Victoria Park atau Taman Victoria sedang penuh dengan ribuan manusia. Maklumlah, tempat ini memang menjadi tempat kami para tulang punggung keluarga yang sedang mengadu nasib untuk melepas lelah setelah enam hari bekerja atau sebagai ajang bersua dengan sesama tenaga kerja. Selain itu taman ini juga sebagai tempat untuk mempertunjukkan hiburan dan seni, tempat para TKW melakukan berbagai kreativitas dan banyak lagi.
Bukan hanya tenaga kerja dari Indonesia, tempat ini juga tempat berkumpul tenaga kerja dari negara lain seperti Filipina.
Hiruk pikuk di sekitarku tak terlalu menarik perhatianku. Aku sedang fokus dengan ponsel. Menunggu kabar dari keluargaku.
Nada dering dari ponselku membuat senyumku langsung terbit dan segera kuangkat panggilan dari Anggi, adik ketigaku.
"Assalamu'alaikum."
"W*'alaikumsalam, Mbak Ambar cowok Mbak."
Alhamdulillah, ucapan hamdalah berkali-kali kuucapkan. Akhirnya, putra pertama Saras lahir. Saras adalah adik keduaku.
"Saras gimana Nggi?"
"Masih dibersihkan Mbak, ditemani sama Ibu."
"Alhamdulillah. Wulan udah pulang belum?"
"Udah di perjalanan dari Kawunganten Mbak."
"Jatmiko mana?"
"Miko lagi beli makan dulu Mbak. Sama keperluan lain buat Mbak Saras."
"Kalau butuh uang pake punya Mbak aja."
"Tenang Mbak, Mas Ragil ada tabungan. Katanya biar semua biaya dia yang tanggung."
"Ya sudah."
Anggi memutuskan sambungan karena Saras mau dipindah ke ruang inap.
Aku dengan sabar menunggu chat dari Anggi hingga setengah jam selanjutnya dia mengirim chat. Langsung aku hubungi Anggi lagi.
"Mbak Ambar, aku jadi ibu," teriak Saras. Wajahnya kelihatan lelah tapi senyum tak pernah lepas dari bibirnya.
"Selamat ya Sar, kamu sehat kan?"
"Sehat Mbak. Mbak Ambar lihat anakku nih." Saras mendekatkan kamera ke arah keponakanku nomer tiga.
Aku terharu menatapnya. Ya Allah, lucu sekali. Jadi pengin punya satu. Tapi sayang, calon bapaknya masih betah nyari duit di Korea. Calon emaknya juga terlalu betah hidup di negeri orang. Kapan jadinya coba.
"Mbar."
Aku segera mengalihkan perhatianku kepada ibu. Wanita berusia lima puluh tahun yang masih terlihat sehat dan cantik.
"Iya Bu."
"Kamu sehat?"
"Alhamdulillah Ambar sehat."
Ada binar bahagia dan kerinduan pada mata tua itu. Ah andai ibu tahu, akupun sangat merindukan mereka semua. Namun aku harus tetap bertahan, minimal satu tahun lagi biar Anggi lulus kuliah dan Miko lulus sekolah menengah kejuruannya.
"Kamu dimana Nduk?"
"Biasa Bu, di taman Victoria."
Obrolan mengalir begitu saja. Sesekali kami tertawa apalagi Miko sudah kembali dan ikut nimbrung.
Satu jam lebih aku menelepon keluargaku kemudian kuakhiri takut mereka juga mau melakukan hal lain. Aku hanya memandangi ponselku cukup lama.
Tepukan di bahu kananku mengalihkan fokusku dari menatap ponsel.
"Ngelamun. Awas nanti kesurupan kamu."
"Gak ngelamun Tuti. Aku masih kangen aja sama keluarga. Habis nelepon."
"Oh, aku juga udah nelepon Satria tadi."
"Satria sehat?"
"Sehat. Yang gak sehat kan bapaknya. Edan."
Aku tertawa mendengar Tuti mengumpat mantan suaminya.
"Bikin ulah apa lagi mantan kamu?"
"Dia itu menghasut Satria, nyuruh Satria minta dibeliin motor buat ke sekolah. Anak kelas 5 SD ngapain bawa motor? Pasti akal bulus dia. Dasar parasit mantanku itu. Saraf memang itu orang."
