"Sah?"
"Sah!"Lalu doa mulai dipanjatkan di depan sang penghulu beserta tamu undangan yang mengikuti jalannya proses pernikahan. Adara Elvira Chelsea tidak menangis karena haru, tapi dia menyesal kenapa bisa menerima perjodohan neneknya.Wanita yang memiliki bentuk muka bulat karena berat badannya tidak pernah turun drastis meskipun dia melakukan diet ketat, mengernyit ketika sang suami -Ansel Falih Khairi- mencoba untuk mencium dahinya.Memang wajar, tapi karena hubungan mereka tidak seharmonis yang terlihat, Adara ogah dicium."Nggak usah lama-lama," sungut Adara pelan. Dia menarik kepalanya karena Ansel sengaja melama-lamakan prosesi ciuman itu. Pria itu mengedipkan sebelah matanya tanpa mengatakan apapun.Kerabat mereka mengawasi dari meja yang paling dekat dengan dekorasi pernikahan. Salah satu wanita tua yang usianya sudah menginjak 60 tahun menangis haru. Usahanya untuk menjodohkan mereka tidak sia-sia. Akhirnya dia bisa melepaskan hidupnya karena Adara sudah ada yang menjaga dan dia bisa meninggal dengan tenang."Ayo, nenek kenalin sama distributor yang sering bekerja sama dengan papa kamu. Kamu juga, Ansel. Nantinya kamu juga yang akan membantu Adara mengembangkan toko," ucap sang nenek -Dianti- dengan senyum mengembang. Dia menggandeng pasangan yang baru saja resmi menjadi suami istri itu.Ansel memeluk pinggang Adara, sengaja menggoda wanita itu karena sejak tadi mereka bersitegang. Ansel bukan orang yang suka marah-marah, makanya melihat muka kesal Adara membuat dia tidak bisa membiarkan begitu saja. Dia lupa jika salah satu tamu yang diundang ke acara pernikahannya adalah kekasihnya.Setelah acara perkenalan singkat siapa Ansel pada orang-orang itu, Ansel pamit ke belakang. Dia menatap wanita cantik di ujung sana dengan senyum simpul. Dress brukat berwarna putih kecoklatan malah lebih manis dipakai oleh wanita itu ketimbang dipakai oleh Adara."Harus ya kamu peluk-peluk begitu?" sungut wanita itu dengan kesal. Siapa yang tidak marah kalau kekasihnya menikahi wanita lain dan malah tebar pesona. Bukannya dia tidak tahu, tapi dia tidak bisa menolerir pelukannya.Ansel ingin sekali memeluknya, tapi kondisinya tidak memungkinkan. "Maaf ya? Aku hanya memerankan peran dengan baik, Emma Sayang.""Apa nanti malam kamu juga akan malam pertama sama dia?""Nggak mungkinlah," gumam Ansel. Ada banyak orang di sekitarnya, kalau dia menambah volume suara bisa-bisa timbul gosip yang akan menghebohkan dunia maya.Belum sempat dia menyakinkan Emma lagi, Dianti memanggil."Maaf ya, aku harus kembali ke sana. Kamu nikmati saja pestanya," ucap Ansel. Sekilas dia menggenggam tangan Emma untuk menenangkan sang kekasih."Nanti malam ... datanglah ke rumahku."Ansel tidak perlu dua kali untuk mengiyakan. Dia berjalan kembali ke kerumunan orang-orang penting itu."Katanya ke belakang kok bicara sama wanita itu? Siapa dia?" tanya Dianti penasaran."Em, teman lama, Nek. Tiba-tiba nggak ingin ke belakang. Ada apa, Nek? Kenapa memanggil?"Dianti tidak curiga sama