"Di sana banyak salju gak?"
"Banyak."
"Senangnya."
"Disitu dingin gak?"
"Dingin banget, nih sampai pake baju lima lapis."
"Hahaha."
"Kamu lagi makan?"
"Iya nih, mau makan mi kuah."
"Jangan makan mi terus kenapa?"
"Paling gampang, 'kan bujang. Kalau sudah punya istri beda lagi." Dia menyeringai jahil padaku.
Aku mencebik, "Halah, coba tahun depan 'kan kita pulang semua. Berani gak halalin aku?"
"Berani ya, tapi kalau aku dapat panggilan lagi ya aku minta waktu lagi," ucapnya enteng.
"Emangnya kamu siap aku halalin?" lanjutnya.
"Siap dong?" jawabku mantap.
"Tapi kita belum punya modal hidup loh?"
"Ya habis nikah, nyari lagi lah. Gampang. Situ aja yang bikin rumit."
Kulihat pria berkulit sawo matang di depan layar ponselku menghembuskan nafasnya kasar.
"Mbar, kamu tahu sendiri 'kan? Aku pengen jadi orang sukses. Punya usaha sendiri biar gak nguli terus. Gak enak tahu jadi kuli."
"Aku ngerti kok. Cuma ... aku berharap hubungan kita ada kejelasan aja."
"Loh, bukannya hubungan kita jelas Mbar?"
"Maksudnya pacaran gitu? Aku ingin yang lebih jelas lagi Ilo."
Lagi, kulihat dia menghembuskan nafasnya kasar.
"Mbar, aku tak makan dulu ya, nanti aku telepon lagi."
"Hem."
Setelah mengucapkan salam, Ilo mematikan sambungan teleponnya. Kini aku yang menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan kasar.
Susilo atau Ilo adalah pacarku. Kami pacaran hampir lima tahun. Perkenalan kami terjadi secara tak sengaja melalui f******k. Karena kami sama-sama tergabung dalam komunitas 'Satria Rantau'. Ilo seorang TKI yang bekerja di Korea.
Jika aku di Hongkong hampir dua belas tahun. Ilo baru enam tahun bekerja di Korea. Jadi Ilo lagi semangat-semangatnya.
"Ngelamun Mbar?"
"Eh, Mbak Wati. Enggak kok. Habis teleponan."
"Sama Ilo?"
"Iya Mbak."
Aku dan Mbak Wati sedang duduk di atas tikar. Biasalah, hari minggu saatnya libur. Tentu tempat hiburanku dan sesama TKW lainnya ya taman Victoria.
"Kenapa kok mukanya ngenes gitu?"
"Gak papa Mbak."
"Ilo belum mau serius sama kamu?"
"Gak tahu Mbak, Ambar bingung."
"Dapat duit itu seneng ya Mbar, sampai pada lupa pulang."
Aku tertawa mendengar guyonan Mbak Wati.
"Mbak Wati gak mau pulang?"
"Males, lagian anak-anakku udah lulus SMA semua. Udah ada yang rumah tangga. Janda juga mending di sini aja. Dapat duit."
Hening.
"Tapi kamu beda. Aku di Hongkong karena suamiku meninggal. Aku harus jadi tulang punggung buat ketiga anakku. Mereka sekarang udah pada kerja dan nikah. Aku udah gak ada beban hidup lagi. Tapi kamu masih muda, belum nikah. Pulang ajalah sana. Nikah. Kasihan ibumu."
Aku menunduk sedih, apa yang dikatakan wanita berusia empat puluh delapan tahun itu benar. Jika mengikuti logika, aku betah cari uang disini. Tapi kalau menuruti kata hati, aku ingin pulang. Apalagi tiga bulan yang lalu ibu baru saja sakit parah.
Aku masih ingat, bagaimana cemasnya Miko waktu itu. Anggi sedang melakukan penelitian untuk skripsinya. Wulan ada di Majenang, sedangkan Saras ikut suaminya di Banjarnegara. Bersyukur ada Tuti, dialah yang membantu merawat ibuku yang sakit.
Andai saja jarak kami dekat. Sudah pasti aku akan ijin pulang. Sayang kami berjauhan.
"Aku egois gak sih Mbak kalau ngotot disini terus?"
