Aneh! Ansel penasaran melihat kerumunan orang di depan kantor Adara. Ada apa? Pria itu menepikan mobilnya dan turun dengan segudang pertanyaan. Apa mungkin ada orang yang sengaja membuat onar?Barulah ketika dua orang agak menyingkir, dia bisa melihat wanita yang dia cintai dengan penampilan yang acak-acakan, tengah beradu tarikan dengan mantan pacarnya."Astaga, Dara!" pekik Ansel. Dia memburu wanitanya untuk melerai. "Apa-apaan sih?" Dengan ngos-ngosan Adara menunjuk Emma, "Dia yang mulai!""Sialan! Seenaknya saja bicara begitu. Kamu tuh yang mulai!" Emma menunjuk Adara tidak kalah sengitnya. Dia merapikan rambutnya yang terkena serangan tidak terduga. Meskipun di sekitar mereka banyak yang mendukung Adara, Emma tetap tidak mau mengalah. Apalagi Ansel yang mempertontonkan sikap lembutnya pada Adara semakin menambah emosi dirinya. "Bubar semua! Nggak ada yang perlu ditonton," tegas Ansel. Bukannya melerai mereka malah melihat aksi jambak-menjambak yang tidak seharusnya. Dia kembal
"Kenapa melamun, Sayang?" tanya Felicia sembari memberikan tepukan pelan. Tidak ada respon dari menantunya makanya dia sampai menepuk bahu wanita di sampingnya itu.Adara menggeleng pelan, "Nggak ada apa-apa, Ma.""Oh, ya sudah. Kirain Mama kamu kenapa-kenapa. Yuk, Mama kenalin sama Miss Ziva."Adara hampir tidak mempercayai penglihatannya. Kenapa dia harus bertemu lagi dengan wanita pengganggu itu? Siapa lagi kalau bukan Candra. Wanita yang secara terang-terangan menyukai suaminya, sibuk mengobrol dengan wanita yang bernama Ziva itu. Entah hubungan apa yang mereka miliki sampai terlihat seakrab itu. Felicia menyapa beberapa orang lalu berhenti di depan wanita yang memakai pakaian serba putih tersebut. Dia menggandeng lengan Adara untuk diperkenalkan padanya. "Miss, ini menantu yang saya ceritakan kemarin."Ziva yang mempunyai sikap lemah gemulai mulai memperhatikan Adara. "Hai, Sayang. Cantiknya. Perkenalkan saya Ziva, panggil saja seperti yang lain miss Ziva. Saya yakin kamu pasti
Setelah insiden mual karena makan masakan buatan Adara, wanita itu merasa bersalah. Pasalnya dia yakin kalau masakannya tidak seburuk itu. "Bu Adara ada masalah apa? Kenapa dari tadi Ibu diam saja? Apa ada pekerjaan yang tidak sesuai?" tanya Gina penasaran. Tanpa diminta dia menyuguhkan kopi untuk atasannya itu. Dia juga tidak langsung pergi, justru mempertanyakan sikap atasannya yang tiba-tiba pendiam.Adara masih mengetuk-ngetuk pulpen ke atas meja, sementara siku yang lain menopang dagunya. "Aku lagi bingung, Gin."Kalau Adara sudah menggunakan kalimat santai, Gina bisa menebak kalau Adara sedang membicarakan masalah pribadi bukannya masalah kantor. "Bingung kenapa?""Hem, aku udah ikut kursus masak dua kali Tapi masih belum bisa masak yang bener. Apa yang salah? Atau jangan-jangan Aku emang nggak bakat masak?" Pertanyaan itu lebih ditujukan pada dirinya sendiri karena kedua mata Adara setuju pada permukaan meja yang mengkilap itu. "Oh, masalah dapur ya? Aku juga nggak bisa masa