sekali. Dia melanjutkan perkenalannya. Ansel tampaknya serius memperhatikan siapa saja yang dikenalkan padanya.Berbeda dengan Adara. Wanita itu memandang lesu pada pria yang menatapnya dari depan sana. Pria jangkung dengan mata sebening lautan dan rambut keriting berwarna keperakan itu terlihat sama lesunya.Seluas senyum terlihat samar dari bibir Adara. Adara kembali memperhatikan sang nenek bicara. Dalam hatinya dia sangat ingin memeluk pria itu, sang kekasih, yang terpaksa dia tinggalkan karena perjodohannya.Setelah acara resepsi, Adara diboyong ke rumah yang dihadiahkan oleh Dianti. Isinya juga sudah lengkap karena orang tua Ansel yang memaksa untuk mengisinya.Dua keluarga itu benar-benar memikirkan kenyamanan pasangan suami istri yang tidak tahu pasti apakah mereka saling cinta atau tidak."Baik-baik sama suami kamu," pesan Dianti."Kenapa dikasih rumah segala sih, Nek? Nenek sama siapa kalau aku di sini? Papa juga jarang pulang kan? Anaknya menikah saja nggak pulang," sungut Adara.Meskipun Dianti sangat tegas pada Adara, tapi Adara tidak tega meninggalkan neneknya tinggal di rumah sebesar itu sendirian."Kamu maklum dong, Sayang. Tadi kan papa kamu kena insiden di sana. Pesawat juga delay. Paling cepat besok sudah pulang.""Malas ah. Jangan minta untuk datang ke sini. Semenjak mama meninggal, papa lebih sering keluar negeri. Kenapa sih? Nyari apa di sana? Anaknya nggak diurus. Mamanya juga nggak diurus.""Hush! Kamu nggak boleh begitu. Papa kamu memang ambisius kalau sedang bisnis jadi kamu harus maklum. Demi kebahagiaan kamu dia rela melakukan apapun," ucap Dianti. Dia pamit pulang karena Adara harus istirahat. "Tunggu dulu. Untuk beberapa bulan ke depan, nenek nggak mempekerjakan asisten rumah tangga di rumah kamu. Dengan begitu kalian bisa lebih intim.""Hah! Intim apanya?" gumam Adara kesal.Ketika wanita itu masuk ke dalam rumah berlantai dua itu, dia sudah disambut dengan sepatu di lantai dan kemeja di sandaran sofa."ANSEL!""ANSEL!""ANSEL!"Tiga kali percobaan kalau Ansel sampai tidak datang, Adara akan melemparkan barang-barang pria itu ke mukanya."Apa sih? Kenapa teriak-teriak? Kamu nggak lelah apa?" sungut Ansel sembari menenteng jus jeruk di tangan kanannya. Rambutnya sudah acak-acakan sejak turun dari mobil."Ini apa? Beresin!""Nggak. Siapa istri di rumah ini? Kenapa suami yang harus beresin?""Nggak bisa! Dalam kontrak kita sudah membagi urusan rumah berdua. Kamu nggak baca? Poin utama adalah menjaga kenyamanan bersama. Jangan merepotkan orang lain. Ini apa namanya? Bisa nggak kamu mencoba mandiri? ANSEL SIALAN!" teriak Adara kesal. Baru juga semenit masuk rumah, kepalanya sudah dipenuhi asap.Ansel mengulum senyum, lebih tepatnya mengejek. Dia menaruh gelas di atas meja, "Aku beresin, Istriku! Jangan ngomel-ngomel.""Yang bersih.""Iyaaa." Ansel lagi-lagi harus melebarkan senyum terpaksanya.Adara melihat Ansel merapikan pakaiannya dengan lengan terlipat. Dia agak bersandar ke dinding. Setelah yakin beres, dia baru