"Egois banget. Lagian kamu bilang Anggi tinggal wisuda, Miko udah lulus. Tanggungan kamu udah selesai Mbar. Sekarang tugas kamu berbakti sama ibumu, rawat dia. Penuhi keinginannya."
"Tapi Mbak ...."
"Kamu gak mau nikah?"
"Ya maulah Mbak. Cuma ...."
"Cuma nunggu Ilo?"
Aku mengangguk.
"Huft, kalian itu seumuran. Bagi laki-laki umur itu gak masalah. Tapi kamu wanita, Ambar. Wanita itu punya masanya. Gak mungkin 'kan kamu gak pengen punya anak. Kalau kamu nungguin Ilo terus belum tentu Ilo nanti nikahnya sama kamu. Kamu sendiri 'kan yang bilang, ada cewek yang ngejar-ngejar Ilo terus. Mana katanya masih muda lagi. Gimana kalau Ilo milih dia. Hayo? Terus kamu mau sama siapa?"
Aku hanya bisa diam, semua yang dikatakan Mbak Wati benar.
Dering ponselku mengalihkan fokus kami berdua.
"Ilo lagi?"
"Iya Mbak."
"Udah, selesaikan masalah kalian. Minta kepastian sama Ilo. Kamu itu aslinya tegas loh Mbar, tapi kalo sama Ilo kamunya kok jadi bucin kayak gini."
"Kelihatan banget ya Mbak."
"Banget. Untung aja kamu gak ngasih gajimu sama dia?"
"Astaghfirullah Mbak. Secintanya Ambar sama Ilo, Ambar masih punya logika juga kali," sungutku.
"Makanya, buktikan sama Mbak. Kalau kamu adalah Ambar. Cewek keras kepala yang bisa dengan tegarnya memutuskan suatu masalah."
"Oke. Ambar akan buktikan."
"Bagus. Angkat gih."
Akhirnya aku menerima panggilan dari Ilo.
"Mbar, maaf ya lama. Tadi temenku ngajak keluar dulu."
"Gak papa Ilo."
"Oh iya, masalah hubungan kita. Kita bahas pas ketemuan nanti ya. Jangan lewat HP. Nanti yang ada kita malah bertengkar."
"Oke."
"Gak lama kok, kan empat bulan lagi kita ketemu."
"Iya."
Setelah itu kami hanya membahas masalah lain dan menghindari pembahasan mengenai status kami.
******
Empat bulan setelahnya.
Aku menginjakkan kakiku di bandara Adi Sucipto Jogja. Setelah melalui drama perdebatan yang panjang dengan diri dan keluarga. Akhirnya aku benar-benar resign jadi TKW. Padahal majikanku ingin aku perpanjang kontrak. Minimal dua tahun lagi. Tapi kutolak karena keluarga besarku terutama ibu, memintaku benar-benar pulang dan gak boleh balik lagi ke Hongkong.
"Ambar."
"Mbak Ambar."
Aku tersenyum melihat kedua sahabatku. Kalau TKW lain biasanya dijemput oleh rombongan keluarga. Khusus aku, aku hanya dijemput oleh Tuti dan Yuyun. Sengaja aku tak ingin membebani ibu dan kedua adikku. Lagian kalau pulang sama Tuti dan Yuyun, lebih irit. Cukup naik bus saja.
Semua barang-barangku sudah sampai dirumah sejak sebulan yang lalu. Sengaja aku paketin. Sekarang aku hanya membawa tas gendong besar dan tas selempang.
"Kalian sehat."
"Sehat dong, buktinya bisa ketemu lagi."
"Mbak Ambar, tuh lihat."
Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Yuyun. senyumku mengembang melihat lelaki berperawakan tinggi besar berkulit sawo matang.
"Hai Ambar."
"Hai Ilo."
Kami pun berjabat tangan dan saling memberi senyum. Tampak ada binar mata bahagia di mata beriris hitam itu.
"Kamu tambah cantik ya Mbar."
"Cewek ya cantik Il."
"Heem, pipi kamu masih chubby ya Mbar."
"Itu udah bawaan dari lahir."
Kami masih dalam posisi berhadapan dengan tangan masih saling menjabat.
"Ck. Gak romantis banget sih kalian berdua. Pelukan kek ciuman kek. Ini cuma jabat tangan doang. Astaga!"