"Nggak bisa, Pa. Aku nggak setuju kalau perusahaan kita diakuisisi sama perusahaan lain. Kita harus cari bantuan supaya kerugian yang disebabkan oleh sekretaris papa bisa tertutupi. Aku akan cari caranya," tegas Ansel. Pagi-pagi Papanya menelepon kalau mereka tidak punya alasan untuk mempertahankan perusahaan. Selagi ada orang yang mau menutup kerugian dan mengembangkan perusahaan sebagaimana mestinya, Jaka akan melepaskannya. Tapi tidak untuk Ansel. Dia tidak akan melepaskan usaha orang tuanya begitu saja tanpa melakukan sesuatu. "Tapi gimana caranya kita bisa dapat uang puluhan miliar dalam satu minggu?""Tenanglah, Pa. Aku akan coba tanya sama teman kuliahku dulu yang sekiranya punya bisnis besar. Aku yakin mereka pasti mempercayaiku," ucap Ansel meyakinkan."Oke, papa akan coba menunggu. Tapi, Papa harap kamu jangan kecewa seandainya kita harus melepaskan perusahaan."Ansel menghela nafas berat. "Oke." Dia menutup panggilannya dengan lelah. Semalaman dia tidak bisa tidur meskip
"Sayang," panggil Ansel dengan suara lembut yang diiringi dengan desahan manja yang menggoda. Melihat istrinya hanya menoleh sekilas, dia semakin mendekat. "Lagi ngapain?" tanyanya lagi. Padahal harusnya dia bisa melihat dengan jelas apa yang dilakukan istrinya. "Mau aku bantu?"Adara sengaja mengiris bawang bombai di permukaan talenan itu dengan gerakan memukul naik turun. Ansel agak ciut nyalinya karena Adara memegang benda tajam mengkilap yang bisa saja mengurangi nyawanya. "Ini diletakkan dulu," ucap Ansel dengan senyum lebar. Dia berniat menurunkan pisau tersebut dari udara kosong yang menyebalkan tapi sang istri justru melotot. "Oke. Nggak diletakkan juga nggak apa-apa. Asal kamu kemari sebentar, kita ngobrol.""Ngobrol? Bahasa apa sih ngobrol itu? Aku sibuk sekarang dan nggak punya waktu untuk mengobrol jadi kamu pergi saja!" Kalimat yang Adara ucapkan sama persis dengan ucapan Ansel tadi siang. Wanita itu menyimpan dendam rupanya. Tentu saja, orang gila mana yang tidak dend
Benarkah Mimi yang bicara begitu pada Adara? Benarkah Mimi memasang tampang seolah dia berhak atas bisnis keluarga orang tuanya itu? Benarkah Mimi seolah tidak menghormati Adara sebagai kakak tertua?Adara speechless. Jujur dia tidak pernah menyangka kalau Mimi akan menyinggung masalah kantor ataupun saham yang dimiliki orang tuanya. Ada apa ini? Apa mungkin Mimi dipaksa oleh orang tuanya? Tapi kalau dipaksa harusnya raut wajah wanita itu bukannya menyetujui tapi lebih pada kecemasan kalau Adara tersinggung. Adara bangkit, "Duduklah! Kapan kamu sampai? Kok kamu nggak bareng sama tante?"Mimi terpaksa duduk, dia memilih ruang kosong di samping mamanya. "Aku langsung datang kok waktu Mama minta aku ke sini, Kak. Aku tadi parkir mobil dulu. Ngomong-ngomong kak Adara belum jawab pertanyaanku.""Tunggu dulu! Masalah kantor nggak bisa semudah itu dong aku berikan sama kamu. Kamu aja belum berpengalaman. Kecuali kalau kamu bisa meng-handle semuanya, aku baru melepaskan jabatanku. Jadi, bela
"Gila! Kamu sengaja menjebakku kan?" hardik Mimi emosi. Sisa-sisa air matanya masih ada, dia meringkuk di dalam selimut yang sejak semalam menaungi tubuhnya. Mau marah juga percuma karena dia sudah terlanjur basah. [Kamu cukup bikin Adara kesal]"Kesal? Maksudnya?" [Aku tahu kok kalau kamu dan Adara punya masalah soal warisan dan aku tahu kalau kalian nggak sepaham. Jadi, coba rebut posisi Adara, bikin dia kesal dan jadi miskin]"Miskin? Kak Emma nggak tahu kan kalau tanpa jadi direktur kak Dara tetap punya banyak uang. Please, jangan buat aku jadi musuh dalam selimut. Aku nggak suka membenci kak Dara," pintu Mimi memelas. Dia menyayangi Adara selayaknya saudara kandung. Apa jadinya kalau dia dan Adara bermusuhan hanya karena masalah warisan?[Aku nggak peduli apa yang kamu katakan. Kalau kamu nggak mau video ini tersebar, sebaiknya lakukan apa yang aku mau. Aku harus dengar kabar baik dari kamu dalam waktu dua Minggu atau cuplikan yang paling hot akan tersebar di media sosial] Mim