beranjak dari sana.Rumah itu memiliki banyak kamar. Siapapun boleh menempati. Tapi hanya ada satu kamar utama yang luasnya melebihi ruangan lain di rumah itu. Adara harus memilikinya."ANSEL!" teriaknya lagi. Ketika membuka pintu dia melihat barang-barang Ansel ada di sana.Terdengar suara lari dari arah bawah. Ansel memburu teriakan Adara karena merasa dia sedang terancam. "Apalagi?""Siapa bilang kamu boleh pakai kamar ini?""Emangnya kenapa? Pilih saja kamar yang lain.""Ini kamar utama. Harusnya cewek yang nempatin. Pindah sana!" suruh Adara semena-mena. Dia menarik paksa koper Ansel, lalu membuangnya keluar. "Rumah ini yang beli nenekku jadi aku berhak pilih kamar yang aku mau.""Hei, orangtuaku juga beli perlengkapannya. Aku juga berhak," ketus Ansel."Kamu nggak malu merebutkan kamar sama cewek?""Kamu juga nggak malu ribut melulu dari tadi? Kita ini suami istri yang baru saja menikah. Harusnya kita lebih suka main di ranjang dari pada meributkan soal rumah. Apa aku perlu memulai langkah awal?" tanya Ansel dengan godaannya. Dia berjalan mendekati Adara, seketika wanita itu menyilangkan lengannya di depan dada."Jangan macam-macam! Dalam kontrak nggak ada yang namanya kontak fisik. Ingat itu!"Ansel mengangguk dengan muka serius tapi tidak menghentikan langkahnya. "Kalau kamu nggak mau diusik, tolong jangan usik aku! Aku nggak suka ad keributan di rumah. Apalagi berisik! Kalau kamu nggak suka aku menaruh barang-barang dimana, biarkan saja. Toh nggak ada tamu yang datang kan?"Adara memundurkan punggungnya sampai menyentuh dinding. Dia juga tidak suka keributan tapi dia lebih tidak suka Ansel. "Kalau bukan karena nenek yang bersahabat sama orang tua kamu, aku nggak mungkin mau menikah.""Bukannya lebih baik aku dari pada pacar preman kamu itu?" tantang Ansel."Sialan!" Adara sudah berniat memukul, tapi Ansel menarik pergelangan tangannya. Jarak mereka terlalu dekat."Karena kita nggak perlu malam pertama, aku akan menginap di luar malam ini. Jangan tunggu aku!"°°°"Singkirkan celana dalam kamu! Main lempar sembarangan! Kamu pikir istrimu ini pembantu?"Adara selalu naik darah setiap kali melihat sang suami berulah.Padahal matahari baru saja terbit tapi wanita itu harus menggunakan kekuatan suaranya sampai ke oktaf paling maksimal.Ansel memungut celana dalamnya yang tidak sengaja terlewat ketika dia membawanya masuk ke kamar. "Tinggal bawa apa susahnya sih?""Jelas susah. Sangat susah," komentar Adara. Wanita itu turun tergesa-gesa ke bawah, hampir tergelincir kalau dia tidak berpegangan pada tepian tangga. "BUATIN SARAPAN!" teriak Ansel. Adara tidak menyahut. Dia mana peduli Ansel mau makan apa, yang jelas dia ingin buat nasi goreng. Seumur hidupnya, dia hanya pernah masak tiga kali. Nasi goreng, waktu neneknya memaksa. Kalau ditanya rasanya ya sudah pasti tidak ada enak-enaknya. Yang kedua dan ketiga kalinya hanya mie instan. Itu juga karena dia sangat ingin makan itu. Dianti paling tidak suka ada orang yang sering makan makanan instan, a