"Bawa ke rumah sakit aja Mbak Tuti." Yuyun yang termuda diantara kami duduk di sebelah kiriku. Usianya baru dua puluh tiga tahun. Sedangkan aku dan Tuti dua puluh sembilan.
"Ogah, biarin aja dia saraf. Emangnya gue pikirin."
Tuti memang ceplas ceplos, bicaranya kasar. Namun dia sangat penyayang dan suka menabung. Beban hidup sebagai tulang punggung keluarga membuatnya berubah. Ditambah lagi suaminya selingkuh sampai selingkuhannya hamil pula, padahal disini dia banting tulang untuk menghidupi suami dan anaknya.
Yuyun juga sama, gadis belia dari keluarga sederhana. Terpaksa bekerja demi keluarga.
Yah, sebetulnya sama saja sih denganku.
Ambarwati, namaku. Sulung dari lima bersaudara. Adikku Wulandari 27 tahun, Saraswati 25 tahun, Anggraini atau Anggi 22 tahun dan si bungsu Jatmiko 18 tahun. Aku berasal dari keluarga sederhana yang tinggal di salah satu kecamatan di daerah Banyumas.
Ibuku biasa jualan gorengan dan pecel. Bapak adalah penambang batu kapur juga bertani jika musim tanam sudah tiba.
Kehidupan kami sangat sederhana bahkan kalau boleh dikatakan kurang malahan. Kami berlima dididik dengan keras namun penuh kasih sayang. Sejak kecil sudah dibiasakan mandiri dan tidak manja. Terutama aku. Dibanding keempat adikku, bapak dan ibu paling keras mendidikku karena aku anak pertama.
Menurut bapak, anak pertama itu panutan jadi harus lebih kuat dari yang lain. Karena kami ini nantinya sebagai tumpuan dan pengganti orang tua nantinya.
Dan benar saja, ketika bapak harus pergi karena kecelakaan ketika menambang kapur, mau tak mau aku harus menjadi penopang bagi keluargaku.
Aku yang hanya lulusan SMA nekat menjadi TKW ke Hongkong. Alhamdulillah dengan perjuanganku semua adik-adikku bisa melanjutkan sekolah sampai lulus SMA. Ambar dan Wulan malah memilih mondok sejak SMP. Mereka tak mau kuliah, mereka lebih suka membaktikan diri di pondok hingga keduanya bertemu jodoh mereka. Hanya Anggi yang mau kuliah, S1-nya hampir selesai tinggal skripsi saja.
Jatmiko sendiri memilih sekolah di kejuruan. Mengambil jurusan Teknik Kendaraan Ringan. Tak ingin kuliah dan bercita-cita membuka bengkel sendiri. Karena itulah aku masih bertahan disini. Berharap masih bisa mengumpulkan pundi-pundi uang untuk merealisasikan keinginan Miko dan bekal untuk masa tua nanti.
"Tahun depan jadi pulang Mbar?"
"Gak tahu Tut, masih betah disini. Kamu gimana? Balik lagi gak?"
"Kayaknya enggak. Tabunganku udah lumayan. Aku mau fokus merawat Satria. Cukup bapaknya yang edan. Satria jangan."
"Yuyun juga mau pulang Mbak. Ibu udah punya warung. Bapak juga udah punya sawah. Mereka penginnya aku pulang lalu nikah."
Aku tersenyum. Nikah, entahlah sepertinya kata itu masih jauh dari hidupku. Prioritasku kini bukan lagi menikah dan punya anak. Bagiku yang penting kerja, dapat uang, membahagiakan ibu, nabung.
"Kamu gak pengen nikah Mbar?"
"Entahlah Tut, udah gak jadi prioritas buat hidupku."
"Mbak Ambar sih, pake dilangkahi. Dua kali lagi. Jauh kan jodohnya."
Pletak.
"Aw, sakit Mbak Tut."
"Ngomongmu loh. Doain kek. Jangan bikin Ambar down dong."
"Udah gak usah pada perang deh. Lagian aku gak papa. Udah biasa pada ngomongnya kesitu."
"Maafin Yuyun ya Mbak."
"Santai aja Yun, lagian emang realitanya aku dilangkahi kok. Udah ah, yuk cari makan."
"Ayuk."