Mendengar istrinya mual, Ansel segera membatalkan niatnya untuk memberi perhitungan pada Marina. "Tuh kan, kamu pasti banyak pikiran sampai kamu mual begini. Ayo istirahat saja di kamar."Adara bersyukur karena dia mengeluarkan suara perutnya di saat yang tepat. Dia berhasil menghentikan suaminya untuk melabrak Marina dan juga Mimi. "Makanya kamu jangan pergi."Sedikit ucapan manja berhasil membuat Ansel meredam amarahnya. "Maaf ya. Aku temani. Apa perlu kita panggil dokter?"Adara tidak merasakan sesuatu yang berlebihan. "Nggak perlu sepertinya. Aku hanya butuh istirahat.""Ya udah." Dengan telaten Ansel menggiring istrinya untuk naik ke lantai dua. Dia sangat berhati-hati pada setiap langkah istrinya agar istrinya tidak terjatuh. Padahal Adara merasa tubuhnya baik-baik saja kecuali perutnya yang tiba-tiba memberontak. "Tidurlah! Aku ambilkan susu hangat," ucap Ansel setelah membaringkan istrinya ke tempat tidur. "Jangan!" cegah Adara."Maksudnya jangan ambilkan susu?""Iya. Aku m
"Mas, saya mau barang yang ini tapi jangan yang dipajang di etalase ya? Tolong pilihkan yang paling bagus dan nanti kirimkan saja ke alamat yang akan saya berikan. Pokoknya harus yang sesuai yang saya mau ya, Mas?" ucap Adara pada pelayan toko pria yang melayani dirinya. Wanita itu datang ke sebuah pusat elektronik dan perlengkapan rumah tangga terbesar di kotanya untuk melihat apakah dia bisa membeli sesuatu yang berharga untuk kado pernikahan Emma. Tentu saja suaminya ikut serta karena suaminya harus terus mengawasi apa yang dilakukan oleh Adara. Daripada nanti kelelahan lagi, bisa-bisa dia bingung sendiri.Pelayan pria yang memiliki name tag Putra itu mengangguk pelan. "Siap, Mbak. Kami akan memberikan barang terbaru yang ada di gudang kami. Silakan ikut saya ke bagian pembayaran sekaligus kami ingin mencatat alamat yang dituju.""Baik, Mas."Adara menyeret suaminya untuk segera mengikuti pelayan tersebut. Dia sangat antusias dalam memilih barang-barang. Buktinya lebih dari satu
Rencana liburan ke Cappadocia harus dibatalkan karena kondisi Adara tiba-tiba melemah. Mungkin karena efek kelelahan seharian beraktivitas. "Harusnya kemarin aku nggak ikut kelas memasak dulu ya, Mas? Jadinya kan sekarang aku harus bedrest," ucap Adara lemah. Dokter menyarankan dia untuk istirahat beberapa minggu ke depan agar kondisi kehamilannya menjadi lebih baik. Meskipun dia mendapatkan suplemen penguat kehamilan dan juga vitamin, dia masih harus mengistirahatkan tubuhnya. "Nggak apa-apa, Sayang. Nggak perlu disesali begitu. Lagi pula kalau kita jalan-jalan ke luar negeri kalau kamu sudah punya baby malah lebih bagus," ujar Ansel sembari mengusap puncak kepala istrinya. Dari kemarin mood Adara benar-benar tidak bisa diprediksi. Terkadang senang lalu tiba-tiba menjadi sedih. Sejauh ini mood yang paling dominan adalah kesedihan. "Tapi gimana tiket pesawat kita, Mas? Kalau di cancel juga belum tentu bisa.""Kalau masalah itu aku punya solusinya."Adara menatap suaminya dengan ser
