POV Zafira Aku sedang jalan sore bersama Amira, ketika di depan rumah Bude Siti aku terkejut. Ada mobil yang terparkir di halaman rumah dan sepertinya tidak asing. "Kok platnya kayak kenal?" Monolog Ku dengan dahi berkerut. Aku terfokus menatap mobil hitam metalik di hadapanku. "Kenapa? Kaget? Pengen? Hahaha… sampe melotot gitu liatin mobil mewah. Katanya orang kaya, kok udik banget! Liatin mobil mewah langsung melotot gitu." Suara Bude Siti yang menggelegar berhasil membuatku kaget. Para tetangga pun berdatangan. Suara Bude Siti yang menggelegar seakan menjadi undangan gratis untuk tetangga. Tampang kepo terpampang jelas dari wajah-wajah mereka. " Ada apa, Mbak? Ayo!" Amira menarik tanganku. Sepertinya adik iparku ini takut di cerca lagi dengan hinaan. Alisya berdiri disamping Ibunya sambil bersedekap di dada. Wajahnya tampak angkuh. Sedangkan Pakde Rusdi berkacak pinggang dengan tampang garang yang menghiasi wajahnya."Mobil siapa ini?" Aku bertanya kepada Bude. Mobil ini
"Ibu kenapa?" tanyaku khawatir. "Nggak kenapa-kenapa kok, Nduk," jawab Ibu sambil tersenyum. Ibu sepertinya ingin menyembunyikan penyebab tangisnya. Namun mata sembab itu tidak bisa berbohong. "Matanya sembab gitu, Ibu habis nangis, ya?" Amira bertanya kepada Ibu Mertua. "Nggak apa-apa kok, Nduk. Ibu hanya kangen sama Ayah," ucap Wanita itu sambil menunduk. Bulir bening melintasi pipinya yang sudah tampak keriput termakan usia. Amira langsung berjalan menghampiri Ibu mertua, kemudian memeluknya erat. Menyalurkan kekuatan kepada sang Ibu. Sedangkan Mas Adnan– Si beruang kutub memalingkan wajahnya dari pemandangan yang mengharukan itu. Mata elangnya juga tampak berkaca-kaca. Kerinduan yang paling menyiksa adalah merindukan orang yang tidak dapat lagi kita temui lagi di dunia. Tanpa sadar air mataku juga turut menganak sungai menyaksikan pemandangan haru di depan mata. Aku langsung beranjak ke dapur untuk mengambilkan air."Minum dulu Bu," ucapku seraya mengusap-usap punggun
Para tetangga julid itu pun berlalu dengan wajah pias. Aku tersenyum puas menatap wajah mereka yang tampak pucat. Saat hendak masuk ke dalam rumah, tiba-tiba dari arah yang berlawanan muncul manusia yang selalu membuat tensi naik. Siapa lagi kalau bukan Bude Siti Squad. Mau apa lagi mereka ke sini? Kurang satu orang, Mbak Aira. Akhir-akhir ini si nenek lampir itu tidak pernah ikutan dengan squadnya. Mungkin masih trauma dengan gambar di layar handpone ku. Wkwkwk Aku langsung mempersilahkan mereka masuk dengan sopan. Dari dalam ada tukang yang hendak pulang setelah memasang Ac di ruang tamu dan tiap-tiap kamar. Sofa-sofa dan printilannya juga sudah tersusun rapi. Kali ini pemandangan di rumah mungil ini sangat berbeda. Aku menangkap tatapan iri dari wanita bertubuh gembrot itu. "Silahkan masuk, Bude, Pakde, Alisya," ucapku sambil tersenyum. Sedan
Aku tersenyum mendengar obrolan Ibu dan putrinya. Setelah sholat magrib, kami lanjut bercengkrama di ruang tamu merangkap ruang Tv. "Assalamualaikum," ucapan salam dari pintu depan membuat mata kami sontak beralih ke pemilik suara bariton di ambang pintu."Waalikumussalam." Serempak kami menjawab salam lelaki satu-satunya di rumah ini. Wajah teduhnya sungguh membuat siapa saja yang menatap wajahnya merasa damai. Lelaki impian banyak wanita. Aku wanita beruntung yang mendapatkan lelaki sholeh dan penyayang sepertinya. Meskipun belum pernah merasakan indahnya malam pengantin bersamanya. Duhh kesitu lagi kan? "Mbak! Melamun mulu dari tadi," suara panggilan Amira membuatku langsung tersentak dari lamunanku. Tangan kekar itu sudah menjukur di depan wajahku. Lelaki bermata sayu itu tersenyum ke arahku. Jantungku berdetak cepat seperti akan lepas dari tempatnya.
