Sean menoleh saat suara ketukan pintu terdengar. Rupanya itu Aruna."Sean, aku sudah menyiapkan makanan juga obat. Kamu bisa turun setelah membersihkan diri," kata wanita itu.Sean diam saja. Jujur saja saat ini dirinya bimbang, ada beragam pemikiran juga beban yang seolah tersampir di bahunya.Ia menatap ponselnya lama, mengamati nomor Celine sejenak sebelum kemudian beranjak menuju kamar mandi.Setelah membersihkan diri, pria itu menatap wajahnya yang babak belur dalam cermin. Tersenyum kecil seolah mengejek dirinya sendiri yang tidak berusaha untuk melawan."Ini karena janji pada Ibu, atau memang aku yang terlalu payah untuk melawan tua bangka itu? Tidak, sekalipun aku melawannya, itu bisa dikatakan sebagai bentuk pertahanan diri akibat penyerangan, bukan?" gumamnya sendirian.Ia menghela napas, rasanya kehidupannya tidak pernah baik sejak Ibu juga anak itu hadir dalam hidupnya.Sean masih ingat jelas bagaimana bahagianya ia dulu, menjadi pusat perhatian dari kedua orangtuanya adal
Seperti yang dikatakan sebelumnya, Wisnu benar-benar datang pukul empat sore."Masuklah dulu, aku akan mengambil barang-barang ku dulu," ucap si wanita.Wisnu menggeleng, pria itu memilih untuk menunggu Aruna di dekat mobilnya saja.Aruna masuk dengan langkah gontai, wanita itu sesekali menunduk ataupun menghela napas panjang. Membuat Wisnu yang menatapnya dari belakang merasa heran.Tidak berselang lama Aruna kembali dengan sebuah koper berukuran sedang, Wisnu menyambut wanitanya juga membantunya meletakkan koper di bagasi belakang dengan senang hati.Ada yang berbeda dengan Aruna sekarang. Wanita itu jadi lebih banyak diam, ia bahkan sering mengabaikan Wisnu ataupun pertanyaan yang pria itu lontarkan padanya.Aruna terperanjat, matanya seketika menoleh ke sisi pengemudi saat ia merasakan sentuhan pada tangannya."Kamu kenapa? Ada masalah?" tanya Wisnu dengan sebelah ekor mata yang melirik ke arah Aruna.Wanita itu menggeleng dan tersenyum tipis, ia kemudian kembali menyandarkan kepa
Pukul dua dini hari saat ponsel milik Aruna berdering. Dengan mata setengah terpejam ia meraba nakas, meriah ponselnya dan mengangkat panggilan dengan suara serak."Halo?" ucap Aruna dengan suara serak khas bangun tidur.Tidak ada sahutan, hanya terdengar suara hela napas berat juga tertahan. Sesekali juga terdengar suara rintihan yang membuat bulu kuduk seketika merinding.Aruna menjauhkan ponsel dari telinganya, melihat siapa orang yang memanggilnya saat itu.Tertera nama Sean di sana, dengan panik Aruna kembali memanggil-manggil nama pria itu segera."Sean! Sean! Apa yang terjadi? Cepat jawab aku!" Aruna berseru keras, ia panik juga takut bukan kepalang.Aruna kembali berseru, berkali-kali ia memanggil nama Sean namun jawaban yang ia dapatkan masihlah sama.Hanya terdengar suara hela napas juga rintihan lirih dari seberang panggilan.Dengan panik Aruna turun dari ranjang, ia menyambar sweater miliknya yang tergantung di dekat lemari dan memakainya dengan asal.Sembari berjalan terb
Wisnu terus saja berusaha menghubungi nomor Aruna sambil terus mencari keberadaan wanita itu di sekitar area.Saat Wisnu tiba di sebuah bangunan yang nampak cukup usang, pria itu masuk ke dalam. Asumsinya mengatakan jika mungkin saja Aruna masuk ke dalam sana dan tidak mendapatkan sinyal ponsel.Namun sepertinya apa yang dilakukan Wisnu saat ini adalah sebuah kesalahan.Keadaan di dalam gedung yang cukup gelap membuatnya sulit untuk melihat sekitar, bahkan cahaya dari ponsel pintar miliknya pun tidak membantu banyak.Karena suasana yang cukup sunyi, Wisnu bisa mendengar suara langkah kaki yang terdengar lirih. Pria itu berjaga-jaga, waspada pada sekitar.Baru saja ia akan menoleh, sebuah balik lebih dulu menghantam kepala bagian belakang Wisnu, membuat pria itu terjatuh dan tidak sadarkan diri.Sementara di sisi lain. Aruna menatap resah ke arah luar jendela taksi yang ditumpanginya.Ia terus saja berusaha menyalakan ponselnya yang rupanya kehabisan baterai. Ia ingin menghubungi Wisnu
