Marina mencintainya tulus. Nathan harusnya bersyukur untuk hal ini, bukannya malah berkhianat.Marco melirik, dia pilih tetap diam. Memikirkan bahwa Marina akan heboh, jejeritan di depan rumah sakit, mereka akan jadi bahan tontonan, lebih baik di depan kamar mayat saja baru dijelaskan. Kalau pun nanti dia teriak-teriak, tak akan ada yang bakal terganggu kecuali mayat-mayat itu bisa hidup lagi.“Nathan sakit?” Merasa dianggurin, jaket Marco dia tarik-tarik. “Dia sakit apa, Marco?” Menatap pemilik mata kacang kastanye itu penuh harap. “Puhh!” Makin tak tega menyembunyikannya lama-lama. Satu jari telunjuknya terarah pada tulisan ruangan ‘Kamar Mayat’ di depan pintu.Begitu Marina mengikuti petunjuk Marco, seluruh tubuhnya seketika bergetar hebat. Matanya diselimuti kaca bening yang tak butuh waktu lama untuk pecah dan mengalirkan rasa
“Marco itu memang tampan, tapi sayang perangai buruk. Emosinya setipis tisu. Gesekan sedikit saja, emosinya bisa langsung tersulut. Semoga saja tuanya tidak hipertensi kayak kakeknya.”“Jadi nyalahin aku. Aku tekanan darah tinggi bukan karena suka marah-marah loh.” Kakek Marco langsung protes. “Perasaan dari tadi aku diam saja, kenapa jadi malah kena sasaran?”“Masa sih? Kamu ‘kan mudanya kayak anak dan cucumu.”“Kalau gantengnya, harus aku akui.”Marina menghela napas panjang. Berada di dekat dua orang ini, membuatnya harus punya rasa sabar seluas semesta. Apalagi meladeni semua kerandoman yang dimiliki dua orang tua tersebut. Meski begitu perasaan Marina jauh lebih tenang. Bila membandingkan hidupnya, hanya orang tua dari papanya yang punya rasa sayang untuknya, itu pun tidak lama. Kakek nenek dari sang mama, malah tak pernah melihat wajahnya sama sekali. Perang dingin antar keluarga adalah penyebab hal tersebut terjadi.Setiap kali almarhum papanya mengajak liburan ke rumah s
“Kenapa bisa lepas?”Sesaat setelah mendapat pesan dari anak buahnya, Marco pergi menemui mereka di rumah sakit. Tepatnya di kamar mayat. Marco yang putuskan sendiri tetap membiarkan mayatnya di autopsi terlebih dulu.“Maafkan kami, bos.”Mereka bisa saja sasaran empuk kemarahan Marco. Namun, tak akan dilakukan demi menjaga tubuhnya dari seragan darah tinggi. Bila menilik dari sisi lain masalah ini, pria yang kini terbujur di depannya, bisa membersihkan tangannya dari darah. Berarti kalau ada apa-apa, bukan dia yang akan kena getah. Sebagai bahan pertimbangan lain Marco membatalkan niat marah-marahnya.“Tetap cari tahu apakah ini suruhan si rubah licik atau ada orang lain yang ingin bermain-main denganku.”“Baik, bos. Siap, bos!”Karena urusannya sudah selesai, Marco kembali berkendara di tengah dinginnya malam kembali ke rumah. Ada yang mesti dia lakukan sebelum fajar kembali menyingsing. Hal itu adalah kontrak dengan calon istri bohongannya.Tak banyak hal yang perlu diubah,
"Siapa wanita yang tadi dibawa Marco?”Sementara itu di kediaman saudara tiri Marco, kejutan yang diberikan oleh Marco membuat bincang siang mereka terasa kian berat.“I don’t know, mom,” jawab wanita cantik berambut sebahu di dekat guci besar.“Tapi dia cantik. Rambutnya yang panjang bergelombang, bibir merah merona, wah ... pakai baju saja dia seindah itu apalagi tidak.”“Hei, Reza!” seru dua wanita di dekatnya itu bersamaan.“Yah ... ternyata adikku sudah besar.”“Stop nonton film biru atau otongmu mama bikin impoten.” Bila sang kakak membela, mamanya kelihatan kurang senang. Dia senang kalau melihat anaknya ketakutan sambil merapatkan kaki guna menyembunyikan senjata pusakanya.“Di mana dia dapat perempuan secepat itu? Bukannya kemarin dia masih jomlo?”“Wanita itu sudah ada bersamanya sejak dua hari lalu.”“Kamu kok bisa tahu?”“Anak buah Reza yang kasih tahu.” Pria berkulit sawo matang itu terlihat menyembunyikan sesuatu dari mama dan kakaknya. “Yah anak mama yang
Pria yang memiliki darah Jerman dari almarhum ibunya itu sedang gusar. Kondisi hatinya terus memburuk setelah keputusan rapat tadi siang. Tampaknya 2 botol Jhonnie Walker yang punya kisaran harga 5-10 juta per botolnya itu belum mampu membuat perasaanya membaik. Ting! Sudut gelasnya berdenting setelah dijentik menggunakan jari. Mulutnya terus mendecap tengah meresapi rasa lembut dari minuman yang kaya akan aroma buah dan rempah-rempah di tangannya. “Sie mussen die dinge tun von denen sie glauben, dass sie sie nicht tun konne.” Kutipan yang sangat dia sukai. Artinya kurang lebih untuk lebih semangat dalam menyelesaikan semua masalah. “Haaah!” Tubuhnya merosot turun dan langsung mengambil posisi berselenjor di atas sofa. Gelas di tangannya dilepaskan begitu saja. Alkohol mungkin belum mampu membuat mood-nya baik tetapi paling tidak dia bisa tertidur nyenyak selama beberapa waktu ke depan. Sementara itu Marina di dalam kamarnya, maksudnya kamar tamu di rumah Marco, tampaknya menghad