Aku memelototi Tuti. Dasar si mulut ceplas ceplos. Sementara Yuyun tengah menahan tawanya.
"Nantilah Tut, kalau udah sah. Dijamin Ambar aku makan."
"Haish, udah yuk kita cari makan."
Aku menggiring mereka semua untuk mencari makan. Seperti biasa bukan Ilo namanya jika tak perhatian. Dia mendorong tas ranselku pelan dari belakang. Kemudian berjalan di belakangku bagaikan bodyguard. Senyum tak bisa kulepaskan dari bibirku.
Suara dentingan sendok mewarnai meja kami. Sesekali canda dan tawa ikut mengiringi. Kami sengaja makan di sekitar bandara, agar nanti gampang mencari transportasi menuju kawasan Malioboro."Habis ini, rencana kamu apa Mbar?" Aku menoleh ke arah Ilo yang rupanya sudah selesai makan."Gak tahu Il. Yang jelas bantu-bantu Ibu jualan dulu paling. Lainnya, nantilah. Kamu sendiri gimana?""Aku mau buka dealer mobil niatnya."Aku menghentikan suapanku, menoleh kearahnya. Kutatap mata Ilo dengan penuh selidik. Tatapan itu begitu yakin."Kamu yakin?""Iyalah, yakin banget.""Prospeknya kira-kira bagus gak?""Baguslah, kan sekarang roda empat banyak yang nyari.""Eh Il, gak mending motor aja?" celetuk Tuti."Gak ah, udah banyak. Aku mau mobil aja.""Modal lumayan tuh?""Iya Tut, makanya aku getol nyari modal dulu."Aku dan Tuti saling berpandangan. Sementara Yuyun yang paling polos asik makan. Tiba-tiba selera makanku jadi ambyar
Aku tengah berlarian bersama kedua keponakanku. Mereka adalah putra Wulan. Yang sulung Ibrahim berusia lima tahun sedangkan si bungsu Yusuf berusia 3 tahun."Kejar Budhe ... kejar Yusuf. Hahaha.""Awas ya, kena kalian.""Hahaha."Sudah seminggu aku di rumah. Rasanya aneh, biasanya aku kalau pagi sudah sibuk. Disini aku malah santai. Pagi hari hanya membantu ibu, siangnya hanya santai, malamnya rebahan sambil HP-an."Mbar.""Iya Bu.""Hari ini, kamu punya rencana kemana?""Tidur.""Gak pengen kemana-mana Mbar?""Gak Bu. Kenapa?""Ikut ibu ke acara pengajian ya.""Oke."Esok harinya, aku beneran ikut ibu ke pengajian."Loh, Ambar. Kapan pulang?""Seminggu yang lalu Bu Wahyu.""Owalah, makin cantik saja. Eh, ngomong-ngomong mau berangkat lagi gak.""Gak tahu Bu, lihat nantilah.""Mbak Ambar lama di Hongkong pasti duitnya banyak ya?" celetuk ibu-ibu yang lain."Pastilah, orang lama bange
"Dek Ambar tolong kopi satu.""Iya Pak Tarno." Aku berusaha tersenyum padahal rasanya ingin sekali mulut Ini mengumpat."Pecelnya dong? Jangan lupa mendoannya lima," Pak Tarno menatapku dengan tatapan genit. Aku segera meracik pecel permintaannya dan menggoreng mendoan."Mbak Ambar, kopi satu.""Iya Mas Ipung.""Mbak Ambar, saya juga. Yang pahit ya. Soalnya Mbak ambar udah manis takut saya nya diabetes.""Iya Mas Diki."Inilah pekerjaanku setiap hari selama kurang lebih satu bulan di rumah. Membantu ibu yang membuka warung pecel dan gorengan setiap hari dari jam sembilan sampai sore."Wah, kopi buatan Mbak Ambar maknyos, tiada duanya.""Iya, pas pokoknya. Pas pahitnya, pas manisnya. Jadi makin cinta sama kopinya. Eaak.""Kopinya apa sama yang buat?""Yang buatlah?""Hahaha."Sabar Ambar. Kalau gak sabar nanti kamu jadi ikutan edan. Rata-rata pelanggan warung pecel ibu itu laki-laki. Mana kebanyakan yang sudah beristri