Aku mengendap-endap keluar dari kamar mandi. Malu kalau sampai kepergok Ibu mertua mandi dan keramas sebelum subuh. Sedangkan Mas Adnan tampak santai saja. "Udah mandi, Dek? Katanya mau minum? Nggak bilang kalau mau mandi, biar Aku temenin," ujar si Beruang kutub yang sudah mulai mencair. Aku hanya cengengesan mendengar ocehannya. "Malu kalau mandi sebelum sholat subuh. Biasanya Ibu udah bangun, kalau ketahuan keramas gimana dong?" ucapku sambil mencari baju ganti."Ya nggak apa-apa tho Dek, Ibu juga pasti paham kok," sahut Mas Adnan sambil beranjak menuju pintu kamar. "Mau kemana, Mas?" tanyaku. "Mau mandi juga, malu kalau ketemu Ibu habis keramas," jawabnya sambil nyelonong keluar. Aku hanya menggeleng sambil tersenyum simpul. Katanya nggak apa-apa, padahal malu juga. Setelah sholat subuh kami langsung melakukan rutinitas seperti biasanya. "Dek, mau jalan-jalan pagi nggak?" bisik Mas Adnan. Suaranya terdengar oleh Ibu yang berada di dekatku. "Sana jalan-jalan gih. Pagi beg
"Aku ingin jalan-jalan ke kebun teh di ujung Desa sana Mas, boleh?" pintaku kepada lelaki dengan rahang tegas itu. "Ayoo!" Lelaki bermata elang itu menjawab singkat. Aku tersenyum senang mendengar jawabannya."Terima kasih, Mas," ucapku dan hanya di tanggapi dengan senyumnya yang membuatku semakin klepek-klepek. Lelaki itu menggenggam tanganku erat. Kami sampai di kebun teh yang sangat luas dan pemandangannya sangat indah. Kebun teh ini menjadi perbatasan antara kampung ini dan kampung seberang. Banyak pemetik teh yang juga berasal dari desa seberang. Aku menghirup napas dalam-dalam guna mengisi rongga dada dengan udara segar pedesaan. Udara yang fresh dan masih belum terkontaminasi debu dan polusi seperti di perkotaan. "Seneng bener," ucap Lelaki di sampingku. "Udaranya seger Mas, bikin rileks, nggak kayak di kota. Sepertinya aku bakalan betah disini," ujarku sambil tersenyum memandang hijaunya daun teh yang menyegarkan mata. Aku menatap bangunan yang hampir selesai di se
"Sebaiknya jangan beritahu Ibu dulu, Mas," ujarku pada Mas Adnan. "Lha? Kenapa?" Lelaki itu mengerinyitkan dahinya bingung. "Biar jadi kejutan nanti," sahutku sambil tersenyum."Baiklah! Mmm… kapan balik ke kota? Cuti Mas seminggu lagi habis," tanya Lelaki dengan manik legam itu. "Sepertinya aku betah disini deh, Mas. Mas aja yang balik ke Kota." Aku ingin tau reaksi Mas Adnan. "Mmm… tapi, kalau Papa tanya gimana?" Lelaki ini seperti enggan dan keberatan balik sendiri ke Kota. "Atau nanti Aku usulin ke Ayah kita pindah kesini ngurus kebun Teh aja, gimana? Lagian Papa juga masih kuat mimpin perusahaan." Aku memberi usul kepada lelaki yang berjalan di sisiku. Sebenarnya Aku juga tidak mau berjauhan dari Mas Adnan. Tapi melihat kondisi di sini, belum saatnya aku balik ke Kota sebelum menyelesaikan permasalahan disini. Kalau Aku kembali ke kota sekarang. Seperti kalah sebelum bertempur. Aku ingin membungkam mulut julid para tukang gosip. Aku hahya ingin Ibu mertuaku dihormati s