"Sakit?"Ansel mengumpat. Ingin rasanya dia melempar muka Adara dengan bantal sofa. "Nggak!""Oh, ya udah."Adara menghapus air matanya tanpa rasa bersalah. Dia menyeringai sebelum akhirnya naik ke kamarnya. Hatinya yang penuh sesak sedikit lebih lega karena proses pelampiasan tadi. Wanita itu mengunci pintu, melepaskan pakaiannya dan meluncur ke bathtub. Dia perlu membangun kepercayaan dirinya di depan Ansel. Dia tidak bisa memperlihatkan sisi dirinya yang lemah meskipun kenyataannya dia memang lemah tanpa neneknya.Dering ponselnya terdengar samar-samar. Adara keluar dari bathtub dengan memakai bathrobe putih bersih miliknya, lalu berjalan keluar dari kamar mandi. Dilihatnya benda pipih itu bergetar dengan nama kontak tersayang di sana."Ben. Hai," sapanya dengan manja. Rambutnya yang tergerai basah tidak menghalanginya untuk duduk di tepi ranjang. Kakinya yang terjuntai saling bergesekan, persis seperti anak ABG yang sedang kasmaran."Kamu lupa padaku?""Nggak. Siapa yang bilang b
"Injak?" tanya Adara bingung. Apa yang dia injak? Tapi melihat suaminya menutupi bagian sensitif miliknya, akhirnya wanita itu sadar. "Sorry."Felicia menahan tawanya melihat muka Ansel yang tidak bersahabat sama sekali. Raut wajah wanita itu kembali normal saat Adara menoleh ke arahnya. "Lanjutkan saja. Mama mau tidur."Adara serta merta memburu Felicia, "Tunggu , Ma! Mama jangan salah paham." Dia lupa statusnya sekarang sebagai istri Ansel. Untuk apa mengatakannya?"Salah paham juga nggak masalah, Dara. Kalian suami istri bebas melakukan apapun. Lebih bagus lagi kalau sering-sering. Duh, kalau selucu ini mama yakin kalau anak kalian malah lebih lucu lagi. Sampai bertemu besok, Sayang. Tidur yang nyenyak," ucap Felicia penuh kepercayaan diri kalau akan ada sesuatu yang terjadi nanti malam. "Mereka pasti akan sibuk. Syukur banget aku pindahin sofanya. Kata Nenek Dianti emang harus begitu kalau mau punya cucu dalam sebulan. Aku harus berterimakasih nih," gumam Felicia senang sembari
Pasangan suami istri itu mendelik bersamaan ketika melihat Felicia ada di ambang pintu, berteriak dengan sangar."Itu ... Ma, kontrak sama orang nggak penting. Katanya bisnis tapi kok ada hasilnya," sungut Adara. Dia hanya mengarang bebas karena yang dia tahu Ansel punya bisnis yang tidak diketahui orangtuanya. Felicia beralih pada anaknya, "Kamu main bisnis apa lagi? Kamu nggak ingat kalau selalu gagal setiap kamu sok-sokan jadi pebisnis?""Iya, aku juga udah bilang begitu, Ma. Dia aja yang ngeyel," bela Adara lengannya bersedekap. Dia menyerang tepat di ulu hati Ansel. "Bukan begitu, Ma. Ini bisnis yang menguntungkan," desak Ansel. "Alah, untung apanya? Paling juga selalu rugi. Udah bagus kamu diberi pekerjaan oleh papa kamu. Harusnya kamu fokus saja pada pekerjaan itu. Jangan beralih ke bisnis lain. Atau kalau mau cari suasana baru, pegang bisnis nenek Dianti. Nenek sudah bicara sama mama kalau kamu boleh belajar memegang salah satu minimarketnya," jelas Felicia panjang lebar.
