"Sayang," panggil Ansel dengan suara lembut yang diiringi dengan desahan manja yang menggoda. Melihat istrinya hanya menoleh sekilas, dia semakin mendekat. "Lagi ngapain?" tanyanya lagi. Padahal harusnya dia bisa melihat dengan jelas apa yang dilakukan istrinya. "Mau aku bantu?"Adara sengaja mengiris bawang bombai di permukaan talenan itu dengan gerakan memukul naik turun. Ansel agak ciut nyalinya karena Adara memegang benda tajam mengkilap yang bisa saja mengurangi nyawanya. "Ini diletakkan dulu," ucap Ansel dengan senyum lebar. Dia berniat menurunkan pisau tersebut dari udara kosong yang menyebalkan tapi sang istri justru melotot. "Oke. Nggak diletakkan juga nggak apa-apa. Asal kamu kemari sebentar, kita ngobrol.""Ngobrol? Bahasa apa sih ngobrol itu? Aku sibuk sekarang dan nggak punya waktu untuk mengobrol jadi kamu pergi saja!" Kalimat yang Adara ucapkan sama persis dengan ucapan Ansel tadi siang. Wanita itu menyimpan dendam rupanya. Tentu saja, orang gila mana yang tidak dend
Benarkah Mimi yang bicara begitu pada Adara? Benarkah Mimi memasang tampang seolah dia berhak atas bisnis keluarga orang tuanya itu? Benarkah Mimi seolah tidak menghormati Adara sebagai kakak tertua?Adara speechless. Jujur dia tidak pernah menyangka kalau Mimi akan menyinggung masalah kantor ataupun saham yang dimiliki orang tuanya. Ada apa ini? Apa mungkin Mimi dipaksa oleh orang tuanya? Tapi kalau dipaksa harusnya raut wajah wanita itu bukannya menyetujui tapi lebih pada kecemasan kalau Adara tersinggung. Adara bangkit, "Duduklah! Kapan kamu sampai? Kok kamu nggak bareng sama tante?"Mimi terpaksa duduk, dia memilih ruang kosong di samping mamanya. "Aku langsung datang kok waktu Mama minta aku ke sini, Kak. Aku tadi parkir mobil dulu. Ngomong-ngomong kak Adara belum jawab pertanyaanku.""Tunggu dulu! Masalah kantor nggak bisa semudah itu dong aku berikan sama kamu. Kamu aja belum berpengalaman. Kecuali kalau kamu bisa meng-handle semuanya, aku baru melepaskan jabatanku. Jadi, bela
"Gila! Kamu sengaja menjebakku kan?" hardik Mimi emosi. Sisa-sisa air matanya masih ada, dia meringkuk di dalam selimut yang sejak semalam menaungi tubuhnya. Mau marah juga percuma karena dia sudah terlanjur basah. [Kamu cukup bikin Adara kesal]"Kesal? Maksudnya?" [Aku tahu kok kalau kamu dan Adara punya masalah soal warisan dan aku tahu kalau kalian nggak sepaham. Jadi, coba rebut posisi Adara, bikin dia kesal dan jadi miskin]"Miskin? Kak Emma nggak tahu kan kalau tanpa jadi direktur kak Dara tetap punya banyak uang. Please, jangan buat aku jadi musuh dalam selimut. Aku nggak suka membenci kak Dara," pintu Mimi memelas. Dia menyayangi Adara selayaknya saudara kandung. Apa jadinya kalau dia dan Adara bermusuhan hanya karena masalah warisan?[Aku nggak peduli apa yang kamu katakan. Kalau kamu nggak mau video ini tersebar, sebaiknya lakukan apa yang aku mau. Aku harus dengar kabar baik dari kamu dalam waktu dua Minggu atau cuplikan yang paling hot akan tersebar di media sosial] Mim