Aku, Anggi dan Miko sedang berwisata ke Baturaden. Beberapa tempat wisata di sana kami singgahi, mulai dari The Garden, Small World, lokawisata Baturaden, pancuran telu hingga pancuran pitu."Capek," keluh Anggi."Banyak yang berubah ya Nggi.""Iya Mbak, Baturaden makin banyak spot wisatanya. Terutama buat tempat selfi.""Iya.""Mbak Ambar lihat deh?"Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Miko, saat ini kami berada di Small World, lokasi terakhir yang kami kunjungi."Iya. Foto yuk."Kami bertiga pun berfoto. Ketika asik berfoto, ada seseorang yang memanggil Anggi."Anggi.""Eh, Dika. Mbak, Miko kenalin ini Dika temen kuliahku dulu."Kami berkenalan. Kebetulan Dika juga datang bersama beberapa rekannya. Dika dan Anggi mengobrol seru pun dengan Miko yang sepertinya kenal dengan Dika.Salah satu rekan Dika menatapku sejak tadi membuatku kikuk. Aku memilih bermain dengan ponselku.Cukup lama mereka berbincang hingga Dika
Aku menatap banyaknya hantaran pernikahan yang ada di depanku dengan tatapan sedih. Meski hati mencoba ikhlas tapi tetap saja nyeri.Ini kali ketiga aku akan menyaksikan, seorang lelaki menjabat tangan Pakdhe Rusdi, kakaknya bapak.Tepukan halus mendarat di bahuku membuatku kaget."Pakdhe.""Jangan melamun.""Enggak Pakdhe, cuma lihat-lihat, hantarannya banyak banget.""Kamu nanti lebih banyak.""Amin.""Bapakmu bakalan bangga sama kamu, Mbar."Aku tersenyum. Kupandangi wajah pakdhe yang tersenyum kearahku. Gurat wajahnya begitu mirip dengan adiknya, almarhum bapak."Kamu itu putri kebanggaan Rasdi. Setiap cerita tentang kamu. Binar mata Rasdi selalu terlihat. Dari kamu kecil sampai besar. Rasdi selalu bangga sama kamu. Begitupun pakdhe."Pakdhe mengelus kepalaku yang berbalut kerudung."Kamu itu wanita yang kuat. Kalau jatuh, kamu harus bangkit. Ada kami semua yang senantiasa mendoakanmu.""Iya Pakdhe.""Tunjukan
"Jadi muncaknya?""Jadilah Mbar, aku udah siapin semuanya. Sabtu pagi kita berangkat.""Oke."Sabtu pagi, aku, Joko dan Miko menuju ke Boyolali. Kami akan mendaki gunung Merbabu melalui jalur Selo."Ckckck. Beneran mantan Pradani SMANSA ini.""Kamu juga, mantan si Bolang. Hahaha.""Ya ampun. Gak kece banget julukannya. Tapi iya sih. Hahaha.""Capek Mik?""Enggak Mbak. Kan Miko udah biasa naik gunung."Aku menepuk bahu adikku. Aku sungguh bangga padanya."Mbak Ambar lihat?""Sabana?"Kami segera mengambil beberapa foto di padang sabana. Berbagai pose dari biasa, lebay, alay dan jablay."Ayok semangat. Kita hampir sampai di pos perkemahan."Kami membangun dua tenda. Setelahnya mulai memasak dengan menggunakan kompor portabel.Sesekali bercanda dan tertawa sambil menikmati secangkir kopi dengan sosis panggang yang lezat."Ambar."Aku menoleh ke sumber suara. Dahiku mengernyit."Syam. I
Begitu bus berhenti di terminal Gumilang, aku segera turun. Rupanya Joko dan Miko tepat berada di belakangku."Mbar, kamu kok jalannya cepet banget sih?""Biar segera dapat angkot, Jok. Tahu sendiri kalau jam segini angkot penuh. Kita harus rebutan sama para pedagang. Ayuk.""Ambar." Suara teriakan menghentikan langkah kami. Agh sial, mau tak mau aku pun berbalik dan mencoba tersenyum. Dalam hati berdoa semoga sisa perileran di wajahku sudah hilang."Kalian mau kemana?""Nyegat angkot lah Syam." Joko yang menjawab."Naik mobil aja, mobilnya Syafiq sih.""Gak usah! Kita naik angkot. Ayok."Aku menarik lengan Joko dan Miko namun sekali lagi Joko berulah."Ikut aja sih, lumayan irit duit. Ya kan Syam?""Iya.""Lagian Syafiq gak keberatan kan kita ikut?""Enggak," sahut Syafiq kalem."Yuk ah," ajak Syam antusias.Aku menatap Syam, Rafi dan Syafiq dengan ragu kemudian mengalihkan pandangku, ah malah gambar peta p