Aku langsung memungut pakaianku yang berceceran di lantai. Lalu dengan cepat aku mengenakan pakaianku. Inem juga demikian. Wajah imutnya tampak panik. Dia memakai pakaiannya dengan cepat. Yang penting tertutup. Bahaya kalau sampai keperogok. Aku langsung bergegas keluar dari kamar dan berjalan ke depan. Ternyata tadi aku terlalu terburu-buru hingga lupa menutup pintu depan. Yang kemudian dihempaskan oleh angin. Aku langsung mengusap dada lega.Lain kali kayaknya harus main di hotel atau penginapan biar aman. Aku berjalan ke belakang lagi. "Siapa Mas?" Tanya Inem yang tampak panik wajahnya. Baju yang di pakainya juga sampai kebalik. "Aman. Tadi Mas tutup pintu nggak terlalu rapat, sehingga dihempaskan angin," jawabku lalu kemudian mengangsurkan uang sebanyak satu juta kepadanya. "Ini untuk shoping-shoping Nem. Boleh main lagi kan, lain kali," rayuku sambil mengusap bib*rnya. Wanita itu mengambil uang yang aku berikan lalu tersenyum malu-malu dan mulai mengangguk. "Terima Kasih,
Wanita cantik itu tersenyum menatap lelaki yang tengah asyik dengan spatula dan wajan itu. Ya, Zafira sedang ngidam pengen makan nasi goreng buatan Adnan. Lelaki yang sejak kecil sudah terbiasa mandiri itu tampak cekatan di depan peralatan masak. Sesekali menyeka peluh di dahinya. Zafira yang memperhatikan dari ambang pintu dapur menyunggingkan senyuman manis. “Sepertinya enak sekali, sudah tercium dari aromanya, sangat menggugah selera. Nak, kita makan masakan ayah ya,” ucap Zafira seraya tersenyum dan mengelus-elus perutnya yang masih tampak rata. Adnan tersenyum menatap wajah istrinya. Lelaki itu kemudian mengecup singkat pucuk kepala wanita yang tengah mengandung benihnya tersebut. “Anak ayah harus makan yang banyak ya, biar bundanya nggak lemes.” Adnan berucap sambil tersenyum dengan wajah bahagia. Lelaki itu masih tidak menyangka bisa mempersuntig gadis secantik Zafira. Andai ini hanya mimpi biarkan ia tidur lebih lama lagi. “ Awas, gosong masakannya, Mas!” ucapan
Sepasang mata menatap dengan penuh kebencian dari ambang pintu. Setelah mengambil dan mengeluarkan nafas perlahan, wanita itu kemudian melangkah masuk kedalam kamar yang tengah dipenuhi kebahagiaan itu. “Maaf mengganggu, tadi Bik Sum buatkan bubur untuk Zafira. Mau mengantar kesini takutnya mengganggu. Kebetulan ada berkas yang harus Zafira tanda tangani, jadi Bik Sum sekalian minta Saya bawakan buburnya,” ucap Aira yang masih berdiri disamping Buk Ningsih. “Terima kasih Mbak Aira,” ucap Zafira sambil tersenyum. “Mana berkas yang harus di tanda tangani?” tanya Zafira dengan wajah penuh senyum kebahagiaan. “Ini bubur nggak dicampur apa-apa kan?” ucap Amira dengan wajah penuh selidik. Bu Ningsih langsung menyenggol tangan Amira dengan lengannya. “Nggak boleh begitu Nduk,” bisik Bu Ningsih tepat disamping telinga putri bungsunya. Belajar dari pengalaman, Amira kini sangat over protektif terhadap kakak iparnya. “Maafkan Adikmu Nduk Aira,” ucap ningsih kepada Aira. “Nggak apa-ap
"Jadi—." Zafira menjeda ucapannya. Menantu Ningsih itu kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. "Taraa—!" "A… apa ini Nduk?" Tanya Bu Ningsih terbata melihat testpack yang di perlihatkan Zafira. "Ini testpack namanya Buk, jadi kalau garis dua berarti positif hamil, dan kalau garis satu berarti negatif, atau nggak hamil," jelas Zafira sambil memperlihatkan testpack kepada mertuanya. "Oh, begitu," sahut bu Ningsih manggut-manggut tanda paham. "Jadi ini garis dua, tandanya Nduk Ha–mil? Ya