Mendengar istrinya mual, Ansel segera membatalkan niatnya untuk memberi perhitungan pada Marina. "Tuh kan, kamu pasti banyak pikiran sampai kamu mual begini. Ayo istirahat saja di kamar."Adara bersyukur karena dia mengeluarkan suara perutnya di saat yang tepat. Dia berhasil menghentikan suaminya untuk melabrak Marina dan juga Mimi. "Makanya kamu jangan pergi."Sedikit ucapan manja berhasil membuat Ansel meredam amarahnya. "Maaf ya. Aku temani. Apa perlu kita panggil dokter?"Adara tidak merasakan sesuatu yang berlebihan. "Nggak perlu sepertinya. Aku hanya butuh istirahat.""Ya udah." Dengan telaten Ansel menggiring istrinya untuk naik ke lantai dua. Dia sangat berhati-hati pada setiap langkah istrinya agar istrinya tidak terjatuh. Padahal Adara merasa tubuhnya baik-baik saja kecuali perutnya yang tiba-tiba memberontak. "Tidurlah! Aku ambilkan susu hangat," ucap Ansel setelah membaringkan istrinya ke tempat tidur. "Jangan!" cegah Adara."Maksudnya jangan ambilkan susu?""Iya. Aku m
"Apa sih maksudnya? Kenapa kakak malah menuduhku? Harusnya yang kakak usir itu sekretaris Kakak itu yang tidak benci mengerjakan pekerjaannya," elak Mimi. Jebakan yang dibuat oleh Emma tidak bisa dia hindarkan begitu saja. Meskipun dia takut pada kemarahan Adara, dia harus menahan diri untuk tetap berada di sana. "Intinya aku nggak mau dia jadi sekretaris aku."Adara meminta Gina untuk pergi dari sana. Sementara dia mengambil tempat duduk di depan saudaranya itu. "Kamu nggak sadar apa yang sudah kamu lakukan? Kamu nggak punya pilihan untuk memecat siapapun di kantor ini. Terlebih kinerja kamu yang benar-benar di bawah mereka.""Aku tersinggung ya, Kak, kalau Kakak bilang begitu," ucap Mimi pura-pura kesal. Namun dia tidak sepenuhnya berpura-pura Karena sejujurnya dia tidak suka Adara membela orang lain ketimbang dirinya. Sejak Mimi berada di kantornya, Adara lebih sering menghela nafas berat. Entah sudah berapa kali hari ini dia menghembuskan nafas kesalnya. "Tolonglah, kalau kamu di
Ansel agak terkejut mendengar penuturan istrinya. "Kenapa tiba-tiba? Tunggu, aku nggak perlu tanya soal ini. Siapa yang mengancam kamu?""Nggak ada yang mengancamku kok, Sel. Tapi aku cuma kepikiran aja. Kasihan Mimi kalau dia nggak bisa mendapatkan apa yang dia mau. Dia kan baru pertama kali ini menginginkan sesuatu, jadi aku sebagai kakak yang baik sebisa mungkin harus memberikan apa yang dia mau. Lagi pula ini kan cuma bisnis. Aku bisa melihat dari jauh kok. Nenek juga pasti menyetujui keinginanku ini," jelas Adara bijak. Dia berusaha menyembunyikan kegundahan hatinya dengan merelakan bisnis yang memang bukan hanya untuknya.Ansel diam. Sejujurnya dia tidak rela istrinya melepaskan apa yang dia kembangkan selama ini. Namun, Adara pasti punya alasan khusus kenapa dia mengubah keputusannya. "Coba pikirkan lagi selama beberapa hari ini supaya kamu lebih yakin," ucap Ansel sembari mengelus bahu istrinya. Adara mengangguk, "Iya, Sel."Ansel terlihat melamunkan sesuatu. "Sayang.""Hem
Adara diam seribu bahasa. Tak ayal membuat persepsi lain dari mama mertuanya. Menantunya memang tidak membenarkan tapi dengan diamnya sikapnya, jelas terjadi sesuatu di kelas memasak kemarin. "Apa yang dikatakan oleh Bu Anis memang sangat keterlaluan. Kalau mama ada di sana pasti Mama akan membela kamu," tegas Felicia menggebu-gebu. Dia heran kenapa masih ada orang yang sibuk mengurus urusan orang lain apalagi sampai merusak kepercayaan diri seseorang. "Bukan salah Bu Anis, Ma," ucap Adara akhirnya. Tanpa ucapan Anis sekalipun dia pasti akan memutuskan untuk mundur dari jabatannya. "Lalu karena apa?" "Aku hanya berpikir untuk memberikan kesempatan pada Mimi. Dia juga kan perlu untuk tahu bisnis keluarganya. Mana mungkin selamanya dia akan bekerja sebagai model. Saat ini yang perlu aku lakukan hanyalah mendukungnya," jelas Adara. Felicia mengerti dengan pemikiran menantunya. Dia bingung apakah dia harus memuji sikap Adara atau malah menyayangkan. "Jujur Mama kurang setuju kalau