"Eng-nggak kok," gelagap Adara. Dia tidak menyangka lidahnya bisa bergoyang tidak jelas.Di luar dugaan Felicia tertawa, "Mama bercanda. Teman kamu ya? Kenapa nggak disuruh masuk?""Oh, iya, iya, Ma, teman. Dia agak pemalu. Kebetulan kami ada pembicaraan soal pekerjaan. Mama nggak berpikir yang bukan-bukan kan?" tanya Adara cemas. Ben harus aman dalam pengamatannya.Felicia mengelus bahu menantunya, "Nggak lah. Kenapa harus curiga sih? Mama lebih percaya sama kamu dari pada sama Ansel. Kamu nggak mau sarapan dulu?""Aku sarapan di luar aja, Ma. Aku pamit ke kantor dulu ya, Mam?" Adara mencium telapak tangan Felicia sebelum pergi. Dia melangkah terburu-buru ke bawah sambil melirik ke belakang karena takut Felicia membuntuti. "Kenapa kamu jemput ke sini?" tanya Adara sedikit kesal. Dia menerima uluran helm Ben padanya, "kan kita bisa ketemuan di gang depan atau dimana aja penting jangan di sini."Ben melirik Adara yang tidak juga memasang kaitan helmnya. Akhirnya dia turun tangan. Dari
"Brengsek!"Ansel tidak terima dipukul telak begitu. Dia balas memukul. Perseteruan yang memanas malah membuat sebagian karyawan ingin tahu siapa yang menang dan siapa yang kalah."Stop!" Suara Adara rasanya kalah dari suara hantaman mereka. Kenapa mereka bisa berbuat kekanakan di depan kantor Dianti? Kalau sampai ada laporan masuk ke telinga neneknya, dia bisa habis.Satpam datang melerai, lebih tepatnya mereka menahan Ben agar tidak menyerang Ansel lagi. Siapa yang tidak kenal Ansel kalau Dianti sudah berkoar-koar di depan mereka? "Pak Ansel nggak apa-apa?" tanya salah satu satpam yang lebih muda. Ansel menghapus jejak darah di sudut bibirnya, "Nggak apa-apa, Pak.""Tolong, Pak! Jangan membuat keributan. Silahkan pergi dari sini," usir satpam lainnya pada Ben. Ben jelas tidak terima. Pasalnya dia yang paling berhak atas Adara. "Kamu nggak mau belain aku?"Adara tersudut. Dia tidak mungkin membela Ben yang jelas-jelas bukan siapa-siapanya meskipun Ben adalah kekasihnya. Wanita itu
Seketika Adara memasukkan permukaan bibirnya ke dalam, mengapitnya erat. Dia bergumam sesuatu tapi tidak terdengar seperti ucapan. "Nggak paham," sungut Ansel.Adara menormalkan bibirnya setengah takut. Matanya memicing tajam, "Nggak bisa! Ini hanya untuk Ben.""Ya sudah."Blam!Ansel menutup pintunya dengan sedikit tekanan. Dia bermain tarik ulur. Dia sangat yakin kalau Adara tidak mungkin mau mengikuti kemauannya karena ego wanita itu yang tinggi.Justru itulah yang dicari Ansel. Dia sengaja membuat syarat sulit agar Adara tidak lagi menekannya. Ansel tidak mungkin minta maaf pada pria yang jelas-jelas bukan satu level dengannya."Ansel," panggil Adara."Berubah pikiran?"Lama diam lalu Adara mengetuk pintu itu lagi. "Ba-baiklah."Hah? Adara setuju? Ansel membuka pintunya lagi. "Kamu mau?"Muka merengut Adara, ketidakrelaannya terekam jelas di mata wanita itu. Dia mengulurkan salah satu handuknya pada Ansel. "Nanti setelah makan malam kita bicarakan lagi."°°°Suara dentingan sendo