"Jangan macam-macam atau aku akan melaporkan mu ke pihak berwajib!"Wisnu berteriak keras. Meski posisi tubuhnya terikat, pria itu benar-benar menunjukkan bahwa dirinya tengah dalam emosi yang tinggi.Celine tersenyum, tertawa kecil karena merasa lucu dengan keberanian Wisnu sekarang."Ternyata memang tidak salah aku menyukaimu. Kamu itu begitu sexy, apalagi saat marah seperti sekarang. Tapi sayang, seleramu jauh dibawah standar.""Wisnu, memangnya apa yang kurang dariku? Kenapa kamu justru mencintai Diandra daripada aku yang mengenalmu lebih dulu? Bahkan jika dibandingkan dengan wanita itu, aku lebih unggul dalam semua hal," tanya Celine kembali mendekat.Wajah Wisnu yang memerah juga cengkeraman tangannya yang mengeras, menjadi bukti seberapa kerasnya pria itu berusaha terbebas.Ia menatap Celine nyalang, ingin sekali rasanya ia menyerang wanita itu sekarang. Tidak peduli bagaimana tanggapan orang-orang yang akan menilainya karena menyerang perempuan."Kamu perlu berkaca pada cermin
Setelah mengatakan hal itu, Celine mengecup pipi Wisnu sejenak. Ia kemudian tersenyum kecil dan beranjak pergi dari sana.Meninggalkan Wisnu yang terus saja mengumpati wanita itu dengan kesal.Di luar kamar, Celine menghubungi seseorang. Wajahnya sontak berubah dingin dan tanpa ekspresi."Bereskan jalang itu malam ini juga!"Ia kemudian berjalan ke arah luar dan masuk ke dalam mobil mercedes-benz miliknya.Sementara itu, di kediaman Wisnu. Aruna masih saja terdiam, ia terus memeluk David yang masih menangis ketakutan."Kamu tahu nona, baru saja nona Celine mengatakan padaku untuk menghabisi kalian semua," kata si pria."Kamu pikir kamu bisa melakukannya? Aku tidak akan membiarkanmu menyentuh mereka sedikit pun!"Aruna menatap dengan berani, ia melepaskan pelukan David dan berdiri. Berusaha menyerang si penyekap meski pada akhirnya justru ia yang terdorong hingga keningnya membentur meja."Jangan sok berani nona, kamu hanyalah seorang perempuan lemah. Akan lebih bagus jika kamu menurut
Mengendap. Wisnu memastikan sekitar sebelum ia mencoba mencongkel kunci jendela dengan garpu yang sudah ia bengkokan.Beruntung, kamar yang ditempatinya berada di lantai satu, jadi ia tidak perlu repot untuk menyusun cara agar bisa turun dengan mengikat berbagai jenis kain yang bisa digunakan.Beberapa menit Wisnu mencoba, namun hasilnya masih gagal. Ia sempat menghela napas dan merasa frustasi. Tapi mengingat Aruna, David juga keluarganya yang tengah dalam ancaman Celine, membuat tekat Wisnu untuk segera bebas kembali bulat.Disaat pria itu tengah berusaha, tiba-tiba saja pintu kamar terbuka.Wisnu yang panik bukan main segera bersembunyi dibalik gorden berwarna gold tersebut. Terkesan bodoh memang, tapi itu hanyalah bentuk reflek akan rasa panik."Tuan?"Wisnu mengintip dari celah gorden, ia menghela napas lega saat rupanya si pelayan kembali."Ada apa? Jangan salah paham! Aku tidak mencoba untuk kabur, hanya … hanya sedang melihat pemandangan luar," kata Wisnu beralasan.Mau bagai
"Chandra!" pekik Wisnu saat tahu si pengendara adalah Chandra."Cepat masuk!" kata pria itu dengan suara berbisik, tangannya melambai cepat mengisyaratkan agar Wisnu masuk dengan segera.Tanpa bertanya lagi, Wisnu segera masuk ke dalam mobil. Chandra melajukan mobilnya dengan cepat kemudian."Kamu tahu apa yang terjadi di rumahku? Kamu tahu dimana Aruna, David dan juga Ibu?" tanya Wisnu tanpa basa-basi.Pria itu jelas terlihat khawatir. "Ya. Tapi sebelum aku membawamu pada mereka, lebih baik kita ke rumah sakit dulu.""Antar saja aku ke kantor polisi, aku akan melaporkan,-" perkataan Wisnu tertahan saat Chandra menyahut lebih dulu."Celine?" "Bagaimana kamu tahu?" "Panjang urusannya, yang jelas kita harus ke rumah sakit untuk melakukan visum. Bukan hanya kamu, tapi juga Aruna." Mobil Chandra berbelok ke arah sebuah rumah sakit, pria itu turun diikuti Wisnu kemudian.Keduanya berjalan di sebuah lorong menuju satu ruangan dimana Aruna sudah menunggu."Wisnu?" Aruna yang saat itu sed