Aku duduk dengan gelisah, sesekali melirik daun pintu yang terbuka. Sekilas terlihat Bu Sarni dan Bu Atun memandang ke arah kami."Kamu kenapa Mbar?""Oh, gak papa."Tidak mungkin aku bilang kalau aku merasa risih dengan kedatangan mereka berdua.Syam seperti biasa terlihat santai dan pandai mencari topik obrolan. Dia tengah mengobrol seru dengan Miko sedangkan Rafi lebih banyak menyimak. Aku sesekali menanggapi pertanyaan Syam. Selebihnya memilih diam.Kurang lebih setengah jam Syam bertandang kemudian keduanya pamit hendak ke Purwokerto."Aku balik Purwokerto dulu ya Mbar. Mulai senin, perkuliahan sudah aktif lagi. Aku pulang ke rumah kalau weekend aja.""Ngekost?""Iya masih ngekost. Mau gimana lagi? Kalau uangku banyak kayak Syafiq pasti aku udah punya rumah sendiri. Hahaha.""Oh.""Cuma oh aja?""Ya aku harus ngomong apa?""Ya semangatin gitu biar bisa segera punya rumah sendiri.""Amin. Semoga dimudahkan.""
Berita lamaran antara Joko dan Tuti sudah menyebar seantero kampung. Banyak pemuda, jejaka tua dan duda yang menyukai Tuti jadi patah hati. Sama halnya dengan para perawan dan janda muda yang menyukai Joko juga kini merasa patah hati. "Kalah telak dah, kalau sama Joko." "Lah, duda sugih, ya aku kalah." "Wah, janda sama duda ini?" "Haduh, ada perawan kenapa aku kalah sama janda sih?" "Wah, janda selalu di depan." "Janda kaya sama duda kaya, makin kaya dah." Begitulah kira-kira omongan-omongan yang selalu terdengar selama tiga hari ini. Hampir semua warga Gumilang banyak menggosipkan lamaran Joko dan Tuti. Karena saking banyaknya yang menggosip, berita ini pun sampai ke para mantan. Rini hanya bisa menangis semalaman begitu mengetahui kalau mantan suaminya bakal menikah lagi. Keesokan harinya, setalah tadi malam mendengar berita lamaran Joko dan Tuti, dia langsung memburu ke rumah Joko. Rini tanpa salam langsung masuk ke dalam rumah, dimana Joko saat itu sedang mengi
Tuti heran melihat kedatangan Joko, Ambar, Syafiq dan keluarga besar Joko ke rumahnya menjelang pukul delapan malam. Dia bingung tentu saja. "Ada apa? Kok tumben rame-rame ke sininya malam-malam?" Tuti menatap pada Ambar, "Ada apa Mbar? Ada masalah?" Ambar hanya tersenyum lalu menoleh ke arah Joko. "Ayo Jok, ngomong." Joko terlihat gugup. Tidak seperti biasanya yang terlihat berkharisma dan garang, kali ini Joko terlihat gugup sekali seperti seorang bujang yang baru pertama kali melamar anak perawan. Padahal dulu saat akan melamar Rini, Joko biasa saja, dia memang merasa takut, deg-degan tapi tidak setakut dan sedeg-degan seperti saat ini. Bapaknya Joko terkekeh melihat mimik wajah putranya. Dia pun mencandai sang putra. "Apa perlu bapak yang ngomong?" Joko menoleh kepada bapaknya lalu menggelengkan kepala. Tanda kalau dia sendiri yang akan bicara dengan kedua orang tua Tuti. Joko terlihat mengatur napas. Semua orang diam. Satria dan Chika yang awalnya sibuk bercerita pun memi