Kami pun mencari makanan. Pilihan kami jatuh pada makanan cepat saji. Selain murah juga gak lama nunggunya.
Selesai makan, kami bergabung dengan TKW yang lain. Kami mengobrol hingga sampai maghrib dan memutuskan sholat disini.
Setelah saling berpamitan kami menuju ke angkutan pilihan masing-masing untuk kembali ke rumah majikan. Ada yang naik MRT (kereta listrik bawah tanah) atau bus.
Aku pribadi lebih suka naik bus, karena memang lebih mudah dan langsung dekat rumah majikan, dari halte bus tinggal jalan sepuluh menit sampai di rumah majikan, salah satu flat di District Kowloon, Hongkong.
"Di sana banyak salju gak?""Banyak.""Senangnya.""Disitu dingin gak?""Dingin banget, nih sampai pake baju lima lapis.""Hahaha.""Kamu lagi makan?""Iya nih, mau makan mi kuah.""Jangan makan mi terus kenapa?""Paling gampang, 'kan bujang. Kalau sudah punya istri beda lagi." Dia menyeringai jahil padaku.Aku mencebik, "Halah, coba tahun depan 'kan kita pulang semua. Berani gak halalin aku?""Berani ya, tapi kalau aku dapat panggilan lagi ya aku minta waktu lagi," ucapnya enteng."Emangnya kamu siap aku halalin?" lanjutnya."Siap dong?" jawabku mantap."Tapi kita belum punya modal hidup loh?""Ya habis nikah, nyari lagi lah. Gampang. Situ aja yang bikin rumit."Kulihat pria berkulit sawo matang di depan layar ponselku menghembuskan nafasnya kasar."Mbar, kamu tahu sendiri 'kan? Aku pengen jadi orang sukses. Punya usaha sendiri biar gak nguli terus. Gak enak tahu j
Suara dentingan sendok mewarnai meja kami. Sesekali canda dan tawa ikut mengiringi. Kami sengaja makan di sekitar bandara, agar nanti gampang mencari transportasi menuju kawasan Malioboro."Habis ini, rencana kamu apa Mbar?" Aku menoleh ke arah Ilo yang rupanya sudah selesai makan."Gak tahu Il. Yang jelas bantu-bantu Ibu jualan dulu paling. Lainnya, nantilah. Kamu sendiri gimana?""Aku mau buka dealer mobil niatnya."Aku menghentikan suapanku, menoleh kearahnya. Kutatap mata Ilo dengan penuh selidik. Tatapan itu begitu yakin."Kamu yakin?""Iyalah, yakin banget.""Prospeknya kira-kira bagus gak?""Baguslah, kan sekarang roda empat banyak yang nyari.""Eh Il, gak mending motor aja?" celetuk Tuti."Gak ah, udah banyak. Aku mau mobil aja.""Modal lumayan tuh?""Iya Tut, makanya aku getol nyari modal dulu."Aku dan Tuti saling berpandangan. Sementara Yuyun yang paling polos asik makan. Tiba-tiba selera makanku jadi ambyar
Aku tengah berlarian bersama kedua keponakanku. Mereka adalah putra Wulan. Yang sulung Ibrahim berusia lima tahun sedangkan si bungsu Yusuf berusia 3 tahun."Kejar Budhe ... kejar Yusuf. Hahaha.""Awas ya, kena kalian.""Hahaha."Sudah seminggu aku di rumah. Rasanya aneh, biasanya aku kalau pagi sudah sibuk. Disini aku malah santai. Pagi hari hanya membantu ibu, siangnya hanya santai, malamnya rebahan sambil HP-an."Mbar.""Iya Bu.""Hari ini, kamu punya rencana kemana?""Tidur.""Gak pengen kemana-mana Mbar?""Gak Bu. Kenapa?""Ikut ibu ke acara pengajian ya.""Oke."Esok harinya, aku beneran ikut ibu ke pengajian."Loh, Ambar. Kapan pulang?""Seminggu yang lalu Bu Wahyu.""Owalah, makin cantik saja. Eh, ngomong-ngomong mau berangkat lagi gak.""Gak tahu Bu, lihat nantilah.""Mbak Ambar lama di Hongkong pasti duitnya banyak ya?" celetuk ibu-ibu yang lain."Pastilah, orang lama bange
