"Pak Yusuf? Kamu yakin?" tanya Ansel. Dia meminta supir untuk menepikan mobilnya. Dia dan Adara turun untuk melihat apakah benar mobil yang mengalami kecelakaan Itu adalah mobil Yusuf. Adara sempat takut ketika melihat seseorang dibawa dengan brankar menuju ke arah ambulans. Tapi ternyata dugaannya salah. Pria yang dia maksudkan sedang berdiri sembari bicara dengan petugas kepolisian. "Pak Yusuf?" panggil Adara. Orang yang dipanggil menoleh. "Bu Dara? Kenapa bisa ada di sini? Mau ke Bandung?"Adara mengangguk. "Siapa yang kecelakaan, Pak?""Oh, itu supir mobil itu," tunjuk Yusuf ke arah mobil yang luput dari perhatian Adara. Kondisinya mengkhawatirkan. "Tadi, mobil itu nggak sengaja nyenggol mobil saya. Saya bisa mengatasinya tapi supir mobil itu nggak bisa dan oleng nabrak pohon. Saya yang menghubungi ambulans dan juga polisi untuk membantu.""Tapi Pak Yusuf baik-baik saja kan?" tanya Adara cemas.Yusuf mengangguk pelan. "Agak sakit di kepala tapi tidak apa-apa, Bu.""Yakin, Pak?
Adara menekan dadanya dengan tatapan sendu penuh sesal. "Maafkan saya. Harusnya saya memaksa beliau untuk memeriksa kondisinya ke rumah sakit. Saya harusnya tidak pergi begitu saja, Bu. Maafkan saya."Isakan Adara sangat menyayat hati. Bagaimana tidak? Dia yang hanya cucu atasannya meratapi kematian Yusuf dan menyesal atas takdir yang sudah terjadi. Monica memeluk Adara sembari menepuk punggung wanita yang usianya terpaut jauh darinya itu. Dia tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh Adara karena dia pikir kecelakaan yang dialami oleh suaminya tidak ada hubungannya dengan Adara. "Ibu sama sekali tidak bersalah. Tolong jangan menyalahkan diri ibu sendiri. Saya sangat yakin inilah yang diinginkan oleh Tuhan," ucap Monica. Dia cukup bijak dalam menghadapi situasi yang menyedihkan bagi hidupnya. Wanita yang tidak pernah mengira akan kehilangan suaminya secepat itu, masih bisa menenangkan hati Adara. "Saya berterima kasih karena ibu mau datang ke rumah sakit ini padahal almarhum hanyalah
"Yakin, Bu. Apa ibu mau menyeleksi lagi list awalnya?" tanya Dinda tidak mengerti. Kenapa raut wajah Adara berubah drastis setelah membaca listnya. Adara menggeleng ragu. "Tidak perlu. Jadwalkan saja kapan saya bisa bertemu mereka secara langsung. Saya sendiri yang akan menilai." Dia meminta Dinda untuk keluar dari ruangannya. Adara kembali menilik satu persatu lembaran tersebut. Lamat-lamat dia meneliti setiap detail data diri dan juga pengalaman kerja mereka. Anehnya semuanya baik. "Candra. Jangan pikir aku lupa apa yang sering kamu lakukan dulu," ketus Adara. Wanita itu masih ingat dengan jelas ketika dia menjajaki dunia sekolah menengah atas, Candra adalah salah satu orang yang membuat dia enggan masuk sekolah. Candrani Kurnia Meiga. Dia salah satu fans Ansel. Wanita yang kerap memakai bando berwarna merah itu lagaknya sudah mirip bos besar. Apalagi kalau menarik kerah Adara dengan seenaknya sembari melemparkan ancaman bahwa Ansel adalah miliknya. "Aku anggap kalian sedang me