Juragan Tarno yang merupakan juragan paling kaya sekecamatan Gumilang hanya mampu menatap Joko dengan tatapan nyalang yang dibalas Joko dengan tatapan sinis. Di samping kanan kiri Joko ada Syafiq dan juga Rafi yang membantunya lepas dari tuduhan Juragan Tarno.Ya, Juragan Tarno sengaja menyabotasi usaha Joko. Dia melakukan tindakan curang dengan menukar jenis kayu yang akan dikirimkan Joko kepada salah satu pelanggan setianya.Joko mengalami kerugian yang luar biasa dan hampir masuk penjara. Karena sang pemborong mengkasuskan tindak kecurangan ini. Beruntung dengan bantuan salah satu putra kyai yang dulu menjadi guru ngajinya Syafiq, Joko bisa terbebas dari tuduhan. Bahkan dia bisa menuntut ganti rugi pada si dalang. Orang yang membantu Joko mengungkap dalang dari sabotase ini juga hadir. Meski tampangnya dingin bak preman pasar dengan rambut gondrong, tapi yang melihatnya tahu, si pak polisi memiliki aura kharismatik yang luar biasa.“Tolong Pak Joko, saya khilaf. Juragan Tarno. In
Tuti tersenyum melihat sang putra begitu gagah. Meski masih ada beberapa luka di wajahnya. Tidak membuat kadar ketampanan Satria berkurang."Nanti, kalau ada yang gangguin kamu lagi. Lawan. Cowok gak boleh kalah. Tapi mainnya yang pinter. Kalau mereka main keroyokan. Ya kamu pakai akal dong.""Siap Ibu.""Sip. Ayo berangkat."Tuti mengantar sang anak ke sekolah. Saat sampai di halaman sekolah Satria tampak beberapa ibu-ibu yang mengantar anak-anak mereka. Beberapa dari mereka ada yang menyapa Tuti dengan ramah, tapi banyak juga yang menatapnya sinis. Tapi Tuti tak peduli. Tuti melihat beberapa anak yang kemarin menganiaya sang putra. Dia tersenyum sinis bahkan melototi mereka satu per satu. "Mbak Tuti, situ ngapain ngelihatin anak saya kayak gitu.""Oh, ini Mbak Tresna cuma pengen tahu wajah anak-anak yang kemarin menganiaya anak saya.""Eh jangan nuduh dong.""Loh. Emangnya saya nyebut anaknya situ.""Lah dari tatapan mata, Mbak Tuti kan nuduh.""Kalau iya kenapa? Harusnya Mbak Tres
Tuti dan Satria baru saja sampai di parkiran sebuah mall terbesar di Purwokerto. Keduanya segera berjalan hendak menuju ke dalam mall.Langkah keduanya terhenti karena teriakan seorang gadis cilik."Mas Sat? Tante Tuti?" Chika berteriak memanggil keduanya sambil melambaikan tangan.Baik Tuti dan Satria tersenyum senang. Kedua keluarga saling mendekat. Chika langsung menghambur ke arah Tuti dan memeluknya. Puas memeluk Tuti, Chika menggelayut manja pada Satria."Mas Sat, temenin Chika main ke Timezone ya?""Beres. Halo, Om. Apa kabar?" Satria menyalamai Joko, keduanya saling berjabat tangan dan tersenyum."Baik. Kamu gimana? Udah kelas enam ya?""Iya, Om.""Bagus, nanti sekolah dimana?""Pengennya sih yang kota tapi ....""Kalau mau yang di kota belajarnya harus semangat, terus harus bisa jaga kepercayaan.""Hehehe. Ok!""Bagus." Joko mengacak-ngacak rambut Satria. Pemandangan yang membuat Tuti
Tuti menatap sinis ke arah Dani, sang mantan. Sementara Dani menatap Tuti penuh permohonan. "Plis, Tut. Beri aku kesempatan buat memperbaiki kesalahanku dulu, ijinkan aku membahagiakan kamu dan Satria." Dani memohon sambil berlutut ke arah Tuti. Tuti tertawa keras membuat para pelanggan yang sedang antri membeli pulsa sesekali menoleh. Satria sendiri abai dengan tingkah kedua orang tuanya. Dia fokus melayani para pembeli. "Kalau kamu mau memperbaiki, itu perbaiki hubunganmu sama istri dan anakmu yang sekarang. Bukan sama aku. Ingat ya Dani, kita cuma mantan. Dari pada kamu ngemis-ngemis sama aku, mending kamu cari kerja. Sana kasih nafkah yang bener buat anak istrimu. Bukan malah merecoki aku sama Satria. Kita udah bahagia." "Tapi aku gak cinta sama Fani, Tut. Cintaku sama kamu." Tuti tertawa. "Gak cinta tapi bisa bikin anak? Gak cinta tapi kamu nikah diam-diam? Hahaha." Dani hanya bisa menunduk. Tak mampu mengelak. Menyesal jelas. Han