"Dek Ambar tolong kopi satu.""Iya Pak Tarno." Aku berusaha tersenyum padahal rasanya ingin sekali mulut Ini mengumpat."Pecelnya dong? Jangan lupa mendoannya lima," Pak Tarno menatapku dengan tatapan genit. Aku segera meracik pecel permintaannya dan menggoreng mendoan."Mbak Ambar, kopi satu.""Iya Mas Ipung.""Mbak Ambar, saya juga. Yang pahit ya. Soalnya Mbak ambar udah manis takut saya nya diabetes.""Iya Mas Diki."Inilah pekerjaanku setiap hari selama kurang lebih satu bulan di rumah. Membantu ibu yang membuka warung pecel dan gorengan setiap hari dari jam sembilan sampai sore."Wah, kopi buatan Mbak Ambar maknyos, tiada duanya.""Iya, pas pokoknya. Pas pahitnya, pas manisnya. Jadi makin cinta sama kopinya. Eaak.""Kopinya apa sama yang buat?""Yang buatlah?""Hahaha."Sabar Ambar. Kalau gak sabar nanti kamu jadi ikutan edan. Rata-rata pelanggan warung pecel ibu itu laki-laki. Mana kebanyakan yang sudah beristri
Aku, Anggi dan Miko sedang berwisata ke Baturaden. Beberapa tempat wisata di sana kami singgahi, mulai dari The Garden, Small World, lokawisata Baturaden, pancuran telu hingga pancuran pitu."Capek," keluh Anggi."Banyak yang berubah ya Nggi.""Iya Mbak, Baturaden makin banyak spot wisatanya. Terutama buat tempat selfi.""Iya.""Mbak Ambar lihat deh?"Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Miko, saat ini kami berada di Small World, lokasi terakhir yang kami kunjungi."Iya. Foto yuk."Kami bertiga pun berfoto. Ketika asik berfoto, ada seseorang yang memanggil Anggi."Anggi.""Eh, Dika. Mbak, Miko kenalin ini Dika temen kuliahku dulu."Kami berkenalan. Kebetulan Dika juga datang bersama beberapa rekannya. Dika dan Anggi mengobrol seru pun dengan Miko yang sepertinya kenal dengan Dika.Salah satu rekan Dika menatapku sejak tadi membuatku kikuk. Aku memilih bermain dengan ponselku.Cukup lama mereka berbincang hingga Dika
Aku menatap banyaknya hantaran pernikahan yang ada di depanku dengan tatapan sedih. Meski hati mencoba ikhlas tapi tetap saja nyeri.Ini kali ketiga aku akan menyaksikan, seorang lelaki menjabat tangan Pakdhe Rusdi, kakaknya bapak.Tepukan halus mendarat di bahuku membuatku kaget."Pakdhe.""Jangan melamun.""Enggak Pakdhe, cuma lihat-lihat, hantarannya banyak banget.""Kamu nanti lebih banyak.""Amin.""Bapakmu bakalan bangga sama kamu, Mbar."Aku tersenyum. Kupandangi wajah pakdhe yang tersenyum kearahku. Gurat wajahnya begitu mirip dengan adiknya, almarhum bapak."Kamu itu putri kebanggaan Rasdi. Setiap cerita tentang kamu. Binar mata Rasdi selalu terlihat. Dari kamu kecil sampai besar. Rasdi selalu bangga sama kamu. Begitupun pakdhe."Pakdhe mengelus kepalaku yang berbalut kerudung."Kamu itu wanita yang kuat. Kalau jatuh, kamu harus bangkit. Ada kami semua yang senantiasa mendoakanmu.""Iya Pakdhe.""Tunjukan
"Jadi muncaknya?""Jadilah Mbar, aku udah siapin semuanya. Sabtu pagi kita berangkat.""Oke."Sabtu pagi, aku, Joko dan Miko menuju ke Boyolali. Kami akan mendaki gunung Merbabu melalui jalur Selo."Ckckck. Beneran mantan Pradani SMANSA ini.""Kamu juga, mantan si Bolang. Hahaha.""Ya ampun. Gak kece banget julukannya. Tapi iya sih. Hahaha.""Capek Mik?""Enggak Mbak. Kan Miko udah biasa naik gunung."Aku menepuk bahu adikku. Aku sungguh bangga padanya."Mbak Ambar lihat?""Sabana?"Kami segera mengambil beberapa foto di padang sabana. Berbagai pose dari biasa, lebay, alay dan jablay."Ayok semangat. Kita hampir sampai di pos perkemahan."Kami membangun dua tenda. Setelahnya mulai memasak dengan menggunakan kompor portabel.Sesekali bercanda dan tertawa sambil menikmati secangkir kopi dengan sosis panggang yang lezat."Ambar."Aku menoleh ke sumber suara. Dahiku mengernyit."Syam. I