"Iya," jawab Emma santai. Seakan apa yang dilakukan itu benar, dia hanya mengangkat bahunya, "tapi itu semua sudah berlalu. Aku akan memberikan rekaman aslinya agar kita nggak punya hubungan lagi. Aku udah malas berbuat iseng sama kalian. Lagi pula aku pernah berterima kasih sama kamu waktu itu kan? Sama seperti waktu itu, aku juga tulus minta maaf sekarang.""Kamu serius?" ejek Adara. "Serius.""Kalau begitu, aku minta ucapan permintaan maaf secara resmi melalui video. Ayo!" tarik Adara dengan susah payah. Mereka keluar dari kerumunan orang-orang untuk menyingkir ke tempat yang lebih sepi. Ansel mengikuti langkah istrinya dengan bersusah payah. Dia tidak bisa melerai karena wajah Adara seakan menginginkan dukungan. Langkahnya melambat pada anak tangga menuju lantai dua. Tempat riskan yang harus dilalui dengan hati-hati oleh ibu hamil adalah tangga. Jangan sampai terjatuh ataupun terpeleset! Tapi posisinya sekarang Adara sedang menarik Emma. Bagaimana kalau Emma menyakiti Adara den
"Kamu sih, Mas. Kita terlambat kan?" dumel Adara kesal. Mereka baru sampai ke tempat acara setelah menghindari macet yang tidak kunjung habis. Wanita itu terus saja memperlihatkan kekesalannya karena suaminya malah dengan santainya meminta maaf. "Yang punya acara kan keluarga kita, Mas. Harusnya datang lebih awal dong bukannya malah telat begini.""Sayang, nggak papa lah telat sedikit. Pasti mereka juga tahu kalau jalanan macet," sergah Ansel. Dia berusaha menenangkan hati istrinya dengan memeluk pinggang berisi itu dengan erat sembari membawanya masuk. Rumah keluarga Marina di dekorasi secara sederhana. Mereka tidak menyewa gedung atau ballroom hotel demi kenyamanan bersama. Konsep menikah secara diam-diam yang sesungguhnya adalah seperti ini. Tapi mereka tetap menggunakan jasa wo dan juga waiters yang siap melayani mereka. "Masuk, Dara. Kenapa baru datang?" ujar Felicia.Adara melirik suaminya dengan kesal. Mertuanya saja datang lebih awal kenapa mereka malah terlambat? "Taukk tuh
"Terima kasih," ucap Candra singkat. hanya itu dan tidak ada kata-kata lain yang diucapkan oleh wanita yang baru saja keluar dari rumah sakit itu. "Untuk apa?" tanya Adara bingung. Tiba-tiba datang tentu saja tidak hanya mengucapkan terima kasih. "Untuk ya itu pokoknya soal mama. Pernikahanku dibatalkan dan aku boleh memilih calon suami yang aku suka. Makanya aku datang kemari untuk Ya begitulah pokoknya. Intinya aku sudah balas budi. Satu lagi, ini," ucap Candra yang kemudian memberikan sekotak perhiasan pada Adara. "Ini dari koleksi terbaru buatanku dan belum launching di Indonesia. Jadi kamu orang pertama yang memilikinya.""Kalau mendesain perhiasan?" tanya Adara penasaran. Tidak ada pembicaraan mengenai ini dari Gina waktu itu. "Kupikir kamu hanya menjalankan bisnis orang tua kamu.""Aku nggak sebodoh itu kali. Nih! Terima! Pokoknya aku nggak mau ada kata balas budi lagi. Aku sudah membalasnya," tegas Candra. Dia menarik tangan Adara agar segera menerima pemberiannya. "Ini eksl
"Selamat ya," ucap Adara senang. Apa usahanya berhasil? "Ini gara-gara kakak kan?"Melihat senyum dikulum Adara, Mimi yakin kalau Adara pelaku utamanya. "Maaf ya, Mi," ucap Adara sungguh-sungguh. "Sebenarnya kakak cuma mau dia bertanggungjawab. Maksudnya bukan bertanggungjawab menikahi kamu tapi seenggaknya meminta maaf atas apa yang dia lakukan."Mimi mengerti dengan tujuan Adara, tapi dia belum siap menikah. "Aku masih muda, Kak. Gimana kalau aku hamil disaat aku belum siap untuk mempunyai bayi?""Kakak tahu kalau kesiapan mental itu penting. Hanya saja kamu akan dewasa pada waktunya," jelas Adara bijak. "Kalau kamu nggak ada kerjaan, gimana kalau ikut ke rumah Tante Felicia? Kita obrolin di sana."Mimi seharusnya sudah ada di kantor sekarang. "Sebentar saja ya, Kak? Soalnya aku ada pekerjaan.""Iya. Naik mobil sendiri-sendiri?"Mimi mengangguk."Baiklah."°°°Adara tertawa terbahak-bahak mendengar cerita Mimi. Dia sama sekali tidak mengira kalau Carlo akan datang dan membawa nama