"Gina.""Gina? Ibu nggak salah? Gina bukan pilihan terbaik untuk kantor ini. Kenapa ibu memilih dia?" tanya Candra kesal. Dia terang-terangan mengatakan bahwa sahabatnya itu tidak lebih pintar darinya. "Ibu pasti akan menyesal kalau tidak memilih saya."Gina memperlihatkan tatapan kesal tapi dia masih menahan dirinya. Dia tahu diri kalau Candra bukan tandingannya. Jauh di masa silam, dia sangat kesal dengan sikap Candra yang sok boss sekali. Hanya karena keluarga Candra mempunyai kekuasaan di atasnya bukan berarti dia bisa seenaknya memperlakukan orang lain dengan buruk. Termasuk pada Adara.Adara tersenyum simpul. Dia sama sekali tidak terpancing dengan ucapan Candra. "Ibu Candra? Saya akan berikan alasannya kenapa saya memilih Ibu Gina sebagai kandidat yang paling kuat.""Saya memang perlu tahu alasannya, Bu," jawab Candra. Nada bicaranya terdengar lebih sombong dari sebelumnya. Apa dia tidak berpikir jika Adara akan lebih tidak menyukainya dengan sikapnya yang menyebalkan itu?"Me
"Kamu kesambet dari mana sih tiba-tiba memeriksa akun media sosialku? Biasanya juga acuh," ucap Ansel sembari geleng-geleng kepala melihat tingkah istrinya. Adara tidak peduli suaminya bicara apa Yang jelas dia harus merevisi semua pengikut setia suaminya. Dia tidak mau kecolongan. Kalau perlu akun tersebut diubah menjadi private agar nantinya tidak ada orang seperti Candra yang masih mengejar-ngejar suaminya."Pokoknya aku nggak mau kamu membalas komentar apapun terutama dari cewek. Yang jelas aku nggak suka," ucap Adara dengan suara emosi tapi lebih dominan ke arah cemburu.Ansel sangat yakin ada sesuatu di kantor yang membuat istrinya tiba-tiba berubah posesif. Apakah ini ada kaitannya dengan pertanyaan Adara mengenai lamaran pekerjaan dari tiga wanita yang dulu menyukainya? Pasti Iya. Mana mungkin istrinya tiba-tiba berulah. "Terserah kamu saja. Aku juga jarang main sosmed," ucap Ansel santai. Dia membelokkan mobilnya ke arah cafe, "kita makan malam dulu di sini. Suka nggak sama
Gairah yang belum tersalurkan itu tidak lagi penting. Ansel buru-buru memakai piyamanya, lalu melompat turun dari tempat tidur. Adara mengikuti karena dia penasaran siapa yang sedang berusaha menakut-nakuti mereka?Adara berhenti pada anak tangga terakhir. Dia melihat dari kejauhan banyak pecahan kaca yang bertaburan di lantai. Sementara suaminya entah berada di mana. "Siapa yang melakukan ini?" tanya Adara lebih pada dirinya sendiri. Dia melangkah untuk menjadi suaminya tapi Ansel buru-buru masuk dan memperingatkannya untuk tidak kemana-mana."Banyak kaca. Aku bereskan dulu," ucap Ansel. Setengah berlari dia mengambil sapu dan wadahnya dari dapur. Perlahan dia menggeser pecahan kaca tersebut agar bisa masuk sepenuhnya ke dalam wadah.Adara cemas. Ini pertama kalinya mereka mendapat serangan. "Kamu tahu siapa orangnya?"Ansel menggeleng, "Aku cari di depan tapi nggak ada orang. Kamu tenang saja, aku udah minta satpam depan untuk melihat CCTV apakah ada orang yang mencurigakan. Kamu
Aneh! Ansel penasaran melihat kerumunan orang di depan kantor Adara. Ada apa? Pria itu menepikan mobilnya dan turun dengan segudang pertanyaan. Apa mungkin ada orang yang sengaja membuat onar?Barulah ketika dua orang agak menyingkir, dia bisa melihat wanita yang dia cintai dengan penampilan yang acak-acakan, tengah beradu tarikan dengan mantan pacarnya."Astaga, Dara!" pekik Ansel. Dia memburu wanitanya untuk melerai. "Apa-apaan sih?" Dengan ngos-ngosan Adara menunjuk Emma, "Dia yang mulai!""Sialan! Seenaknya saja bicara begitu. Kamu tuh yang mulai!" Emma menunjuk Adara tidak kalah sengitnya. Dia merapikan rambutnya yang terkena serangan tidak terduga. Meskipun di sekitar mereka banyak yang mendukung Adara, Emma tetap tidak mau mengalah. Apalagi Ansel yang mempertontonkan sikap lembutnya pada Adara semakin menambah emosi dirinya. "Bubar semua! Nggak ada yang perlu ditonton," tegas Ansel. Bukannya melerai mereka malah melihat aksi jambak-menjambak yang tidak seharusnya. Dia kembal