Begitu bus berhenti di terminal Gumilang, aku segera turun. Rupanya Joko dan Miko tepat berada di belakangku."Mbar, kamu kok jalannya cepet banget sih?""Biar segera dapat angkot, Jok. Tahu sendiri kalau jam segini angkot penuh. Kita harus rebutan sama para pedagang. Ayuk.""Ambar." Suara teriakan menghentikan langkah kami. Agh sial, mau tak mau aku pun berbalik dan mencoba tersenyum. Dalam hati berdoa semoga sisa perileran di wajahku sudah hilang."Kalian mau kemana?""Nyegat angkot lah Syam." Joko yang menjawab."Naik mobil aja, mobilnya Syafiq sih.""Gak usah! Kita naik angkot. Ayok."Aku menarik lengan Joko dan Miko namun sekali lagi Joko berulah."Ikut aja sih, lumayan irit duit. Ya kan Syam?""Iya.""Lagian Syafiq gak keberatan kan kita ikut?""Enggak," sahut Syafiq kalem."Yuk ah," ajak Syam antusias.Aku menatap Syam, Rafi dan Syafiq dengan ragu kemudian mengalihkan pandangku, ah malah gambar peta p
Berita lamaran antara Joko dan Tuti sudah menyebar seantero kampung. Banyak pemuda, jejaka tua dan duda yang menyukai Tuti jadi patah hati. Sama halnya dengan para perawan dan janda muda yang menyukai Joko juga kini merasa patah hati. "Kalah telak dah, kalau sama Joko." "Lah, duda sugih, ya aku kalah." "Wah, janda sama duda ini?" "Haduh, ada perawan kenapa aku kalah sama janda sih?" "Wah, janda selalu di depan." "Janda kaya sama duda kaya, makin kaya dah." Begitulah kira-kira omongan-omongan yang selalu terdengar selama tiga hari ini. Hampir semua warga Gumilang banyak menggosipkan lamaran Joko dan Tuti. Karena saking banyaknya yang menggosip, berita ini pun sampai ke para mantan. Rini hanya bisa menangis semalaman begitu mengetahui kalau mantan suaminya bakal menikah lagi. Keesokan harinya, setalah tadi malam mendengar berita lamaran Joko dan Tuti, dia langsung memburu ke rumah Joko. Rini tanpa salam langsung masuk ke dalam rumah, dimana Joko saat itu sedang mengi
Tuti heran melihat kedatangan Joko, Ambar, Syafiq dan keluarga besar Joko ke rumahnya menjelang pukul delapan malam. Dia bingung tentu saja. "Ada apa? Kok tumben rame-rame ke sininya malam-malam?" Tuti menatap pada Ambar, "Ada apa Mbar? Ada masalah?" Ambar hanya tersenyum lalu menoleh ke arah Joko. "Ayo Jok, ngomong." Joko terlihat gugup. Tidak seperti biasanya yang terlihat berkharisma dan garang, kali ini Joko terlihat gugup sekali seperti seorang bujang yang baru pertama kali melamar anak perawan. Padahal dulu saat akan melamar Rini, Joko biasa saja, dia memang merasa takut, deg-degan tapi tidak setakut dan sedeg-degan seperti saat ini. Bapaknya Joko terkekeh melihat mimik wajah putranya. Dia pun mencandai sang putra. "Apa perlu bapak yang ngomong?" Joko menoleh kepada bapaknya lalu menggelengkan kepala. Tanda kalau dia sendiri yang akan bicara dengan kedua orang tua Tuti. Joko terlihat mengatur napas. Semua orang diam. Satria dan Chika yang awalnya sibuk bercerita pun memi