Suara gruduk-gruduk di dapur membuat Felicia terbangun. elektronik yang harganya lumayan fantastis. Dia pikir ada maling yang nyasar ke rumahnya dan mengobrak-abrik dapurnya untuk mencari perabotan dapur yang harganya lumayan fantastis. Maklumlah karena dia suka memasak jadi peralatan dapurnya lumayan mahal. "Ansel? Kamu ngapain jam segini?" Dengan sedikit menguap, Felicia menghampiri Ansel. Dia penasaran dengan apa yang dilakukan oleh anaknya. "Nyari apa sih?" Ansel yang sedang memotong kol yang dia temukan di dalam kulkas, akhirnya menoleh, "Ini, Ma, Adara minta soto. Tengah malam begini memangnya ada jualan soto. Makanya aku inisiatif buatin." Ansel menunjuk ponselnya yang sedang memperlihatkan video tutorial memasak soto ayam rumahan. Karena bahan yang digunakan tidak terlalu banyak, jadi dia menggunakan tutorial itu. Felicia tersenyum geli melihat kelakuan anaknya. Dia mencuci tangannya lalu memakai celemek untuk melindungi piyama tidurnya. "Biar mama aja yang buatin. Kamu ke
"Mas, saya mau barang yang ini tapi jangan yang dipajang di etalase ya? Tolong pilihkan yang paling bagus dan nanti kirimkan saja ke alamat yang akan saya berikan. Pokoknya harus yang sesuai yang saya mau ya, Mas?" ucap Adara pada pelayan toko pria yang melayani dirinya. Wanita itu datang ke sebuah pusat elektronik dan perlengkapan rumah tangga terbesar di kotanya untuk melihat apakah dia bisa membeli sesuatu yang berharga untuk kado pernikahan Emma. Tentu saja suaminya ikut serta karena suaminya harus terus mengawasi apa yang dilakukan oleh Adara. Daripada nanti kelelahan lagi, bisa-bisa dia bingung sendiri.Pelayan pria yang memiliki name tag Putra itu mengangguk pelan. "Siap, Mbak. Kami akan memberikan barang terbaru yang ada di gudang kami. Silakan ikut saya ke bagian pembayaran sekaligus kami ingin mencatat alamat yang dituju.""Baik, Mas."Adara menyeret suaminya untuk segera mengikuti pelayan tersebut. Dia sangat antusias dalam memilih barang-barang. Buktinya lebih dari satu
Rencana liburan ke Cappadocia harus dibatalkan karena kondisi Adara tiba-tiba melemah. Mungkin karena efek kelelahan seharian beraktivitas. "Harusnya kemarin aku nggak ikut kelas memasak dulu ya, Mas? Jadinya kan sekarang aku harus bedrest," ucap Adara lemah. Dokter menyarankan dia untuk istirahat beberapa minggu ke depan agar kondisi kehamilannya menjadi lebih baik. Meskipun dia mendapatkan suplemen penguat kehamilan dan juga vitamin, dia masih harus mengistirahatkan tubuhnya. "Nggak apa-apa, Sayang. Nggak perlu disesali begitu. Lagi pula kalau kita jalan-jalan ke luar negeri kalau kamu sudah punya baby malah lebih bagus," ujar Ansel sembari mengusap puncak kepala istrinya. Dari kemarin mood Adara benar-benar tidak bisa diprediksi. Terkadang senang lalu tiba-tiba menjadi sedih. Sejauh ini mood yang paling dominan adalah kesedihan. "Tapi gimana tiket pesawat kita, Mas? Kalau di cancel juga belum tentu bisa.""Kalau masalah itu aku punya solusinya."Adara menatap suaminya dengan ser