"Oh, jangan mengumpat!* canda Ansel. Dia tidak perlu bersikap kasar karena mereka sedang berada di tempat umum. Tujuannya menyetujui usulan Roy untuk bertemu di cafe itu semata-mata hanya untuk kemenangannya. Roy mengumpat pelan. Dia sama sekali tidak menyangka kalau pria di depannya itu membuatnya sebagai umpan. Dia berdiri, "Kayaknya aku nggak perlu ada di sini. Silakan selesaikan urusan kalian.""Hei, jangan pergi!" tukas Ansel tenang. "Kamu juga bersalah di sini karena sudah mengancam Mimi dan membahayakan calon bayiku.""Apa maksud kamu dengan calon bayi kamu? Apa jangan-jangan Mimi menikah sama kamu?" tuduh Roy. Mau tidak mau dia kembali duduk untuk membahas masalah mereka. Tidak ada lagi kata-kata sopan yang diucapkan karena atmosfer diantara mereka sudah memanas. Lagi pula tidak ada urusan bisnis yang perlu mereka bicarakan. "Oh, jadi kamu mendatangiku untuk meminta pertanggungjawaban berupa uang? Hei, kamu pikir aku bisa kamu bodohi? Jangan-jangan kamu yang sudah menghamili
Dua wanita yang masing-masing memperlihatkan ekspresi yang berbeda, kini duduk berhadapan saling menatap ke arah lain. Adara yang sudah sedikit memahami apa yang dikatakan oleh Mimi, merasa ini saat yang tepat untuk mempertanyakan. "Siapa yang berbuat itu sama kamu?" tanya Adara pelan, tidak bermaksud menghardik juga tidak menuntut jawaban. Mimi mulai mengarahkan pandangannya pada Adara. "Carlo.""Siapa dia?"Helaan nafas berat lebih terdengar ringkih menjawab pertanyaan itu di awal. "Pria yang aku temui di pesta ulang tahun teman sesama model. Aku benar-benar berada di bawah pengaruh alkohol, Kak. Kalau secara sadar aku nggak mungkin melakukannya. Aku masih perawan, siapa yang mau memberikannya pada sembarang orang."Adara memahaminya. "Lalu? Apa dia tanggung jawab?"Mimi menggeleng lesu, "Jangankan tanggung jawab, Sampai detik ini aku dan dia nggak pernah bertemu lagi.""Lalu kenapa kamu bisa takut hamil? Apa sudah ada tanda-tanda?"Mimi menerawang ke arah dinding yang berusaha un
Adara merasa Haikal bersikap aneh. "Em, aku bicara dengan suami dulu ya. Soalnya kan nggak mungkin aku pergi tanpa ijin dari suami."Perubahan wajah Haikal terlihat jelas. Kesal, marah dan tidak suka. Kenapa? "Oh, aku aja yang minta ijin sama suami kamu. Mana kontaknya?"Kenapa Haikal seperti memaksa? Padahal niat Adara mengatakannya hanya untuk menghindar dari ajakan makan malamnya. Adara bergerak kebingungan. Apa yang harus dia katakan agar Haikal mengerti. "Em, kalau sekarang kayaknya nggak bisa deh. Nanti saja aku minta ijin secara langsung. Kalau udah nggak ada yang perlu diomongin, aku mau pamit dulu."Haikal menyentuh pergelangan tangan Adara tanpa pikir panjang. "Tunggu dulu!"Adara menarik lengannya tanpa berniat menyakiti hati pria itu. "Ada apa?""Gimana caranya kamu ngasih tau aku kalau kita nggak tukeran nomor?"Benar juga. Adara bahkan tidak ingat kalau mereka perlu melakukannya. Tapi, dia tidak berniat memberikan nomornya pada orang asing. 'Ayo, Adara, coba pikirkan c