Juragan Tarno yang merupakan juragan paling kaya sekecamatan Gumilang hanya mampu menatap Joko dengan tatapan nyalang yang dibalas Joko dengan tatapan sinis. Di samping kanan kiri Joko ada Syafiq dan juga Rafi yang membantunya lepas dari tuduhan Juragan Tarno.Ya, Juragan Tarno sengaja menyabotasi usaha Joko. Dia melakukan tindakan curang dengan menukar jenis kayu yang akan dikirimkan Joko kepada salah satu pelanggan setianya.Joko mengalami kerugian yang luar biasa dan hampir masuk penjara. Karena sang pemborong mengkasuskan tindak kecurangan ini. Beruntung dengan bantuan salah satu putra kyai yang dulu menjadi guru ngajinya Syafiq, Joko bisa terbebas dari tuduhan. Bahkan dia bisa menuntut ganti rugi pada si dalang. Orang yang membantu Joko mengungkap dalang dari sabotase ini juga hadir. Meski tampangnya dingin bak preman pasar dengan rambut gondrong, tapi yang melihatnya tahu, si pak polisi memiliki aura kharismatik yang luar biasa.“Tolong Pak Joko, saya khilaf. Juragan Tarno. In
Tuti tersenyum melihat sang putra begitu gagah. Meski masih ada beberapa luka di wajahnya. Tidak membuat kadar ketampanan Satria berkurang."Nanti, kalau ada yang gangguin kamu lagi. Lawan. Cowok gak boleh kalah. Tapi mainnya yang pinter. Kalau mereka main keroyokan. Ya kamu pakai akal dong.""Siap Ibu.""Sip. Ayo berangkat."Tuti mengantar sang anak ke sekolah. Saat sampai di halaman sekolah Satria tampak beberapa ibu-ibu yang mengantar anak-anak mereka. Beberapa dari mereka ada yang menyapa Tuti dengan ramah, tapi banyak juga yang menatapnya sinis. Tapi Tuti tak peduli. Tuti melihat beberapa anak yang kemarin menganiaya sang putra. Dia tersenyum sinis bahkan melototi mereka satu per satu. "Mbak Tuti, situ ngapain ngelihatin anak saya kayak gitu.""Oh, ini Mbak Tresna cuma pengen tahu wajah anak-anak yang kemarin menganiaya anak saya.""Eh jangan nuduh dong.""Loh. Emangnya saya nyebut anaknya situ.""Lah dari tatapan mata, Mbak Tuti kan nuduh.""Kalau iya kenapa? Harusnya Mbak Tres
Tuti dan Satria baru saja sampai di parkiran sebuah mall terbesar di Purwokerto. Keduanya segera berjalan hendak menuju ke dalam mall.Langkah keduanya terhenti karena teriakan seorang gadis cilik."Mas Sat? Tante Tuti?" Chika berteriak memanggil keduanya sambil melambaikan tangan.Baik Tuti dan Satria tersenyum senang. Kedua keluarga saling mendekat. Chika langsung menghambur ke arah Tuti dan memeluknya. Puas memeluk Tuti, Chika menggelayut manja pada Satria."Mas Sat, temenin Chika main ke Timezone ya?""Beres. Halo, Om. Apa kabar?" Satria menyalamai Joko, keduanya saling berjabat tangan dan tersenyum."Baik. Kamu gimana? Udah kelas enam ya?""Iya, Om.""Bagus, nanti sekolah dimana?""Pengennya sih yang kota tapi ....""Kalau mau yang di kota belajarnya harus semangat, terus harus bisa jaga kepercayaan.""Hehehe. Ok!""Bagus." Joko mengacak-ngacak rambut Satria. Pemandangan yang membuat Tuti
Tuti menatap sinis ke arah Dani, sang mantan. Sementara Dani menatap Tuti penuh permohonan. "Plis, Tut. Beri aku kesempatan buat memperbaiki kesalahanku dulu, ijinkan aku membahagiakan kamu dan Satria." Dani memohon sambil berlutut ke arah Tuti. Tuti tertawa keras membuat para pelanggan yang sedang antri membeli pulsa sesekali menoleh. Satria sendiri abai dengan tingkah kedua orang tuanya. Dia fokus melayani para pembeli. "Kalau kamu mau memperbaiki, itu perbaiki hubunganmu sama istri dan anakmu yang sekarang. Bukan sama aku. Ingat ya Dani, kita cuma mantan. Dari pada kamu ngemis-ngemis sama aku, mending kamu cari kerja. Sana kasih nafkah yang bener buat anak istrimu. Bukan malah merecoki aku sama Satria. Kita udah bahagia." "Tapi aku gak cinta sama Fani, Tut. Cintaku sama kamu." Tuti tertawa. "Gak cinta tapi bisa bikin anak? Gak cinta tapi kamu nikah diam-diam? Hahaha." Dani hanya bisa menunduk. Tak mampu mengelak. Menyesal jelas. Han