"Kenapa melamun, Sayang?" tanya Felicia sembari memberikan tepukan pelan. Tidak ada respon dari menantunya makanya dia sampai menepuk bahu wanita di sampingnya itu.Adara menggeleng pelan, "Nggak ada apa-apa, Ma.""Oh, ya sudah. Kirain Mama kamu kenapa-kenapa. Yuk, Mama kenalin sama Miss Ziva."Adara hampir tidak mempercayai penglihatannya. Kenapa dia harus bertemu lagi dengan wanita pengganggu itu? Siapa lagi kalau bukan Candra. Wanita yang secara terang-terangan menyukai suaminya, sibuk mengobrol dengan wanita yang bernama Ziva itu. Entah hubungan apa yang mereka miliki sampai terlihat seakrab itu. Felicia menyapa beberapa orang lalu berhenti di depan wanita yang memakai pakaian serba putih tersebut. Dia menggandeng lengan Adara untuk diperkenalkan padanya. "Miss, ini menantu yang saya ceritakan kemarin."Ziva yang mempunyai sikap lemah gemulai mulai memperhatikan Adara. "Hai, Sayang. Cantiknya. Perkenalkan saya Ziva, panggil saja seperti yang lain miss Ziva. Saya yakin kamu pasti
"Mas, saya mau barang yang ini tapi jangan yang dipajang di etalase ya? Tolong pilihkan yang paling bagus dan nanti kirimkan saja ke alamat yang akan saya berikan. Pokoknya harus yang sesuai yang saya mau ya, Mas?" ucap Adara pada pelayan toko pria yang melayani dirinya. Wanita itu datang ke sebuah pusat elektronik dan perlengkapan rumah tangga terbesar di kotanya untuk melihat apakah dia bisa membeli sesuatu yang berharga untuk kado pernikahan Emma. Tentu saja suaminya ikut serta karena suaminya harus terus mengawasi apa yang dilakukan oleh Adara. Daripada nanti kelelahan lagi, bisa-bisa dia bingung sendiri.Pelayan pria yang memiliki name tag Putra itu mengangguk pelan. "Siap, Mbak. Kami akan memberikan barang terbaru yang ada di gudang kami. Silakan ikut saya ke bagian pembayaran sekaligus kami ingin mencatat alamat yang dituju.""Baik, Mas."Adara menyeret suaminya untuk segera mengikuti pelayan tersebut. Dia sangat antusias dalam memilih barang-barang. Buktinya lebih dari satu
Rencana liburan ke Cappadocia harus dibatalkan karena kondisi Adara tiba-tiba melemah. Mungkin karena efek kelelahan seharian beraktivitas. "Harusnya kemarin aku nggak ikut kelas memasak dulu ya, Mas? Jadinya kan sekarang aku harus bedrest," ucap Adara lemah. Dokter menyarankan dia untuk istirahat beberapa minggu ke depan agar kondisi kehamilannya menjadi lebih baik. Meskipun dia mendapatkan suplemen penguat kehamilan dan juga vitamin, dia masih harus mengistirahatkan tubuhnya. "Nggak apa-apa, Sayang. Nggak perlu disesali begitu. Lagi pula kalau kita jalan-jalan ke luar negeri kalau kamu sudah punya baby malah lebih bagus," ujar Ansel sembari mengusap puncak kepala istrinya. Dari kemarin mood Adara benar-benar tidak bisa diprediksi. Terkadang senang lalu tiba-tiba menjadi sedih. Sejauh ini mood yang paling dominan adalah kesedihan. "Tapi gimana tiket pesawat kita, Mas? Kalau di cancel juga belum tentu bisa.""Kalau masalah itu aku punya solusinya."Adara menatap suaminya dengan ser