"Ada apa, Dara? Kenapa muka kamu pucat?" tanya Dianti pelan. Dilihatnya muka Adara tidak kembali cerah setelah diam-diam melihat ponselnya. Makan malam mereka masih belum selesai. Pasangan suami istri yang berniat melakukan kerjasama dengan mereka tampaknya senang berbicara dengan Adara. Buktinya mereka tidak bisa membiarkan wanita muda itu untuk diam."Eng, nggak apa-apa, Nek. Aku boleh ke belakang sebentar?" tanya Adara. Mukanya pucat, dia tidak tahu harus mengatakan apa pada Dianti. Untuk sementara dia hanya harus mengkonfirmasi kabar itu benar atau tidak."Pergilah!"Adara meminta maaf pada tamu mereka lalu bergegas untuk ke luar dari meja pertemuan itu. Dia berjalan cepat, kecemasan melanda dirinya. Entah Ben atau Ansel yang dia khawatirkan, dia belum bisa menjelaskan.Setelah sampai ke area toilet, wanita itu tidak masuk. Dia hanya berdiri di lorong menuju toilet. "Halo, ini siapa?"Terdengar suara riuh di seberang sana. Adara bisa mendengar suara sirine ambulans yang memekakka
"Mas, saya mau barang yang ini tapi jangan yang dipajang di etalase ya? Tolong pilihkan yang paling bagus dan nanti kirimkan saja ke alamat yang akan saya berikan. Pokoknya harus yang sesuai yang saya mau ya, Mas?" ucap Adara pada pelayan toko pria yang melayani dirinya. Wanita itu datang ke sebuah pusat elektronik dan perlengkapan rumah tangga terbesar di kotanya untuk melihat apakah dia bisa membeli sesuatu yang berharga untuk kado pernikahan Emma. Tentu saja suaminya ikut serta karena suaminya harus terus mengawasi apa yang dilakukan oleh Adara. Daripada nanti kelelahan lagi, bisa-bisa dia bingung sendiri.Pelayan pria yang memiliki name tag Putra itu mengangguk pelan. "Siap, Mbak. Kami akan memberikan barang terbaru yang ada di gudang kami. Silakan ikut saya ke bagian pembayaran sekaligus kami ingin mencatat alamat yang dituju.""Baik, Mas."Adara menyeret suaminya untuk segera mengikuti pelayan tersebut. Dia sangat antusias dalam memilih barang-barang. Buktinya lebih dari satu
Rencana liburan ke Cappadocia harus dibatalkan karena kondisi Adara tiba-tiba melemah. Mungkin karena efek kelelahan seharian beraktivitas. "Harusnya kemarin aku nggak ikut kelas memasak dulu ya, Mas? Jadinya kan sekarang aku harus bedrest," ucap Adara lemah. Dokter menyarankan dia untuk istirahat beberapa minggu ke depan agar kondisi kehamilannya menjadi lebih baik. Meskipun dia mendapatkan suplemen penguat kehamilan dan juga vitamin, dia masih harus mengistirahatkan tubuhnya. "Nggak apa-apa, Sayang. Nggak perlu disesali begitu. Lagi pula kalau kita jalan-jalan ke luar negeri kalau kamu sudah punya baby malah lebih bagus," ujar Ansel sembari mengusap puncak kepala istrinya. Dari kemarin mood Adara benar-benar tidak bisa diprediksi. Terkadang senang lalu tiba-tiba menjadi sedih. Sejauh ini mood yang paling dominan adalah kesedihan. "Tapi gimana tiket pesawat kita, Mas? Kalau di cancel juga belum tentu bisa.""Kalau masalah itu aku punya solusinya."Adara menatap suaminya dengan ser
"Iya," jawab Emma santai. Seakan apa yang dilakukan itu benar, dia hanya mengangkat bahunya, "tapi itu semua sudah berlalu. Aku akan memberikan rekaman aslinya agar kita nggak punya hubungan lagi. Aku udah malas berbuat iseng sama kalian. Lagi pula aku pernah berterima kasih sama kamu waktu itu kan? Sama seperti waktu itu, aku juga tulus minta maaf sekarang.""Kamu serius?" ejek Adara. "Serius.""Kalau begitu, aku minta ucapan permintaan maaf secara resmi melalui video. Ayo!" tarik Adara dengan