"Iya," jawab Emma santai. Seakan apa yang dilakukan itu benar, dia hanya mengangkat bahunya, "tapi itu semua sudah berlalu. Aku akan memberikan rekaman aslinya agar kita nggak punya hubungan lagi. Aku udah malas berbuat iseng sama kalian. Lagi pula aku pernah berterima kasih sama kamu waktu itu kan? Sama seperti waktu itu, aku juga tulus minta maaf sekarang.""Kamu serius?" ejek Adara. "Serius.""Kalau begitu, aku minta ucapan permintaan maaf secara resmi melalui video. Ayo!" tarik Adara dengan susah payah. Mereka keluar dari kerumunan orang-orang untuk menyingkir ke tempat yang lebih sepi. Ansel mengikuti langkah istrinya dengan bersusah payah. Dia tidak bisa melerai karena wajah Adara seakan menginginkan dukungan. Langkahnya melambat pada anak tangga menuju lantai dua. Tempat riskan yang harus dilalui dengan hati-hati oleh ibu hamil adalah tangga. Jangan sampai terjatuh ataupun terpeleset! Tapi posisinya sekarang Adara sedang menarik Emma. Bagaimana kalau Emma menyakiti Adara den
"Kamu sih, Mas. Kita terlambat kan?" dumel Adara kesal. Mereka baru sampai ke tempat acara setelah menghindari macet yang tidak kunjung habis. Wanita itu terus saja memperlihatkan kekesalannya karena suaminya malah dengan santainya meminta maaf. "Yang punya acara kan keluarga kita, Mas. Harusnya datang lebih awal dong bukannya malah telat begini.""Sayang, nggak papa lah telat sedikit. Pasti mereka juga tahu kalau jalanan macet," sergah Ansel. Dia berusaha menenangkan hati istrinya dengan memeluk pinggang berisi itu dengan erat sembari membawanya masuk. Rumah keluarga Marina di dekorasi secara sederhana. Mereka tidak menyewa gedung atau ballroom hotel demi kenyamanan bersama. Konsep menikah secara diam-diam yang sesungguhnya adalah seperti ini. Tapi mereka tetap menggunakan jasa wo dan juga waiters yang siap melayani mereka. "Masuk, Dara. Kenapa baru datang?" ujar Felicia.Adara melirik suaminya dengan kesal. Mertuanya saja datang lebih awal kenapa mereka malah terlambat? "Taukk tuh
"Terima kasih," ucap Candra singkat. hanya itu dan tidak ada kata-kata lain yang diucapkan oleh wanita yang baru saja keluar dari rumah sakit itu. "Untuk apa?" tanya Adara bingung. Tiba-tiba datang tentu saja tidak hanya mengucapkan terima kasih. "Untuk ya itu pokoknya soal mama. Pernikahanku dibatalkan dan aku boleh memilih calon suami yang aku suka. Makanya aku datang kemari untuk Ya begitulah pokoknya. Intinya aku sudah balas budi. Satu lagi, ini," ucap Candra yang kemudian memberikan sekotak perhiasan pada Adara. "Ini dari koleksi terbaru buatanku dan belum launching di Indonesia. Jadi kamu orang pertama yang memilikinya.""Kalau mendesain perhiasan?" tanya Adara penasaran. Tidak ada pembicaraan mengenai ini dari Gina waktu itu. "Kupikir kamu hanya menjalankan bisnis orang tua kamu.""Aku nggak sebodoh itu kali. Nih! Terima! Pokoknya aku nggak mau ada kata balas budi lagi. Aku sudah membalasnya," tegas Candra. Dia menarik tangan Adara agar segera menerima pemberiannya. "Ini eksl
"Selamat ya," ucap Adara senang. Apa usahanya berhasil? "Ini gara-gara kakak kan?"Melihat senyum dikulum Adara, Mimi yakin kalau Adara pelaku utamanya. "Maaf ya, Mi," ucap Adara sungguh-sungguh. "Sebenarnya kakak cuma mau dia bertanggungjawab. Maksudnya bukan bertanggungjawab menikahi kamu tapi seenggaknya meminta maaf atas apa yang dia lakukan."Mimi mengerti dengan tujuan Adara, tapi dia belum siap menikah. "Aku masih muda, Kak. Gimana kalau aku hamil disaat aku belum siap untuk mempunyai bayi?""Kakak tahu kalau kesiapan mental itu penting. Hanya saja kamu akan dewasa pada waktunya," jelas Adara bijak. "Kalau kamu nggak ada kerjaan, gimana kalau ikut ke rumah Tante Felicia? Kita obrolin di sana."Mimi seharusnya sudah ada di kantor sekarang. "Sebentar saja ya, Kak? Soalnya aku ada pekerjaan.""Iya. Naik mobil sendiri-sendiri?"Mimi mengangguk."Baiklah."°°°Adara tertawa terbahak-bahak mendengar cerita Mimi. Dia sama sekali tidak mengira kalau Carlo akan datang dan membawa nama