"Iya," jawab Emma santai. Seakan apa yang dilakukan itu benar, dia hanya mengangkat bahunya, "tapi itu semua sudah berlalu. Aku akan memberikan rekaman aslinya agar kita nggak punya hubungan lagi. Aku udah malas berbuat iseng sama kalian. Lagi pula aku pernah berterima kasih sama kamu waktu itu kan? Sama seperti waktu itu, aku juga tulus minta maaf sekarang.""Kamu serius?" ejek Adara. "Serius.""Kalau begitu, aku minta ucapan permintaan maaf secara resmi melalui video. Ayo!" tarik Adara dengan susah payah. Mereka keluar dari kerumunan orang-orang untuk menyingkir ke tempat yang lebih sepi. Ansel mengikuti langkah istrinya dengan bersusah payah. Dia tidak bisa melerai karena wajah Adara seakan menginginkan dukungan. Langkahnya melambat pada anak tangga menuju lantai dua. Tempat riskan yang harus dilalui dengan hati-hati oleh ibu hamil adalah tangga. Jangan sampai terjatuh ataupun terpeleset! Tapi posisinya sekarang Adara sedang menarik Emma. Bagaimana kalau Emma menyakiti Adara den
"Kamu sih, Mas. Kita terlambat kan?" dumel Adara kesal. Mereka baru sampai ke tempat acara setelah menghindari macet yang tidak kunjung habis. Wanita itu terus saja memperlihatkan kekesalannya karena suaminya malah dengan santainya meminta maaf. "Yang punya acara kan keluarga kita, Mas. Harusnya datang lebih awal dong bukannya malah telat begini.""Sayang, nggak papa lah telat sedikit. Pasti mereka juga tahu kalau jalanan macet," sergah Ansel. Dia berusaha menenangkan hati istrinya dengan memeluk pinggang berisi itu dengan erat sembari membawanya masuk. Rumah keluarga Marina di dekorasi secara sederhana. Mereka tidak menyewa gedung atau ballroom hotel demi kenyamanan bersama. Konsep menikah secara diam-diam yang sesungguhnya adalah seperti ini. Tapi mereka tetap menggunakan jasa wo dan juga waiters yang siap melayani mereka. "Masuk, Dara. Kenapa baru datang?" ujar Felicia.Adara melirik suaminya dengan kesal. Mertuanya saja datang lebih awal kenapa mereka malah terlambat? "Taukk tuh
"Terima kasih," ucap Candra singkat. hanya itu dan tidak ada kata-kata lain yang diucapkan oleh wanita yang baru saja keluar dari rumah sakit itu. "Untuk apa?" tanya Adara bingung. Tiba-tiba datang tentu saja tidak hanya mengucapkan terima kasih. "Untuk ya itu pokoknya soal mama. Pernikahanku dibatalkan dan aku boleh memilih calon suami yang aku suka. Makanya aku datang kemari untuk Ya begitulah pokoknya. Intinya aku sudah balas budi. Satu lagi, ini," ucap Candra yang kemudian memberikan sekotak perhiasan pada Adara. "Ini dari koleksi terbaru buatanku dan belum launching di Indonesia. Jadi kamu orang pertama yang memilikinya.""Kalau mendesain perhiasan?" tanya Adara penasaran. Tidak ada pembicaraan mengenai ini dari Gina waktu itu. "Kupikir kamu hanya menjalankan bisnis orang tua kamu.""Aku nggak sebodoh itu kali. Nih! Terima! Pokoknya aku nggak mau ada kata balas budi lagi. Aku sudah membalasnya," tegas Candra. Dia menarik tangan Adara agar segera menerima pemberiannya. "Ini eksl
"Selamat ya," ucap Adara senang. Apa usahanya berhasil? "Ini gara-gara kakak kan?"Melihat senyum dikulum Adara, Mimi yakin kalau Adara pelaku utamanya. "Maaf ya, Mi," ucap Adara sungguh-sungguh. "Sebenarnya kakak cuma mau dia bertanggungjawab. Maksudnya bukan bertanggungjawab menikahi kamu tapi seenggaknya meminta maaf atas apa yang dia lakukan."Mimi mengerti dengan tujuan Adara, tapi dia belum siap menikah. "Aku masih muda, Kak. Gimana kalau aku hamil disaat aku belum siap untuk mempunyai bayi?""Kakak tahu kalau kesiapan mental itu penting. Hanya saja kamu akan dewasa pada waktunya," jelas Adara bijak. "Kalau kamu nggak ada kerjaan, gimana kalau ikut ke rumah Tante Felicia? Kita obrolin di sana."Mimi seharusnya sudah ada di kantor sekarang. "Sebentar saja ya, Kak? Soalnya aku ada pekerjaan.""Iya. Naik mobil sendiri-sendiri?"Mimi mengangguk."Baiklah."°°°Adara tertawa terbahak-bahak mendengar cerita Mimi. Dia sama sekali tidak mengira kalau Carlo akan datang dan membawa nama