susah payah. Mereka keluar dari kerumunan orang-orang untuk menyingkir ke tempat yang lebih sepi. Ansel mengikuti langkah istrinya dengan bersusah payah. Dia tidak bisa melerai karena wajah Adara seakan menginginkan dukungan. Langkahnya melambat pada anak tangga menuju lantai dua. Tempat riskan yang harus dilalui dengan hati-hati oleh ibu hamil adalah tangga. Jangan sampai terjatuh ataupun terpeleset! Tapi posisinya sekarang Adara sedang menarik Emma. Bagaimana kalau Emma menyakiti Adara den
"Kamu sih, Mas. Kita terlambat kan?" dumel Adara kesal. Mereka baru sampai ke tempat acara setelah menghindari macet yang tidak kunjung habis. Wanita itu terus saja memperlihatkan kekesalannya karena suaminya malah dengan santainya meminta maaf. "Yang punya acara kan keluarga kita, Mas. Harusnya datang lebih awal dong bukannya malah telat begini.""Sayang, nggak papa lah telat sedikit. Pasti mereka juga tahu kalau jalanan macet," sergah Ansel. Dia berusaha menenangkan hati istrinya dengan memeluk pinggang berisi itu dengan erat sembari membawanya masuk. Rumah keluarga Marina di dekorasi secara sederhana. Mereka tidak menyewa gedung atau ballroom hotel demi kenyamanan bersama. Konsep menikah secara diam-diam yang sesungguhnya adalah seperti ini. Tapi mereka tetap menggunakan jasa wo dan juga waiters yang siap melayani mereka. "Masuk, Dara. Kenapa baru datang?" ujar Felicia.Adara melirik suaminya dengan kesal. Mertuanya saja datang lebih awal kenapa mereka malah terlambat? "Taukk tuh
"Terima kasih," ucap Candra singkat. hanya itu dan tidak ada kata-kata lain yang diucapkan oleh wanita yang baru saja keluar dari rumah sakit itu. "Untuk apa?" tanya Adara bingung. Tiba-tiba datang tentu saja tidak hanya mengucapkan terima kasih. "Untuk ya itu pokoknya soal mama. Pernikahanku dibatalkan dan aku boleh memilih calon suami yang aku suka. Makanya aku datang kemari untuk Ya begitulah pokoknya. Intinya aku sudah balas budi. Satu lagi, ini," ucap Candra yang kemudian memberikan sekotak perhiasan pada Adara. "Ini dari koleksi terbaru buatanku dan belum launching di Indonesia. Jadi kamu orang pertama yang memilikinya.""Kalau mendesain perhiasan?" tanya Adara penasaran. Tidak ada pembicaraan mengenai ini dari Gina waktu itu. "Kupikir kamu hanya menjalankan bisnis orang tua kamu.""Aku nggak sebodoh itu kali. Nih! Terima! Pokoknya aku nggak mau ada kata balas budi lagi. Aku sudah membalasnya," tegas Candra. Dia menarik tangan Adara agar segera menerima pemberiannya. "Ini eksl
"Selamat ya," ucap Adara senang. Apa usahanya berhasil? "Ini gara-gara kakak kan?"Melihat senyum dikulum Adara, Mimi yakin kalau Adara pelaku utamanya. "Maaf ya, Mi," ucap Adara sungguh-sungguh. "Sebenarnya kakak cuma mau dia bertanggungjawab. Maksudnya bukan bertanggungjawab menikahi kamu tapi seenggaknya meminta maaf atas apa yang dia lakukan."Mimi mengerti dengan tujuan Adara, tapi dia belum siap menikah. "Aku masih muda, Kak. Gimana kalau aku hamil disaat aku belum siap untuk mempunyai bayi?""Kakak tahu kalau kesiapan mental itu penting. Hanya saja kamu akan dewasa pada waktunya," jelas Adara bijak. "Kalau kamu nggak ada kerjaan, gimana kalau ikut ke rumah Tante Felicia? Kita obrolin di sana."Mimi seharusnya sudah ada di kantor sekarang. "Sebentar saja ya, Kak? Soalnya aku ada pekerjaan.""Iya. Naik mobil sendiri-sendiri?"Mimi mengangguk."Baiklah."°°°Adara tertawa terbahak-bahak mendengar cerita Mimi. Dia sama sekali tidak mengira kalau Carlo akan datang dan membawa nama