Allah." Ningsih membekap mulutnya sendiri karena kaget. Zafira hanya mengangguk, lalu menatap Ibu mertuanya dengan tatapan nanar karena haru. "Iya, Buk. Alhamdulillah Zafira hamil, dan sudah Fira periksa ke dokter juga," sahut Zafira dengan mata berkaca-kaca namun binar bahagia terpancar jelas dari sana. "Masya Allah, Alhamdulillah, terima kasih Robb, doa-doa hamba sudah di kabulkan," ucap Ningsih lalu kemudian sujud syukur dari tempatnya berdiri. Setelah berdiri, wanita paruh baya it
Zafirah memandang wajah lelaki dihadapannya yang tampak pucat. Lelaki yang ngamuk-ngamuk ketika masuk itu tampak mati kutu. "Hallo, Pak Gunawan," tegur Zafira sambil melambai-lambaikan tangannya di depan wajah lelaki herpenampikan necis itu. "Anda masih mengenal saya bukan?" imbuh Zafira dengan senyum mengejek."Ma–masih," sahut lelaki itu terbata-bata. "Pa, itu orang yang sudah mwnampar Lexa tadi! Papa kok diem aja sih anaknya di perlakukan seperti ini?!" Alexa menegur Papanya yang tampak gugup. Zafira tersenyum sinis ke arah Alexa kemudian beralih menatap Pak Gunawan yang tampak salah tingkah. "Tentu Saja Anda masih mengenal saya dan tidak melupakan Saya. Lha wong tiap hari minggu menghubungi Saya melaporkan kekurangan dana ini itu di universitas ini. Rupanya uang sarana prasarana Anda akui sebagai Donasi dari Anda Pak Gunawan yang dermawan?" Zafira tersenyum sinis dengan tatapan tajam kearah Lelaki itu. "Saya minta catatan-catatan keuangan yang masuk dari donatur-donatur? Ma
Lelaki berseragam satpam itu masih keheranan melihat wanita yang baru turun dari mobil itu. "Pak Rektor ada, Mang?" Zafira bertanya kepada lelaki yang tadi menegurnya. "Pak Rektor lagi ke LN Nyonya, tapi Pak Dekan ada," sahut lelaki itu dengan wajah segan. "Bisa antarkan saya ke ruangannya?" Zafira tampak tak sabar. "Bisa Nyonya," ujar Lelaki itu sambil mengangguk mantap. "Buk Zafira? Mari silahkan masuk. Kenapa nggak ngabarin dulu kalau mau kesini? Kan kami bisa adakan persiapan untuk menyambut." Pak Dekan tampak terkejut melihat kedatangan Zafira. Zafira hanya tersenyum simpul menanggapi. Dia langsung duduk di sofa dalam ruangan itu. "Ada apa Buk? Biasanya Ibu hanya memantau dari rumah. Kayaknya ada sesuatu hal penting sampai Ibu Zafira datang tanpa memberi kabar," ujar Lelaki berkaca mata itu menatap Zafira serius. "Apakah ada masalah disini?" tanya Zafira. "Sejauh ini nggak ada masalah apa-apa Buk. Semua terpantau aman," sahut Lelaki itu sambil tersenyum. "Aman? Ter
Darel langsung menyenggol lengan Abhimana."Apa maksud Kamu kalah taruhan?" Amira bertanya dengan tatapan tajam. "Heh cewek tengil! Lo pasti pake susuk kan? Secara orang kampung di pelosok gitu kan suka pake susuk. Jangan-jangan Lo juga pinter guna-guna agar semua laki-laki suka sama Lo, dasar munaf1k! Pakaiannya aja tertutup, ternyata bersekutu dengan Iblis!" Bentak Alexa yang terlihat dikuasai cemburu. Amira tersentak dan melongo mendengar tuduhan yang keluar dari bibir wanita berambut pirang itu. Detik berikutnya Amira langsung membalas tatapan tajam Alexa. "Iya, Saya pinter guna-guna. Kamu nggak takut saya guna-gunain?" Amira menjawab dengan tatapan tajam ke arah Alexa. Wanita berambut pirang itu seketika nyalinya menciut."Ngadi-ngadi nih cewek! Kuyy ke Kantin." Darel langsung mengajak Abhimana ke kantin."Dasar cewek kampung! Jadi bener lo pake susuk? Jangan-jangan orang tua lo dukun lagi." Alexa tersenyum sinis ke arah Amira."Jaga mulut kamu ya! Silahkan kalau mau mengh