"Oh, jangan mengumpat!* canda Ansel. Dia tidak perlu bersikap kasar karena mereka sedang berada di tempat umum. Tujuannya menyetujui usulan Roy untuk bertemu di cafe itu semata-mata hanya untuk kemenangannya. Roy mengumpat pelan. Dia sama sekali tidak menyangka kalau pria di depannya itu membuatnya sebagai umpan. Dia berdiri, "Kayaknya aku nggak perlu ada di sini. Silakan selesaikan urusan kalian.""Hei, jangan pergi!" tukas Ansel tenang. "Kamu juga bersalah di sini karena sudah mengancam Mimi dan membahayakan calon bayiku.""Apa maksud kamu dengan calon bayi kamu? Apa jangan-jangan Mimi menikah sama kamu?" tuduh Roy. Mau tidak mau dia kembali duduk untuk membahas masalah mereka. Tidak ada lagi kata-kata sopan yang diucapkan karena atmosfer diantara mereka sudah memanas. Lagi pula tidak ada urusan bisnis yang perlu mereka bicarakan. "Oh, jadi kamu mendatangiku untuk meminta pertanggungjawaban berupa uang? Hei, kamu pikir aku bisa kamu bodohi? Jangan-jangan kamu yang sudah menghamili
Dua wanita yang masing-masing memperlihatkan ekspresi yang berbeda, kini duduk berhadapan saling menatap ke arah lain. Adara yang sudah sedikit memahami apa yang dikatakan oleh Mimi, merasa ini saat yang tepat untuk mempertanyakan. "Siapa yang berbuat itu sama kamu?" tanya Adara pelan, tidak bermaksud menghardik juga tidak menuntut jawaban. Mimi mulai mengarahkan pandangannya pada Adara. "Carlo.""Siapa dia?"Helaan nafas berat lebih terdengar ringkih menjawab pertanyaan itu di awal. "Pria yang aku temui di pesta ulang tahun teman sesama model. Aku benar-benar berada di bawah pengaruh alkohol, Kak. Kalau secara sadar aku nggak mungkin melakukannya. Aku masih perawan, siapa yang mau memberikannya pada sembarang orang."Adara memahaminya. "Lalu? Apa dia tanggung jawab?"Mimi menggeleng lesu, "Jangankan tanggung jawab, Sampai detik ini aku dan dia nggak pernah bertemu lagi.""Lalu kenapa kamu bisa takut hamil? Apa sudah ada tanda-tanda?"Mimi menerawang ke arah dinding yang berusaha un
Adara merasa Haikal bersikap aneh. "Em, aku bicara dengan suami dulu ya. Soalnya kan nggak mungkin aku pergi tanpa ijin dari suami."Perubahan wajah Haikal terlihat jelas. Kesal, marah dan tidak suka. Kenapa? "Oh, aku aja yang minta ijin sama suami kamu. Mana kontaknya?"Kenapa Haikal seperti memaksa? Padahal niat Adara mengatakannya hanya untuk menghindar dari ajakan makan malamnya. Adara bergerak kebingungan. Apa yang harus dia katakan agar Haikal mengerti. "Em, kalau sekarang kayaknya nggak bisa deh. Nanti saja aku minta ijin secara langsung. Kalau udah nggak ada yang perlu diomongin, aku mau pamit dulu."Haikal menyentuh pergelangan tangan Adara tanpa pikir panjang. "Tunggu dulu!"Adara menarik lengannya tanpa berniat menyakiti hati pria itu. "Ada apa?""Gimana caranya kamu ngasih tau aku kalau kita nggak tukeran nomor?"Benar juga. Adara bahkan tidak ingat kalau mereka perlu melakukannya. Tapi, dia tidak berniat memberikan nomornya pada orang asing. 'Ayo, Adara, coba pikirkan c