*Susilo alias Ilo* “Harus, kamu begini terus tiap tahun? Ck. Move on dong kalau gak bisa move on harusnya dulu kamu jangan gantung dia. Udah dibilangin ngeyel. Nyesel, ‘kan? Sekarang kamu mau apa ngintipin dia terus tiap tahun. Helow, lihat suaminya, lihat kerjanya, lihat rumahnya, lihat wajah mantan kamu itu, emang kelihatan seperti istri teraniaya gitu? Mana ada istri teraniaya terawat banget, suka senyum, tiap tahun hamil lagi. Orang pun bakalan paham kalau dia itu sangat sangat bahagia.” Saiful temanku masih saja ngomong.Aku tak begitu peduli dengan omongannya yang sama. Karena bisa melihatnya saja sudah membuatku bahagia. Iya, aku punya kebiasaan setiap tahun mengamati kehidupan Ambar dengan suaminya. Ini adalah tahun ketiga aku mengawasinya selama seharian penuh, di tanggal yang sama dengan tanggal jadian kami beberapa tahun yang lalu.Bukan tanpa alasan aku melakukan hal memalukan yakni mengawasi istri orang. Aku hanya ingin memastikan Ambar hidup bahagia dan t
*Syam*Aku mengulas senyum, tepatnya senyum miris. Melihat bagaimana Syafiq sedang memangku anak berusia dua tahun yang wajahnya sama persis dengan Syafiq. Padahal pas lahir, anak itu mirip Ambar tetapi malah kian besar kian mirip bapaknya.Ya Tuhan, lagi-lagi aku hanya bisa menatap kebahagiaan sebuah keluarga yang kuidam-idamkan.Menyesal? Jelas. Itu adalah penyesalan terbesar dalam hidupku. Padahal Tuhan telah memberiku kesempatan untuk mencecap kebahagiaan bersama Ambar. Tapi apa yang kulakukan? Yang kulakukan adalah melepas Ambar hanya karena tergoda dengan mantan. Ah, padahal sudah banyak cerita tak mengenakkan tentang mantan. Tapi kenapa aku malah ikut-ikutan terjebak nostalgia bersama mantan?“Hai, ponakan gantengnya Om Rafi. Ikutan ngajar ya? Mbak Ambar mana Mas?” Rafi sepertinya baru selesai mengajar dan langsung duduk di dekat Syafiq.“Lagi ngurusi Amira. Amira sakit. Kasihan Ambar kalau ngurusi dua-duanya, jadi Mas bawa aja Amm
*Marwan*Wajah itu masih terlihat cantik meski usianya sudah diatas lima puluh tahun. Dan senyum itu masih sama, hangat, terlihat tulus dan sangat menawan. Senyum yang selalu membuatku jatuh cinta setiap kali memandangnya.Inayah. Bunga desa yang sejak usianya masih dua belas tahun sudah kupuja. Kami hanya selisih tiga tahun. Dengan berbagai upaya aku berusaha mendapatkan perhatiannya. Inayah adalah tipe gadis penurut yang pandai membawa diri. Tingkah lakunya membuatku jatuh cinta.Perjuanganku mendapatkan perhatian Inayah, membuahkan hasil ketika usianya dua puluh dua tahun. Kami akhirnya berpacaran. Ah, senangnya hatiku.Tapi pacaran ala kami hanya sebatas aku mengunjungi rumah Inayah dan malah ngobrol ditemani kedua orang tuanya. Kami jarang pergi keluar. Andai pun keluar, yang bisa kami lakukan hanya sebatas makan atau jalan-jalan dengan motor. Aku dan Inayah tak pernah berbuat lebih, disamping aku takut kebablasan, Inayah juga sangat menjaga diri. Makanya