Amira mengernyit heran mendengar namanya disebut oleh Dosen itu. Dokter Gibran tersadar dan wajahnya langsung memerah menahan malu. Dia terkenal dengan julukan Dosen Kulkas, karena selalu bersikap dingin. Alexa menatap sinis ke arah Amira. "Punya kelebihan apa gadis desa miskin itu? Jangan-jangan pake susuk lagi, kan biasanya orang kampung di pelosok gitu suka pake-pake begituan." Alexa berbisik pada teman di sampingnya."Bisa-bisanya Lo mikir sampe kesitu. Anaknya memang cantik kok, tanpa sentuhan make up sudah cantik begitu, Alami." Seketika teman Alexa yang bernama Aletta itu langsung menutup mulutnya. Dia nggak sadar sedang memuji Amira di depan Alexa. Reflek saja pujian itu meluncur dari bibirnya. "Maksud gue, bisa saja dia pake susuk. Lihat aja auranya beda begitu," imbuhnya dengan wajah bersalah. Alexa menatapnya dengan tatapan tajam membuat Aletta salah tingkah."Maafkan, tadi salah ngomong, lo yang paling cantik deh," ujar Aletta sambil menunjukkan wajah bersalahnya."A
Gadis 20 tahun itu menarik senyum simpul menatap gedung kampus impiannya. Amira Syarifah–Nama Wanita berparas ayu itu. Adik dari Adnan Syarif. Putri kedua Pak Rusli dan Bu Ningsih. Amira memilih menetap di kota dan tinggal di indekos. Sekalipun dia tau kakaknya kaya raya, dia tidak mau memanfaatkan harta kekayaan kakaknya untuk berfoya-foya. Bahkan untuk masuk ke kampus impiannya itu, Amira lewat jalur prestasi. Tidak heran, karena adik bungsu Adnan itu Gadis yang cerdas. Dia memilih bekerja paruh waktu biar bisa belajar mandiri. Indekost yang dipilih juga kost khusus perempuan. Karena pergaulan Amira sedari kecil sudah terjaga. Wanita dengan hijab sage itu berjalan masuk ke kampus dengan perasaan gembira. Gadis cantik itu berhenti di depan ruangan fakultas kedokteran. Ya, Amira mengambil jurusan kedokteran. Gadis dengan hijab yang menutupi dada itu tersenyum lebar. Dia bahagia karena bisa berkuliah di kampus favoritnya juga fakultas impiannya. Hari ini hari pertamanya masu
"Bu Siti dan Pak Rusdi! Bukti-bukti sudah ada dan kalian tidak bisa mengelak lagi. Pak Rusdi biar di rumah sakit khusus tahanan. Bu Siti sepertinya Anda sehat-sehat saja. Maaf, ini perintah," ujar Lelaki berseragam polisi itu dengan nada tegas."Kalian memang tidak ada rasa kemanusiaan sedikitpun! Suami saya ini butuh perawatan intensif. Kalian tolong mengertilah!" Bude Siti berucap dengan nada tinggi.Polisi itu hanya menggelengkan kepala. Sudah salah masih terus ngeyel. "Silahkan nanti anda jelaskan di kantor polisi," ujar polisi itu sambil memberikan perintah kepada anak buahnya."Kalian pasti sudah makan suap. Makanya orang yang sakit dan lemah juga kalian tangkap. Dasar polisi mata duitan!!" Bude Siti mengamuk.Wanita itu lalu memecahkan gelas di nakas ruangan itu lalu mengarahkan kepada polisi yang hendak berjalan ke arahnya."Berani kalian mendekat, akan kugor*k leher kalian! Sini mendekat! Biar ku b*nuh sekalian!" Wanita itu sudah seperti orang depresi. Dia mengancam anggota