"Oh, jangan mengumpat!* canda Ansel. Dia tidak perlu bersikap kasar karena mereka sedang berada di tempat umum. Tujuannya menyetujui usulan Roy untuk bertemu di cafe itu semata-mata hanya untuk kemenangannya. Roy mengumpat pelan. Dia sama sekali tidak menyangka kalau pria di depannya itu membuatnya sebagai umpan. Dia berdiri, "Kayaknya aku nggak perlu ada di sini. Silakan selesaikan urusan kalian.""Hei, jangan pergi!" tukas Ansel tenang. "Kamu juga bersalah di sini karena sudah mengancam Mimi dan membahayakan calon bayiku.""Apa maksud kamu dengan calon bayi kamu? Apa jangan-jangan Mimi menikah sama kamu?" tuduh Roy. Mau tidak mau dia kembali duduk untuk membahas masalah mereka. Tidak ada lagi kata-kata sopan yang diucapkan karena atmosfer diantara mereka sudah memanas. Lagi pula tidak ada urusan bisnis yang perlu mereka bicarakan. "Oh, jadi kamu mendatangiku untuk meminta pertanggungjawaban berupa uang? Hei, kamu pikir aku bisa kamu bodohi? Jangan-jangan kamu yang sudah menghamili
Dua wanita yang masing-masing memperlihatkan ekspresi yang berbeda, kini duduk berhadapan saling menatap ke arah lain. Adara yang sudah sedikit memahami apa yang dikatakan oleh Mimi, merasa ini saat yang tepat untuk mempertanyakan. "Siapa yang berbuat itu sama kamu?" tanya Adara pelan, tidak bermaksud menghardik juga tidak menuntut jawaban. Mimi mulai mengarahkan pandangannya pada Adara. "Carlo.""Siapa dia?"Helaan nafas berat lebih terdengar ringkih menjawab pertanyaan itu di awal. "Pria yang aku temui di pesta ulang tahun teman sesama model. Aku benar-benar berada di bawah pengaruh alkohol, Kak. Kalau secara sadar aku nggak mungkin melakukannya. Aku masih perawan, siapa yang mau memberikannya pada sembarang orang."Adara memahaminya. "Lalu? Apa dia tanggung jawab?"Mimi menggeleng lesu, "Jangankan tanggung jawab, Sampai detik ini aku dan dia nggak pernah bertemu lagi.""Lalu kenapa kamu bisa takut hamil? Apa sudah ada tanda-tanda?"Mimi menerawang ke arah dinding yang berusaha un
Adara merasa Haikal bersikap aneh. "Em, aku bicara dengan suami dulu ya. Soalnya kan nggak mungkin aku pergi tanpa ijin dari suami."Perubahan wajah Haikal terlihat jelas. Kesal, marah dan tidak suka. Kenapa? "Oh, aku aja yang minta ijin sama suami kamu. Mana kontaknya?"Kenapa Haikal seperti memaksa? Padahal niat Adara mengatakannya hanya untuk menghindar dari ajakan makan malamnya. Adara bergerak kebingungan. Apa yang harus dia katakan agar Haikal mengerti. "Em, kalau sekarang kayaknya nggak bisa deh. Nanti saja aku minta ijin secara langsung. Kalau udah nggak ada yang perlu diomongin, aku mau pamit dulu."Haikal menyentuh pergelangan tangan Adara tanpa pikir panjang. "Tunggu dulu!"Adara menarik lengannya tanpa berniat menyakiti hati pria itu. "Ada apa?""Gimana caranya kamu ngasih tau aku kalau kita nggak tukeran nomor?"Benar juga. Adara bahkan tidak ingat kalau mereka perlu melakukannya. Tapi, dia tidak berniat memberikan nomornya pada orang asing. 'Ayo, Adara, coba pikirkan c