*Susilo alias Ilo* “Harus, kamu begini terus tiap tahun? Ck. Move on dong kalau gak bisa move on harusnya dulu kamu jangan gantung dia. Udah dibilangin ngeyel. Nyesel, ‘kan? Sekarang kamu mau apa ngintipin dia terus tiap tahun. Helow, lihat suaminya, lihat kerjanya, lihat rumahnya, lihat wajah mantan kamu itu, emang kelihatan seperti istri teraniaya gitu? Mana ada istri teraniaya terawat banget, suka senyum, tiap tahun hamil lagi. Orang pun bakalan paham kalau dia itu sangat sangat bahagia.” Saiful temanku masih saja ngomong.Aku tak begitu peduli dengan omongannya yang sama. Karena bisa melihatnya saja sudah membuatku bahagia. Iya, aku punya kebiasaan setiap tahun mengamati kehidupan Ambar dengan suaminya. Ini adalah tahun ketiga aku mengawasinya selama seharian penuh, di tanggal yang sama dengan tanggal jadian kami beberapa tahun yang lalu.Bukan tanpa alasan aku melakukan hal memalukan yakni mengawasi istri orang. Aku hanya ingin memastikan Ambar hidup bahagia dan t
*Syam*Aku mengulas senyum, tepatnya senyum miris. Melihat bagaimana Syafiq sedang memangku anak berusia dua tahun yang wajahnya sama persis dengan Syafiq. Padahal pas lahir, anak itu mirip Ambar tetapi malah kian besar kian mirip bapaknya.Ya Tuhan, lagi-lagi aku hanya bisa menatap kebahagiaan sebuah keluarga yang kuidam-idamkan.Menyesal? Jelas. Itu adalah penyesalan terbesar dalam hidupku. Padahal Tuhan telah memberiku kesempatan untuk mencecap kebahagiaan bersama Ambar. Tapi apa yang kulakukan? Yang kulakukan adalah melepas Ambar hanya karena tergoda dengan mantan. Ah, padahal sudah banyak cerita tak mengenakkan tentang mantan. Tapi kenapa aku malah ikut-ikutan terjebak nostalgia bersama mantan?“Hai, ponakan gantengnya Om Rafi. Ikutan ngajar ya? Mbak Ambar mana Mas?” Rafi sepertinya baru selesai mengajar dan langsung duduk di dekat Syafiq.“Lagi ngurusi Amira. Amira sakit. Kasihan Ambar kalau ngurusi dua-duanya, jadi Mas bawa aja Amm
*Marwan*Wajah itu masih terlihat cantik meski usianya sudah diatas lima puluh tahun. Dan senyum itu masih sama, hangat, terlihat tulus dan sangat menawan. Senyum yang selalu membuatku jatuh cinta setiap kali memandangnya.Inayah. Bunga desa yang sejak usianya masih dua belas tahun sudah kupuja. Kami hanya selisih tiga tahun. Dengan berbagai upaya aku berusaha mendapatkan perhatiannya. Inayah adalah tipe gadis penurut yang pandai membawa diri. Tingkah lakunya membuatku jatuh cinta.Perjuanganku mendapatkan perhatian Inayah, membuahkan hasil ketika usianya dua puluh dua tahun. Kami akhirnya berpacaran. Ah, senangnya hatiku.Tapi pacaran ala kami hanya sebatas aku mengunjungi rumah Inayah dan malah ngobrol ditemani kedua orang tuanya. Kami jarang pergi keluar. Andai pun keluar, yang bisa kami lakukan hanya sebatas makan atau jalan-jalan dengan motor. Aku dan Inayah tak pernah berbuat lebih, disamping aku takut kebablasan, Inayah juga sangat menjaga diri. Makanya