"Oh, jangan mengumpat!* canda Ansel. Dia tidak perlu bersikap kasar karena mereka sedang berada di tempat umum. Tujuannya menyetujui usulan Roy untuk bertemu di cafe itu semata-mata hanya untuk kemenangannya. Roy mengumpat pelan. Dia sama sekali tidak menyangka kalau pria di depannya itu membuatnya sebagai umpan. Dia berdiri, "Kayaknya aku nggak perlu ada di sini. Silakan selesaikan urusan kalian.""Hei, jangan pergi!" tukas Ansel tenang. "Kamu juga bersalah di sini karena sudah mengancam Mimi dan membahayakan calon bayiku.""Apa maksud kamu dengan calon bayi kamu? Apa jangan-jangan Mimi menikah sama kamu?" tuduh Roy. Mau tidak mau dia kembali duduk untuk membahas masalah mereka. Tidak ada lagi kata-kata sopan yang diucapkan karena atmosfer diantara mereka sudah memanas. Lagi pula tidak ada urusan bisnis yang perlu mereka bicarakan. "Oh, jadi kamu mendatangiku untuk meminta pertanggungjawaban berupa uang? Hei, kamu pikir aku bisa kamu bodohi? Jangan-jangan kamu yang sudah menghamili
Dua wanita yang masing-masing memperlihatkan ekspresi yang berbeda, kini duduk berhadapan saling menatap ke arah lain. Adara yang sudah sedikit memahami apa yang dikatakan oleh Mimi, merasa ini saat yang tepat untuk mempertanyakan. "Siapa yang berbuat itu sama kamu?" tanya Adara pelan, tidak bermaksud menghardik juga tidak menuntut jawaban. Mimi mulai mengarahkan pandangannya pada Adara. "Carlo.""Siapa dia?"Helaan nafas berat lebih terdengar ringkih menjawab pertanyaan itu di awal. "Pria yang aku temui di pesta ulang tahun teman sesama model. Aku benar-benar berada di bawah pengaruh alkohol, Kak. Kalau secara sadar aku nggak mungkin melakukannya. Aku masih perawan, siapa yang mau memberikannya pada sembarang orang."Adara memahaminya. "Lalu? Apa dia tanggung jawab?"Mimi menggeleng lesu, "Jangankan tanggung jawab, Sampai detik ini aku dan dia nggak pernah bertemu lagi.""Lalu kenapa kamu bisa takut hamil? Apa sudah ada tanda-tanda?"Mimi menerawang ke arah dinding yang berusaha un
Adara merasa Haikal bersikap aneh. "Em, aku bicara dengan suami dulu ya. Soalnya kan nggak mungkin aku pergi tanpa ijin dari suami."Perubahan wajah Haikal terlihat jelas. Kesal, marah dan tidak suka. Kenapa? "Oh, aku aja yang minta ijin sama suami kamu. Mana kontaknya?"Kenapa Haikal seperti memaksa? Padahal niat Adara mengatakannya hanya untuk menghindar dari ajakan makan malamnya. Adara bergerak kebingungan. Apa yang harus dia katakan agar Haikal mengerti. "Em, kalau sekarang kayaknya nggak bisa deh. Nanti saja aku minta ijin secara langsung. Kalau udah nggak ada yang perlu diomongin, aku mau pamit dulu."Haikal menyentuh pergelangan tangan Adara tanpa pikir panjang. "Tunggu dulu!"Adara menarik lengannya tanpa berniat menyakiti hati pria itu. "Ada apa?""Gimana caranya kamu ngasih tau aku kalau kita nggak tukeran nomor?"Benar juga. Adara bahkan tidak ingat kalau mereka perlu melakukannya. Tapi, dia tidak berniat memberikan nomornya pada orang asing. 'Ayo, Adara, coba pikirkan c